RUPTL dan Komitmen Pengembangan Panas Bumi Nasional

Dunia Energi, 27 Oktober 2021

RENCANA Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menggambarkan bahwa pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sedang mendapatkan momentum. Dengan porsi target pembangunan pembangkit EBT yang ditetapkan sekitar 51,6 %, sampai dengan saat ini RUPTL 2021-2030 tercatat sebagai rencana sektor kelistrikan yang paling hijau.

Hadirnya RUPTL 2021-2030 tersebut memberikan harapan bahwa pengembangan EBT yang selama ini disebutkan lebih banyak terkendala pada masalah keekonomian proyek akan segera mendapatkan solusi. Dalam historisnya, pengembangan EBT seringkali terkendala pada tidak bertemunya kepentingan pengembang dan PLN sebagai pembeli.

Pengembang EBT menghendaki agar PLN membeli pada harga keekonomian, sementara PLN dihadapkan pada kondisi bahwa mereka harus menjaga BPP Listrik Nasional pada besaran tertentu. BPP tersebut perlu dijaga karena merupakan basis di dalam menetapkan alokasi subsidi listrik yang telah disepakati di dalam APBN.

Meskipun positif untuk pengembangan EBT, saya menilai RUPTL 2021-2030 belum mencerminkan adanya komitmen yang kuat dalam mengembangkan dan memanfaatkan panas bumi. Dalam RUPTL 2021-2030 justru target pengembangan listrik panas bumi ditetapkan lebih rendah dibandingkan RUPTL periode sebelumnya. Padahal dengan potensi yang disebutkan mencapai 29.544 MW, sumber daya panas bumi Indonesia tercatat sebagai yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Terkait potensinya tersebut, industri panas bumi sebenarnya merupakan salah satu yang dapat mengakomodasi pemenuhan target bauran energi yang ditetapkan pemerintah. Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diatur dalam Perpres No.22/2017, pemerintah menetapkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional minimal 23 persen pada 2025 dan minimal 31 persen pada tahun 2050.

Meskipun memiliki potensi yang besar, perkembangan industri panas bumi dalam negeri dapat dikatakan relatif belum cukup menggembirakan. Secara historis, pengusahaan panas bumi Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1983 yang ditandai dengan beroperasinya PLTP Kamojang Unit 1 dengan kapasitas 30 MW.

Kendati telah diusahakan sekitar 37 tahun, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indonesia komulatif sampai saat ini baru sekitar 2.439 MW. Artinya, sampai dengan saat ini Indonesia rata-rata hanya menghasilkan kapasitas PLTP sekitar 57 MW untuk setiap tahunnya. Sementara di sisi yang lain, selama lima tahun terakhir kapasitas pembangkit listrik yang menggunakan batubara (PLTU) yang dihasilkan Indonesia rata-rata bertambah sekitar 2.000 MW untuk setiap tahunnya.

Berdasarkan review, belum berkembangnya industri panas bumi di dalam negeri karena terdapat sejumlah kendala. Beberapa diantaranya adalah karena (1) sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN; (2) kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil; (3) jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas; (4) izin bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, (5) risiko tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas; dan (6) masih banyak izin yang harus dipenuhi setelah IUP pengusahaan panas bumi terbit.

Dari sejumlah kendala yang ada tersebut, titik temu dalam jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN yang sulit merupakan penyebab utama pengembangan panas bumi di dalam negeri relatif lambat. Dalam hal ini agar dapat berjalan pengembang mengharapkan harga jual uap dan/atau listrik panas bumi sesuai keekonomian proyek. Sementara PLN yang harus mengupayakan BPP tenaga listrik seefisien mungkin untuk tetap berada pada batasan dan tidak melampaui alokasi anggaran subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN relatif kesulitan memenuhi permintaan pengembang panas bumi tersebut.

Terkait permasalahan yang ada tersebut, jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN tidak dapat sepenuhnya diserahkan melalui mekanisme business to business. Dengan objective melakukan efisiensi BPP, secara logis PLN akan memilih sumber pasokan listrik yang lebih murah dan dapat dipastikan bukan dari panas bumi. Sementara bagi pengembang, tidak dapat pula menjual listrik pada harga yang dapat diterima PLN ketika harga tersebut masih di bawah nilai keekonomian proyek panas bumi itu sendiri.

