Reforminer Institute
  • Home
  • Tentang Reforminer
    • Tentang Kami
    • Tim Inti
    • Aktivitas
  • ReforMiner di Media
    • 2021
    • 2020
    • 2019
  • Studi
  • Infografis – Simulasi
    • Listrik
    • Makro Energi
    • Minyak dan Gas
    • Mineral dan Batubara
    • EBTKE
    • Harga
  • ReforMiner’s Notes
  • Publikasi
    • Konferensi Pers
    • ReforMiner’s Policy Analysis
    • Perspektif Opini
    • Buku
  • Hubungi Kami
  • Home
  • Artikel 2020
  • Keekonomian Proyek Gasifikasi Batu Bara di Indonesia
Wed, Apr 14, 2021

Keekonomian Proyek Gasifikasi Batu Bara di Indonesia

Artikel 2020
November 27, 2020
RA
0
462
Share
  • Facebook
  • Google plus
  • Twitter
  • Linkedin
  • Pinterest

Katadata.co.id; 26 November 2020

Oleh: Komaidi Notonegoro

Dari aspek moneter, proyek gasifikasi batu bara akan memangkas impor LPG sehingga mengurangi tekanan defisit neraca dagang. Namun dari aspek fiskal berpotensi membebani anggaran negara dalam APBN.

Pemerintah menetapkan kebijakan gasifikasi batu bara untuk mengurangi impor LPG yang terus meningkat setiap tahun. Data Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia menunjukkan impor Elpiji ini meningkat dari kisaran 917 ribu ton pada 2009 menjadi sekitar 5,71 juta ton pada 2019.

Proyek gasifikasi batu bara yang mengubah batubara menjadi dimethyl ether (DME) diharapkan dapat mensubstitusi dan sekaligus mengurangi impor LPG. Berdasarkan catatan, pengembangan proyek DME sudah direncanakan cukup lama. Kebijakan pengembangan DME tercatat telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

RUEN tersebut menargetkan pada 2025 produksi DME Indonesia satu juta ton. Produksi DME ditargetkan meningkat menjadi 1,2 juta ton pada 2030, 1,5 juta ton pada 2040, dan 1,9 juta ton pada 2050.

Dewan Energi Nasional (DEN) justru lebih optimistis dari target yang ditetapkan dalam RUEN tersebut. DEN menginformasikan bahwa pada 2025 mendatang komitmen produksi DME yang akan dilakukan oleh tiga badan usaha yaitu PT Bukit Asam, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin Indonesia adalah sekitar 6 juta ton.

Nilai Keekonomian Proyek

Salah satu proyek DME yang saat ini diinformasikan mulai berjalan adalah proyek kerjasama PT Bukit Asam – PT Pertamina – Air Product yang berlokasi di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Proyek tersebut direncanakan Commercial Operation Date (COD) pada 2025 dan saat ini sedang pada tahap penyelesaian feasible study dan skema bisnis.

Meskipun proyek DME dinilai memenuhi aspek kelayakan teknis, pemerintah dan pelaksana proyek DME perlu lebih cermat dan hati-hati di dalam menghitung kelayakan ekonominya. Sejumlah kajian menyebutkan bahwa nilai keekonomian proyek DME relatif rendah dan tidak cukup ekonomis sebagai pengganti LPG. Keenonomian proyek yang relatif rendah disinyalir sebagai penyebab sejumlah proyek DME di sejumlah negara relatif belum berkembang dengan baik.

Berdasarkan informasi dari International DME Association (IDA), sampai saat ini terdapat 10 negara yang merencanakan dan melaksanakan proyek DME. Di antaranya adalah Cina, Swedia, India, Uzbekistan, Jepang, Amerika Serikat, Trinidad & Tobago, Pepua New Guenia, Vietnam, dan Indonesia.

Data yang ada menunjukkan saat ini potensi pasar terbesar DME adalah Cina. Kapasitas terpasang kilang DME di sana sekitar tujuh juta matrik ton (MT) per tahun. Dari total kapasitas terpasang tersebut, tingkat utilitasnya diinformasikan hanya 30 – 50 %. Bahkan untuk kilang DME yang dibangun di wilayah Xinjiang, Qinhai, Ningkia, dan Shaannxi tingkat utilitasnya diinformasikan di bawah 30 % dari total kapasitas terpasangnya.

