Biaya dan Manfaat Produksi Listrik Tanpa Batu Bara

Katadata.co,id; 28 Desember 2020

Oleh: Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute)

Upaya pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) sedang memperoleh momentum. Presiden Cina Xi Jinping menargetkan emisi karbon untuk negara mereka menjadi nol pada 2060 mendatang. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Joe Biden akan kembali bergabung pada Paris Agreement. Sementara Tesla sebagai salah satu korporasi yang menggunakan energi bersih dikabarkan akan menjadi bagian dari S&P 500 Indeks dengan salah satu kapitalisasi terbesar.

Batu bara sebagai salah satu energi fosil yang dinilai paling kotor, umumnya akan menjadi yang pertama ditinggalkan ketika pengembangan dan pemanfaatan EBT memperoleh momentum. Upaya untuk meninggalkan batu bara sebagai sumber energi tampak tidak hanya berasal dari para penggiat sektor energi. Bahkan The Economist untuk publikasi awal Desember 2020 secara khusus memilih tema Making Coal History.

Produksi Listrik Tanpa Batubara

Indonesia perlu serius mencermati dan mengantisipasi tren global yang akan meninggalkan batu bara sebagai sumber energi. Selain harus siap kehilangan salah satu sumber devisa utama, Indonesia juga mesti siap dengan biaya penyediaan dan pengadaan listrik yang berpotensi lebih mahal. Termasuk dalam hal ini perlu serius dan siap di dalam memitigasi dampak ikutannya.

Publikasi Statistik PLN 2019 melaporkan produksi listrik Indonesia pada 2019 sebesar 270.975 GWh. Dari jumlah tersebut, 174.493 GWh atau 64,39 % di antaranya diproduksi dari batu bara. Rata-rata biaya pembangkitan listrik pada tahun lalu dilaporkan Rp 2.999,73 per kWh. Berdasarkan jenis pembangkitnya, biaya pembangkitan terdistribusi PLTA Rp 559,71 per kWh, PLTU Rp 653,12, PLTD 3.308,26, PLTG 2.570,03, PLTP 1.191,25, PLTGU Rp 1.357,75, dan PLTS Rp 11.317,73.

Berdasarkan data dan informasi yang ada tersebut, simulasi ReforMiner Institute menemukan bahwa biaya pembangkitan listrik di Indonesia hampir dapat dipastikan akan meningkat ketika tidak lagi menggunakan batu bara (ceteris paribus). Satu-satunya peluang untuk menjaga agar biaya pembangkitan listrik tidak meningkat adalah dengan mengganti penggunaan batu bara dengan PLTA yang notabene juga akan sulit untuk dilakukan.

Simulasi ReforMiner Institute menemukan, jika seluruh batu bara dalam pembangkitan listrik digantikan gas, rata-rata biaya pembangkitan listrik akan meningkat menjadi sekitar Rp 4.234 per kWh atau meningkat 41,15 %. Jika penggunaannya digantikan dengan pemanfaatan panas bumi, rata-rata biaya pembangkitan listrik akan meningkat menjadi Rp 3.346 per kWh atau bertambah 11,55 %. Sedangkan jika pemakaian batu bara digantikan PLTS, rata-rata biaya pembangkitan listrik akan meningkat menjadi Rp 9.867 per kWh atau membengkak 228,94 %.

Bagi perekonomian Indonesia, dampak dari meningkatnya biaya pembangkitan listrik tersebut tidak sederhana mengingat saat ini sekitar 70 % PDB Indonesia dikontribusikan oleh sektor ekonomi yang padat listrik. Sebagai contoh industri pengolahan, perdagangan, informasi dan komunikasi, keuangan dan asuransi, dan sektor jasa-jasa. Berdasarkan kondisi tersebut, meningkatnya biaya pembangkitan listrik akan meningkatkan biaya produksi dari sektor-sektor ekonomi yang memberikan kontribusi sekitar 70 % dalam pembentukan PDB Indonesia.

Potensi meningkatnya biaya produksi sektor-sektor ekonomi akibat biaya pembangkitan listrik tersebut tentu tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang meningkatkan daya saing industri nasional. Sebagaimana telah diketahui, melalui Perpres No.40/2016 pemerintah berupaya meningkatkan daya saing industri nasional melalui penurunan harga gas untuk sektor industri yang sampai saat ini tampak masih terus diupayakan.

Tidak hanya biaya listrik yang meningkat, risiko lain yang penting diantisipasi pengambil kebijakan yakni nilai tambah ekonomi. Keterkaitan antar-sektor, baik forward linkage maupun backward linkage, dari sektor batu bara dengan sektor-sektor ekonomi yang lain juga berpotensi hilang.

Beberapa hal yang sebelumnya tercipta dari keterkaitan ekonomi sektor batu bara yang berpotensi hilang dalam pembangkitan listrik di antaranya yaitu penyerapan tenaga kerja, penerimaan pajak dan PNBP, dan pertumbuhan ekonomi baik untuk daerah penghasil maupun pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam beberapa kondisi, aspek lingkungan dan ekonomi relatif tidak sejalan dan sulit untuk dicapai secara bersamaan. Seringkali pengambil kebijakan dihadapkan pada kondisi yang harus memilih satu di antara keduanya.

Meskipun tidak menjadi formulasi yang baku, tampak terdapat formula bahwa jika pengambil kebijakan mengedepankan aspek lingkungan maka secara tidak langsung akan mengorbankan aspek lingkungan dan sebaliknya. Sebagai contoh, untuk memenuhi baku mutu emisi pembangkitan yang ditetapkan Peraturan Menteri LKH No P.15/2019 saja akan menambah Biaya Pokok Produksi (BPP) PLTU eksisting sekitar Rp 105 per kWh atau setara dengan tambahan beban subsidi listrik sekitar Rp 12 triliun per tahun.

