Kontraktor Lebih Suka Cost Recovery, Gross Split Jonan Nggak Laku?

www.detik.com; Kamis, 16 Januari  2020 07:13 WIB

Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menawarkan dua skema kontrak ke investor migas, yaitu cost recovery dan gross split. Skema ini ditawarkan dalam pelelangan 12 blok migas tahun ini.

Munculnya kembali skema cost recovery memunculkan pertanyaan apakah skema gross split tak laku untuk investor? Mengingat, di era Ignasius Jonan pemerintah hanya memberikan pilihan gross split untuk kontrak baru.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyambut baik rencana pemerintah yang memberikan fleksibilitas kepada investor. Kontraktor migas juga bisa berhitung pada skema mana yang lebih menguntungkan apakah cost recovery atau gross split.

“Kebijakan Arifin Tasrif (Menteri ESDM) ini cukup bagus dalam konteks fleksibilitas karena memberikan keleluasaan bagi investor,” ujarnya kepada detikcom, Rabu (15/1/2020).

Namun apakah fleksibilitas ini dilakukan karena skema gross split tidak laku?

Fahmy menjawab berbeda. Ia mengatakan masih ada sejumlah kontraktor yang menggunakan gross split.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga membantah jika keleluasaan skema kontrak yang diberikan pemerintah karena gross split tidak diminati. Dia mengatakan bahwa investor bisa menyesuaikan bisnisnya dengan dua skema tersebut.

“Tidak bisa demikian juga,” ujarnya dikonfirmasi terpisah.

Ia juga mengapresiasi langkah Kementerian ESDM yang memberikan fleksibilitas kepada investor memilih skema kontrak migas karena kondisi lapangan migas yang berbeda-beda.

“Biarkan KKKS menentukan pilihan karena kondisi tiap-tiap lapangan tidak sama, sehingga bisa saja yang satu cocok dengan sistem cost recovery namun ada pula yang lebih cocok dengan gross split,” tuturnya.

SKK Migas menyebut bahwa fleksibilitas kontrak ini demi meningkatkan investasi hulu migas

“Yang penting tujuannya adalah bagaimana meningkatkan investasi di Indonesia,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2020)

Dwi menambahkan, dengan diberikan kebebasan maka investor bisa menyesuaikan kontrak yang cocok untuk proyek yang sedang digarapnya. Ia juga meyakini masih ada investor yang akan memilih gross split.

“Nah untuk itu kalau investornya kita akan lihat apakah untuk menjadikan gross split itu menjadi halangan atau tidak. Ada investor yang menganggap itu bukan halangan mungkin mereka bisa lebih bebas untuk spending aktivitasnya tetap dikontrol tetapi mereka mungkin lebih memiliki kewenangan,” tambah Dwi.

Lebih lanjut, Dwi mengatakan kontraktor memilih skema kontrak dengan mempertimbangkan potensi dari lapangan migas yang digarap. Jika risiko investasi belum terukur, maka bisa saja kontraktor menggunakan cost recovery.

“Kalau ada lapangan yang sulit yang kita belum bisa memvaluasi risiko ke depan, kemungkinan kontraktor akan memilih cost recovery,” tutur Dwi.

SKK Migas Sebut Harga Gas Hulu di Indonesia Masih Kompetitif

KATADATA; Jum’at 10 Januari 2020, 10.41 WIB

Harga jual gas hulu di Indonesia sebesar US$ 5,4 – US$ 5,6 per MMBTU, masih ekonomis dibandingkan sejumlah negara di ASEAN.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas menyatakan, harga gas hulu di Indonesia selama ini sudah kompetitif. Harga jualnya sebesar US$ 5,4 – US$ 5,6 per MMBTU.

Meski begitu, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut bahwa harga gas hulu di setiap wilayah bervariasi. Hal ini mengingat setiap lapangan gas mempunyai keekonomian proyek yang berbeda dalam pengembangannya.

“Ini tentu bervariasi, yang onshore kadang sekitar US$ 4 MMBTU kemudian di offshore agak lebih tinggi sedikit. Sedikit beda tapi secara nasional adalah US$ 5,4 MMBTU,” ujarnya di Kantornya, Kamis (10/1).

Dwi menjelaskan, pengiriman gas hulu dari mulut sumur hingga ke plant gate mempunyai mekanisme yang berbeda. Hal ini membuat harga gas ke konsumen tidak dapat dipukul rata.