Tingkat utilitas kilang DME di Cina yang relatif rendah tersebut diinformasikan karena nilai keekonomian proyek yang relatif rendah. Informasi yang ada menyebutkan lebih dari 80 % produksi DME di Cina digunakan untuk proses blending dengan LPG (20 % DME:80 % LPG). Karena itu nilai keekonomian proyek DME semakin rendah sejalan dengan harga LPG di pasar internasional yang sedang turun.

Khusus untuk proyek DME di Indonesia, kajian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) yang dipublikasikan pada November 2020 menyebutkan bahwa rencana proyek DME yang akan dilaksanakan PT Bukit Asam – PT Pertamina – Air Product tidak cukup ekonomis dan berpotensi merugi. Bahkan IEEFA dalam hal ini menyebut proyek DME di Indonesia sebagai (D)oes Not (M)ake (E)conomic Sense.

Dalam menghitung proyek DME yang akan dilaksanakan PT Bukit Asam – PT Pertamina – Air Product, IEEFA menggunakan beberapa asumsi dasar, di antaranya: (1) kebutuhan investasi proyek DME sebesar US$ 2 miliar; (2) kapasitas produksi kilang DME 1,4 juta MT per tahun dan menggunakan 6,5 juta ton batu bara per tahun, serta untuk menggantikan impor LPG 980.000 ton per tahun; (3) kebutuhan investasi dipenuhi dari utang dengan biaya bunga sekitar 3,8 % per tahun, dan (4) menggunakan acuan rata-rata biaya produksi DME perusahaan Lanhua yaitu listed company di Cina selama periode 2016-2019.

Berdasarkan sejumlah asumsi dasar tersebut, IEEFA memproyeksikan proyek DME yang akan dilaksanakan oleh PT Bukit Asam – PT Pertamina – Air Product akan merugi sekitar US$ 377 juta per tahun atau sekitar Rp 5,35 trilun per tahun jika mengacu pada nilai tukar rupiah pada saat tulisan ini dibuat. IEEFA menyebutkan, jika manfaat ekonomi dari pengurangan impor LPG diperhitungkan, masih terdapat kerugian sekitar US$ 18,9 juta atau sekitar Rp 269 miliar untuk setiap tahunnya dari proyek DME tersebut.

Mengacu pada sejumlah informasi yang ada tersebut, PT Bukit Asam, PT Pertamina, Air Product, dan Pemerintah Indonesia perlu lebih cermat dan berhati-hati di dalam melaksanakan proyek DME. Dari aspek moneter, sudah tidak perlu diragukan lagi bahwa pelaknaan proyek DME akan memberikan dampak positif. Pelaksanaan proyek DME secara otomatis akan mengurangi besaran impor LPG yang selama ini menjadi salah satu kontributor utama penyebab defisit neraca perdagangan migas.

Akan tetapi, jika ditinjau dari aspek fiskal dan mengacu pada proyeksi IEEFA tersebut, pelaksanaan proyek DME berpotensi memberikan risiko terhadap keuangan negara atau akan menjadi beban dalam APBN. Jika konsisten dengan ketentuan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, kerugian dalam proyek DME yang merupakan bagian dari pelaksanaan program pemerintah harus diberikan subsidi oleh negara c.q pemerintah. Dalam hal ini pemerintah tidak dapat membebankan kerugian kepada badan usaha sebagai pelaksananya meskipun pelaksana penugasan tersebut adalah BUMN.

Berdasarkan sejumlah kondisi yang ada, terdapat potensi biaya dan manfaat dalam pelaksanaan proyek DME. Karena itu, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam terutama untuk menghitung biaya dan manfaat dari proyek DME yang akan dilaksanakan. Hasil kajian atau perhitungan pemerintah tentu dapat berbeda dengan hasil kajian IEEFA tersebut.