Berdasarkan kondisi tersebut, pengurangan dan/atau penghilangan batu bara dalam kegiatan pembangkitan listrik di Indonesia berpotensi memberikan biaya dan manfaat. Pada satu sisi, kebijakan tersebut bermanfaat pada kualitas lingkungan hidup yang lebih baik. Di sisi lain, ada potensi peningkatan biaya pembangkitan listrik yang akan ditransmisikan pada biaya produksi dari sebagian besar sektor-sektor ekonomi di Indonesia. Dampak selanjutnya, daya beli masyarakat berpotensi berkurang akibat meningkatnya harga barang dan jasa secara simultan.

Mencermati kondisi tersebut, saya menilai mengikuti tren global yang mengarah pada pemanfaatan EBT dalam beberapa waktu terakhir adalah positif. Akan tetapi yang lebih penting dan substansial dari semua itu adalah kesiapan semua, terutama pengambil kebijakan, dalam mengantisipasi risiko dari perubahan tren global tersebut.

Dalam konteks rencana pengurangan dan/atau penghilangan batu bara dalam pembangkitan listrik, yang lebih penting apakah Indonesia sudah siap termasuk dalam upaya memitigasi dan meminimalkan risikonya. Kita semua telah sama-sama tahu bahwa biaya penyediaan listrik dari EBT lebih mahal dari listrik yang diproduksikan dengan batu bara. Pilihan yang tersedia yakni menyerahkan pada mekanisme bisnis dan membiarkan konsumen membayar harga listrik lebih mahal. Atau, menerbitkan kebijakan yang dapat mendorong harga listrik EBT lebih kompetitif agar konsumen tetap dapat memperoleh tenaga listrik dengan harga yang terjangkau. Semua pilihan tentu akan berpulang pada pengambil kebijakan, sementara masyarakat sebagai konsumen relatif tidak memiliki pilihan.

Tak Surut Karena Pandemi, Medco (MEDC) tetap Gencar Ekspansi Sektor Energi

Kontan.co.id; 20 Desember 2020

JAKARTA. Pandemi covid-19 tak menyurutkan langkah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) untuk gencar melakukan ekspansi. Sejumlah strategi telah MEDC siapkan dalam mengembangkan bisnisnya di industri minyak dan gas bumi (migas), pertambangan, hingga transisi energi melalui ketenagalistrikan.

Direktur Utama MedcoEnergi Hilmi Panigoro menerangkan, di bisnis migas, peluang untuk ekspansi masih sangat potensial. Hal itu ditandai dengan permintaan migas yang masih tinggi dan prospeknya yang tetap bertumbuh, terutama untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.

“Oleh karena itu lah peran perusahaan migas masih sangat diperlukan. Di migas, kita masih tetap akan agresif untuk melakukan ekspansi, baik akusisi maupun eksplorasi,” ujar Hilmi dalam media gathering yang digelar secara daring, Selasa (8/12).

Meski begitu, Hilmi tak menutup mata bahwa kondisi industri migas pada tahun 2021 bisa jadi masih tetap menantang seperti tahun ini. Oleh sebab itu, MEDC akan terus menjaga struktur biaya yang efisien. Sehingga, bisnis akan tetap kompetitif dan mencetak margin positif.

Misalkan nanti kondisi 2021 belum kondusif, sambung Hilmi, pihaknya tetap akan mengejar akuisisi jika aset yang dibidik memiliki harga yang menarik dan mampu memperkuat struktur modal MEDC. “Jadi di satu sisi kita menjaga biaya, disiplin capex, tapi kemampuan untuk ekspansi tidak kita rem. Selama opportunity dan aset itu bisa memberikan nilai tambah bagi Medco secara keseluruhan,” ujarnya.

Meski masih menjadi tumpuan utama, namun pengembangan bisnis MEDC tak hanya sebatas di komoditas migas. Di sektor pertambangan mineral, MEDC secara optimal mengembangkan tambang tembaga dan emas.

Lewat PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), Hilmi menyampaikan bahwa MEDC menjadi pemain tambang tembaga dan emas terbesar kedua di Indonesia. Kata Hilmi, AMNT akan terus dikembangkan menjadi produsen tembaga yang efisien dan terintegrasi kelas dunia.

“Dengan operasi di fase 7 sekarang, dan berikutnya akan kita develop di masa mendatang, diharapkan kita masih akan tetap menjadi salah satu produsen kunci untuk emas maupun copper di Indonesia maupun secara internasional,” terang Hilmi.

Apalagi, saat ini kinerja AMNT pun terpoles dengan naiknya harga tembaga dan emas. Produksi di fase 7 pun mulai meningkat sejak April 2020. Hilmi memproyeksikan produksinya akan terus menanjak pada tahun 2022. “InsyaAllah akhir 2022, 2023 dan 2024 kita akan mencapai peak-nya. Pada saat itu lah kami harapkan bisa meraih buah dari pengembangan fase 7. Dan akan diteruskan dengan pengembangan berikutnya,” imbuhnya.

Selanjutnya, AMNT pun akan mengembangkan berbagai sumber daya dan prospek, termasuk deposit tembaga dan emas di porfiri Elang. Hilmi meyakini, kinerja AMNT akan cerah seiring dengan permintaan jangka panjang untuk tembaga yang didorong oleh transisi energi dan elektrifikasi.

Lalu, berkaitan dengan transisi energi dan elektrifikasi, MEDC telah menyiapkan PT Medco Power Indonesia (MPI) untuk menggenjot transisi ke energi bersih. Ke depan, kata Hilmi, energi yang sampai kepada konsumen akan banyak dalam bentuk listrik, termasuk untuk kendaraan pribadi dan transportasi publik.

“Listrik ini adalah energi masa depan. Kita harus make sure, bauran renewable lebih besar. Walaupun itu akan berjalan secara bertahap. Kita fokuskan Medco Power ini di clean energy,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Direktur Utama PT Medco Power Indonesia, Eka Satria, membeberkan empat pilar bisnis MPI, yakni gas to power, geothermal, renewables dan jasa operasi dan pemeliharaan (O&M). Untuk mendorong transisi energi, MPI akan mengusung dekarbonisasi, gas sebagai transisi, elektrifikasi, penyimpanan energi (storage), digitalisasi dan desentralisasi.

