Peran Gas Bumi dalam Transisi Energi Nasional

Liputan6.com; 31 Maret 2022

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pelaksanaan kebijakan transisi energi tidak hanya tentang perubahan pemanfaatan dan penggunaan bahan bakar fosil ke EBT, tetapi menyangkut aspek yang sangat kompleks.

Transisi energi disebut akan mengubah banyak hal, perubahan pekerjaan, skenario pembangunan, oriantasi binis, dan aspek lainnya. Salah satu tantangan transisi energi yang disebut Presiden Jokowi adalah masalah pendanaan.

Proses transisi energi membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Transisi energi membutuhkan proyek-proyek baru dan investasi baru. Karena itu Indonesia memerlukan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian dan harga EBT yang kompetitif sehingga tidak membebani masyarakat.

Gas sebagai jembatan transisi

Apa yang disampaikan Presiden Jokowi adalah tepat, bahwa transisi energi memerlukan kesiapan dalam banyak aspek. Tidak hanya masalah pendanaan saja, transisi juga memerlukan dukungan riset dan teknologi.

Sehingga diperlukan kesiapan berbagai kompetensi dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi untuk menyediakan SDM yang unggul untuk mendukung pelaksanaan transisi energi.

Sejalan dengan pelaksanaan transisi energi, aktivitas perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat perlu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, mencermati kondisi dan sejumlah tantangan yang ada, transisi energi kiranya tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa.

Transisi energi memerlukan persiapan banyak aspek sehingga perlu dilakukan secara gradual agar tidak menjadi beban perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagaimana dalam Perpres No.22/2017, memproyeksikan bahwa porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2050 mendatang sekitar 68,80 persen.

Sementara, saat ini porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia sekitar 89 persen yang terdistribusi atas batubara 38 persen, minyak bumi 32 persen, dan gas bumi 19 persen.

Mencermati kondisi yang ada tersebut, saya menilai peningkatan pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik dapat berperan sebagai jembatan dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia.

Ultimate goal dari pelaksanaan transisi energi pada dasarnya adalah bagaimana mengurangi tingkat emisi, bukan semata untuk mengganti penggunaan energi fosil dengan EBT.

Jika tujuannya mengurangi emisi, pemanfaatan energi fosil pada dasarnya tetap dapat terus dilakukan jika emisi dari energi fosil tersebut dapat diturunkan atau bahkan dihilangkan.

Karena itu, mengingat gas merupakan jenis energi fosil yang dinilai paling bersih, peningkatan porsi pemanfaatan gas dalam bauran energi primer nasional secara otomatis akan mengurangi tingkat emisi pada sektor energi.

Oleh karena itu, tepat jika RUEN kemudian menargetkan porsi gas dalam bauran energi primer Indonesia akan meningkat menjadi 24 persen pada 2050.

Ditinjau dari sejumlah aspek, pilihan meningkatkan pemanfaatan gas sebagai jembatan untuk pelaksanaan transisi energi adalah tepat.

Dari perspektif perekonomian nasional, pemanfaatan gas hampir dapat dipastikan akan relatif dapat menjaga daya saing industri dalam negeri dan daya beli masyarakat jika dibandingkan harus sepenuhnya beralih menggunakan EBT.

Dari aspek konsumsi, industri dan konsumen gas dalam negeri tampak semakin masif dalam memanfaatkan gas.

Hal tersebut terlihat dari rata-rata pemanfaatan gas domestik selama 2012-2021 yang disebutkan meningkat sekitar 1,5 persen untuk setiap tahunnya. Porsi pemanfaatan gas untuk domestik juga tercatat meningkat dari 52 persen pada 2012 menjadi 65 persen pada 2021.

Berdasarkan ketersediaan atau jumlah cadangan, pilihan pemanfaatan gas untuk jembatan pelaksanaan transisi energi juga cukup berdasar.

Saat ini Indonesia tercatat memiliki cadangan terbukti gas sekitar 62,4 TCF yang akan mencukupi untuk periode hingga 27 tahun mendatang.

Sejumlah proyek strategis nasional di sektor hulu migas juga tercatat didominasi oleh proyek-proyek gas seperti proyek IDD Gendalo dan Gehem, Jambaran Tiung Biru, Masela, dan Tangguh Train 3.

Tingginya Harga Minyak Bisa Jadi Momentum Untuk Rampungkan UU EBT

 

Katadata.co.id; 22 Maret 2022

Tingginya harga minyak dan energi fosil lainnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk segera merampungkan RUU EBT untuk mempercepat proses transisi energi.

Perang Rusia dan Ukraina dinilai sebagai penyebab naiknya harga minyak dunia. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, menyebut ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk mendorong transisi energi menuju energi baru dan terbarukan (EBT).

Sehingga penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT bisa dikebut. Pri mengatakan bahwa di lingkup Asia Tenggara, sejumlah negara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia telah memiliki UU EBT.

