Dorong Investasi, Perusahaan Migas Akan Bisa Pilih Skema Bagi Hasil

Katadata.co.id, 28 November 2019

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertimbangkan kebijakan agar investor bisa memilih dua skema kontrak bagi hasil minyak dan gas (migas) yakni gross split atau cost recovery. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan investasi. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kementeriannya sudah berdiskusi dengan para investor terkait pilihan skema bagi hasil. “Kami memikirkan demikian. Jika fleksibilitas itu ada, sehingga memang daya tarik untuk investasi di situ lebih baik,” kata dia di Gedung DPR RI, Rabu (27/11).

Saat ini, pemerintah mewajibkan perusahaan migas menggunakan skema gross split. Jika kebijakan ini jadi diterapkan, investor bisa memilih skema bagi hasil.

Arifin pun bakal merevisi aturan mengenai kontrak bagi hasil migas yang mewajibkan kontraktor menggunakan skema gross split. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split pada 29 Agustus 2017.

Namun, Arifin tidak merinci apakah fleksibilitas memilih skema itu berlaku untuk blok migas kontrak baru atau terminasi yang habis kontrak. Ia hanya mengatakan, dua skema tersebut mempunyai nilai lebih masing-masing.

Sepengetahuan Arifin, investor yang mengeksplorasi wilayah kerja baru dengan tingkat risiko tinggi biasanya memilih menggunakan skema cost recovery. Namun ada juga investor yang sejak awal lebih senang menerapkan skema gross split karena memberikan kepastian investasi di awal.

“Kalau gross split biasanya orang senang yang sudah pasti. Kalau risikonya tinggi, itu lebih yang cost recovery,” kata Arifin.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro sempat menyarankan agar pemerintah memberikan keleluasaan kepada investor dalam memilih skema sesuai keekonomiannya. Ia menilai skema cost recovery dan gross split memiliki kelebihan dan kekurangann masing-masing.

“Jadikan gross split sebagai opsi saja, jangan mandatori. Pemerintah harus berpikir bahwa yang penting proyek berjalan. Percuma mencari bagi hasil besar, jika proyek tidak jalan,” kata komaidi.

Kritik terhadap skema gross split juga pernah disampaikan oleh Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pengusaha Migas Nasional (Aspermigas) Arifin Panigoro. Dirinya meminta pemerintah mengevaluasi penerapan skema gross split.

Pasalnya, skema ini dianggap tak menarik bagi investor migas.  “Saya kira sistem itu harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang tidak akan tertarik. Bagaimana bisa menaikkan produksi?” kata Arifin di Jakarta, Oktober lalu.

Ahok Komut Pertamina, BGS Wakil, Pengamat : Kombinasi Unik

Bisnis.com; Jum’at 22 November 2019  |  18:09 WIB

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut terpilihnya Ahok dan BGS menjadi kombinasi yang unik.

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir telah memastikan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). didampingi Budi Gunadi Sadikin (BGS) sebagai Wakil Komisaris Utama.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut terpilihnya Ahok dan BGS menjadi kombinasi yang unik.

“Jadi kombinasi yang unik, Pak Ahok punya pengalaman di birokrasi, dan pak Budi di korporasi. Mereka saling melengkapi,” katanya, saat dihubungi Bisnis.com, Jumat (22/11/2019).

Dengan banyaknya program penugasan pemerintah yang diserahkan ke Pertamina, diharapkan koordinasi semakin kuat.

Menurut Komaidi hadirnya Ahok dan BGS di tubuh Pertamina akan membuat hubungan timbali balik semakin cepat dengan Pemerintah.

“Saya kira malah jadi positif, bisa jadi jembatan internal ke Kementerian BUMN,” tambahnya.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan sosok Ahok menjadi menarik karena alumni Teknik Geologi Universitas Trisakti ini merupakan sosok yang bekerja karena terpanggil.

“Ahok adalah man of calling. Orang-orang seperti ini memang langka. Kalau bisa ke politik dia nyebur ke sana, itu dia sudah jalani dan kita tahu jalan hidupnya,” tutur Rhenald.

Menurut Rhenald berdasarkan latar sepak terjang sebelumnya, Ahok memberikan kinerja yang jelas. Terlepas dari catatan positif tersebut, di sektor bisnis Mantan Gubernur DKI Jakarta ini perlu berhitung dengan merangkul banyak teman.

“Karena dia tak bekerja sendirian, melain dengan eksekutif profesional.  Dia harus bangun nilai-nilai dan bekerja dengan strategi,” ungkap Rhenald.

Saat ini Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar Fortune Global 500 tahun 2019.

Pertamina sebagai BUMN penyedia energi nasional berada di peringkat 175, lompat 78 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya di peringkat 253.

Tahun lalu Pertamina membukukan pendapatan US$57,933 miliar atau meningkat hingga 34,9 persen dibandingkan dengan 2017. Untuk laba bersih, Pertamina berhasil meraup US$2,526 miliar dengan aset mencapai US$64,7 miliar dan 31.569 karyawan yang tersebar di seluruh dunia.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan setelah menjadi Komisaris Utama Pertamina ada hal yang harus Ahok lakukan, yakni mengubah gaya komunikasi publiknya.

Keinginan untuk menghadirkan birokrasi yang transparan dan cepat bekerja tidak harus ditunjukkan dengan gaya komunikasi yang keras.

“Satu hal yang harus diubah adalah gaya komunikasi publiknya. Jangan sampai ada sentiment dislike di situ,” ujarnya.

Sebagai Komisaris Utama, Mamit memperkirakan Ahok tidak akan melakukan overlapping, karena hal teknis akan lebih banyak dikerjakan oleh direksi. Menjadi komisaris, lanjut alumni Universitas Trisakti ini, adalah menjadi pengawas.