Saat ini MPI mengelola dan mengoperasikan sekitar 3.800 Megawatt (MW) baik sebagai pembangkit IPP maupun O&M. Eka optimistis peningkatan kapasitas menjadi 5.000 MW dalam lima tahun ke depan bisa terwujud, seiring dengan gencarnya MPI dalam menggarap pembangkit berbasis EBT.

MPI pun akan fokus mengembangkan enam jenis energi bersih. Yakni gas/LNG to power, panas bumi, energi surya, energi hydro dan mini hydro, energi angin, hingga masuk ke eksosistem kendaraan listrik alias Electric Vehicle (EV) Ecosystem. “Pilar ekonomi dan kehidupan adalah listrik. Kami percaya setelah covid-19 berakhir, pertumbuhan listrik akan kembali naik dan permintaan ke depan akan bersifat clean. Kami berfokus di portofolio energi bersih dan terbarukan,” kata Eka.

MPI juga fokus terhadap transisi energi dengan pengembangan listrik berbasis LNG/gas. Menurut Eka, gas merupakan energi bersih yang memegang peranan penting bagi transisi listrik berbasis energi fosil menjadi energi terbarukan.

MPI pun telah menggandeng Kansai Electric Power dalam pengembangan pembangkit berbasis gas serta untuk jasa O&M.  Saat ini ada sejumlah pembangkit berbasis gas yang digarap MPI, serta beberapa proyek yang tengah dijajaki. “Ada beberapa proyek yang saat ini kami sedang studi. Kalau sukses, Kami akan punya value chain untuk LNG to power di Indonesia tengah dan timur,” imbuh Eka.

Ikut Menyokong Program Pemerintah

Tak hanya menyangkut pengembangan usaha, ekspansi perusahaan energi juga bisa sekaligus mendorong program pemerintah. Dalam hal pengembangan bisnis migas, misalnya, Hilmi Panigoro menyampaikan bahwa aktivitas eksplorasi sangat penting, terutama untuk mendorong realisasi target produksi siap jual (lifting) minyak 1 juta barel pada 2030.

Untuk mendukung target tersebut, Hilmi menyebut ada empat strategi yang perlu dilakukan. Pertama, menahan laju penurunan produksi (decline) di lapangan eksisting. Kedua, mempercepat sumber daya yang ditemukan menjadi cadangan, lalu segera membangun fasilitas produksi untuk kemudian dimonetisasi. Ketiga, penerapan teknologi tingkat lanjut seperti Enhanced Oil Recovery (EOR). Keempat, melakukan eksplorasi.

“Alhamdulillah sekarang keempatnya kami laksanakan dengan pararel, dan apabila dimungkinkan hal-hal untuk keekonomian dari proyek lebih baik, kami selalu berkomunikasi dengan SKK Migas,” sebut Hilmi.

Terpisah, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno menyampaikan, pasca pandemi covid-19, perusahaan migas memang diharapkan dapat terus meningkatkan program kerja untuk mengawal target tersebut.

Dari hasil diskusi dan persetujuan work program and budget tahun 2021, Julius menyampaikan bahwa ada kenaikan signifikan dari jumlah pengeboran yang lebih masif sebagai salah satu tolok ukurnya. Dia pun berharap industri migas bisa lebih kondusif mulai tahun depan.

“Itu sangat mendukung untuk longterm plan kita ke tahun 2030 yang sudah kita canangkan bersama. Semoga semakin kondusif untuk mendukung kinerja hulu migas yang lebih baik. Kita harus disiplin untuk mengawalnya tahun demi tahun,” kata Julius saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (16/12).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menegaskan bahwa upaya peningkatan target produksi mutlak membutuhkan kolaborasi dari stakeholders terkait. Terutama para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang memiliki anggaran dan keahlian untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun produksi.

Alhasil, peran pelaku usaha menjadi sangat vital. Namun, menjadi hal yang wajar bila pada tahun depan, pelaku usaha masih wait and see menunggu perkembangan pasar pasca pandemi covid-19. Dia berharap, setidaknya hanya minyak bisa stabil di level US$ 50 per barel, atau lebih dari itu.

“Ini bisa memberikan sedikit angin segar untuk para investor di hulu migas. Tahun depan masih meraba-raba situasi, tapi kita tetap harus optimis,” jelas Rizal.

Secara pararel, strategi pengembangan energi bersih dan EV ecosystem Medco Power turut mendorong program pemerintah dalam mengembangkan industri dan ekosistem kendaraan listrik, serta untuk mencapai target bauran energi terbarukan.

Direktur Jenderal EBT dan konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menegaskan, perlu dukungan dari stakeholders terkait khususnya pelaku usaha untuk memastikan ketercapaian target bauran EBT 23% pada tahun 2025.

Pemerintah pun berkomitmen memberikan kemudahan dan insentif untuk mendorong partisipasi pelaku usaha dalam pengembangan EBT di Indonesia. Antara lain, melalui penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga listrik EBT yang dibeli oleh PLN.

Dadan bilang, regulasi tersebut akan memperhatikan keekonomian pembangkit serta kemampuan PLN, sehingga bisa menggairahkan iklim investasi EBT dan menjaga harga listrik di tingkat konsumen.

“Kemudahan dan insentif sudah tersedia, antara lain untuk mendorong pengembangan panas bumi, misalnya berupa dukungan pendanaan dan eksplorasi. Juga ada insentif di bidang perpajakan,” kata Dadan saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (15/12).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, pandemi akan mempercepat transisi energi bersih. Kata dia, korporasi pun akan melihat kondisi ini sebagai peluang bisnis dan menjadi pilihan untuk diversifikasi pendapatan perusahaan.

