Opsi Penyelesaian Perpajakan Hulu Migas

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

www.kontan.co.id; Selasa 23 April 2019

Ketidakpastian fiskal, terutama terkait masalah perpajakan, menjadi salah satu faktor utama yang membuat investasi hulu migas di Indonesia kurang kondusif. Terutama sejak berlakunya Undang – undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001), prinsip perpajakan dalam sistem kontrak kerja sama mendasarkan pada sistem Production Sharing Contract (PSC), menjadi tidak sinkron dengan aturan perpajakan yang berlaku. Pemberlakuan UU Migas menyebabkan aturan perpajakan migas tidak lagi bersifat Lex Specialis.

Prinsip Assume and discharge yang mestinya diberlakukan dalam hal perpajakan, tidak dapat lagi diterapkan secara utuh di dalam kontrak kerja sama yang digunakan. Pasal 31 UU Migas No. 22/2001 menyebut bahwa perlakuan perpajakan di dalam sektor Hulu Migas di sesuaikan dengan ketentuan peraturan perudangan yang berlaku.

Assume and discharge secara prisip adalah di dalam kerja sama hulu migas yang disepakati bersama. Selain pajak langsung berupa pajak penghasilan (PPh) dan pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR), kontraktor hulu migas di Indonesia dibebaskan kewajiban untuk membayar pajak-pajak dan pungutan lain yang bersifat tidak langsung (indirect taxes), secara sederhana, pada prinsip assume and discharge maka migas bagian kontraktor sudah bersih dan tidak perlu lagi membayar pajak, terutama pajak tidak langsung, sementara migas bagian negara sudah termasuk komponen pajak.

Diantara indirect texas yang dibebaskan sehingga migas bagian kontraktor benar benar menjadi nett adalah pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak tambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan bea masuk impor, iuran dan atau distribusi daerah maupun pungutan lainnya.

Di dalam UU lama yang mengatur pengolahan migas yakni UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamia, esensi dan prinsip assume and discharge dinyatakan secara jelas didalam Pasal 14 dan Pasal 15. UU itu untuk menyebut, status kontraktor hulu migas adalah sebagai kontraktor dari Pertamina. Selama PPh dan PBDR, kontraktor bukanlah merupakan subjek pajak secara langsung. Dalam hal ini Pertamina, sebagai wakil dari Negara lah yang merupakan subjek pajak secara langsung, dan bukan kontraktornya. Di dalam pasal 14 dan 15 UU 8/1971 diseutkan pengenaan dan pengurusan atas pajak-pajak dan pungutan tidak langsung tersebut menjadi domain dari Pertamina sebagai wakil dari negara.

Pada titik inilah, pemberlakuan UU migas 22/2001 menghilangkan esensi prinsip assume and discharge. Menjadi subjek secara langsung , kontraktor bukan hanya dikenakan atau harus membayar terlebih dahulu atas pajak dan pungutan tidak langsung itu saja, tetapi juga harus mengurus sendiri atas segala hal terkait birokrasi dan administrasi.

Upaya pemerintah

Pemerintah bukannya tidak berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah tercatat memberikan sejumlah fasilitas perpajakan untuk sektor hulu migas. Beberapa diantaranya.

(1) PP No. 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang Dapat Dikembalika. Melalui PP ini kontraktor dibebaskan dari pungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan Eksplorasi, (Pasal 25 Poin 10). Kontraktor juga mendapatkan pengecualian pengenaan pajak penghasilan dari pengalihan Participacing Interest tertentu (Pasal 26 ayat 3).

(2) PP No. 27 Tahun 2017 tentang Perubahan PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang dapat Dikembalikan. Melalui PP No.27/2017, pemerintah cercatat menambahkan lagi sejumlah fasilitas perpajakan. Beberapa diantaranya adalah pemberian imbalan DMO Holiday oleh Menteri ESDM setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan (Pasal 10), pembebasan PPN dan pajak penjualan atas barah mewah yang digunakan pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, dan diberikannya pengurangan PBB pada masa eksploitasi.