“Posisi Komut akan menjembatani harapan pemerintah ke Pertamina. Overlapping sepertinya tidak, karena direksi yang akan lebih berperan. Dia pengawas saja, tapi dia bisa langsung melapor ke Menteri atau bahkan Presiden,” ujar Mamit.

Hadapi Tantangan di Sektor Energi

KOMPAS; Jum’at, 15 November 2019

Sejumlah tantangan menunggu dituntaskan oleh siapa pun pemimpin perusahaan BUMN yang bergerak di sektor energi, yaitu Pertamina dan PLN. BUMN perlu figur yang bisa mengelola perusahaan dengan baik.

JAKARTA. KOMPAS – Tantangan dalam memimpin PT Pertamina (Persero) adalah menaikkan produksi minyak dan gas bumi dalam negeri. Pertamina juga harus bisa memperkuat infrastruktur untuk mendukung ketahanan energi.

“Pengelolaan sektor hulu untuk menaikkan produksi sangat penting karena hal itu menjadi penopang utama lifting (produksi siap jual) migas di dalam negeri. Itu terutama pada Blok Mahakam ataupun blok terminasi yang kelanjutan pengelolaannya diserahkan kepada Pertarnina,” kata pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Kamis (14/11/2019).

Industri hulu migas Indonesia dilanda krisis menyusul ketidakseimbangan produksi minyak mentah dalam negeri dengan konsumsi bahan bakar minyak nasional. Produksi minyak Indonesia akhir-akhir ini kurang dari 800.000 bare! per hari, sedangkan kebutuhan pasokan BBM nasional1,5 juta bare! Per hari. Kekurangan pasokan ditutup dengan impor yang menyebabkan defisit pada neraca perdagangan migas nasional.

“Pekerjaan besar Pertarnina adalah harus mampu merealisasikan rencana revitalisasi kilang dan membangun kilang baru. Infrastruktur migas juga perlu diperkuat untuk mewujudkan ketahanan energi nasional,” ujar Pri Agung.

Pak

Di sektor ketenagalistrikan, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan, PT PLN (Persero) harus dipimpin sosok yang benar-benar be bas dari kepentingan kelompok mana pun. Pasalnya, banyak motifbisnis di berbagai proyek pembangunan pembangkit listrik PLN.

“Butuh sosok yang kredibel dan profesional. PLN juga harus mampu mewujudkan bauran energi yang mengarah pada optimalisasi energi terbarukan, bukan banyak bergantung pada energi fosil,” kata Marwan.

Dari sudut pandartg pelaku usaha, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air Riza Husni, PLN harus benar-benar memberi ruang untuk pertumbuhan energi terbarukan, khususnya yang dikembangkan investor lokal.

Kementerian BUMN

Isu pergantian pimpinan di sejumlah BUMN mencuat saat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bertemu Menteri BUMN Erick Thohir, Rabu (13/11). Saat ini, kursi direktur utama sejumlah BUMN kosong, di antaranya Bank Mandiri dan Inalum. Adapun dirut PLN dijabat pelaksana tugas.

Presiden Joko Widodo, menjawab pertanyaan wartawan di lstana Negara, Jakarta, Kamis (14/11), menyatakan, Basuki menjadi salah satu kandidat yang akan mengisijabatan pimpinan di salah satu perusahaan BUMN. Saat ini proses seleksi masih berlangsung.

Sementara, Erick yang ditanya wartawan seusai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna membahas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (14/11), mengisyaratkan perombakan di tubuh BUMN.

“Kita jangan fokus ke Pak Ahok (Basuki Tjahaja Pumarna), nanti komut (komisaris utama)-komut lain juga akan kami kenalkan,” kata Erick.

BUMN, tambah Erick, butuh figur-figur yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan dengan baik.

Pertamina Mulai Seismik Migas Terbesar di Asia Pasifik

Investor Daily: Rabu, 13 November 2019 | 10:47 WIB

JAKARTA, investor.id – Setelah temuan besar minyak terakhir di Blok Cepu pada 2001 dan gas di Blok Masela pada 2000, kegiatan eksplorasi dalam skala besar akhirnya kembali dilakukan di Indonesia guna mencari temuan migas raksasa. Kegiatan eksplorasi berupa seismik 2D dari lepas pantai Bangka hingga Papua ini dilakukan oleh PT Pertamina (Persero).

Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu mengatakan, pelaksanaan survei seismik 2D tersebut sesuai komitmen kerja pasti (KKP) yang dijanjikan perseroan ketika memperoleh pengelolaan Blok Jambi Merang untuk 20 tahun mendatang. Survei seismik ini merupakan kegiatan KKP pertama yang dilakukan di wilayah terbuka Indonesia.

“Cakupan survei seismik ini dari lepas pantai Bangka di wilayah barat Indonesia sampai ke Papua di wilayah timur Indonesia dengan lintasan 30 ribu kilometer (km),” kata dia ketika melepas kapal seismik Elsa Regent yang menandai dimulainya survei seismik KKP Jambi Merang, di Jakarta, Selasa (12/11).

Mengacu data Pertamina, KKP yang dijanjikan perseroan di Blok Jambi Merang mencapai US$ 239,2 juta hingga 2024. KKP ini untuk mendanai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, di mana Pertamina khusus mengalokasikan US$ 196,5 juta untuk kegiatan eksplorasi guna meningkatkan penemuan cadangan. Di tahun ini, KKP yang dikucurkan sebesar US$ 20,46 juta.