“Investasi EBT akan semakin menarik, apalagi kebijakan dan regulasi pemerintah diarahkan untuk mendukung pengembangan EBT, sehingga Indonesia bisa masuk ke jalur transisi energi,” ungkap Fabby.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyambut baik strategi gas to power yang digencarkan oleh Medco. Menurutnya, gas memang tepat untuk dijadikan sebagai sumber utama di dalam transisi energi.

Pri menegaskan, transisi energi perlu dimaknai dalam konteks memberikan ruang yang lebih banyak bagi energi baru dan terbarukan (EBT) untuk berperan dalam bauran energi, guna saling melengkapi bersama energi fosil yang sampai saat ini masih mendominasi.

“Permintaan kebutuhan energi ke depan tidak akan cukup hanya dipenuhi dari energi fosil saja, juga EBT saja. Jadi di situ konteksnya transisi. Strategi Medco gas to power di Indonesia, menurut saya tepat,” kata Pri.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno juga mengamini hal tersebut. Menurutnya, pemanfaatan gas sebagai motor transisi energi bisa semakin gencar lantaran Indonesia memiliki potensi yang melimpah. “Tinggal kita bagaimana memanfaatkan sumber yang ada itu dengan membangun infrastruktur gas-nya,” kata Eddy ke Kontan.co.id, Minggu (20/12).

Dia pun menyambut positif komitmen transisi ke energi bersih yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang dulunya berfokus di sektor energi fosil. Dengan begitu, pemanfaatan potensi EBT Indonesia yang begitu besar bisa semakin terakselerasi, tanpa mengesampingkan pemenuhan energi nasional saat ini.

“Mereka bisa mengkombinasikan pengembangan EBT bersama energi fosil. Kami di Komisi VII tentu akan mendorong itu, karena pasti akan mempercepat proses terbangunnya industri EBT di Indonesia,” tegas Eddy.

Kontribusi di Masa Pandemi

Selain dari sisi ekspansi bisnis, Hilmi menegaskan bahwa fokus MEDC ke depan juga melakukan pengembangan dari sisi ESG alias Environment, Social and Governance. Kata Hilmi, ada tiga pilar yang diusung MEDC untuk komitmen keberlanjutan.

Pertama, kepemimpinan dari dan oleh pekerja. Dari segi ini MEDC menginvestasikan US$ 3,5 juta untuk training dan pendidikan kepemimpinan. 31% peran tata kelola pun dijabat oleh wanita. Selain itu, juga komitmen terhadap anti-korupsi, antara lain dengan ISO 37001 certification anti bribery management system.

Kedua, pengembangan sosial dan lingkungan hidup. Di sini, MEDC melakukan pengurangan intensitas emisi sebanyak 19% dalam satu tahun. Selain itu, ada penanam lebih dari 1 juta pohon di sekitar wilayah operasi sejak 2012.

Ketiga, pemberdayaan masyarakat lokal. Dari segi ini, MEDC menginvestasikan sebanyak US$ 3,9 juta dalam program pemberdayaan masyarakat. Juga penyediaan akses sanitasi, air bersih dan listrik untuk masyarakat sekitar wilayah operasi.

Yang pasti, sambung Hilmi, program sosial MEDC terus berjalan selama masa pandemi covid-19. “Kami memfokuskan untuk make sure seluruh human capital dan masyarakat sekitar daerah operasi terjaga keselamatannya,” sambungnya.

Dari sisi edukasi dan donasi kepada masyarakat, MEDC pun menggelar program gerakan peduli pendidikan dengan 1.000 gawai dan 100 WiFi untuk mendukung pembelajaran di masa pandemi. “Kami melakukan donasi alat kesehatan, penyuluhan, sekaligus membantu anak-anak di daerah operasi untuk memungkinkan mereka melakukan pendidikan jarak jauh dengan efektif,” pungkas Hilmi.

PSN tersendat, target produksi 1 juta barel di 2030 terancam sulit digapai

Kontan.co.id, 15 Desember 2020

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memiliki target produksi migas 1 juta barel per hari di tahun 2030 yang salah satunya diupayakan melalui berbagai proyek strategis nasional (PSN) sektor migas. Namun, adanya berbagai tantangan di sektor hulu migas membuat progres PSN tersebut mengalami kendala.

Asal tahu saja, terdapat empat PSN yang sedang berlangsung saat ini. Di antaranya adalah proyek Jambaran Tiung Biru (JTB) yang ditargetkan on stream tahun 2021, Tangguh Train III ditargetkan on stream akhir 2021, Indonesia Deep Development (IDD) ditargetkan on stream tahun 2025, dan Blok Masela ditargetkan on stream tahun 2027.

Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menyampaikan, untuk proyek JTB dan Tangguh Train III sebenarnya masih berjalan di lapangan. Hanya saja, kemunculan pandemi Covid-19 membuat kedua proyek tersebut terkendala sehingga jadwal penyelesaiannya tidak sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Sekadar mengingat, proyek JTB dikerjakan oleh PT Pertamina EP Cepu sedangkan Tangguh Train III dilaksanakan oleh BP Berau Ltd. Sementara itu, proyek IDD dan Blok Masela menghadapi masalah berupa hengkangnya investor strategis di masing-masing proyek, yakni Chevron Pacific Indonesia dan Royal Dutch Shell Plc.

Menurut Tumbur, proyek IDD dan Blok Masela terkendala dengan rendahnya harga komoditas migas dan adanya oversuplai produk Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair di dunia. Kedua proyek tersebut juga tersendat oleh masalah tingginya biaya pengembangan lapangan. “IDD dan Masela merupakan proyek laut dalam dengan biaya pengembangan yang mahal,” ujar dia, Selasa (15/12).

Masalah semakin rumit lantaran adanya pandemi Covid-19 tentu akan semakin menambah kebutuhan biaya proyek, termasuk biaya untuk mendukung protokol kesehatan di lingkungan operasional proyek. Ditambah lagi, situasi pandemi juga membuat permintaan terhadap produk migas, termasuk LNG, mengalami penurunan.