“Pemanfaatan EBT di Indonesia baru sekitar 2,82%. Ini lebih rendah daripada negara-negara ASEAN dengan rata-rata pemanfaatan EBT sekitar 10% dari total potensinya,” kata Pri Agung kepada Katadata.co.id, Selasa (22/3).

Sebagai informasi, mengutip Bloombergharga minyak terus meningkat. Harga minyak mentah acuan Brent mencapai US$ 115,25 per barel, sedangkan minyak Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$ 111 per barel.

Oleh karena itu pemerintah dinilai harus menyiapkan kebijakan untuk meminimalkan dampak kenaikan harga minyak sekaligus menjadi momentum untuk merealisasikan kebjikan transisi energi dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan EBT.

Lebih lanjut, penyelesaian RUU EBT menjadi salah satu ketentuan dalam mengatur pengembangan EBT di Indonesia. Nantinya, UU EBT diharapkan memberikan kepastian hukum bagi investor dan kemudahan perizinan untuk menanamkan modalnya di tanah air.

Hasil riset ReforMiner mencatat, ada enam potensi EBT yang bisa dimanfaatkan di Indonesia. Mereka terdiri dari energi panas bumi yang memiliki potensi sebesar 29.544 megawatt (MW), energi hidro 75.091 MW, dan surya 207.898 MW. Selain itu, ada juga potensi Bionergi 32.654 MW, bayu 60.647 MW, dan gelombang laut 17.989 MW.

Sementara itu, Komisi VII DPR menargetkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) rampung pada kuartal ketiga tahun 2022 setelah selesai diharmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg).

Adapun salah satu hasil dari harmonisasi tersebut yaitu memisahkan antara energi baru dengan energi terbarukan sehingga namanya menjadi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengatakan progres RUU ini sudah melalui tahap harmonisasi atau memberi penjelasan kembali kepada Badan Legislasi (Baleg). Setelah itu, apabila sudah dicapai kesepakatan tahap 1, RUU ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk diajukan kepada pemerintah.

“Kami berharap dalam dua masa sidang bisa selesai. Kuartal ketiga tahun ini. Nah segera setelah RUU EBET sudah diajukan dan diputuskan oleh paripurna sebagai RUU dari DPR. Setelahnya Komisi VII tinggal menunggu dari pemerintah untuk membahas RUU tersebut,” kata Eddy kepada Katadata.co.id, Senin (21/3).

 

 

 

Harga Minyak Dunia Tembus US$ 130/Barel, Bagaimana Nasib Subsidi?

Katadata.co.id; 09 Maret 2022

Mengacu harga Indonesian Crude Price (ICP) Februari 2022, membuat keekonomian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) turut mengalami perubahan.

Harga minyak mentah dunia terus melonjak ke level tertinggi dalam beberapa waktu terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, Rabu pagi (9/3) harga minyak jenis Brent tembus ke level US$ 130,23 per barel.

Kenaikan minyak mentah dunia tersebut, turut mengerek harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP). Pada Februari 2022, ICP tercatat tembus di angka 95,72 per barel. Dengan harga ICP tersebut, maka keekonomian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) pun turut mengalami perubahan.

Kondisi ini lantas membuat beban subsidi BBM dan LPG, serta kompensasi BBM di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN berpotensi membengkak.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, subsidi energi pada Januari 2022 membengkak menjadi Rp 10,2 triliun, level tersebut naik lebih dari empat kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Lonjakan harga minyak bulan lalu juga menyebabkan subsidi energi lebih besar dari realisasi Januari 2021, yang hanya Rp 2,3 triliun. Subsidi tersebut mencakup subsidi untuk BBM dan LPG tabung 3 kilogram (kg).

Kenaikan harga minyak dunia ini kemudian berpotensi membuat kondisi keuangan perusahaan migas pelat merah, yakni Pertamina babak belur. Pasalnya, hingga saat ini Pertamina belum menaikkan harga jual BBM jenis Pertamax, Pertalite dan Premium.

Sementara itu, perusahaan hanya menaikkan harga jual terhadap sejumlah produk seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Ketiga produk BBM umum tersebut mengalami kenaikan harga bervariasi berdasarkan masing-masing wilayah, di mana kenaikannya hingga Rp 1.000 per liter.

Pjs. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengatakan pihaknya hingga kini masih memonitor pergerakan harga minyak mentah di pasar internasional. “Terkait harga masih kami review,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (9/3).

Namun, jika dilihat dari harga minyak dunia saat ini, harga BBM jenis Pertamax, Pertalite dan Premium dinilai sudah tidak sesuai dengan harga keekonomian. Jika dibandingkan produk milik SPBU Shell misalnya, BBM jenis Shell Super (bensin RON 92) atau setara Pertamax harganya sudah terpaut jauh.

Untuk harga Pertamax (RON 92), Pertamina masih menjualnya seharga Rp 9.000 per liter, sementara untuk Shell Super sudah tembus ke harga Rp 12.990 per liter. “Itu bisa dilihat di operator sebelah,” kata Irto.