Pada tahun pertama, kegiatan KKP Jambi Merang ini yakni survei seismik baik di dalam maupun di luar wilayah kerja, termasuk seismik 30 ribu km tersebut. Selain itu, Pertamina juga sedang melaksanakan survei seismik 3D di dalam Blok Jambi Merang seluas 237 kilometer persegi (km2).

Dharmawan menambahkan, data hasil survei seismik ini akan diserahkan kepada pemerintah. Adanya data ini diharapkan bisa menggairahkan investasi hulu migas di Indonesia dan menjadi salah satu jalan menunju ditemukannya cadangan migas raksasa (giant discovery). “Bagi Pertamina, survei seismik 2D ini milestone besar komitmen eksplorasi new venture yang akan menambah cadangan migas di Indonesia,” tutur dia.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menuturkan, kegiatan survei seismik 2D ini akan dilakukan dalam enam bulan ke depan atau selesai di kisaran pertengahan 2020. Kegiatan survei seismik ini dilaksanakan oleh single operator, yakni Elnusa, dan menggunakan teknologi 2D seismic marine broadband.

“Ini penting karena dalam 10 tahun terakhir ini adalah seismik terbesar, bukan hanya di Indonesia tetapi juga Asia Pasifik. Ada 29 cekungan migas yang dilalui. Mudah-mudahan kita bisa dapat data yang sangat berarti,” ujarnya. Beberapa cekungan yang dilewati dan diindikasikan memiliki potensi sumberdaya migas yang besar (giant discovery) di antaranya Bangka Offshore area, Makassar Strait, dan Buton Offshore.

Terkait hasil seismik, lanjutnya, Pertamina akan memiliki hak khusus untuk mengevaluasi dan memilih potensi migas yang akan dikembangkan selama satu tahun. Setelah itu, data ini akan dibuka kepada perusahaan migas lain yang berminat menanamkan modalnya di hulu migas Indonesia. Pemberian waktu selama satu tahun ini sesuai ketentuan yang berlaku dan lantaran pengelolaan data membutuhkan waktu.

“Ini akan berikan dampak persepsi ke investor bahwa eksplorasi di Indonesia semakin terbuka,” tegas Dwi. Pihaknya optimis pemenuhan KKP di Blok Jambi Merang ini akan berdampak positif dalam mendukung ketahanan energi nasional.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, jika kegiatan seismik yang dilakukan Pertamina menghasilkan data yang bagus, hal ini akan positif untuk iklim hulu migas Indonesia. Pelaksanaan eksplorasi memang sulit dilakukan sendiri oleh pemerintah lantaran terbatasnya anggaran.

“Sehingga mengandalkan Pertamina merupakan salah satu opsi,” ujarnya.

Target Lifting Migas Sulit Tercapai

Investor Daily; Selasa, 5 November 2019 | 15:17 WIB

JAKARTA, investor.id – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan target produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi (migas) tahun ini sulit tercapai. Untuk menggenjot lifting migas, pemerintah didesak segera membenahi iklim investasi migas dalam negeri agar perusahaan migas, khususnya skala besar (major company), mau menginvestasikan dananya.

Lifting minyak bumi tahun ini ditargetkan mencapai 775 ribu barel per hari, dan gas bumi sebesar 7.000 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, per 31 Oktober 2019, realisasi lifting minyak tercatat sebesar 742,9 ribu barel per hari (bph) dan gas bumi sebesar 5.892 mmscfd.

“Outlook akhir tahun 2019 ini lifting minyak 746,2 ribu bph dan gas 5.896 mmscfd,” kata Julius dalam pesan pendeknya kepada Investor Daily, Senin (4/11).

Berdasarkan data yang dihimpun Investor Daily, dalam periode 2010-2018, realisasi lifting minyak hanya mencapai target pada tahun 2016, selebihnya selalu di bawah target. Hal yang sama juga terjadi pada lifting gas bumi untuk periode 2014-2018.

Meski target lifting sulit tercapai, Julius mengatakan bahwa SKK Migas masih berupaya mencapai target tersebut. “Cukup menantang, tetapi tetap kami usahakan,” kata Julius.

Menurut dia, SKK Migas telah mengupayakan sejumlah strategi untuk menggenjot lifting migas hingga akhir tahun, di antaranya merealisasikan program kerja tahun ini, seperti pengeboran sumur dan perawatan sumur. Mengacu data SKK Migas, tahun ini rencananya terdapat pengeboran 80 sumur pengembanganm kerja ulang 241 sumur, dan perawatan sumur 11.021 kegiatan.

SKK Migas juga akan melakukan pengurasan stok di beberapa terminal. “Pengurasan stok bisa menambah 500-600 barel minyak roughly,” ujar Julius.

Selain itu, pihaknya akan merealisasikan proyek migas yang dijadwalkan beroperasi (onstream) akhir tahun ini. Berdasarkan data SKK Migas, terdapat delapan proyek hulu migas dijadwalkan beroperasi di sisa akhir tahun ini. Dari proyek ini, tambahan produksi yang direncakan yakni gas 270 mmscfd dan minyak 10.500 bph.

Empat proyek dijadwalkan mulai beroperasi di November. Rinciannya, proyek Buntal-5 sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Natuna Ltd, Bison-Iguana-Gajah Putri 163 mmscfd oleh Premiere Oil Natuna Sea BV, Temelat oleh PT Medco E&P Indonesia 10 mmscfd, dan Panen 2.000 bph oleh PetroChina International Jabung Ltd.

Sedangkan pada Desember nanti, dua proyek akan beroperasi, yaitu Bukit Tua Phase-3 dengan perkiraan produksi minyak 3.182 bph dan gas 31 mmscfd oleh Petronas Carigali Ketapang II Ltd serta Proyek Full Well Stream Kedung Keris dengan produksi minyak 3.800 bph oleh Exxon Mobil Cepu Ltd.