“Dampaknya proyek-proyek ini akan tertunda dan baru memungkinkan untuk dimulai kembali apabila faktor-faktor eksternal bisa mendukung keekonomian dari proyek tersebut,” jelas Tumbur.

Dia turut berpendapat, ketidakpastian dari iklim investasi di sektor hulu migas kemungkinan akan membuat Indonesia kesulitan untuk mengundang investor baru.

Sementara untuk investor lama, ketidakpastian industri migas nasional dapat membuat mereka enggan menambah nilai investasinya sampai terdapat perubahan yang mendasar. Dalam hal ini, perubahan tersebut mampu meyakinkan investor eksisting untuk terus berinvestasi di Indonesia.

Menurutnya, kepastian terhadap kesucian kontrak menjadi salah satu hal yang mendasar dalam membenahi iklim investasi migas di Indonesia. Selain itu, revisi UU Migas juga diperlukan untuk mendukung eksistensi SKK Migas dalam mengawasi program-program kerja di sektor hulu migas.

“Koordinasi antara kementerian dan lembaga kemudian pemerintah pusat dan daerah juga diperlukan terutama untuk proses perizinan usaha dan birokrasi,” ungkap dia.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga menilai, selain akibat pandemi Covid-19, masalah-masalah lama yang berhubungan dengan nilai keekonomian juga menjadi penyebab utama di balik tersendatnya proyek-proyek strategis nasional di sektor hulu migas.

Padahal, terlepas dari adanya berbagai tantangan, potensi daya serap produk migas yang dihasilkan oleh empat PSN tersebut cukup besar. “Proyek-proyek tersebut sebagian besar menghasilkan gas yang relevan dengan kebutuhan domestik yang terus meningkat,” terangnya, hari ini (15/12).

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dinilai perlu duduk bersama untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi sekaligus solusi supaya PSN yang ada dapat terus berjalan.

Penyelesaian masalah tersebut sangat penting mengingat empat PSN tersebut berpengaruh besar terhadap target produksi migas 1 juta barel per hari di tahun 2030 yang dicanangkan pemerintah. “Kalau tidak jalan, target 1 juta barel per hari akan semakin sulit untuk dicapai,” tutup Komaidi.

Gas to Power, Strategi Transisi Energi Ala Medco

Dunia Energi,10 Desember 2020

Transisi energi jadi tren yang ramai-ramai mulai dilakukan berbagai perusahaan energi termasuk perusahaan migas. Sebelum adanya pandemi COVID-19 perusahaan migas dunia banyak yang mulai mengalihkan investasi ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Transisi energi adalah keniscayaan yang sukar dihindari apalagi setelah pandemi ini, dorongan transisi ke pemanfaatan energi bersih makin mengemuka.

PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) juga tidak mau ketinggalan gerbong transisi energi tersebut. Hanya saja strategi transisi energi yang diusung perusahaan yang didirikan oleh Keluarga Panigoro itu masih akan mengandalkan energi fosil berupa gas.

Hilmi Panigoro, Presiden Direktur Medco Energi, mengatakan melalui anak usahanya, PT Medco Power, monetisasi gas jadi salah satu strategi utama dan prioritas dalam merespon tren transisi energi. Apalagi listrik akan menjadi energi masa depan karena elektrifikasi merupakan suatu kenyatan yang akan terjadi di dunia energi sehingga konsumen akan mengambil energi berupa listrk. Untuk itu, arah bisnis Medco ke depan adalah sebagai perusahan yang akan menyediakan kebutuhan listrik tersebut.

Transisi energi sudah dilakukan saat membangun Medco Power beberapa tahun lalu karena energi yang sampai pada konsumen akhirnya akan berupa listrik, baik itu mobil, kereta api, bahkan kendaraan umum di Jawa diproyeksikan ke depan akhirnya akan memakai listrik.
“Kami fokus Medco Power di clean energy, paling-paling yang fosil tinggal gas saja. Itu pun gas sebenarnya walaupun fosil tapi relatif bersih. Kami melihat semua ujungnya adalah listrik yang dibutuhkan masyarakat. Untuk itu transisi energi kita lakukan. Gas adalah instrumen utama Medco dalam melakukan transisi energi,” kata Hilmi saat berbicara pada Media Gathering yang digelar Medco secara virtual, Selasa (8/12).

Migas memang jadi salah satu core bisnis yang tidak akan ditinggalkan oleh Medco meskipun banyak perusahaan dunia lainnya justru memangkas investasi dalam bisnis migas dan mengalihkannya ke sektor EBT.

Menurut Hilmi kondisi di Indonesia unik karena migas kebutuhannya masih besar sehingga bila dlihat dari kacamata bisnis, peluang bagi pengembangan industri migas di Indonsia terbuka lebar. “Karena itu lah di migas Medco masih tetap akan agresif untuk melakukan ekspansi baik akuisisi aupun eksplorasi,” ungkap Hilmi.

Eka Satria, Direktur Utama Medco Power, menjelaskan bahwa potensi untuk monetisasi gas masih terbilang besar. Medco kini membidik proyek Liquefied Natural Gas (LNG) to Power di Indonesia Tengah dan Timur. Dia menuturkan ke depan kebutuhan listrik akan sangat meningkat, gas akan jadi transisi fosil fuel berupa migas menjadi era EBT dan penyimpanan energi. “Indonesia Tengah dan Timur, LNG to Power ini banyak demand-demand ada beberapa proyek kami studi,” ujar Eka.

Gas jadi alternatif utama karena dianggap lebih bersih ketimbang minyak bumi dan sumber dayanya juga masih terbilang lebih banyak ketimbag minyak. Dalam Rencana Umum Energ Nasional (RUEN) persentase gas juga diproyeksikan semakin tinggi jika persentasenya pada tahun 2025 masih 22% maka pada tahun 2025 porsinya meningkat menjadi 24%.