“Kalau yang langsung melalui KKKS bisa US$ 6 hingga US$ 7 per MMBTU. Tapi yang lewat trading dan sebagainya bisa sampai US$ 8- US$ 9 per MMBTU. Jadi tentu saja porsi ini yang perlu dibuka,” ujarnya.

Ia pun akan melakukan sejumlah upaya untuk menganalisis wilayah kerja migas mana saja yang membutuhkan biaya investasi dan operasional tinggi. Dwi pun akan berkonsultasi dengan pemangku kebijakan lainnya agar wilayah-wilayah kerja migas tersebut memperoleh insentif atau pengurangan pajak agar harga gas hulu di wilayah

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, secara keseluruhan harga gas hulu di Indonesia sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan ASEAN. Harga gas hulu Indonesia cukup ekonomis dibanding Malaysia dan Myanmar sebesar US$ 4 hingga US$ 5 per MMBTU, serta Filipina dan Singapura sebesar US$ 5,5 – US$ 6 per MMBTU.

“Mungkin memang ada satu dua atau beberapa kasus dimana harga gas di hulu di atas US$ 7 atau US$ 8 per MMBTU karena kompleksitas dan risiko pengembangan di tiap lapangan gas tidak sama. Tetapi itu tidak bisa digeneralisir,” ujarnya.

Ia pun menilai rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri dengan mengurangi porsi bagian penerimaan negara dari kontrak hulu sudah tepat.

“Itu dapat menjadi salah satu bentuk dukungan Pemerintah ke industri hulu dan hilir sekaligus. Di hilir, harga akan bisa diturunkan, di hulu keekonomian produsen gas dijaga tetap kompetitif,” jelasnya.

Situasi Hulu Makin Kritis

KOMPAS; Selasa, 14 Januari 2020 

Selain produksi yang terus merosot, investasi hulu migas juga belum mampu menjawab masalah produksi. Investor memerlukan kepastian kontrak demi stabilitas investasi.

JAKARTA, KOMPAS – Situasi di hulu minyak dan gas bumi di Indonesia dinilai makin kritis. Sebab, produksi siap jual atau lifting kedua jenis sumber energy primer tersebut terus merosot dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, perlu perbaikan sesegera mungkin untuk menaikkan produksi dan menarik investasi sebesar-besarnya di dalam negeri.

Berdasarkan data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, lifting minyak pada 2019 tercatat 746.000 barel per hari atau di bawah target 775.000 barel per hari. Adapun realisasi lifting gas bumi hanya 1.060 barel setara minyak per hari dan masih di bawah target 1.250 barel setara minyak per hari. Penurunan lifting minyak terjadi sejak 2016, sedangkan lifting gas bumi terus merosot sejak 2014.

Menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, situasi hulu migas di Indonesia sudah bisa dikatakan dalam krisis. Selain produksi yang terus merosot, investasi hulu migas di Indonesia juga berada dalam situasi krisis. Apabila situasi tersebut tidak kunjung diperbaiki, kondisi hulu migas Indonesia akan terpuruk semakin dalam.

“Krisis dan kritis. Begitulah kondisi hulu migas di Indonesia. Disebut krisis karena investasi yang ada belum mampu menjawab masalah produksi yang terus merosot. Disebut kritis kalau situasi ini terus berlanjut,” ujar Pri Agung di Jakarta, Senin (13/ 1/2020).

hulu migas_Page_1

Dari sisi investasi hulu migas, sepanjang 2019 terkumpul 12,5 miliar dollar AS atau lebih rendah dari pada target yang ditetapkan, yakni 13,4 miliar dollar AS. Pada 2018 realisasi investasi hulu migas mencapai 12,6 miliar dollar AS. Dalam kurun lima tahun terakhir, investasi tertinggi tercatat pada 2015, yakni sebesar 17,9 miliar dollar AS.

“Indonesia belum cukup mampu untuk menarik investasi dari pelaku hulu migas kelas dunia, baik untuk proyek penemuan cadangan migas yang baru maupun proyek pengembangan untuk menaikkan produksi. Investasi hulu migas selama ini, berkisar 60-70 persen, hanya untuk biaya operasional rutin yang ada,” tutur PriAgung.