Namun demikian, Julius mengungkapkan, pihaknya tengah berupaya mempercepat Proyek Kedung Keris. “Projek onstream misalnya Proyek Kedung Keris yang akan on stream di mid (pertengahan) November 2019. Kami percepat (jadi) pertengahan November, semoga berhasil,” tutur dia.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, ada tiga gangguan operasi yang mempengaruhi rendahnya produksi migas nasional hingga September 2019. Pertama, harga gas di pasar dunia saat ini tercatat sangat rendah. Hal ini membuat pemerintah memutuskan untuk tidak memproduksikan dahulu cadangan gas yang dimiliki. Keputusan ini berdampak pada produksi gas nasional.

“Jadi lifting 2019 terus terang agak terpukul, sebagian besar karena harga gas dunia sangat rendah,” ujar Dwi.

Penyebab lainnya adalah kebakaran hutan yang berdampak pada kegiatan operasi migas di Sumatera. Salah satunya yakni di Blok Rokan yang dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Pihaknya terpaksa menghentikan sebagian kegiatan operasi di Blok Rokan demi keamanan selama sekitar satu bulan.

Saat ini, kegiatan operasi di Blok Rokan belum kembali normal. “Mungkin masih kami tahan dulu untuk alasan keamanan. Saya kira November mestinya sudah normal lagi,” tuturnya.

Terakhir, lanjut dia, kejadian tumpahan minyak pada Sumur YYA-1, Proyek YY di Blok Offshore North West Java (ONWJ) juga berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya, tambahan produksi migas yang direncanakan datang dari proyek ini batal diperoleh.

Dwi juga mengatakan, lifting yang belum mencapai target berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 baru mencapai US$ 10,99 miliar dari target dalam APBN 2019 sebesar US$ 17,5 miliar. “Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sekitar US$ 60 per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$ 70,” kata dia.

Benahi Iklim Investasi

20171212143457857Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto. Foto: reforminer.com

Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya untuk menggenjot lifting adalah dengan alokasi investasi besar untuk kegiatan pengembangan seperti enhanced oil recovery (EOR) skala besar, memperbanyak pemboran sumur pengembangan serta optimasi produksi lapangan eksisting.

“Alokasikan investasi dalam porsi besar untuk kegiatan development (pengembangan lapangan),” kata Pri Agung.

Menurut dia, upaya tersebut bisa memperbaiki defisit neraca migas. Namun, diperlukan pembenahan secara mendasar baik di hulu maupun di hilir.

Penambahan kapasitas kilang yang belum terealisasi membuat impor BBM semakin besar. Sementara di sisi hulu, produksi migas mengalami penurunan. “(Lifting naik) memperbaiki tapi tentu tidak menyelesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, jika tahun ini saja tidak bisa mencapai target, maka dipastikan tahun depan akan makin sulit. “Tantangan tahun depan itu lebih berat. Yang saya tahu, para KKKS itu sanggupnya hanya sekitar 600-an bph,” kata Kardaya kepada Investor Daily.

Menurut Kardaya, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Banyak hal yang mendesak yang harus segera dibenahi pemerintah. Hal yang utama adalah mengenai kepastian berinvestasi.

”Jadi, turunnya produksi ini karena investasi tidak masuk. Perusahaan-perusahaan besar (major company) seperti Shell, Exxon, Total lebih suka menginvestasikan dananya ke negara lain. Dan yang menyakitkan adalah, negara tujuannya itu secara potensi tidak lebih baik dari Indonesia, seperti Vietnam dan Myanmar. Mereka menganggap di Indonesia tidak ada kepastian hukum, banyak hukum juga ditabrak,” jelasnya.

Selain itu, kata Kardaya, banyak aturan yang diubah namun justru menakutkan investor. Misalnya perubahan dari skema cost recovery ke gross split.

20170404154659738
ExxonMobil. Foto ilustrasi: distributoroil.com

Kapasitas Kilang dan Kemandirian Energi Indonesia

Kontan.co.id, 6 November 2019

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute & Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Email     : komaidinotonegoro@gmail.com

HP          : 081 553 133 252

Kapasitas kilang masih akan menjadi kunci utama dalam mewujudkan kemandirian energi Indonesia. Saat ini porsi minyak dan gas dalam bauran energi primer Indonesia sekitar 72 persen. Sampai beberapa tahun ke depan, bauran energi Indonesia kemungkinan masih tetap didominasi oleh pasokan minyak dan gas, terutama produk-produk dari kilang minyak.

Pemenuhan pasokan energi untuk konsumen utama seperti sektor transportasi, sektor industri, dan rumah tangga sebagian besar berasal dari produk kilang. Porsi produk kilang dalam bauran energi sektor transportasi selama tahun 2018 sekitar 99,90 persen. Sementara porsi produk kilang dalam bauran energi sektor industri dan rumah tangga masing-masing 13,06 persen dan 50,59 persen.

Terkait bauran energi tersebut, terobosan kebijakan Pertamina sebagai perusahaan energi utama di dalam negeri yang menetapkan melaksanakan Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) kilang relevan dengan kondisi dan permasalahan yang ada. Dengan RDMP pada Kilang Balikpapan, Kilang Dumai, Kilang Balongan dan Kilang Cilacap serta GRR pada Kilang Tuban dan KIlang Bontang, kapasitas kilang Indonesia akan bertambah signifikan.

