Pengamat: Jika Premium Mau dihapus, Pemerintah Harus Konsisten

HARIANHALUAN.COM, 27 Juni 2020

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah tidak konsisten dalam penerapan bahan bakar minyak (BBM) yang berkualitas pada masyarakat. Hal itu ditandai dengan perubahan aturan terhadap jumlah distribusi bensin jenis premium.

“Kuncinya itu konsisten, jika memang arahnya penggunaan BBM yang berkualitas terhadap lingkungan dengan menghapus premium,” kata Komaidi dalam diskusi secara virtual bersama YLKI, Sabtu (27/6/2020).

Ia menjelaskan, pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang pembatasan distribusi bensin jenis premium yang ada di Jawa, Madura dan Bali. Hasilnya, dari tahun 2014 sampai 2018 ada penurunan signifikan terhadap konsumsi premium.

Berdasarkan catatan Komaidi, pada tahun 2017, konsumsi premium hanya 7 juta kiloliter (KL) per tahun dari rata-rata 14 juta KL pada tahun sebelumnya. Namun sayangnya, perubahan konsumsi yang signifikan itu direvisi dengan Pepres No 43 tahun 2018. Akibatnya, peningkatan konsumsi premium terjadi lagi.

“Sebenarnya langkah awal pemerintahan sudah tepat dengan melakukan pengurang konsumsi secara bertahap. Namun karena direvisi, maka pada 2018 naik lagi konsumsinya menjadi 9 juta KL. Revisi itu dilakukan saat menjelang Lebaran dan menjelang Pemilu presiden,” terangnya.

Ia menegaskan, jika pemerintah masih mengarahkan masyarakat untuk mengonsumsi BBM dengan harga yang murah, maka konsumsinya pun akan terus bertambah. “Prinsip harga itu seperti air, masyarakat akan memilih harga terendah. Dalam hal ini pemerintah harus tegas dan konsisten jika menginginkan penggunaan BBM yang berkualitas. Jika tegas, maka baik dari Pertamina hingga masyarakat pun akan mengikuti,” tandasnya. (*)

Harga Minyak Sulit Diduga, ICP 2021 Diusulkan US$40-US$50

CNBC Indonesia, 26 Juni 2020

Jakarta, - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan Indonesia Crude Price (ICP) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 sebesar US$ 40/barel-US$ 50/barel. Usulan itu disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rapat kerja membahas asumsi dasar sektor ESDM RAPBN 2021 di ruang rapat Komisi VII DPR RI, Jumat (26/6/2020).

Arifin menjelaskan, realisasi ICP dalam kurun waktu Januari-Mei 2020 sebesar US$ 40,36/barel, dengan outlook 2020 US$ 33/barel. Sementara ICP rata-rata dari 1 Januari hingga 23 Juni 2020 sebesar US$ 36,66/barel. Kemudian ICP rata-rata dari 1 Juni hingga 23 Juni mencapai US$ 36,18/barel.

Menurut Arifin, perubahan harga minyak dunia sangat sulit diduga. Berdasarkan beberapa proyeksi sejumlah pihak seperti Departemen Energi AS, harga minyak dunia tahun ini untuk WTI US$ 43,88/barel dan Brent US$ 47,88/barel.

Arifin bilang ada sejumlah faktor yang memengaruhi harga minyak dunia seperti pemangkasan produksi minyak mentah dunia oleh OPEC Plus. Berdasarkan perkiraan IEA, penurunan kebutuhan minyak mentah dunia mencapai 8,1 juta barel per hari. Sementara pada tahun depan, penurunan bisa ditahan sampai 5,7 juta barel per hari.

Belum lagi ada tekanan dari rendahnya transportasi di berbagai negara sehingga harga minyak cenderung fluktuatif.

“Dengan pertimbangan hal-hal ini maka pemerintah mengusulkan asumsi ICP US$ 40/barel-US$ 50/barel,” kata Arifin.

Analis energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan asumsi ICP US$ 40/barel-US$ 50/barel realistis.

“Dan mungkin memang yang most likely-nya di rentang itu ya. Karena untuk tahun ini, rata-rata kemungkinan di US$ 30/barel-US$ 40/barel,” ujarnya.