Gas bersama panas bumi dan sumber EBT lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) jadi fokus pengembangan bisnis Medco Power dalam rangka menjadi Independent Power Producer (IPP) serta menjadi perusahaan operation and maintenance (O&M) terkemuka baik nasional maupun internasional. “Kami akan terus menggarap ke area bersih. Salah satu visi Medco adalah masuk ke power,”ungkap Eka.

Saat ini total kapasitas pembangkit listrik yang dikelola oleh Medco Power mencapai 3.800 Megawatt (MW) dan ditargetkan bisa mencapai 5.000 MW dengan keseluruhan pembangkit yang dikelola merupakan pembangkit bersih dan energi terbarukan.

Dalam target itu ada beberapa proyek gas yang digarap Medco yakni Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) di Riau 275 MW, lalu LNG to Power di Indonesia bagian tengah serta proyek LNG to Power di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang diproyeksikan memiliki kapasitas pembangkit antara 150-300 MW.

Medco Power sudah mendapatkan alokasi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) berasal dari Blok Senoro-Toili yang akan diproses terlebih dulu gasnya di fasilitas Donggi Senoro LNG (DSLNG).

Tahap pertama akan mulai dipasok selama dua tahun dengan volume mencapai 34 juta kaki kubik per hari (MMscfd) untuk tahun 2023-2024. Tahap kedua kontrak jual beli gas akan berlangsung selama 17 tahun sejak 2025 hingga 2042 dengan volume 64 MMscfd. Gas tersebut akan diperuntukan salah satunya untuk pembangkit di Sumbawa nanti.

Dalam masa pandemi, kebutuhan listrik memang alami kontraksi 5-8%. Menurut Eka, Medco tidak terlalu merasakan kontraksi tersebut lantaran harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit yang dikelola Medco sangat kompetitif.

“Alhamdulillah kontraksi yang kami rasakan nggak terlalu besar hanya 2-3%, karena kami berada di yg paling atas. karena harganya sangat kompetitif jadi nggak terlalu terganggu,” katanya.

Dalam masa seperti ini kebutuhan akan listrk makin terasa dan akan meningkat. Peningkatan konsumsi listrik diproyeksi akan kembali terjadi pada tahun depan dan produsen listrk harus bersiap menyediakan listrik dengan harga terjangkau.

“Ke depannya kita nggak bisa hidup tanpa listrik kita percaya after covid pertumbuhan listrik akan kembali. secara history rata-rata pertumbuhan listrik kira-kira 2% dari pertumbuhan ekonomi nasional. kita percapai pertumbuhan ekonomi 5-6% setelah covid, pertumbuhan listriknya 7-9% . Nah, transisinya (memenuhi kebutuhan listrik) gas dan LNG,” jelas Eka.

Sementara itu, Djoko Siswanto Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengapresiasi langkah transisi energi yang dilakukan oleh Medco Energi Apalagi memprioritaskan gas yang memang cadangannya lebih besar. Tapi dia mengingatkan transisi harus dijalankan paralel dengan tetap mempersiapkan diri meningkatkan kapasitas pembangkit EBT. “Lanjutkan (transisi energi) tapi harus paralel bareng dengan pengembangan EBT,” ujarnya

Mulyanto, anggota Komisi VII DPR, menyatakan langkah sebagai perusahaan energi sudah sepatutnya Medco memiliki strategi transisi energi yang mengarah ke green energy. Menjadikan gas sebagai awal transisi juga langkah tepat karena cadangan masih cukup banyak, apalagi kalau eksplorasi lebih ditingkatkan, maka tentu akan meningkatkan besarnya cadangan gas ini.

“Ketimbang sumber energi fosil lainnya gas lebih clean.  Cadangan lebih besar dari minyak.  Jadi penggunaan gas akan makin mereduksi defisit transaksi berjalan sektor migas,” kata Mulyanto saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (9/12).

Menurut Mulyanto, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) kata dia sangat quick response saat black out sehingga dapat menjadi instrumen anti black out. Pembangkit gas mirip mesin pesawat, yang start up-nya sangat cepat. Belum lagi dengan combined cycle, sisa panas pada siklus pertama, digunakan untuk menghasilkan uap di siklus kedua. Dengan demikian, sistem pembangkit ini makin efisien dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) yang rendah.

Dari sisi harga, lanjut Mulyanto, ketika harga gas turun, baik internasional maupun domestik, maka energi berbasis gas menjadi semakin menarik. “Karenanya ke depan, DMO (peruntukan pasar domestik) gas harus terus ditingkatkan,” ujarnya.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengakui strategi yang menjadikan gas sebagai instrumen utama dalam transisi energi adalah keputusan tepat. Untuk Indonesia, gas dinilai tepat untuk dijadikan sebagai sumber energi utama di dalam transisi energi. Pasalnya, lanjut Pri Agung, transisi energi itu tidak kemudian berarti seluruh energi fosil nantinya akan digantikan dengan EBT. Transisi sebagai transisi di dalam konteks untuk meningkatkan peran EBT sehingga bisa saling melengkapi dengan energi fosil yang bertujuan untuk memenuhi permintaan kebutuhan energi di masa mendatang yang secara nominal absolute-nya akan terus bertambah.

“Medco sudah tepat, permintaan kebutuhan energi ke depan tidak akan cukup hanya dipenuhi dari energi fosil saja, apalagi EBT saja. Jadi disitu konteksnya transisi, untuk memberikan ruang yang lebih banyak bagi EBT untuk berperan dalam bauran energi, bersama dengan energi fosil,” ungkap Pri Agung kepada Dunia Energi.

Transisi energi juga harus ditempatkan dalam kerangka keseimbangan pengelolaan sumber energi yang dimiliki Indonesia. Menurut Pri Agung bauran energi negara-negara maju pun tidak kemudian meninggalkan energi fosil. Bahwa perusahaan-perusahaan energi ke depan mengarah kepada green energi, itu lebih kepada untuk menyesuaikan dengan pasar yang ada. Tapi tidak kemudian mereka meninggalkan bisnis energi fosilnya.