Jika program RDMP dan GRR Pertamina berjalan sesuai rencana, kapasitas kilang Indonesia yang saat ini sekitar 1 juta barel per hari akan meningkat dua kali lipat menjadi 2 juta barel per hari pada tahun 2026 mendatang. Peningkatan tidak hanya terjadi pada sisi kuantitas, namun juga pada kualitas. Produk BBM kilang Indonesia yang saat ini rata-rata masih sesuai standar EURO II akan meningkat menjadi standar EURO V. Pencapaian ini sudah dimulai ketika Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) selesai. Melalui program PLBC, Kilang Cilacap akan memproduksi Pertamax yang sudah masuk standar EURO IV sekitar 66 persen lebih banyak dari sebelumnya.

 

Bio-Refinery dan Struktur Biaya

Mengacu pada tren global, kebutuhan energi ke depan akan mengalami transisi kepada penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Terbitnya Perpres No.55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, merupakan salah satu upaya Pemerintah Indonesia di dalam merespon tren global tersebut.

Seperti pengembangan energi baru dan terbarukan di berbagai negara yang pada umumnya hampir selalu sulit bersaing dengan pengembangan energi konvensional (fosil), pengembangan kendaraan listrik kemungkinan juga tidak akan mudah untuk dapat bersaing dengan industri kendaraan bermotor eksisting yang menggunakan bahan bakar fosil (BBM dan BBG). Harga jual kendaraan listrik akan menjadi penentu apakah kendaraan bermotor listrik akan mampu bersaing dengan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil atau tidak. Sementara, berdasarkan sejumlah informasi yang ada, saat ini biaya produksi kendaraan bermotor listrik sekitar 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan biaya produksi kendaraan bermotor berbahan bakar BBM dan BBG.

Jika mencermati perbandingan biaya produksi dan karakteristik sebagian besar konsumen kendaraan bermotor di Indonesia, kebijakan meningkatkan kualitas bahan bakar kemungkinan akan lebih optimal untuk menyelesaikan isu lingkungan dibandingkan pengembangan kendaraan bermotor listrik. Sejumlah studi menemukan, selain masalah harga jual, pengembangan kendaraan listrik juga dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti memerlukan daya dukung produksi listrik yang lebih besar, penyediaan infrastruktur pengisian ulang beterei secara masif, dan pengelolaan limbah baterai yang sudah tidak terpakai.

Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, kebijakan RDMP dan GRR Pertamina yang tidak hanya meningkatkan kuantitas produksi tetapi juga kualitas BBM yang dihasilkan kemungkinan sudah dapat untuk mengakomodasi penyelesaian isu lingkungan. Apalagi berdasarkan informasi yang ada Pertamina juga berencana membangun Green Refinery yang terintegrasi dengan kilang eksisting di Plaju, Dumai dan Balikpapan. Ketiga wilayah tersebut dipilih berdasarkan kedekatan dengan lokasi sumber bahan baku yaitu CPO. Pilihan tersebut diantaranya karena sekitar 50 % biaya produksi bahan bakar pada bio-refinery di Indonesia adalah biaya angkut CPO.

Berdasarkan sejumlah studi dan pilot project di sejumlah negara, biaya produksi pada bio-refinery lebih tinggi dibandingkan biaya produksi traditional refinery. Konsekuensinya, harga jual produk bio-refinery seperti green diesel, green gasoline, dan green avtur kemungkinan akan lebih mahal dibandingkan harga jual diesel, gasoline, dan avtur konvensional. Hal tersebut salah satunya karena kualitas produk yang dihasilkan lebih tinggi yang mana emisi dari produk bio-refinery seperti SO2, NOx, dan CO lebih rendah dibandingkan emisi dari produk yang dihasil traditional refinery.

Tanpa mengesampingkan makna dan niat baik dari kebijakan pengembangan mobil listrik, kebijakan RDMP, GRR, dan Green Refinery yang dilaksanakan Pertamina dapat dikatakan memiliki manfaat yang lebih luas, tidak hanya positif untuk menyelesaikan isu lingkungan tetapi juga memberikan manfaat untuk ketahanan energi dan nilai tambah ekonomi yang besar bagi Indonesia. Melalui RDMP dan GRR yang akan meningkatkan kualitas produk BBM dari EURO II menjadi EURO V secara tidak langsung akan memperbaiki kualitas dan menyelesaikan isu lingkungan. Apalagi jika kebijakan tersebut dikombinasikan dengan pengembangan bio-refinery.

Dari aspek kemandirian dan ketahanan energi, proyek RDMP dan GRR yang akan mendorong kapasitas kilang dari saat ini 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari, memiliki makna penting dan posisi yang strategis. Produksi BBM Indonesia yang saat ini 600 ribu barel per hari menjadi 1.700 ribu barel per hari. Program tersebut juga berpotensi meningkatkan produksi petrokimia dari saat ini 600 sekitar 600 ribu ton per tahun menjadi 6.600 ribu ton per tahun.

Kebijakan pengembangan kilang melalui RDMP, GRR, dan Green Refinery berpotensi memberikan manfaat ekonomi yang besar. Mandatori kebijakan TKDN dalam proyek pengembangan kilang diproyeksikan akan berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja langsung maupun tidak langsung sekitar 172 ribu orang dan menambah penerimaan pajak selama beroperasi sekitar 109 miliar USD. Peningkatan kapasitas kilang akan mengurangi volume impor produk BBM yang diproyeksikan dapat menghemat devisa impor sekitar 12 milyar USD per tahun.

Pemerintah Harus Benahi Iklim Investasi Target Lifting Migas Sulit Tercapai

Selasa, 5 November 2019

JAKARTA, investor.id – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan target produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi (migas) tahun ini sulit tercapai. Untuk menggenjot lifting migas, pemerintah didesak segera membenahi iklim investasi migas dalam negeri agar perusahaan migas, khususnya skala besar (major company), mau menginvestasikan dananya.