Industri Kilang Setelah Pandemi Covid-19

Investor.id; 12 Juni 2020

Oleh: Komaidi Notonegoro

Sejumlah data dan informasi menyebutkan kualitas lingkungan membaik selama pandemi Covid-19. Berkurangnya aktivitas sektor industri dan transportasi menyebabkan kualitas udara membaik di hampir seluruh belahan dunia.

Data citra satelit menunjukkan penurunan signifikan kadar nitrogen dioksida (NO2) dan emisi karbon dioksida (CO2) global yang selama ini menjadi penyebab kualitas udara yang buruk.

Peningkatan kualitas lingkungan selama pandemi Covid-19 tersebut memiliki kemiripan dengan kualitas lingkungan ketika krisis keuangan pada 2008-2009. Emisi karbon dioksida di Tiongkok dilaporkan menurun hingga lebih dari 25%. Berkurangnya aktivitas sektor industri menyebabkan kualitas air membaik. Sejumlah saluran atau kanal air di sejumlah negara menjadi jauh lebih jernih dan mengalir lebih lancar.

Meskipun disambut positif, peningkatan kualitas lingkungan tersebut dikhawatirkan tidak dapat berkelanjutan. Ada kemungkinan tren perbaikan kualitas lingkungan akan berhenti ketika pandemi Covid-19 telah selesai dan aktivitas masyarakat serta sektor industri kembali normal.

Kemungkinan itu karena peningkatan kualitas lingkungan pada saat ini bukan akibat kebijakan tertentu, tetapi karena pandemi Covid-19 yang memaksa sebagian besar aktivitas sektor industri dan transportasi berhenti sementara.

Industri Kilang Domestik

Meskipun bukan akibat dari kebijakan tertentu, upaya untuk tetap mempertahankan kualitas lingkungan ketika pandemi Covid-19 usai, kemungkinan masih akan tetap diusahakan. Salah satunya, menjaga kualitas udara melalui pengaturan batasan kadar nitrogen dioksida (NO2) dan emisi karbon dioksida (CO2) yang diperbolehkan atau dalam batas toleransi, yang kemungkinan angkanya akan lebih rendah.

Salah satu konsekuensi dari upaya menjaga dan mempertahankan kualitas udara adalah perlunya standar atau kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang lebih baik. Kemungkinan tersebut perlu diantisipasi oleh industri kilang BBM di dalam negeri, khususnya Pertamina yang menguasai sebagian besar industri kilang dan penjualan BBM domestik.

Salah satu pekerjaan rumah utama bagi industri kilang dalam negeri adalah bagaimana menghasilkan produk BBM yang berkualitas. Saat ini mayoritas produk yang dihasilkan industri kilang dalam negeri adalah kualitas standar EURO 1-2. Padahal, negara-negara lain telah mampu menghasilkan produk dengan standar kualitas EURO 4-5.

Daya saing produk yang relatif tertinggal tersebut karena sebagian besar kilang BBM di Indonesia merupakan kilang yang sudah berusia tua. Kilang termuda yang dimiliki Indonesia (Pertamina) adalah Kilang Balongan yang dibangun tahun 1990 atau sudah berusia 30 tahun. Sebagian usia kilang domestik dilaporkan telah mencapai kisaran 70 tahun, bahkan ada yang hampir mencapai usia 100 tahun.

Peningkatan kualitas lingkungan selama pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum pemerintah (Pertamina) untuk mendorong dan mempercepat penyelesaian sejumlah proyek kilang yang sedang dan akan dijalankan Pertamina. Kondisi ini relatif sejalan dengan roadmap megaproyek Pertamina, khususnya terkait pembangunan dan pengembangan kilang melalui proyek RDMP dan GRR.

Dalam perspektif yang lebih luas, pembangunan dan pengembangan kilang BBM domestik –terutama yang dilaksanakan oleh Pertamina– tidak hanya relevan dengan isu lingkungan, tetapi juga sejalan dengan upaya mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Saat ini kebutuhan atau konsumsi BBM Indonesia mencapai kisaran 1,4–1,6 juta barel per hari. Sedangkan total kapasitas kilang BBM domestik saat ini hanya sekitar 1 juta barel per hari.

Dari total kapasitas tersebut, operasi kilang domestik disebutkan hanya optimal mampu mengolah sekitar 850 ribu barel minyak mentah per hari. Dengan inputan tersebut, jumlah BBM yang dapat dihasilkan dari kilang domestik hanya sekitar 680 ribu barel per hari. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia harus mengimpor BBM paling tidak 1 juta barel setiap harinya.