Paska pemberlakuan kontrak PSC Gross Split, juga terbit peraturan Pemerintah (PP) No 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi hasil Gross Split. Beberapa fasilitas perpajakan tambahan yang diberikan diantarannya biaya operasi kontraktor dapat diperhitungkan sebagai unsur pengurang penghasilan dalam pengitungan penghasilan kena pajak (Pasal 6) dan pemberikan insentif tax loss carry forward atau penangguhan pajak penghasilan (PPh) selama 10 tahun (Pasal 18 Ayat 2).

Berbagai fasilitas perpajakan yang telah diberikan pemerintah di atas secara prinsip memang terlihat cukup indentik dengan prinsip assume discharge.

Namun, karena kontraktor adalah subjek pajak langsung, berbagai aturan diatas mampu menjangkaunya. Implementasinya, kontraktor tetap saja harus berhadapan sendiri secara langsung dengan segala kompleksifitas dan birokrasi yang ada.

Apalagi PP tersebut masih memerlukan aturan pelaksanaan teknis lebih lanjut. Dalam beberapa aspek, pemberian fasilitas perpajakan juga masih harus menggu penilaian dan keputusan menteri.

Berdasarkan uraian diatas, penyelesaian atas masalah ketidakpastian dalam hal perpajakan hulu migas, pada dasarnya merupakan suatu pilihan. Jika kita ingin menyelesaikannya secara fundamental, dengan bentuk kontrak kerja sama yang ada, penyelesain masalah ketidakpastian perpajakan hanya dapat dilakukan melalui revisi UU migas, yaitu dengan memasukan kembali prinsip assume and discharge pada UU Migas yang baru. Penyelesaian secara fundamental, akan memberikan kepastian fiskal yang lebih baik.

Jika kita lebih memilih menyelesaikannya secara praktikal, kadar ketidakpastian fiskal mungkin dapat dikurangi dengan lebih segera menerbitkan aturan pelaksanaan dari PP No. 27/2017, dan dengan melakukan revisi dan menyederhanakan birokrasi terhadap pemberian fasilitas perpajakan dan pemberian mantan . Secara prinsip pemberian fasilitas perpajakan tersebut cukup identik dengan prinsip assume and discharge dalam hal pembebasan kewajiban perpajakan.

Namun dalam hal posisi kontraktor tetap sebagai subjek pajak atas pajak dan pungutan tidak langsung, hal ini tetap tidak dapat terselesaikan. Pada titik ini penyelesaian secara praktikal tidak mampu menjangkaunya.

Dalam konteks ini, otoritas perpajakan juga tidak dapat memberlakukan ketentuan perpajakan pada suatu sektor secara khusus (lex specialis), dat memlalui PP), karena hal tersebut akan bertentangan dengan ketentuan perpajakan lainnya yang lebih tinggi (Undang – Undang Perpajakan) yang secara umum menganut prinsip equal treatment terhadap semua sektor.

Setiap pilihan memiliki kelebihan, kekurangan, konsekuensi dan implikasi sendiri. Pemerintah dan kalangan pelaku industri hulu migas harus memahami kelebihan dan kekurangannya.

PERSPEKTIF PRI AGUNG RAKHMANTO : Perizinan Hulu Migas Satu Pintu
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Masalah Perizinan Usaha Hulu Migas
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Hasil Pilpres Dinilai Belum Berdampak terhadap Investasi Sektor Migas

KATADATA;  Kamis, 18 April 2019, 16.39 WIB

Pasar masih menunggu komposisi jajaran Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Pertamina.

Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei memprediksi pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin sebagai pemenang  Pilpres 2019. Hasil perhitungan cepat ini belum mendapat respons dari investor di industri  hulu minyak dan gas bumi (migas).

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, masih terlalu dini untuk memproyeksikan kemajuan beberapa proyek migas setelah Pemilu. Menurut Komaidi, hal tersebut tergantung dari bagaimana komposisi jajaran pejabat di Kementerian ESDM, termasuk SKK Migas, dan PT Pertamina (Persero) yang akan dibentuk nantinya.