“Kita pun mestinya tidak perlu latah atau sekedar ikut-ikutan, tetapi mestinya konsisten dengan arah kebijakan energi nasional yang sudah digariskan sejak lama sesuai dengan potensi sumber energi yang kita miliki,” tegas Pri Agung.

Jaga ketahanan energi, Pertamina fokus modernisasi dan bangun kilang minyak

Kontan.co.id; 9 Desember 2020

Pengembangan dan pembangunan kilang minyak terus digenjot. Sejumlah kalangan dan satkeholders pun ikut mendorong terwujudnya ketahanan energi melalui pengelolaan kilang dalam negeri.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menegaskan, pembangunan kilang minyak sangat krusial bagi ketahanan energi Indonesia. Kata dia, proyek ini tak hanya penting untuk memperbaiki neraca perdagangan dan devisa negara, namun juga dampak bergandanya untuk menciptakan peluang kerja, meningkatkan investasi serta pengembangan industri penunjang.

“Kilang-kilang minyak saat ini sudah cukup tua, dan revitalisasi harus dilakukan segera untuk meningkatkan kualitas hasil produksi, efisiensi dan juga kapasitas produksinya,” ungkap Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/12).

Apalagi, dengan proyeksi kebutuhan energi termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terus meningkat, maka harus diimbangi dengan produksi di dalam negeri. “Agar devisa kita tidak terus tergerus oleh impor,” sambung Rizal.

Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpandangan bahwa ketersediaan kilang memiliki peran strategis dalam ketahanan dan keberlanjutan pasokan energi di dalam negeri. Termasuk untuk memasok produk petrokimia yang dibutuhkan dalam pengembangan industri.

Oleh sebab itu, Komaidi menegaskan bahwa pengembangan dan pembangunan kilang tak hanya soal hitungan bisnis, melainkan juga soal kedaulatan energi. “Secara bisnis dan ekonomis jelas kita perlukan. Lebih lagi jika kita mengedepankan ketahanan nasional dalam aspek ekonomi dan energi,” ujar Komaidi.

Dia menilai, industri kilang memang pada umumnya tidak terlalu ekonomis jika dibandingkan dengan sektor hulu. Dengan begitu, perlu ada kesadaran bahwa nilai strategis kilang tidak hanya dilihat dalam aspek mikro di bisnis proyek tersebut, tetapi mesti diletakan secara makro dengan menghitung dampak turunannya.

“Itu yang perlu disadari oleh para stakeholders, khususnya pemerintah. Harus ada kesadaran bahwa nilai strategisnya tidak dapat dilihat dalam aspek mikro bisnisnya itu sendiri, tetapi perlu secara makro, keberadaan kilang memiliki peran penting dalam banyak aspek,” terang Komaidi.

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Madja Fahmy Radhi menyampaikan, pengembangan dan pembangunan kilang juga penting untuk memproduksi BBM dengan kualitas yang lebih ramah lingkungan. Sehingga nantinya produk BBM bisa dihasilkan dengan standar Euro-4.

“Pada saat diberlakukan Euro-4, seluruh kebutuhan BBM akan dimpor dalam jumlah besar. Pembangunan dan upgrade kilang untuk menghasilkan BBM dengan standar Euro-4 suatu keniscayaan, yang prospektif dalaam memenuhi permintaan konsumen,” ungkap Fahmy.

Di sisi lain, proyek kilang ini juga bisa melepaskan Indonesia dari ketergantungan impor BBM. Dalam hal ini, Fahmy juga menegaskan bahwa upgrade dan pembangunan kilang penting dalam memberantas praktik korupsi dalam impor BBM, atau yang dalam beberapa waktu belakangan dikenal dengan mafia migas.

“Selain prospek, kedua tujuan (ketahanan energi dan memberantas mafia migas) harus dapat dicapai. Jadi perlu dipastikan dan dicegah agar mafia migas tidak lagi intervensi dalam pembangunan dan upgrade kilang,” ujar Fahmy yang pernah menjabat sebagai anggota tim pemberantasan mafia migas tersebut.

Komisi VII DPR RI yang membidangi urusan energi juga mendorong proyek kilang di dalam negeri agar bisa terakselerasi. Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno menyampaikan, pengembangan dan pembangunan kilang baru dibutuhkan untuk mengolah produksi minyak (lifting) yang ditargetkan akan meningkat, bahkan hingga 1 juta barel per hari pada tahun 2030 sesuai target yang sudah dicanangkan.

Saat ini, lifting minyak masih sekitar 700.000 barel per hari. “Sehingga target yang telah dicanangkan peningkatan lifting minyak itu bisa diantisipasi. Jadi kilang itu sangat penting, sehingga pengolahannya bisa dilakukan di dalam negeri” kata Eddy.

Oleh sebab itu, lanjut Eddy, Komisi VII DPR RI mendorong percepatan proyek kilang PT Pertamina (Persero) sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). “Kami juga ingin meminta agar pembangunan tersebut bisa terakselarasi, mengingat memang saat ini kebutuhan kita untuk mengolah di dalam negeri perlu ditingkatkan dalam rangka mengurangi impor BBM,” tegas Eddy.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII pada Oktober lalu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan bahwa modernisasi kilang lama dan pembangunan kilang baru akan membuat perubahan pada konfigurasi jenis minyak mentah (crude) yang akan diolah.

Pasalnya, kilang-kilang Pertamina saat ini masih didesain untuk mengolah jenis crude dengan pasokan (supply) yang cukup langka. “Kondisi hari ini, jenis crude yang bisa diolah di kilang kita ini sangat terbatas jumlahnya, sekitar 3% dari supply crude dunia. Ini yang menyebabkan terjadinya harga yang lebih tinggi karena masalah supply dan demand yang tidak seimbang,” jelas Nicke.

Dengan adanya modernisasi dan pembangunan kilang baru, maka pengolahan jenis crude bisa lebih fleksible. Sehingga, bisa menekan Harga Pokok Produksi menjadi lebih ekonomis. “Dengan demikian nantinya kita harapkan harga BBM akan semakin kompetitif, semakin affordable bagi masyarakat Indonesia,” tandas Nicke.