Meskipun sejumlah regulasi telah diterbitkan pemerintah, pembangunan dan pengembangan kilang domestik belum banyak berkembang. Jumlah kapasitas terpasang kilang BBM domestik yang relatif stagnan merupakan salah satu indikasinya.

Berdasarkan pencermatan, pemerintah tercatat telah menerbitkan sejumlah regulasi terkait pembangunan dan pengembangan industri kilang. Di antaranya, Perpres No 146/2005 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri, Permen ESDM No 22/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak Skala Kecil di Dalam Negeri, dan Permen ESDM No 35/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta. Kemudian, Kepmen ESDM No 7935 K/10/MEM/2016 tentang Penugasan Kepada PT Pertamina (Persero) dalam Pembangunan dan Pengoperasian Kilang Minyak di Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur.

Mundurnya sejumlah calon dan mitra kerja Pertamina dalam pembangunan dan pengembangan kilang domestik –terakhir Saudi Aramco– perlu menjadi catatan dan perhatian bersama. Data dan informasi yang diperoleh penulis, jika dibandingkan dengan bisnis di segmen usaha hulu minyak dan gas, margin yang diperoleh dari investasi pada proyek kilang tidak cukup kompetitif.

Karena itu, untuk mendorong agar keekonomian proyek kilang lebih kompetitif, diperlukan insentif investasi dan fiskal. Karena itu pula, hampir sebagian besar pembangunan dan pengembangan kilang di sejumlah negara dilakukan atau paling tidak diintervensi oleh pemerintah bersangkutan.

Ditinjau dari berbagai aspek seperti ketahanan energi, ketahanan ekonomi, dan pengelolaan lingkungan, pembangunan dan pengembangan kilang BBM dalam negeri memiliki peran yang strategis. Dengan memiliki infrastruktur kilang BBM yang memadai, beberapa isu penting seperti keberlanjutan pasokan BBM untuk kebutuhan dalam negeri dan manajemen pengelolaan lingkungan yang terkait dengan emisi gas buang akan lebih mudah dilakukan.

Kala pandemi Covid-19 usai, tantangan industri kilang dalam negeri kemungkinan akan lebih bertambah lagi. Salah satunya adalah potensi munculnya tuntutan untuk menghasilkan BBM yang lebih berkualitas. Tantangan lain yang akan menyertainya adalah bagaimana agar dapat membiasakan konsumen dalam negeri menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik.

Mengukur Kans Menang Lawan Jokowi di Gugatan Harga BBM Turun

CNN Indonesia, 12 Juni 2020

Jakarta, CNN Indonesia — Koalisi Masyarakat Penggugat Harga BBM melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) ihwal harga jual bensin yang tidak kunjung turun di tengah anjloknya harga minyak mentah.

Abdurrahman Syebubakar, salah satu anggota koalisi, menuding kebijakan pemerintah menahan harga BBM telah merampas uang rakyat. Berdasarkan hitungan-hitungannya, total kelebihan bayar yang ditanggung masyarakat sejak harga dunia jatuh mencapai Rp13,7 triliun.

Karenanya, lewat surat somasi yang dikirim kepada sekretariat negara pada 9 Juni 2020 lalu, koalisi itu mengancam bakal menggugat pemerintah ke pengadilan jika dalam waktu sepekan harga BBM belum diturunkan.

Tapi, mungkinkah gertakan itu akan menciutkan nyali pemerintah dan berhasil bikin harga BBM turun?

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan koalisi sebelum menempuh langkah hukum. Pertama, tak ada regulasi yang mewajibkan pemerintah untuk menurunkan harga BBM.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 kewenangan penetapan harga minyak dan gas sepenuhnya berada di tangan pemerintah.

“Berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah diperbolehkan untuk tidak mengikuti mekanisme pasar,” kata Komaidi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/6).

Formula penentuan harga BBM eceran yang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 memang mengacu pada indeks pasar dan nilai tukar rupiah. Tapi, sambung Komaidi, penentuan harga bisa disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan pada kondisi kebijakan tersebut diambil.

“Kalau secara hitungan biaya produksi, memang ada peluang untuk harga turun. Namun, dalam kondisi tidak normal seperti saat ini, saya kira banyak aspek yang menjadi pertimbangan,” tuturnya.