Berdasarkan pencermatan, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai harga jual-beli listrik panas bumi. Beberapa diantaranya adalah Permen ESDM No.02/2011, Permen ESDM No.17/2014, Permen ESDM No.12/2017, Permen ESDM No.43/2017, Permen ESDM No.50/2017, dan Permen ESDM No.53/2018. Meskipun menggunakan formulasi yang berbeda, secara prinsip harga jual-beli listrik panas bumi yang diatur dalam sejumlah regulasi tersebut menggunakan kebijakan yang sama yaitu ceiling price atau harga patokan tertinggi.

Dalam Permen ESDM No.50/2017 jo Permen ESDM No.53/2018 ditetapkan dua mekanisme harga. Pertama, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat. Kedua, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Berdasarkan ketentuan regulasi tersebut, peluang industri panas bumi untuk dapat berkembang akan semakin kecil. Regulasi tersebut memberikan batasan bahwa harga pembelian listrik panas bumi yang dapat dilakukan PLN tidak boleh melebihi rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan. Sementara peluang harga jual listrik panas bumi lebih tinggi dari rata-rata BPP di sistem ketenagalistrikan setempat cukup besar. Apalagi jika pada wilayah tersebut terdapat banyak pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai energi primer pembangkitannya.

Peluang bahwa harga jual listrik panas bumi dapat lebih rendah dari rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan memang masih terbuka. Terutama pada wilayah-wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan yang umumnya masih di luar jangkauan sistem kelistrikan utama. Akan tetapi, pada wilayah tersebut umumnya dihadapkan pada masalah permintaan tenaga listrik yang relatif rendah yang mana akan berdampak terhadap keekonomian proyek panas bumi yang akan diusahakan.

Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pengusahaan dan pengembangan panas bumi domestik mutlak memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Untuk kondisi saat ini pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional akan sulit berjalan jika hanya diserahkan pada menakisme business to business. Diantara pilihan yang tersedia untuk meningkatkan pengusahaan dan pengembangan industri panas bumi adalah pemerintah memberikan subsidi kepada PLN agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan keekonomian proyek panas bumi. Atau memberikan sejumlah insentif investasi dan perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN. (*)

Pasokan Energi Bersih Perlu Keseimbangan

Kompas.com; 15 Oktober 2021

Kekayaan energi terbarukan di Indonesia, baik hidro, bayu, surya, maupun panas bumi, harus terus dioptimalkan. Namun, pemanfaatannya mesti terukur dan seimbang.

JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan memerlukan keseimbangan dalam aspek pasokan dan permintaan, keekonomian, serta tak mengabaikan pengembangan minyak dan gas bumi. Masalah perizinan yang berbelit, insentif fiskal, dan  intermitensi membutuhkan solusi yang tepat.

Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, pemerintah memberikan porsi lebih besar pada sumber energi terbarukan. Dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik 40.600 megawatt (MW) sampai 2030, porsi energi terbarukan sebanyak 51,6 persen dari jenis hidro, bayu, surya, panas bumi, dan biomassa. Sisanya berasal dari sumber energi fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Namun, pengembangannya harus seimbang serta tidak meniadakan pengembangan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi. Indonesia belum sepenuhnya bisa lepas dari ketergantungan terhadap energi fosil.

”Keseimbangan keekonomian pengembangan energi terbarukan perlu diperhatikan. Dari aspek fiskal, perlu intervensi negara, seperti dalam bentuk subsidi. Penyebabnya, dalam beberapa kasus, harga listrik dari energi terbarukan masih mahal,” kata Komaidi, Minggu (24/10/2021), di Jakarta.

Optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Namun, pengembangannya harus seimbang serta tidak meniadakan pengembangan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi.”

Dari bauran energi nasional saat ini, kata Komaidi, peran energi fosil masih 85 persen. Indonesia juga masih berstatus negara pengimpor bersih (net importer) minyak. Meski demikian, potensi energi terbarukan tetap harus dikembangkan seoptimal mungkin.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana dalam telekonferensi pers, akhir pekan lalu, menyampaikan, sampai triwulan III- 2021, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 11 persen. Pada 2025, Indonesia menargetkan peran energi baru dan terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi.

”Penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan sebesar 376 MW dari target 854 MW,” ujar Dadan.

Untuk mempercepat capaian target 23 persen tersebut, imbuh Dadan, pembangkit listrik energi terbarukan terus dikembangkan. Pemerintah juga menempuh strategi substitusi bahan bakar fosil ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Strategi itu antara lain metode co-firing (pencampuran bahan bakar batubara dengan biomassa) pada pembangkit listrik tenaga uap dan pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit.

 ”Kami berusaha membantu menyelesaikan hambatan-hambatan terkait pengembangan energi terbarukan di lapangan, seperti masalah di pendanaan, perizinan, atau konstruksi,” ucap Dadan.
“Pemerintah juga menempuh strategi substitusi bahan bakar fosil ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Strategi itu antara lain metode co-firing (pencampuran bahan bakar batubara dengan biomassa) pada pembangkit listrik tenaga uap dan pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit.”

Keandalan pasokan

Dari pantauan di lapangan, di wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), warga mengandalkan pasokan listrik dari tenaga surya atau bayu. Di Pulau Papagarang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sekitar 1.500 penduduk Desa Papagarang bergantung pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 380 kilowatt peak (kWp).

”Saat musim hujan ketika matahari tidak bersinar penuh dilakukan pemadaman bergilir karena daya listrik yang disimpan dalam baterai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik semua warga,” kata Basir, Kepala Desa Papagarang.

Situasi yang sama terjadi di PLTS Oelpuah di Kupang, NTT. PLTS dengan kapasitas 5 megawatt peak yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Januari 2016 ini memiliki sekitar 22.000 modul panel surya. Modul itu memiliki kemampuan menangkap cahaya pada suhu tertentu. Jika suhu melebihi batas normal, alat akan rusak secara perlahan.

”Saat cuaca mendung, hujan, atau awan menutup sinar matahari, daya listrik langsung anjlok dalam hitungan detik,” kata operator dan teknisi di PLTS Oelpuah, Mateus Manggo.

Sementara itu, pada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, yang berkapasitas 75 MW di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, faktor cuaca turut memengaruhi besaran produksi tenaga listrik. PLTB Sidrap kerap menghadapi musim angin kencang dan angin lemah. Biasanya musim angin kencang terjadi pada Mei sampai Oktober. Puncaknya terjadi pada Juli hingga September.

”Pada masa pergantian musim, angin bertiup lemah. Jika kecepatan angin tak sampai tiga meter per detik, turbin belum berputar. Di sini, rata-rata kecepatan angin 10-12 meter per detik. Kalau sedang bagus, kecepatan angin mencapai 12-20 meter per detik,” kata Manajer Operasi PLTB Sidrap Pribadhi Satriawan.

Terkait intermitensi pembangkit listrik dari energi terbarukan, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, dilema pemanfaatan sumber energi terbarukan sejauh ini adalah sifatnya yang intermiten. Belum semua pembangkit listrik energi terbarukan mampu beroperasi 24 jam.

Akibatnya, diperlukan pasokan dari jenis energi lain atau penyimpan daya listrik (baterai). ”Ongkos baterai yang digunakan untuk menyimpan energi masih tinggi, sekitar 30 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Apabila ada teknologi baterai baru dan biayanya lebih rendah, hal itu akan membantu. Meski pembangkit listrik dialihkan ke energi terbarukan, permintaan konsumen terhadap listrik tetap dan mungkin malah naik,” ucap Darmawan (Kompas, 22/10/2021).

Pemerintah telah menetapkan target emisi nol karbon pada 2060. Berbagai insentif fiskal disiapkan, termasuk penyusunan regulasi tarif jual beli tenaga listrik dari sumber energi terbarukan.

Tanpa DMO Batu Bara, Industri Semen sampai Tekstil Terancam Kolaps

Media Indonesia, 21 Oktober 2021

PELAKU industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi akibat melambungnya harga batu bara. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah belum juga mengambil kebijakan menyelamatkan industri dalam negeri, justru terkesan membiarkan kondisi ini.