Lifting minyak bumi tahun ini ditargetkan mencapai 775 ribu barel per hari, dan gas bumi sebesar 7.000 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, per 31 Oktober 2019, realisasi lifting minyak tercatat sebesar 742,9 ribu barel per hari (bph) dan gas bumi sebesar 5.892 mmscfd.

“Outlook akhir tahun 2019 ini lifting minyak 746,2 ribu bph dan gas 5.896 mmscfd,” kata Julius dalam pesan pendeknya kepada Investor Daily, Senin (4/11).

Berdasarkan data yang dihimpun Investor Daily, dalam periode 2010-2018, realisasi lifting minyak hanya mencapai target pada tahun 2016, selebihnya selalu di bawah target. Hal yang sama juga terjadi pada lifting gas bumi untuk periode 2014-2018.

Meski target lifting sulit tercapai, Julius mengatakan bahwa SKK Migas masih berupaya mencapai target tersebut. “Cukup menantang, tetapi tetap kami usahakan,” kata Julius.

Menurut dia, SKK Migas telah mengupayakan sejumlah strategi untuk menggenjot lifting migas hingga akhir tahun, di antaranya merealisasikan program kerja tahun ini, seperti pengeboran sumur dan perawatan sumur. Mengacu data SKK Migas, tahun ini rencananya terdapat pengeboran 80 sumur pengembanganm kerja ulang 241 sumur, dan perawatan sumur 11.021 kegiatan.

SKK Migas juga akan melakukan pengurasan stok di beberapa terminal. “Pengurasan stok bisa menambah 500-600 barel minyak roughly,” ujar Julius.

Selain itu, pihaknya akan merealisasikan proyek migas yang dijadwalkan beroperasi (onstream) akhir tahun ini. Berdasarkan data SKK Migas, terdapat delapan proyek hulu migas dijadwalkan beroperasi di sisa akhir tahun ini. Dari proyek ini, tambahan produksi yang direncakan yakni gas 270 mmscfd dan minyak 10.500 bph.

Empat proyek dijadwalkan mulai beroperasi di November. Rinciannya, proyek Buntal-5 sebesar 45 mmscfd oleh Medco E&P Natuna Ltd, Bison-Iguana-Gajah Putri 163 mmscfd oleh Premiere Oil Natuna Sea BV, Temelat oleh PT Medco E&P Indonesia 10 mmscfd, dan Panen 2.000 bph oleh PetroChina International Jabung Ltd.

Sedangkan pada Desember nanti, dua proyek akan beroperasi, yaitu Bukit Tua Phase-3 dengan perkiraan produksi minyak 3.182 bph dan gas 31 mmscfd oleh Petronas Carigali Ketapang II Ltd serta Proyek Full Well Stream Kedung Keris dengan produksi minyak 3.800 bph oleh Exxon Mobil Cepu Ltd.

Namun demikian, Julius mengungkapkan, pihaknya tengah berupaya mempercepat Proyek Kedung Keris. “Projek onstream misalnya Proyek Kedung Keris yang akan on stream di mid (pertengahan) November 2019. Kami percepat (jadi) pertengahan November, semoga berhasil,” tutur dia.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, ada tiga gangguan operasi yang mempengaruhi rendahnya produksi migas nasional hingga September 2019. Pertama, harga gas di pasar dunia saat ini tercatat sangat rendah. Hal ini membuat pemerintah memutuskan untuk tidak memproduksikan dahulu cadangan gas yang dimiliki. Keputusan ini berdampak pada produksi gas nasional.

“Jadi lifting 2019 terus terang agak terpukul, sebagian besar karena harga gas dunia sangat rendah,” ujar Dwi.

Penyebab lainnya adalah kebakaran hutan yang berdampak pada kegiatan operasi migas di Sumatera. Salah satunya yakni di Blok Rokan yang dioperasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Pihaknya terpaksa menghentikan sebagian kegiatan operasi di Blok Rokan demi keamanan selama sekitar satu bulan.

Saat ini, kegiatan operasi di Blok Rokan belum kembali normal. “Mungkin masih kami tahan dulu untuk alasan keamanan. Saya kira November mestinya sudah normal lagi,” tuturnya.

Terakhir, lanjut dia, kejadian tumpahan minyak pada Sumur YYA-1, Proyek YY di Blok Offshore North West Java (ONWJ) juga berdampak pada produksi migas nasional. Pasalnya, tambahan produksi migas yang direncanakan datang dari proyek ini batal diperoleh.

Dwi juga mengatakan, lifting yang belum mencapai target berdampak pada realisasi penerimaan negara yang hingga September 2019 baru mencapai US$ 10,99 miliar dari target dalam APBN 2019 sebesar US$ 17,5 miliar. “Hal ini (penerimaan negara) juga dipengaruhi ICP (Indonesia Crude Price) yang sekitar US$ 60 per barel. Ini cukup jauh di bawah target asumsi makro APBN yaitu US$ 70,” kata dia.

Benahi Iklim Investasi

Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya untuk menggenjot lifting adalah dengan alokasi investasi besar untuk kegiatan pengembangan seperti enhanced oil recovery (EOR) skala besar, memperbanyak pemboran sumur pengembangan serta optimasi produksi lapangan eksisting.

“Alokasikan investasi dalam porsi besar untuk kegiatan development (pengembangan lapangan),” kata Pri Agung.

Menurut dia, upaya tersebut bisa memperbaiki defisit neraca migas. Namun, diperlukan pembenahan secara mendasar baik di hulu maupun di hilir.

Penambahan kapasitas kilang yang belum terealisasi membuat impor BBM semakin besar. Sementara di sisi hulu, produksi migas mengalami penurunan. “(Lifting naik) memperbaiki tapi tentu tidak menyelesaikan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika mengatakan, jika tahun ini saja tidak bisa mencapai target, maka dipastikan tahun depan akan makin sulit. “Tantangan tahun depan itu lebih berat. Yang saya tahu, para KKKS itu sanggupnya hanya sekitar 600-an bph,” kata Kardaya kepada Investor Daily.