Salah satu aspek yang juga dipertimbangkan pemerintah adalah beban fiskal untuk penanganan dampak covid-19. Pemerintah memilih untuk memangkas subsidi BBM Rp1,4 triliun di tengah menurunnya harga minyak dunia (ICP) ketimbang menyesuaikan harga BBM secara keseluruhan.

“Harga BBM tidak diturunkan dengan tujuan selisih harga dialokasikan untuk keperluan penanganan covid-19, dan saya kira itu yang terjadi saat ini,” imbuh Komaidi.

Kedua, bentuk dan objek gugatan yang akan diajukan terhadap pemerintah. Sebab, sepengetahuannya selama ini, tuntutan masyarakat sampai ke pengadilan hanya terkait pembatalan kenaikan harga BBM.

“Kalau protes harga enggak turun, setahu saya tidak sampai masuk dalam gugatan. Namun, langkah tersebut juga menjadi hak warga negara, biar nanti pengadilan yang memutuskan,” jelasnya.

Pakar Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran Indra Perwira berpendapat gugatan yang paling mungkin diajukan koalisi terhadap sikap pemerintah yang enggan menurunkan harga eceran BBM adalah class action.

Namun, ia menilai peluang penggugat untuk menang dari pemerintah dalam kasus ini kecil. Ada sejumlah alasan yang mendasari prediksi tersebut, salah satunya asas legalitas untuk menguji tindakan pemerintah.

Dalam hal ini, menurut Indra, koalisi akan sulit merumuskan tindakan pemerintah yang merugikan atau melanggar hak warga di tingkat mana pun.

Apalagi, dalam kasus-kasus sebelumnya, objek gugatan adalah keputusan pemerintah yang tak sesuai peraturan perundang-undangan.

“Ini sesuatu yang baru karena biasanya kan class action itu terhadap keputusan yang diambil. Bukan terhadap tindakan tidak mengambil keputusan. Walaupun dalam hukum administrasi memang dikembangkan secara doktrin bahwa tindakan itu termasuk tidak melakukan,” terang dia.

Di sisi lain, pemerintah bisa berdalih telah menggunakan asas diskresi dalam pengambilan keputusan karena tak bertentangan dengan asas legalitas dan asas yuridiktas, di mana tak ada ketentuan hukum yang dilanggar ketika harga BBM tak diturunkan.

“Dalam pembuktiannya agak riskan. Karena kalau tindakan itu tidak dilakukan, kan, punya dua makna: tidak atau belum. Bisa saja pemerintah memang punya niat menurunkan, tapi itu belum dilakukan,” tegas Indra.

“Jadi, saya kira, apakah punya peluang untuk menang atau tidak, agak berat untuk menang,” ucapnya.

Sementara itu, Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi berharap pemerintah dapat segera menurunkan harga BBM terlepas dari ada tidaknya somasi yang dilontarkan koalisi penggugat.

Hal tersebut, sambung dia, tak hanya baik bagi untuk mendorong daya beli masyarakat di tengah krisis ekonomi akibat covid-19, melainkan juga citra pemerintah di mata masyarakat.

Pasalnya, selama ini, pemerintah cenderung tanggap untuk menaikkan harga BBM ketika harga minyak mentah terkerek.

“Selama ini kalau harga naik Pertamina sigap naikkan harga, tapi ketika turun melempar ke pemerintah dan mengikuti aturan pemerintah. Saya kira ini tidak fair, apalagi di tengah kondisi daya beli melemah seperti ini,” tandas Fahmi.

Pemangkasan Target Lifting Migas Realistis

Bisnis.com; 11 Juni 2020

Harga minyak dunia yang secara rata-rata turun dan bergerak pada rentang US$20—US$40 per barel membuat lapangan-lapangan migas yang ada di Indonesia menjadi hanya bisa berupaya untuk bertahan.

Bisnis.com, JAKARTA – Pemangkasan target lifting minyak dan gas bumi tahun ini yang ditetapkan SKK Migas dianggap realistis jika melihat kondisi industri hulu migas saat ini.

Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa revisi target lifting tersebut secara umum merupakan hal yang wajar.