Dalam hal ini IEEFA hanya melihat berdasarkan aspek bisnis, sementara pemerintah tentu harus lebih komprehensif tidak semata-mata perhitungan bisnis tetapi juga harus mengakomodasi aspek lain seperti aspek keberlanjutan dan ketahanan energi nasional. Bahwa di dalam melakukan kajian IEEFA memiliki motif atau interest yang lain juga sangat dimungkinkan.

Akan tetapi dalam menyikapi hasil kajian IEEFA tersebut, kita perlu positif di dalam melihatnya bahwa hal tersebut merupakan pengingat begi kita semua bahwa memang benar sebuah program atau proyek akan dapat berkelanjutan jika dilaksanakan berdasarkan basis yang jelas dan kuat.

RA 211 Posts   0 Comments

Previous Post

Petugas memasang papan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang baru di SPBU Kawasan Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan,Jakarta, Minggu (10/2/2019). Harga BBM non subsidi kembali diturunkan oleh Pertamina, meliputi wilayah hanya Jabodetabek dengan besaran penurunan bervariasi sampai dengan Rp 800 per liter. ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama.
Pengamat: Penghapusan BBM Premium Butuh Komitmen dan Kesepakatan Bersama
2020
2020-11-23

Next Post

2073040348p
Margin Bisnis Gas Menipis, Pembangunan Infrastruktur Baru Bisa Tertahan
2020
2020-11-30
  • Facebook Comments
RELATED POSTS
KmdBiaya dan Manfaat Produksi Listrik Tanpa Batu Bara
Petugas memasang papan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang baru di SPBU Kawasan Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan,Jakarta, Minggu (10/2/2019). Harga BBM non subsidi kembali diturunkan oleh Pertamina, meliputi wilayah hanya Jabodetabek dengan besaran penurunan bervariasi sampai dengan Rp 800 per liter. ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama.Kebijakan Penghapusan BBM RON Rendah
Detik.com-Ardhi SuryadhiSektor Batubara Dalam UU Cipta Kerja
20160801153918017Sektor Migas dalam UU Cipta Kerja
Publikasi Terbaru
shutterstock_127318157
Pertamina Cari Mitra di Blok Rokan, Kuncinya Ada pada Skema Bisnis
2021
April 11, 2021
Penjual gas elpiji 3 kg bersiap mengantar pesanan ke konsumen di Jakarta, Selasa (4/3). Pertamina menyatakan tidak ada kenaikan harga gas elpiji 3 kg dan menjamin stok gas melon masih melimpah./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/04/03/2015
Pemerintah Harus Fokus Pemakaian Energi dalam Negeri untuk Tekan Impor
2021
April 7, 2021
Pasokan BBM Pasca Musibah Kilang Balongan (1)
Pasokan BBM Pasca Musibah Kilang Balongan
Infografis-Simulasi
March 31, 2021
Pasokan BBM Pasca Musibah Kilang Balongan (1)
Pasokan BBM Pasca Musibah Kilang Balongan
Artikel Tahun 2021
March 31, 2021
4
Kilang Minyak di Balongan Terbakar, Perlukah Impor BBM, Pengamat: Kalau Bisa Lebih Murah Harganya
2021
March 30, 2021
Buku
Migas, Perbankan dan Perekonomian Nasional; Sinergisitas Hulu Migas dan Perbankan Nasional
Buku
Esensi Pendirian Perusahaan Migas Negara; Redefinisi Peran dan Posisi Pertamina
Buku
Kedaulatan Migas dan Production Sharing Contract Indonesia
Buku
Ekonomi Energi I


Tentang Reforminer
Lingkup Aktivitas
Tim Inti
Hubungi Kami
Alamat

World Trade Centre (WTC) 5 Lt. 3A (3A56),
Jl. Jenderal Sudirman Kav. 29-31,
Jakarta, 12920

Telepon : 021-25985112

Fax : 021-25985001

Email : info@reforminer.com

Menu
Home
Reforminer di Media
Studi
Infografis-Simulasi
Publikasi
Social Media
Copyright © 2006-2021 Reforminer Institute. All rights reserved.