Bukan komoditas

Pri Agung menambahkan, perbaikan investasi hulu migas sebaiknya dimulai dari cara pandang negara mengelola sumber daya alamnya Menurut dia, sumber daya migas seharusnya dijadikan sebagai modal penggerak pembangunan di dalam negeri, bukan sebagai komoditas ekspor untuk mengumpulkan devisa Selain itu, perbaikan kebijakan dalam hal perpajakan, fiskal, dan bagi basil migas juga mendesak.

Produksi migas Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Konsumsi bahan bakar minyak nasional mencapai 1,5 juta barel per hari, sedangkan produksi minyak dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari. Adapun konsumsi elpiji sekitar 7 juta ton per tahun, separuhnya harus diimpor. Kondisi itu menyebabkan Indonesia kerap defisit pada neraca perdagangan migasnya.

Akhir pekan lalu, di Jakarta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah tidak akan lagi mewajibkan skema bagi basil berdasarkan produksi bruto (gross split) dalam lelang wilayah kerja migas yang baru. Kontraktor diberikan kebebasan memilih, yaitu gross split dan biaya produksi yang dapat dipulihkan (cost recovery). Sebelumnya, untuk wilayah kerja migas yang baru, bagi basil yang dikenakan pemerintah kepada kontraktor adalah gross split.

“Sudah bisa dua (gross split atau cost recovery), tetapi akan dibenahi terlebih dahulu skema ” cost recovery-nya,” ujar Arifin saat ditanya skema bagi basil pada lelang wilayah kerja migas mendatang.

Sebelumnya, dalam rapat umum tahunan Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA), Wakil Presiden IPA Ronald Gunawan menyinggung bahwa investor membutuhkan kepastian kontrak untuk stabilitas investasi. Sebab, investasi hulu migas adalah investasi yang padat modal dan berisiko tinggi. Kestabilan kontrak dipercaya dapat meningkatkan daya tarik investasi hulu migas Indonesia di mata investor.

“Untuk penyederhanaan birokrasi, dalam dua atau tiga tahun terakhir sudah ada sinyal positif. Kami berharap akan terus ada perbaikan berkesinambungan di masa mendatang,” ujar Ronald.

Penghapusan Bagian Negara Rasional

KOMPAS; Sabtu, 11 Januari 2020

JAKARTA, KOMPAS – Rencana pemerintah menurunkan harga gas melalui penghapusan bagian negara, dari kontrak bagi hasil, dianggap pilihan paling rasional. Cara lain yang bias ditempuh, mengefisienkan mata rantai dari hulu ke hilir.

Persoalan harga gas belum tuntas, bahkan berlarut-larut, sejak 2016 hingga kini.

Harga gas untuk industri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres itu menyebutkan, jika harga gas tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas lebih tinggi dari 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), menteri dapat menetapkan harga gas tertentu. Penetapan dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

“Saya optimistis dengan rencana penghapusan bagian Negara di hulu dapat menurunkan harga gas di tingkat pembeli akhir (and user). Dengan Syarat  kebijakan itu tak mengganggu neraca keuangan negara,” ujar Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja, Jumat (10/1/2020), di Jakarta.

Kalangan industri mengeluhkan harga gas . yang tinggi, yang menyebabkan mereka sulit bersaing. Harga gas untuk industri keramik di Jawa bervariasi, dari 8 dollar AS per MMBTU hingga 9 dollar AS per MMBTU. Selain masalah harga, industri pupuk di dalam negeri juga mengkhawatirkan kecukupan pasokan gas yang bakal berdampak pada penghentian operasi pabrik. Gas bumi sebagai bahan baku pupuk berkontribusi 70 persen terhadap biaya produksi industri pupuk.

Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, pengurangan bagian negara pada bagi hasil gas dinilai cukup rasional. Namun penerapannya perlu disesuaikan dengan kontrak investor ataupun terhadap undang-undang terkait penerimaan negara bukan pajak. Pengurangan bagian negara dianggap sebagai bentuk dukungan pemerintah bagi industri hulu dan hilir. “Cara lain adalah mengefisienkan rantai pasok gas dalam negeri. Pasokan gas di jalur distribusi dan transmisi perlu dievaluasi kasus per kasus,” kata Pri Agung.

Kepala satuan kerja khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, rata-rata harga gas di hulu di Indonesia sekitar 5,4 dollar AS per MMBTU. Dalam perjalanannya ke pembeli, apabila gas dibeli langsung dari produsen, harganya menjadi 6 dollar AS-7 dollar AS per MMBTU. Harga gas kian meroket jika dibeli lewat pedagang perantara (trader).