Tak Hanya Soal Ekonomi dan Ketahanan Energi, ini Pentingnya Pembangunan Kilang

Kontan.co.id; 07 Desember 2020

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan dan pembangunan kilang minyak terus digenjot. Sejumlah kalangan dan stakeholders pun ikut mendorong terwujudnya ketahanan energi melalui pengelolaan kilang dalam negeri.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menegaskan, pembangunan kilang minyak sangat krusial bagi ketahanan energi Indonesia. Kata dia, proyek ini tak hanya penting untuk memperbaiki neraca perdagangan dan devisa negara, namun juga dampaknya untuk menciptakan peluang kerja, meningkatkan investasi serta pengembangan industri penunjang.

“Kilang-kilang minyak saat ini sudah cukup tua, dan revitalisasi harus dilakukan segera untuk meningkatkan kualitas hasil produksi, efisiensi dan juga kapasitas produksinya,” ungkap Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/12).

Apalagi, dengan proyeksi kebutuhan energi termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terus meningkat, maka harus diimbangi dengan produksi di dalam negeri. “Agar devisa kita tidak terus tergerus oleh impor,” sambung Rizal.

Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpandangan bahwa ketersediaan kilang memiliki peran strategis dalam ketahanan dan keberlanjutan pasokan energi di dalam negeri. Termasuk untuk memasok produk petrokimia yang dibutuhkan dalam pengembangan industri.

Oleh sebab itu, Komaidi menegaskan bahwa pengembangan dan pembangunan kilang tak hanya soal hitungan bisnis, melainkan juga soal kedaulatan energi. “Secara bisnis dan ekonomis jelas kita perlukan. Lebih lagi jika kita mengedepankan ketahanan nasional dalam aspek ekonomi dan energi,” ujar Komaidi.

Dia menilai, industri kilang memang pada umumnya tidak terlalu ekonomis jika dibandingkan dengan sektor hulu. Dengan begitu, perlu ada kesadaran bahwa nilai strategis kilang tidak hanya dilihat dalam aspek mikro di bisnis proyek tersebut, tetapi mesti diletakkan secara makro dengan menghitung dampak turunannya.

“Itu yang perlu disadari oleh para stakeholders, khususnya pemerintah. Harus ada kesadaran bahwa nilai strategisnya tidak dapat dilihat dalam aspek mikro bisnisnya itu sendiri, tetapi perlu secara makro, keberadaan kilang memiliki peran penting dalam banyak aspek,” terang Komaidi.

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Madja Fahmy Radhi menyampaikan, pengembangan dan pembangunan kilang juga penting untuk memproduksi BBM dengan kualitas yang lebih ramah lingkungan. Sehingga nantinya produk BBM bisa dihasilkan dengan standar Euro-4.

“Pada saat diberlakukan Euro-4, seluruh kebutuhan BBM akan di impor dalam jumlah besar. Pembangunan dan upgrade kilang untuk menghasilkan BBM dengan standar Euro-4 suatu keniscayaan, yang prospektif dalam memenuhi permintaan konsumen,” ungkap Fahmy.

Di sisi lain, proyek kilang ini juga bisa melepaskan Indonesia dari ketergantungan impor BBM. Dalam hal ini, Fahmy juga menegaskan bahwa upgrade dan pembangunan kilang penting dalam memberantas praktik korupsi dalam impor BBM, atau yang dalam beberapa waktu belakangan dikenal dengan mafia migas.

“Selain prospek, kedua tujuan (ketahanan energi dan memberantas mafia migas) harus dapat dicapai. Jadi perlu dipastikan dan dicegah agar mafia migas tidak lagi intervensi dalam pembangunan dan upgrade kilang,” ujar Fahmy yang pernah menjabat sebagai anggota tim pemberantasan mafia migas tersebut.

Komisi VII DPR RI yang membidangi urusan energi juga mendorong proyek kilang di dalam negeri agar bisa terakselerasi. Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno menyampaikan, pengembangan dan pembangunan kilang baru dibutuhkan untuk mengolah produksi minyak (lifting) yang ditargetkan akan meningkat, bahkan hingga 1 juta barel per hari pada tahun 2030 sesuai target yang sudah dicanangkan.

Saat ini, lifting minyak masih sekitar 700.000 barel per hari. “Sehingga target yang telah dicanangkan peningkatan lifting minyak itu bisa diantisipasi. Jadi kilang itu sangat penting, sehingga pengolahannya bisa dilakukan di dalam negeri” kata Eddy.

Oleh sebab itu, lanjut Eddy, Komisi VII DPR RI mendorong percepatan proyek kilang PT Pertamina (Persero) sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). “Kami juga ingin meminta agar pembangunan tersebut bisa terakselarasi, mengingat memang saat ini kebutuhan kita untuk mengolah di dalam negeri perlu ditingkatkan dalam rangka mengurangi impor BBM,” tegas Eddy.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII pada Oktober lalu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan bahwa modernisasi kilang lama dan pembangunan kilang baru akan membuat perubahan pada konfigurasi jenis minyak mentah (crude) yang akan diolah.

Pasalnya, kilang-kilang Pertamina saat ini masih didesain untuk mengolah jenis crude dengan pasokan (supply) yang cukup langka. “Kondisi hari ini, jenis crude yang bisa diolah di kilang kita ini sangat terbatas jumlahnya, sekitar 3% dari supply crude dunia. Ini yang menyebabkan terjadinya harga yang lebih tinggi karena masalah supply dan demand yang tidak seimbang,” jelas Nicke.

Dengan adanya modernisasi dan pembangunan kilang baru, maka pengolahan jenis crude bisa lebih fleksible. Sehingga, bisa menekan Harga Pokok Produksi menjadi lebih ekonomis. “Dengan demikian nantinya kita harapkan harga BBM akan semakin kompetitif, semakin affordable bagi masyarakat Indonesia,” pungkas Nicke.