“Sampai dengan Oktober saya kira fokus pemerintah sekedar menyelesaikan hal-hal yang saat ini sedang dikerjakan saja,” ujar Komaidi saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (18/4).

Dihubungi secara terpisah, pengamat energi ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto juga mengatakan hal yang senada. Menurut Agung, investasi hulu migas di Indonesia akan dipengaruhi oleh figur yang dapat mempengaruhi arah kebijakan dan pengambilan keputusan di Kementerian ESDM, SKK Migas dan Pertamina, yang baru akan ditentukan usai presiden dan wakil presiden terpilih dilantik pada Oktober 2019 mendatang.

“Figur akan berpengaruh. Tergantung nanti siapa Menteri/Wakil Menteri ESDM-nya. Siapa dan bagaimana komposisi jajarannya, termasuk di jajaran SKK Migas, Pertamina dan lain-lain,” ujar Pri kepada Katadata.co.id.

Sementara itu, Direktur Riset Wood Mackenzine Andrew Harwood menyampaikan, kedaulatan energi akan tetap menjadi seruan pemerintah dan membatasi impor minyak yang mahal sebagai prioritas kebijakan. Ini menunjukkan bahwa pembatasan ekspor minyak mentah akan tetap diberlakukan.

Andrew juga mengatakan, setelah pemilihan umum 2019 tidak akan membalikkan tren statistik di sektor hulu migas. Menurutnya, Pertamina sebagai perusahaan BUMN masih akan tetap mendapatkan prioritas untuk mengelola Blok migas terminasi.

“Pemilihan umum tidak akan membalikkan tren statistik di sektor hulu migas. Pertamina akan tetap berada di posisi terdepan untuk mengambil alih PSC yang akan segera berakhir,” ujar Andrew Berdasarkan keterangan resminya pada, Selasa (16/4).

Lebih lanjut Andrew juga menilai upaya terbaru untuk meningkatkan investasi hulu migas sedikit terlambat, karena menurutnya banyak operator besar telah keluar dan mengurangi ambisi mereka berinvestasi di Indonesia.

“Kemajuan yang lambat dalam proyek-proyek kepentingan strategis nasional, seperti penandatanganan PSC Rokan dan persetujuan pengembangan Abadi LNG, juga memberikan sinyal beragam bagi investor,” ujarnya.

Selain itu, Andrew juga menambahkan bahwa pembahasan mengenai Revisi UU Migas akan tetap berlanjut, namun menurutnya bukan menjadi prioritas bagi pemerintahan berikutnya.

“Perdebatan tentang revisi UU Migas akan terus berlanjut, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa berakhirnya ketidakpastian hukum selama bertahun-tahun merupakan prioritas bagi pemerintahan berikutnya,” ujar Andrew.

Reforminer Institute Pertanyakan Kesiapan Lompatan B100 di Indonesia

Beritatrans.com; 19 April 2019

Pengamat energi dan Direktur Reforminer Institut Komaidi Notonegoro mempertanyakan lompatan dari program B20 ke B100 bagi kendaraan di Indonesia. Ia menilai, pelaksanaan B20 Indonesia sejauh ini masih banyak menemui kendala dalam penerapannya.

“Sejauh ini, untuk produksi massal BBM B20 Pertamina masih menemui kendala. Seperti misalnya, masalah kesiapan kilang,” kata Komaidi melalui @Reforminer Institute di Jakarta, kemarin.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Aptrindo Kyatmaja Lookman mengaku, pihaknya sudah menggunakan B20 dan tak masalah. Namun jika akan naik menjadi B100, masih butuh waktu dan proses.

“Kalau mau naik jadi B100, harus menggunakan kendaraan yang sama sekali beda dengan sekarang. Selain itu, B100 harus ada ujicoba terutama untuk kendaraan besar seperti truk atau bus,” kata Kyat menjawab BeritaTrans.com.