Hal itu tentu sangat mengkhawatirkan mengingat jika pemerintah tidak segera turun tangan dampak bagi industri dalam negeri sangat besar. Selain akan menaikkan harga jual produk, kondisi ini bisa berujung pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena biaya energi yang membengkak.

“Industri pupuk kemudian semen, petrokimia, tekstil merupakan industri-industri yang memang padat energi. Jadi, kalau energinya naik dua kali lipat, ya bisa dibayangkan. Kalau misalnya porsi untuk biaya energi 30%, kalau naik dua kali lipat kan lumayan itu. Ke harga produknya lumayan juga,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya, Kamis (21/10).

Selama ini, kebijakan capping harga batu bara domestic market obligation (DMO) yang sebesar US$70 per metrik ton hanya untuk sektor kelistrikan umum atau PLN. Akibatnya, saat harga batu bara global melambung seperti sekarang, banyak industri dalam negeri yang selama ini menggunakan batu bara seperti industri semen, petrokimia, tekstil, mengalami kesulitan. Pasalnya, harga batu bara DMO yang mereka beli dari penambang dalam negeri tetap mengacu pada harga global.

Apalagi, selama ini mayoritas batu bara Indonesia digunakan untuk ekspor. Tahun ini, dari target produksi 625 juta ton, yang terserap pasar domestik maksimal hanya sekitar 150 juta ton. Artinya, masih ada 450 juta ton lebih yang diekspor. “Jadi, cukuplah dapat untung dari yang 450 juta ton. Sisanya untuk domestik agar daya saing industri dalam negeri lebih bagus,” tandasnya.

Karena itu, kata Komaidi, untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap harga jual batu bara untuk industri nonkelistrikan umum. Kebijakan tersebut setidaknya berlaku selama harga batu bara yang saat ini sedang melambung tinggi.

Komaidi menegaskan, jika harga produknya naik, sudah pasti akan menurunkan daya saing industri. Kalau daya saing turun, pendapatannya pasti juga turun. Kalau turun, dampaknya nanti ke pemerintah juga. Pendapatan pajak dan nonpajaknya turun juga. “Hal yang sangat dikhawatirkan kalau harga produk naik dan daya saing lemah akan membuat perusahaan mengurangi modal kerja. Itu tentu ada impact ke pengurangan tenaga kerja. Itu yang tidak kita harapkan,” tandasnya.

Terkait capping harga, Komaidi mengatakan kalau pun tidak sama dengan PLN di level US$70 per metrik ton, bisa lebih tinggi misalnya US$80 per ton. “Poinya, industri nonkelistrikan umum perlu diberi harga DMO. Apakah sama dengan PLN atau tidak, tergantung pertimbangan pemerintah di dalam memberikan fasilitas tersebut,” ujarnya.

Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna. “Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.

Sebagai salah satu industri yang cukup besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya. Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30%-35%. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25%-30% karena harga batu bara yang melambung.

Ini diperparah dengan terkendalanya pasokan batu bara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen. “Bayangkan saja, stok batu bara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada produksi dan volume produksi semen terganggu,” ujarnya.

Di sisi lain, Widodo mengingatkan pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional. “Ini perlu pertimbangan pemerintah, karena bila harga semen naik, dampaknya akan ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industri dalam negeri, serta proyek-proyek strategis nasional,” pungkasnya.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi. Peristiwa cukup mencengangkan dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita. “Ada dua pabrik yang mematikan pembangkit listriknya. Sedangkan enam pabrik lagi mengurangi kapasitas pembangkitnya. Semua ada di Tangerang, Karawang, dan Purwakarta. Kondisi ini akan semakin parah jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait DMO batu bara,” ujarnya.

Untuk pabrik yang mematikan pembangkit listriknya, kini beralih ke PLN. Menurut Redma, langkah ini mau tidak mau dilakukan banyak pabrik tekstil karena harga batu bara sudah terlampau tinggi. Harga batu bara yang berada di atas US$170 per metrik ton telah membuat industri tekstil pusing karena biaya produksi meningkat. Selama ini, bagi produsen serat dan benang filamen, kebutuhan batu bara bukan hanya digunakan sebagai sumber energi, tetapi juga bahan baku dari gasifikasi batu bara.