Menurut Kardaya, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Banyak hal yang mendesak yang harus segera dibenahi pemerintah. Hal yang utama adalah mengenai kepastian berinvestasi.

”Jadi, turunnya produksi ini karena investasi tidak masuk. Perusahaan-perusahaan besar (major company) seperti Shell, Exxon, Total lebih suka menginvestasikan dananya ke negara lain. Dan yang menyakitkan adalah, negara tujuannya itu secara potensi tidak lebih baik dari Indonesia, seperti Vietnam dan Myanmar. Mereka menganggap di Indonesia tidak ada kepastian hukum, banyak hukum juga ditabrak,” jelasnya.

Selain itu, kata Kardaya, banyak aturan yang diubah namun justru menakutkan investor. Misalnya perubahan dari skema cost recovery ke gross split.

“Sebenarnya gross split itu bagus, kalau yang dipakai adalah gross split yang sebenarnya, bukan yang ada seperti sekarang. Misalnya, besaran bagi hasil tentukan di depan, bukan nanti di belakang setelah cadangan minyak ditemukan,” papar Kardaya.

Dia menyarankan pemerintah agar lebih fleksibel dalam menerapkan skema. Artinya, investor diberi opsi apakah tetap menggunakan skema cost recovery ataukah gross split. Namun, gross split yang diterapkan pun yang simple.

Dia mengakui bahwa dalam hal penerapan skema ini memang untuk kegiatan eksplorasi dan hasil produksinya baru terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Namun, secara tidak langsung, ini membuat investor pun enggan untuk berinvestasi dalam jangka pendek.

Hingga akhir kuartal III-2019, realisasi investasi sektor energi dan sumber daya mineral tercatat baru sebesar US$ 19,8 miliar atau 59,28% dari target US$ 33,44 miliar. Rinciannya, untuk subsektor minyak dan gas bumi sebesar US$ 8,1 miliar dari target US$ 13,4 miliar, ketenagalistrikan US$ 7,4 miliar dari target US$ 12 miliar, mineral dan batu bara US$ 3,3 miliar dari target US$ 6,2 miliar, serta energi baru terbarukan US$ 1 miliar dari target 1,8 miliar.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerjasama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, pihaknya beserta stakeholders terus menjaga agar target investasi dapat tercapai. Di sisa akhir tahun ini, investasi akan digenjot semaksimal mungkin, mengingat biasanya investasi mengikuti S-curve.

“Realisasi investasi biasanya mengikuti S-curve. Investasi akan kita pacu agar bisa lebih cepat. Sesuai arahan Bapak Menteri ESDM, bahwa kami diminta agar bekerja lebih cepat, cermat dan produktif,” kata dia di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, sektor ESDM sangat strategis dalam mendorong perekonomian nasional. Karenanya, pihaknya terus menjaga iklim investasi di sektor ini semakin bergairah dan kondusif bagi investor. Sebelumnya, sebanyak 186 perizinan di sektor ESDM telah dipangkas. Hal tersebut akan terus dilanjutkan untuk mempercepat dan mempermudah proses investasi di sektor ESDM.

“Aspek perizinan, baik kecepatan maupuan birokrasinya akan terus dievaluasi, sehingga dapat mendorong investasi yang lebih cepat dan memberikan certainty. Investasi ini penting karena akan mendorong pembukaan lapangan kerja, sehingga efektif menjadi prime mover ekonomi nasional,” tamban Agung.

Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin Arizon pernah menuturkan, investasi hulu migas tercatat US$ 8,4 miliar hingga akhir September 2019. Realisasi ini meningkat 11% dibandingkan periode sama tahun lalu US$ 7,6 miliar.

Namun, jika dibandingkan dengan target investasi tahun ini sebesar US$ 14,7 miliar, realisasi tersebut tercatat baru sekitar 57,15%. Menurut Jaffee, pihaknya terus melakukan efisiensi guna menekan biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) atau juga merupakan biaya investasi.

Ke depan, Jaffee memproyeksikan investasi migas nasional akan terus meningkat. Apalagi, hingga 2027, terdapat 42 proyek migas yang direncanakan bergulir dengan total investasi US$ 43,3 miliar.

 

 

Regulasi Pengelolaan dan Pengusahaan Bisnis LNG
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Investor Daily: Selasa, 5 November 2019 | 11:14 WIB

Dalam beberapa tahun ke depan, prospek bisnis liquefied natural gas (LNG) di dalam negeri kemungkinan semakin meningkat. Terdapat dua faktor utama yang menjadi pendorong meningkatnya prospek tersebut. Pertama, konsumsi gas di dalam negeri oleh sektor industri, listrik, komersial, dan rumah tangga tercatat terus meningkat. Kedua, terjadi ketidaksesuaian antara lokasi cadangan (produksi) gas dengan lokasi pengguna gas.

Saat ini sebagian besar pengguna gas berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sementara itu, sebagian besar cadangan gas di wilayah Indonesia bagian timur. Karena itu, penyediaan infrastruktur distribusi gas menjadi kunci agar produksi gas Indonesia dapat dioptimalkan untuk kepentingan dalam negeri.

Permasalahannya, keberlanjutan pasokan dan komitmen pembelian gas oleh konsumen seringkali menyebabkan keekonomin proyek penyediaan infrastruktur pipa transmisi dan distribusi gas tidak dapat terpenuhi.

Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, mengubah gas menjadi cair (LNG) seringkali menjadi pilihan utama agar produksi gas dapat didistribusikan kepada konsumen tanpa harus tergantung terhadap penyediaan infrastruktur pipa transmisi dan distribusi gas dari sumber produksi sampai dengan pengguna.

Sejauh ini Indonesia pada dasarnya telah melakukan hal tersebut, namun sebagian besar LNG yang diproduksikan dialokasikan untuk kepentingan ekspor.

Pengaturan Pengelolaan dan Pengusahaan

Mengingat LNG akan memiliki peran penting, pengaturan untuk pengelolaan dan pengusahaan LNG menjadi penting. Akan tetapi, berdasarkan review dalam Undang undang Migas No.22/2001 tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai bisnis LNG. Tidak terdapat satu pasal pun di dalam UU Migas No 22/2001 yang menyebut kata liquified natural gas (LNG) atau gas alam cair.

Kata LNG tercatat hanya satu kali disebut di dalam UU No 22/2001, yaitu dalam penjelasan Pasal 63 huruf ‘d’. Bisnis LNG hanya diatur secara implisit melalui ketentuan pada kegiatan usaha hilir. Pasal 1 ayat (10) UU No 22/2001 mendefinisikan kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga.

Dalam hal ini bisnis LNG dikelompokkan dalam kegiatan usaha pengolahan. Pasal 1 ayat (11) mendefinikan pengolahan merupakan kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

Dalam UU No 22/2001 bisnis LNG dikategorikan sebagai bagian dari kelompok usaha hilir migas, yaitu usaha pengolahan. Secara implisit, bisnis LNG juga diatur dalam ketentuan Pasal 23, Pasal 30, dan Pasal 53 UU Migas No 22/2001. Pengaturan bisnis LNG secara eksplisit ditemukan dalam PP No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Pasal 1 ayat (5) PP ini mendefinisikan LNG adalah gas bumi yang terutama terdiri atas metana yang dicairkan pada suhu sangat rendah (sekitar minus 1600C) dan dipertahankan dalam keadaan cair untuk mempermudah transportasi dan penimbunan.

Pasal 12 huruf “a” mendefinisikan kegiatan usaha pengolahan meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, LPG dan/ atau LNG tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. Pasal 24 ayat (1) mendefinisikan pengolahan gas bumi menjadi LNG, LPG, dan gas to liquefied (GTL) termasuk dalam dan/atau merupakan Kegiatan Usaha Hilir selama ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba serta bukan merupakan kelanjutan dari Kegiatan Usaha Hulu.

UU No 22/2001 dan PP No 36/2004 menetapkan kewenangan pemberian izin usaha dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian LNG melekat pada menteri ESDM. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf “a” PP No 36/2004 menetapkan bahwa pengajuan dan pemberian izin usaha untuk kegiatan usaha pengolahan yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan diajukan kepada dan diberikan oleh menteri ESDM.

Pasal 13 PP No 36/2004 menetapkan bahwa menteri ESDM dapat melimpahkan kewenangan pemberian Izin Usaha Hilir Migas yang akan diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri ESDM. Pasal 16 Permen ini menetapkan jika badan usaha melaksanakan kegiatan usaha pengolahan dengan kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha pengolahannya, maka kepada badan usaha hanya diwajibkan untuk memiliki Izin Usaha Pengolahan.

Sementara itu, jika badan usaha melakukan kegiatan usaha pengolahan dengan kegiatan usaha pengangkutan, penyimpanan, dan niaga yang tidak sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha pengolahannya, maka kepada badan usaha wajib mempunyai Izin Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan, dan Izin Usaha Niaga Umum (wholeshale) atau Izin Usaha Niaga Terbatas (trading) secara terpisah.

Relatif sama dengan ketentuan UU Migas No 22/2001, dalam draf revisi UU Migas inisiatif DPR yang telah diparipurnakan pada 3 Desember 2018 juga tidak ditemukan adanya ketentuan yang mengatur secara eksplisit mengenai bisnis LNG. Pengaturan bisnis LNG hanya dilakukan secara implisit melalui ketentuan Pasal 1 ayat (17), (20), (29), Pasal 3 huruf “d”, Pasal 18 ayat (1), Pasal (19) ayat (3), Pasal (20), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (4) huruf “d”, dan Pasal 28.

Melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Migas yang disampaikan pemerintah pada 21 Januari 2019, pemerintah mengusulkan sejumlah perubahan dan penambahan ketentuan baru yang di antaranya terkait dengan kebijakan pengelolaan dan pengusahaan LNG.

Berdasarkan review terdapat 18 kali kata “LNG” disebut di dalam DIM RUU Migas yang disampaikan oleh pemerintah tersebut. Ketentuan terkait pengelolaan dan pengusahaan LNG di antaranya diusulkan masuk pada Pasal 1 ayat (4), Pasal 1 ayat (9), Pasal 26 ayat (3), (4), Pasal 48 ayat (1), (2), (4), Pasal 49 ayat (6), dan Pasal 50 ayat (5).

Mencermati permasalahan dalam pengelolaan sektor gas bumi dalam negeri, usulan pemerintah dalam DIM Revisi UU Migas tersebut sesungguhnya cukup relevan. Karena itu, meskipun secara administrasi nantinya pambahasan revisi UU Migas yang telah bergulir sejak tahun 2008 harus dimulai dari awal lagi oleh DPR yang baru, substansi pembahasan yang telah dilakukan dalam proses sebelumnya dapat dikatakan sudah cukup progresif.

Sehingga dalam konteks substansi, pemerintah dan DPR yang baru semestinya tidak harus memulai segala sesuatunya dari nol, tetapi tinggal melakukan penyempurnaan untuk beberapa poin pengaturan yang dinilai perlu disempurnakan.