Bukan hanyq itu, menurut Komaidi, produsen mobil di Indonesia, sudah beberapa kali meminta kebijakan itu ditangguhkan lantaran mesin yang mereka buat belum dapat mengakomodir bahan bakar itu.

Itulah sebabnya, Komaidi menilai tak menutup kemungkinan bila kerusakan mesin yang bisa terjadi akibat pemaksaan kebijakan minyak nabati ini justru dapat mengurangi kepercayaan konsumen.

Belum Cukup Siap

Menurut Komaidi, dari sisi produsen dan konsumen belum cukup siap. Kenapa kok bisa langsung lompat ke B100? B20 saja belum sukses kok bisa langsung lompat ke B100?

“Saya hanya khawatir ini euforia sesaat seperti BBG waktu itu tak jalan,” kata Komaidi lagi.

Serangkaian masalah yang lebih banyak menunjukkan ketidaksiapan itu pun membuat Komaidi menduga bila ada kepentingan lain di balik arahan presiden itu.

Komaidi menilai hal itu mungkin terkait dengan kebutuhan pemerintah saat ini untuk menunjukkan capaiannya.

Karena saat ini lsekitar Pilpres/ Pemilu bisa saja disampaikan demikian. Bisa juga seperti itu, H-2 pemilu ingin menunjukkan Pemerintah serius.

“Tapi saya positif saja. Bisa jadi karena ingin perbaiki neraca perdagangan lewat pengurangan impor BBM,” tandas Komaidi.

Penerapan Program B20 Masih Terkendala, Kok Melompat ke B100?

Tirto.id; 16 April 2019

tirto.id – H-2 jelang Pemilu 2019, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengumumkan pengembangan biofuel menjadi B100. Informasi ini disampaikan Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang mengaku mendapatkan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo untuk melakukan lompatan pengembangan bahan bakar nabati ini.

Meski baru tahap uji coba selama 1-2 tahun ke depan, tapi pengembangan yang diumumkan Amran ini menandakan bahwa kementeriannya telah berupaya menggunakan olahan minyak sawit sepenuhnya sebagai bahan bakar. Ia mengklaim hal ini bisa dilakukan karena pemerintah telah memulai pengembangan B10 dan B20 terlebih dahulu. “Sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya sudah memulai dengan B10, B20. Atas arahan bapak presiden kita langsung melompat B100,” kata Amran kepada wartawan usai acara ‘uji coba perdana B100 di lingkungan Kementan’ pada Senin, 15 April 2019.

Amran juga mencanangkan realisasi B100 dapat merambah kendaraan pejabat di pemerintahan. Ia menyebutkan mulai dari setiap eselon hingga menterinya juga sebisa mungkin menggunakan bahan bakar ini. “Kalau bisa nanti para pejabat pakai B100, mulai eselon satu sampai empat termasuk menterinya. Mobil jemputan juga termasuk,” ucap Amran.

Langkah pengembangan bahan bakar nabati ini memang berbeda dengan proses yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pasalnya, Kementerian ESDM baru saja merampungkan uji untuk pemanfaatan B20 yang masih terdiri dari campuran solar dan minyak nabati berupa Fatty Acid Methyl Eter (FAME).

Setelah B20 mulai didistribusikan secara massal sejak 2018, Kementerian ESDM, pada Jumat (12/4/2019) kembali menyiapkan uji coba penggunaan biodiesel 30% (B30) pada kendaraan darat. B30 ini pun juga masih akan melalui berbagai macam uji standar internasional yang diawasi lembaga lain seperti Kementerian ESDM, BPPT, Aprobi, Gaikindo, dan Pertamina.

“Saat ini kami sedang menyiapkan uji coba untuk B30, 30 persen minyak sawit (FAME) pada solar,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM, Dadan Kusdiana dalam keterangan tertulis yang dirilis di laman resmi kementerian, Minggu (14/4/2019).

Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro pun mempertanyakan lompatan dari B20 ke B100 itu. Sebab, saat ini ia menilai Indonesia masih banyak menemui kendala dalam penerapan B20 sehingga memang masih memerlukan kajian mendalam dan mengikuti tahapan yang saat ini dijalankan Kementerian ESDM.