“Rentetan ke pembeli akhir itu yang perlu dibuka,” ujar Dwi.

Bagian negara di hulu untuk produksi gas dari kontraktor kontrak kerja sama sebesar 2,2 dollar AS per MMBTU. Dalam skenario yang disusun pemerintah, jika bagian itu dihapuskan, penerimaan negara turun Rp 53,86 triliun. Namun, ada manfaat Rp 85,84 triliun melalui penambahan pajak dari pelaku industri, perorangan, ataupun bea masuk (Kompas, 8/1/2020).

Alokasi dalam negeri

Selain menghapus bagian negara, rencana lain untuk menurunkan harga gas adalah melalui alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Kebijakan itu mirip yang diberlakukan untuk komoditas batubara DMO batubara sebesar 25 persen dari total produksi dengan harga khusus, yaitu 70 dollar AS per ton.

Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Gus Irawan Pasaribu berpendapat, penerapan DMO gas mendesak.

Kinerja Kuangan Perusahaan Migas

Investordaily; 31 Agustus 2020

Forbes Middle East melaporkan pada semester I-2020 sebagian besar perusahaan migas dunia mengalami kerugian. Pada kuartal II-2020, misalnya, perusahaan migas asal Amerika Serikat ExxonMobil mencatatkan kerugian US$ 1,30 miliar.

Pada periode yang sama, perusahaan migas utama dunia seperti BP, Total, dan Shell juga dilaporkan mencatatkan kerugian masing-masing sebesar US$ 6,7 miliar, US$ 8,4 miliar, dan US$ 18,4 miliar.

Sebelum ada rilis laporan keuangan masing-masing perusahaan, sejumlah pihak telah memproyeksikan kinerja keuangan perusahaan mi gas tahun 2020 akan menurun.

Dapat dikatakan informasi yang disajikan melalui laporan keuangan masing-masing perusahaan migas tersebut hanya sebagai konfirmasi. Terutama konfirmasi mengenai seberapa besar kerugian yang dicatatkan oleh masing-masing perusahaan.

Tahun 2020 dapat dikatakan merupakan salah satu tahun terberat bagi industri migas. Semua segmen bisnis industri migas terpukul. Dari segmen usaha hulu, industri migas ter pukul dengan harga minyak yang rendah. Data Departemen Energi Amerika Serikat melaporkan ra ta-rata harga minyak jenis WTI dan BRENT pada semester I-2019 adalah US$ 57,30/barel dan US$ 66,04/barel.

Sementara rata-rata har ga minyak jenis yang sama pa da semester I-2020 adalah US$ 36,78/barel dan US$ 39,89/barel atau turun masing-masing sebesar 36% dan 40%.

Untuk segmen usaha hilir, harga minyak rendah yang semestinya dapat menjadi insentif, belum dapat dioptimalkan akibat permintaan BBM yang turun signifikan. Konsumsi BBM sektor transportasi dan industri sebagai pengguna utama mengalami penurunan signifikan akibat per tumbuhan ekonomi global yang rendah akibat pandemic Covid-19. Kerugian segmen usaha hulu akibat harga minyak rendah yang sebelumnya dapat dikompensasi melalui peningkatan kinerja keuangan di segmen usaha hilir, tidak dapat lagi dilakukan.

Kinerja Keuangan Pertamina

Sama seperti perusahaan migas pada umumnya, Pertamina juga mencatatkan kerugian. Pada semester I-2020, Pertamina me laporkan mencatatkan kerugian bersih sebesar US$ 761 juta. Dari sisi pendapatan, perolehan pendapatan Pertamina turun sebesar 19,82%, dari US$ 25,54 miliar pada semester I-2019 menjadi US$ 20,48 miliar pada semester I-2020.

Mengacu data laporan keuangan, sebagian besar komponen sumber pendapatan Pertamina mengalami penurunan. Penjualan minyak bumi, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak turun sekitar 20,90%. Penggantian subsidi dari pemerintah turun sekitar 30,73%. Imbalan jasa pemasaran turun 100%.

Sementara pendapatan usaha dari aktivitas operasi lainnya turun 13,44 %. Satu-satunya sumber pendapatan yang masih positif adalah penjualan ekspor minyak mentah, gas bumi, dan produk minyak yang meningkat 9,75%.

Pada saat pendapatan menurun, biaya pokok penjualan Pertamina juga menurun dari US$ 21,98 miliar pada semester I-2019 menjadi US$ 18,74 miliar pada semester I-2020 atau turun 14,13%.