Di samping itu, kenaikan harga minyak dunia tidak meluputkan tugas perusahaan migas pelat merah untuk memasok BBM subsidi dan LPG subsidi ke seluruh wilayah di Indonesia. Alhasil, perusahaan juga terpaksa harus menanggung beban subsidi terlebih dahulu. Irto menilai, pembayaran subsidi dapat dilakukan setelah adanya verifikasi.

“Kalau subsidi akan dibayar setelah ada verifikasi dan kalau tersedia anggarannya tentu dibayarkan,” kata Irto. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan peningkatan harga minyak yang signifikan akibat perang Rusia-Ukraina, berpotensi memberikan tekanan terhadap kondisi fiskal, moneter dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Komaidi menilai, peningkatan harga tersebut menuntut pemerintah untuk menyiapkan formulasi kebijakan proporsional dalam meminimalkan dampak. Di samping itu, dia juga menegaskan pentingnya meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Kondisi tersebut juga menjadi momentum untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan EBT di dalam negeri.

Dengan posisi Indonesia sebagai net oil importer, dan porsi ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap migas yang cukup besar (51 %), Komaidi memandang kenaikan harga minyak akan semakin memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan migas nasional. Defisit neraca perdagangan migas yang ada akan semakin membesar.

Adapun perolehan tambahan devisa dari kenaikan harga, tidak akan mampu menutup tambahan devisa yang diperlukan untuk impor migas. Kebutuhan devisa untuk impor migas dengan asumsi harga minyak US$ 120 per barel dapat mencapai sekitar US$ 49,27 miliar, terdistribusi untuk impor minyak dan produk BBM sekitar US$ 44,04 miliar dan impor LPG sekitar US$ 5,23 miliar. “Kebutuhan devisa impor migas tersebut kurang lebih setara 35 % dari cadangan devisa Indonesia saat ini yang tercatat sekitar US$ 141 miliar,” katanya.

Komaidi menyadari setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, di satu sisi akan menambah penerimaan migas (Pajak & PNBP) pada APBN 2022 sekitar Rp 3 triliun. Namun di sisi lain kenaikan harga tersebut juga akan meningkatkan kebutuhan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi migas dalam jumlah yang lebih besar.

Kenaikan harga yang dipicu konflik geopolitik dan perang seperti saat ini menegaskan bahwa meskipun di dalam era transisi energi, security supply atau keamanan pasokan migas tetap menjadi isu utama yang tidak dapat diabaikan.

“Penyelesaian mendasar atas persoalan di atas adalah melalui peningkatan produksi migas nasional dan pengembangan EBT secara masif untuk mengurangi ketergantungan ekonomi energi Indonesia dari migas. Dua hal ini memerlukan landasan payung hukum yang kuat,” ujarnya.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah besar yang perlu segera dituntaskan adalah penyelesaian Revisi Undang-Undang Migas dan penyelesaian Undang-Undang Energi Baru Terbarukan sebagai payung hukum yang kuat. Khususnya, untuk mendorong kegiatan pengusahaan dan pengembangan migas.

Membedah Urgensi Penyelesaian Revisi UU Migas

Liputan6.com, 09 Maret 2022

Liputan6.com, Jakarta Pengamat energi Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan, penyelesaian revisi Undang-Undang Minyak dan gas (Migas) menjadi keharusan untuk memperbaiki kinerja sektor migas.

“UU Migas No.22/2001 memiliki persoalan fundamental baik dalam aspek konstitusional maupun aspek pengusahaan hingga tingkatan operasionalnya,” kata Komaidi dikutip dari Laporan ReforMiner Note, Rabu (9/3/2022).

Dari aspek konstitusional, revisi UU Migas No.22/2001 telah diamanatkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.002/PUUI/2003, Putusan MK No.20/PUU.V/2007, dan Putusan MK No.36/PUU.X/2012.

“Revisi UU Migas No.22/2001 merupakan inisiatif DPR yang dimulai sejak 2008 berdasarkan keputusan Panitia Hak Angket BBM. Proses revisi UU Migas No.22/2001 yang berlarut-larut tidak hanya dapat berdampak negatif pada kinerja sektor migas tetapi juga pada kredibilitas DPR,” ujarnya.

Menurutnya, revisi UU Migas No.22/2001 diperlukan untuk secara fundamental menyelesaikan permasalahan regulasi di sektor hulu migas. Putusan MK No.36/PUU.X/2012 yang membatalkan seluruh ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan kedudukan BP Migas menimbulkan lubang besar pada UU Migas No.22/2001 dan oleh karenanya mendesak untuk direvisi.

Selain itu, proses revisi UU Migas No.22/2001 yang tidak kunjung selesai memberikan sejumlah konsekuensi terhadap kegiatan usaha hulu migas, diantaranya menimbulkan ketidakpastian hukum; menimbulkan ketidakpastian fiskal; dan menyebabkan proses birokrasi/ izin menjadi rumit.