Menurut Komaidi, sejauh ini untuk produksi massal B20 saja Pertamina masih menemui kendala seperti masalah kesiapan kilang. Di sisi lain, produsen mobil, kata dia, beberapa kali meminta kebijakan itu ditangguhkan lantaran mesin yang mereka buat belum dapat mengakomodir bahan bakar itu.

Sebab, Komaidi menilai tak menutup kemungkinan bila kerusakan mesin yang bisa terjadi akibat pemaksaan kebijakan minyak nabati ini justru dapat mengurangi kepercayaan konsumen.

“Dari sisi produsen dan konsumen belum cukup siap. Kenapa kok bisa langsung lompat ke B100? B20 saja belum sukses kok bisa langsung lompat ke B100? Saya hanya khawatir ini euforia sesaat seperti BBG waktu itu enggak jalan,” kata Komaidi saat dihubungi reporter Tirto.

Serangkaian masalah yang lebih banyak menunjukkan ketidaksiapan itu pun membuat Komaidi menduga bila ada kepentingan lain di balik arahan presiden itu. Ia menilai hal itu mungkin terkait dengan kebutuhan pemerintah saat ini untuk menunjukkan capaiannya.

“Karena ini pilpres bisa disampaikan demikian. Bisa juga seperti itu, H-2 pemilu ingin menunjukkan pemerintah serius.Tapi saya positif saja, mungkin karena ingin perbaiki neraca perdagangan lewat pengurangan impor BBM,” ucap Komaidi.

Direktur Eksekutif Institute Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa tak menganggap hal itu politis. Ia menilai lompatan B100 itu bisa jadi merupakan respons pemerintah usai kegagalan negosiasi untuk menangguhkan Renewable Energy Directive II (RED II) oleh Uni Eropa dengan meningkatkan pemanfaatan minyak sawit dalam negeri.

Kendati demikian, Fabby menilai kebijakan ini cenderung terkesan reaktif lantaran bisa jadi mengabaikan dinamika permintaan bahan bakar masyarakat. Fabby menilai pemerintah tak bisa menafikan adanya perkembangan bahan bakar alternatif, seperti listrik.

Seiring dengan perlunya waktu untuk uji coba kendaraan dan persiapan infrastruktur seperti kilang untuk produksi, tidak menutup kemungkinan bila kemajuan riset dan teknologi kendaraan listrik bisa lebih cepat. Ia juga menilai penerapan program biofuel ini tidak bisa sepenuhnya diserap oleh sektor transportasi saja, tetapi bebannya harus dibagi, salah satunya untuk pembangkit listrik.

Sebab, kata Fabby, jika tidak dipikirkan baik-baik, maka pengembangan B100 bisa tak sesuai harapan. “Pemerintah harusnya liat lebih komprehensif. Bagaimana permintaan bahan bakar ke depan. Jadi tidak membuat kebijakan emosional. Kan enggak bisa berharap semua orang pasti pakai biodiesel karena ada pilihan kendaraan listrik,” ucap Fabby. Apalagi saat ini belum ada studi yang memadai terkait B100 ini.

Fabby menilai pemanfaatan B100 belum cukup kompetitif lantaran biaya produksi BBM fosil masih berada di bawah 100 dolar AS per barel. Dengan demikian, Fabby memperkirakan penerapan B100 dapat terkendala akibat biaya produksinya yang 20-30 persen masih lebih mahal dibandingkan energi fosil.

“Harus lebih rasional mempertimbangkan pasar ke depan,” ucap Fabby. Terkait ini, reporter Tirto telah berusaha menghubungi Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kemen ESDM Sutijastoto, tetapi hingga artikel ini ditulis belum memperoleh jawaban.

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul “Penerapan Program B20 Masih Terkendala, Kok Melompat ke B100?”, https://tirto.id/penerapan-program-b20-masih-terkendala-kok-melompat-ke-b100-dmeD.