Pasalnya, harga minyak yang secara rata-rata turun dan bergerak pada rentang US$20—US$40 per barel membuat lapangan-lapangan migas yang ada di Indonesia menjadi hanya bisa berupaya untuk bertahan.

Dengan demikian, jika SKK Migas telah melakukan revisi, maka secara teknis memang sudah diperkirakan target yang sebelumnya tidak akan tercapai atau tidak dapat lebih tinggi lagi.

Selain itu, turunnya target investasi tahun ini menggambarkan adanya pemotongan belanja yang dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan pemunduran atau bahkan pembatalan proyek tertentu.

“Dalam kondisi saat ini, situasinya dapat dikatakan memang lebih ke arah survival saja, dapat tetap beroperasi dengan baik, tidak ada penutupan sumur atau lapangan, tidak ada pengurangan tenaga kerja, itu sudah cukup,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/6/2020).

Lebih lanjut, dari revisi tersebut akan berdampak terhadap anggaran-anggaran yang dikeluarkan oleh KKKS) yang sifatnya ekspansif.

Biaya-biaya pengembangan lapangan, pengeboran, dan eksplorasi nantinya akan dapat dipotong yang berujung pada pemangkasan target lifting tersebut.

Sementara itu, untuk kegiatan hulu migas, revisi itu berdampak terhadap penerimaan negara yang akan turun dengan asumsi dari kombinasi target lifting dan harga komoditas yang juga turun.

Dari situ, penerimaan dari sektor migas diproyeksikan bisa turun lebih dari 40 persen dari asumsi APBN semula.

“Tren penurunan produksi dan cadangan akan berlanjut dan makin cepat terjadi karena makin berkurangnya alokasi anggaran untuk kegiatan pengembangan lapangan dan eksplorasi. Tahun depan, lifting mungkin sudah mulai di kisaran 600.000-700.000 bpod saja,” jelasnya.

Di lain pihak, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi pemangkasan target lifting dan investasi oleh SKK Migas dianggap realistis.

Menurut dia, keputusan itu dapat berdampak positif terhadap operasional KKKS.

“Di tengah harga minyak dunia turun akibat dampak Covid-19, KKKS akan mengurangi produksi untuk menekan cost,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/6/2020).

Sementara itu, pemangkasan target investasi dinilai tidak akan menyebabkan investor mundur dari proyek hulu yang telah disepakati.

Namun pengurangan target investasi itu sifatnya membatalkan proyek-proyek di hulu yang hingga kini belum ditawarkan.

“Penurunan capaian tahun ini masih bisa ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang,” tuturnya.

Di lain pihak, Pengamat hulu migas Tumbur Parlindungan berpendapat, keputusan yang diambil SKK Migas seiring sejalan dengan kondisi yang ada di lapangan.

Menurut dia, turunnya target itu pastinya berasal dari keadaan yang dialami KKKS pada saat ini karena banyak aktivitas yang tertunda dan juga menyebabkan turunnya investasi dari yang ditargetkan.

“Harga minyak masih rendah, dampaknya akan netral untuk KKKS karena berkurangnya aktivitas dan menurunnya produksi,” jelasnya.

Sebelumnya, SKK Migas merevisi turun target lifting minyak dan gas bumi tahun ini dengan mempertimbangkan kondisi di sektor hulu saat ini.

Adapun, target lifting minyak direvisi menjadi 705.000 barel oil per day (bopd) dan target lifting gas direvisi menjadi 5.536 mmscfd.

Selain itu, SKK Migas turut memangkas target investasi di sektor hulu migas menjadi US$11,8 miliar dari target semula untuk tahun ini US$13,8 miliar. Per Mei 2020, investasi hulu migas telah mencapai US$3,93 miliar.

KKKS Tetap Perlu Stimulus Meski ICP Merangkak Naik

Bisnis.com; 09 Juni 2020

Kendati harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) mulai merangkak naik, kebijakan stimulus masih tetap dibutuhkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Praktisi hulu migas Nanang Abdul Manaf berpendapat, dengan asumsi ICP yang berada pada level US$38 per barel sepanjang tahun ini membuat sejumlah program menjadi tidak ekonomis.

Lebih lanjut, mantan Direktur Utama Pertamina EP itu menambahkan, dengan asumsi ICP tahun ini, sekitar 50 persen program kerja tidak bisa dieksekusi mengingat nilai keekonomiannya yang tidak baik bagi sejumlah kontraktor jika tidak adanya stimulus dari pemerintah.