Karena itu, ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri TPT dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar. “Yang pasti kita terkena dua kali pukulan, yakni cost energi dan harga bahan baku akibat harga batu bara juga,” ujar Redma. (OL-14)

Harga minyak mentah merangkak naik, harga BBM bakal naik?

Kontan.co.id; 19 Oktober 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga minyak mentah berpotensi mendorong penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh badan usaha. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan kebijakan harga BBM nonsubsidi seharusnya menjadi domain dari badan usaha.

Selain itu, kenaikan harga minyak mentah dinilai turut mendorong kenaikan harga atau biaya perolehan badan usaha. “Jika memang harga perolehan naik seharusnya disesuaikan. (Kenaikan harga minyak) pasti mendorong harga perolehan naik,” kata Komaidi kepada Kontan, Selasa (19/10).

Sekedar informasi, harga perolehan merupakan harga rata-rata yang digunakan badan usaha dalam mengadakan atau menyediakan BBM. Ada badan usaha yang mengolah minyak dari produksi dalam negeri, ada yang mengolah dengan menggunakan minyak impor serta ada juga yang mengimpor BBM jadi dan setengah jadi.

Formula harga yang kini digunakan merujuk pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.

Dalam Lampiran, dinyatakan bahwa formula harga dasar dalam perhitungan Harga Jual Eceran jenis Bahan Bakar Minyak Umum jenis Bensin dan Minyak Solar yang disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan dengan harga tertinggi, ditentukan berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin sebagai berikut:

Untuk jenis bensin di bawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48 dengan rumus sebagai berikut: Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus + Rp 1.800/liter + Margin (10% dari harga dasar).

Untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98 dan jenis Minyak Solar CN 51 ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: MOPS atau Argus + Rp 2.000/liter + Margin (10% dari harga dasar).

Dikonfirmasi terpisah, Corporate Communications Shell Indonesia Edit Wahyuningtyas belum bisa berbicara lebih jauh soal rencana penyesuaian harga BBM Shell ke depannya. Yang terang, Shell baru saja melakukan penyesuaian harga di awal Oktober lalu.

“Penyesuaian harga terakhir kita update 1 Oktober,” kata Edit kepada Kontan, Selasa (19/10).

Mengutip laman resmi Shell, justru tercatat terjadi penurunan harga untuk beberapa produk BBM Shell dalam penyesuaian terakhir kali lalu.

Per 1 Oktober Shell menetapkan harga Shell Super sebesar Rp 11.550 per liter untuk wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Harga ini turun dibandingkan dengan harga sebelumnya yang rata-rata sebesar Rp 11.570 per liter.

Sementara untuk Jawa Timur sebesar Rp 10.850 per liter dan Sumatera Utara sebesar Rp 10.810 per liter.

PENINGKATAN HARGA MINYAK TIDAK MENGUNTUNGKAN BAGI INDONESIA

Bisnisindonesia.id; 18 Oktober 2021

JAKARTA — Penguatan harga minyak yang terus berlanjut dinilai akan makin memberatkan Indonesia. Kondisi itu akan makin diperberat dengan kondisi meningkatnya konsumsi di dalam negeri akibat mulai membaiknya kegiatan ekonomi.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (18/10/2021) harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak November 2021 telah meningkat 0,96 persen menjadi US$83,07 per barel, sedangkan minyak mentah Brent mengalami peningkatan 0,53 persen menjadi US$85,31 per barel.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan  bahwa kenaikan harga minyak merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia masih membutuhkan impor dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Kondisi kita sudah net-importer sehingga ketika harga naik pasti cenderung memberatkan,” katanya kepada Bisnis, Senin (18/10/2021).

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di Indonesia, sebagian besar masih mengandalkan dari impor, kecuali untuk jenis Solar. Beban pemerintah untuk memberi subsidi bahan bakar pun akan meningkat seiring dengan naiknya harga minyak dunia.