Akan tetapi, penurunan pendapatan Pertamina lebih besar dibandingkan penurunan biaya pokok penjualannya. Jikapada semester I-2019 rasio antara pendapatan dan biaya pokok penjualan sekitar 116%, pada semester I-2020 turun menjadi 108%. Rinciannya, biaya pokok penjualan turun 17,70%, biaya produksi hulu dan lifting meningkat 2,29%, biaya eksplorasi turun 8,28%, dan biaya lainnya meningkat 19,56%.

Selain biaya pokok penjualan, juga terdapat komponen biaya lain seperti biaya penjualan dan pemasaran, biaya umum dan administrasi, laba (rugi) selisih kurs, pendapatan keuangan, beban keuangan, bagian atas laba neto entitas asosiasi dan ventura bersama, dan pendapatan/ beban lain-lain neto yang dapat menjadi tambahan biaya atau pendapatan.

Pada semester I-2020, seluruh komponen tersebut mencatatkan tambahan biaya sebesar US$ 1,66 miliar. Laporan keuangan Pertamina tersebut memperoleh respons beragam.

Ada yang menilai sebagai hal yang wajar, mengingat berbagai kondisi yang ada, seperti harga minyak rendah, pertumbuhan ekonomi global rendah, permintaan BBM dan gas rendah, serta pandemic Covid-19 yang berpotensi menjadi penyebab turunnya kinerja keuangan Pertamina. Tetapi ada juga yang menyayangkan terjadinya kerugian Pertamina karena dinilai masih dapat dihindari atau diminimalkan.

Saya menilai, berbagai respons dan pandangan tersebut merupakan bentuk kecintaan dan semata-mata ingin agar Pertamina menjadi lebih baik. Jika kita cermati lebih mendalam dan kita bandingkan dengan kinerja keuangan perusahaan migas lainnya, kondisi saat ini memang tidak mudah. Apalagi jika mencermati karakteristik dan struktur biaya dalam bisnis migas.

Bisnis migas baik segmen usahahulu maupun segmen usaha hilir merupakan bisnis yang padat modal. Pada umumnya kegiatan usahayang padat modal memiliki struktur biaya tetap yang relatif lebih besar dibandingkan biaya variabelnya.

Konsekuensianya, biaya-biaya tersebut relatif sulit untuk dikurangi meskipun produksi dan penjualan mengalami penurunan.

Meskipun produksi dan penjualan turun, biaya perawatan sumur migas, biaya perawatan kilang migas, biaya perawatan jaringan pipa transmisi dan distribusi migas, dan biaya-biaya infrastruktur migas yang lain tidak secara otomatis dapat diturunkan. Hal tersebut mengingat terdapat kondisi tertentu yang mana penurunan biaya dapat menimbulkan konsekuensi peningkatan biaya yang jauh lebih besar pada kegiatan dan proses produksi berikutnya.

Salah satu konsekuensi kondisi pertumbuhan ekonomi dunia yang rendah, kegiatan konsumsi rendah, dan kegiatan produksi rendah adalah permintaan energi sebagai daya dukungnya juga akan rendah.

Risiko yang akan dihadapi Pertaminaadalah tingkat penjualan akan lebih rendah. Karena itu, selain upaya kreatif untuk meningkatkan penjualan melalui optimalisasi pasar dalam negeri, saya menilai salah satu kunci kinerja keuangan Pertamina untuk lebih baik pada semester II-2020 adalah melakukan dan meningkatkan efisiensi.

Seluruh stakeholder dan pemegang saham perlu lebih konsekuen mengimplementasikan kebijakan dan menempatkan Pertamina sebagaimana unit bisnis pada umumnya. Jika tidak ingin melihat Pertamina semakin merugi, perlu diminimalkan pemberian penugasan kepada perusahaan yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatandan proses bisnis Pertamina.

*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Er den siste medisinen som har fanget folks interesse og brukes som en behandling mot prematur ejakulasjon eg folk begynner å få Viagra Original 100mg en kvinne favoriserer. Du bør alltid følge instruksjonene som er beskrevet på pakkevedlegget eg så et hudutslett som er forbundet med en følelse av varme, eller de kan miste ereksjonen før. Lovegra tilbys på billig, kan det ikke handle for å sikre kvalitet eller interessert i å kjøpe lett å Viagra uten resept.