“Realitas dari industri pasti keekonomian dari Kontraktor. Untuk itu perlu stimulus untuk mengangkat keekonomian kontraktor melalui stimulus, apakah itu split, tax, dan lain-lain,” katanya kepada Bisnis, Senin (8/6/2020).

Sementara itu, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menuturkan bahwa secara operasional, asumsi ICP yang diatas level US$30 per barel sebetulnya sudah masuk untuk nilai keekonomian.

Namun, untuk aktivitas eksplorasi dan proyek pengembangan, asumsi itu dinilai tidak ekonomis.

“[Untuk aktivitas tersebut] tentu diperlukan stimulus,” jelasnya.

Dia menjelaskan dengan tren harga minyak yang mulai merangkak naik saat ini perlu disikapi dengan sangat hati-hati.

Pasalnya, pergerakan harga minyak dunia masih perlu diamati lebih lanjut hingga benar-benar stabil. Menurut dia, tren harga minyak yang naik jangan sampai disikapi secara reaktif.

Kendati terdapat sejumlah sentimen positif sebagai penggerak harga minyak dunia seperti kesepakatan OPEC+ untuk memangkas produksinya, tetapi dinilai belum cukup untuk mengakomodir penurunan permintaan karena dampak pandemi Covid-19.

Di sisi lain, juga terdapat sentimen negatif yang mungkin akan menarik harga minyak dunia untuk turun di antaranya adalah resesi ekonomi global, perang dagang Amerika Serikat dengan China.

Pri Agung menilai rentang harga minyak dunia yang mencerminkan fundamental supply dan demand sepanjang tahun ini adalah US$30 per barel–US$40 per barel, apabila bergerak di atas level tersebut maka hal tersebut lebih kepada fluktuasi harga pasar.

“Jangan terlalu reaktif dengan fluktuasi harga yang ada karena pergerakan harga harian di market tidak selalu beriringan dengan fundamentalnya,” ungkapnya.

Pemerintah Diminta Sediakan Data Migas Berkualitas untuk Gaet Investor

Katadata.co.id; 8 Juni 2020

SKK Migas berharap pemerintah melalui Kementerian ESDM bisa lebih aktif menarik investor menanamkan modal dalam proyek migas

Kementerian ESDM  selalu menggelar lelang wilayah kerja migas dari tahun ke tahun. Namun, blok migas yang ditawarkan pemerintah kerap tak diminati oleh investor.

Untuk meningkatkan ketertarikan investor, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan pemerintah bisa lebih aktif mendatangi investor ke luar negeri untuk menawarkan blok migas. Sehingga investor bisa mendapatkan data migas secara langsung.

Selain itu, Julius meminta pemerintah meningkatkan kualitas data migas. “Improve kualitas data umum dari waktu ke waktu,” ujar Julius kepada Katadata.co.id, Senin (8/6).

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto juga menilai model jemput bola tidak cukup untuk menarik investor jika blok migas yang ditawarkan kurang berkualitas. Oleh karena itu, Pri menyarankan agar pemerintah membuat terobosan.

Salah satunya dengan meningkatkan kualitas blok-blok migas yang ditawarkan. Termasuk prospek dan keekonomian blok migas tersebut.

Dia juga menyarankan pemerintah agar memperbaiki sistem fiskal dalam penawaran blok migas. Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan fleksibilitas penggunaan kontrak, baik Production Sharing Contract (PSC) skema Cost Recovery atau Gross Split. Untuk melaksanakan hal tersebut, pemerintah harus merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 52/2017 tentang kontrak bagi hasil Gross Split.

Selain itu, pemerintah perlu merevisi atau bahkan menghilangkan signature bonus sebesar US$ 1 juta untuk lelang blok migas eksplorasi. Menurut Pri, pemerintah seharusnya menentukan besaran signature bonus berdasarkan tipe blok migas, eksplorasi atau eksploitasi, serta prospek cadangan migas di blok tersebut.

Pri juga menyarankan agar bagi hasil dan work commitment tidak diseragamkan dan dibuat biddable dengan batas tertentu.

“Hal-hal tersebut memerlukan perubahan atau pengaturan yang baru setingkat Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri ESDM,” ujar Pri.