Untuk Solar, pemerintah menetapkan mekanisme subsidi yang tetap untuk setiap liter yang disalurkan. Namun, untuk minyak tanah dan liquefied petroleum gas (LPG), subsidi yang dikeluarkan pemerintah akan mengikuti perkembangan harga minyak dunia.

“Untuk minyak tanah dan LPG berdampak,” jelasnya.

Komaidi juga menjelaskan, kondisi berat lainnya yang perlu dihadapi pemerintah adalah meningkatnya permintaan bahan bakar di dalam negeri karena aktivitas masyarakat yang mulai pulih setelah penerapan pembatasan kegiatan oleh pemerintah.

Meningkatnya permintaan masyarakat perlu direspons dengan mengamankan pasokan agar tidak terjadi kelangkaan di sejumlah daerah. Untuk itu, impor minyak Indonesia diprediksi akan meningkat pada saat yang bersamaan dengan harga minyak tengah tinggi.

“Kalau Solar ini sebenarnya bisa dari CPO dengan mengimplementasikan B30 atau lebih, harusnya bisa aman dimaksimalkan dulu, sisanya baru impor,” jelasnya.

TEMBUS US$72/BAREL

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan harga minyak mentah  Indonesia di pasar dunia mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada September 2021.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan bahwa harga minyak mentah itu naik dari US$67,80 per barel pada Agustus menjadi US$72,20 per barel pada September 2021.

“Atau kalau kita hitung secara month to month naiknya mencapai 6,49 persen,” kata Margo melalui keterangan pers daring, Jumat (15/10/2021).

Di sisi lain, tren harga minyak mentah dalam negeri itu juga terlihat mengalami kenaikan yang signifikan secara tahunan yakni sebesar 92,89 persen.

“Kalau kita hitung dibandingkan dengan tahun lalu meningkatnya cukup tajam 92,89 persen,” kata dia.

Harga LNG yang melambung jadi peluang bagi Indonesia

Kontan.co.id; 14 Oktober 2021

Krisis energi yang terjadi di Eropa dan sejumlah wilayah lainnya berdampak pada kenaikan harga gas alam cair Liquefied natural gas (LNG) di wilayah Asia Pasifik.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga komoditas LNG hampir serupa dengan batubara. Keduanya berpotensi memberi keuntungan bagi Indonesia.

Selain itu, kebutuhan LNG dalam negeri pun relatif bisa terpenuhi dari kemampuan produksi saat ini.  “Sehingga ada yang bisa dimanfaatkan untuk memperoleh devisa,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (13/10).

Menurut Komaidi, di tengah kondisi harga yang melonjak, kebutuhan domestik harus tetap jadi prioritas. Jika kebutuhan domestik telah mencukupi maka sisanya dimungkinkan untuk diarahkan ke pasar ekspor.

Komaidi melanjutkan, ada sejumlah skema kontrak yang umumnya berlaku untuk LNG.  “Ada yang sudah terkunci dan ada yang masih diindekskan pada harga tertentu,” kata Komaidi.

Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sukses menjual 4 uncommited cargo dari Kilang Bontang ke pasar spot dengan harga cukup tinggi.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan, penjualan 4 uncommited cargo ini dilakukan pada September 2021 dan mendorong peningkatan penerimaan. “Dengan rata-rata harga lebih dari US$ 27 per MMBTU, dengan estimasi penerimaan sekitar US$ 250 juta,” kata Arief kepada Kontan.co.id, Selasa (12/10).

Di sisi lain, hingga kuartal III 2021 total produksi LNG mencapai 149,5 standar kargo. Perolehn ini turun tipis 3,85% year on year (yoy) dari produksi periode sama ditahun sebelumnya yang sebesar 155,5 standar kargo.

Kata Arief, dari 149,5 standar kargo produksi pada sembilan bulan pertama, sebanyak 105,6 standar kargo diperuntukan untuk pasar ekspor. Sementara sisanya sebanyak 43,9 standar kargo dialokasikan untuk pembeli domestik. “Untuk domestik, sebanyak 42,3 standar kargo (sekitar 96%) untuk kelistrikan,” terang Arief.

Sementara sisanya sekitar 1,6 standar kargo digunakan sektor industri termasuk pabrik pupuk.