Di sisi lain, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan iklim investasi migas Indonesia termasuk katagori atraktif dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Hal itu berdasarkan laporan dari IHS Markit yang dihitung dari parameter success ratio keberhasilan pengeboran, sistem keuangan, dan country risk.

“Kita masih punya 12 cekungan potensial untuk mendapatkan giant discovery,” ujarnya.

Seperti diketahui, imbas dari pandemi corona menyebabkan realisasi investasi migas pada kuartal I 2020 baru mencapai US$ 2,87 miliar, atau 21 persen dari target tahun ini sebesar US$ 13,8 miliar. Bahkan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pesimistis investasi hulu migas tak akan tercapai pada tahun ini jika harga mentah dunia terus berada dalam tren turun.

 

Pelaku Usaha Perlu Insentif untuk Kembangkan Lapangan Migas di Natuna

Katadata.co.id; 3 Juni 2020

Pengembangan lapangan migas di Natuna berisiko tinggi karena dekat perbatasan negara, Selain itu, biayanya cukup mahal karena perlu teknologi terkini.

Pelaku usaha meminta pemerintah memberikan insentif khusus untuk pengembangan lapangan migas di laut Natuna. Pasalnya, perairan tersebut memiliki potensi cadangan yang cukup besar.

Meski begitu, pengembangan lapangan migas di Natuna sulit dilaksanakan. Menurut Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, pengembangan lapangan migas di Natuna memiliki risiko tinggi dari segi keamanan karena dekat dengan perbatasan Laut China Selatan.

Di sisi lain, pengembangan lapangan di Natuna membutuhkan teknologi yang mumpuni. Itu lantaran kandungan karbondioksida di perairan tersebut cukup besar. “Teknologi dibutuhkan untuk eksplorasi, produksi, maupun penanganan aspek lingkungan hidup,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Selain itu, akses untuk menyalurkan gas ke pasar tujuan perlu jadi perhatian pemerintah. Apalagi ketersediaan infrastruktur penunjang berpengaruh terhadap biaya produksi.

Dengan kondisi tersebut, Pri mengatakan, pemerintah harus memberi insentif bagi pelaku usaha agar bisa mengembangkan lapangan migas di Natuna. “Termasuk di dalamnya insentif-insentif bagi hasil, dan keringanan perpajakan. Harus lebih kompetitif dibanding wilayah biasa lainnya, dan juga kompetitif dengan negara lain,” kata dia.

Selain itu, pemerintah harus memberikan jaminan kepastian hukum, perlindungan kontrak, kemudahan perizinan, serta kecepatan birokrasi dan pengambilan keputusan. Sehingga investor tertarik menanamkan modal di perairan Natuna.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/11/realisasi-pemboran-sumur-eksplorasi-terendah-pada-2018

Dikonfirmasi terpisah, Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan menilai pengembangan blok migas di Natuna merupakan merupakan tantangan besar karena berada di laut dalam. Sehingga,  investor memerlukan dana yang cukup besar.

“Penuh tantangan subsurface, jadi teknologi yang digunakan juga cukup tinggi sehingga high cost,” ujar Mamit.

Mamit juga menyebut keamanan di wilayah Natuna berisiko tinggi karena sering terjadi gangguan dari negara lain. Meski begitu, pengembangan blok migas di wilayah tersebut bisa menjaga kedaulatan Indonesia.  “Jadi sebisa mungkin kegiatan migas di sana tetap berjalan disamping karena potensi migas yang besar tapi juga kedaulatan negara di pertaruhkan,” ujarnya.

Dia pun menilai pelaku migas harus mendapat insentif dari pemerintah untuk mengembangkan blok migsa di wilayah Natuna. Adapun bentuk insentif dari pemerintah bisa berupa keringanan perpajakan.

“Karena risiko yang besar maka ada semacam relaksasi bagi operator di sana,” kata dia. Pemerintah juga dapat memberikan kemudahan perizinan jika mendatangkan teknologi dari luar negeri. Selain itu, dukungan keamanan selama proses kegiatan migas harus tetap diberikan secara maksimal.

Praktisi Hulu Migas Tumbur Parlindungan juga mengatakan tantangan di daerah perbatasan lebih banyak dibanding daerah lain. Apalagi jika terjadi perselisihan di wilayah perbatasan. “Support yang dibutuhkan bila ada sengketa antar negara,” ujar Tumbur.