Follow kami di Instagram: tirtoid | Twitter: tirto.id

Penanaman Modal: Mencermati Perkembangan Investasi Hulu Migas

Bisnis Indonesia; 01 April 2019

Penulis:

PRI AGUNG RAKHMANTO

Pengajar di FTKE Universitas Trisakti

Pendiri ReforMiner Institute

Mencermati perkembangan angka-angka investasi hulu migas nasional selama beberapa tahun terakhir, ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan kita bersama. Pertama, setelah terus menurun selama periode 2015 – 2017, investasi hulu migas di tahun 2018 tercatat mulai ada peningkatan. Berdasarkan data SKK Migas yang penulis himpun, investasi hulu migas tahun 2018 tercatat mencapai US$ 11,9 miliar. Ada peningkatan sekitar 16,7 % dibandingkan investasi hulu migas tahun 2017 yang tercatat sekitar US$ 10,2 miliar. Investasi hulu migas di tahun 2015 dan 2016 sendiri masing-masing tercatat sebesar 15,3 US$ miliar dan US$ 11,6 miliar. Berdasarkan angka-angka tersebut, maka penurunan investasi hulu migas dari tahun 2015 ke 2016 tercatat sebesar 24,2% dan penurunan dari tahun 2016 ke 2017 tercatat sebesar 12,1%. Maka, ketika berdasarkan angka tahun 2018 tercatat ada peningkatan investasi hulu migas sebesar 16,7% dibandingkan tahun sebelumnya, hal itu sekilas dapat merupakan sinyal yang positif.

Namun, jika dicermati lebih jauh, peningkatan ini kemungkinan berkaitan dengan naiknya biaya operasi karena adanya peningkatan harga minyak, yaitu dari rata-rata sekitar 52,2 US$/barel menjadi sekitar 67,5 US$/barel. Dapat dilihat disini bahwa secara prosentase rata-rata kenaikan harga minyak, yaitu 29,3 %, lebih tinggi daripada peningkatan nilai investasi sebesar 16,7 % yang terjadi. Jika dibandingkan dengan target berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan, yaitu sekitar US$ 13,2 milar, atau jika dibandingkan dengan rencana kerja awal sebelum revisi sebesar US$ 14,2 miliar, maka capaian nilai investasi tahun 2018 sebesar US$ 11,9 miliar tersebut adalah sekitar 90 % dan 84 % dari target atau rencana awal. Dalam hal ini, yang dapat kita baca adalah mungkin targetnya yang sejak awal kurang realistis, atau ada masalah perencanannya yang kurang terukur, atau ada kendala lain di dalam tahapan implementasinya. Terlepas dari faktor yang menjadi penyebab utamanya kemungkinan adalah karena kenaikan harga minyak dan terlepas bahwa angka investasi hulu migas tahun 2018 itu juga masih dibawah target semula, dengan asumsi bahwa angka-angka tersebut kredibel, maka satu hal yang tidak dapat dibantah berdasarkan angka-angka tersebut adalah bahwa sudah ada peningkatan nilai investasi hulu migas dibandingkan tahun sebelumnya. Apakah kenaikan tersebut benar-benar mencerminkan naiknya investasi karena peningkatan aktivitas di hulu migas secara riil dan oleh karenanya telah mencerminkan adanya kegairahan baru di dalam iklim investasi hulu migas di tanah air, hal tersebut masih perlu dilihat lebih jauh lagi.

Kedua, berkenaan dengan hal tersebut, maka menjadi relevan dan perlu untuk melihat lebih jauh lagi tentang porsi dan distribusi alokasi hulu migas yang selama ini dilakukan. Berdasarkan data yang dihimpun dari SKK Migas, selama periode 2015 – 2018 (untuk tahun 2018 berdasarkan realisasi hingga September), rata-rata porsi terbesar investasi yang ada adalah dialokasikan untuk kegiatan produksi. Porsi investasi yang dialokasikan untuk kegiatan produksi mencapai kisaran 60 – 80 % dari total investasi untuk setiap tahunnya. Perinciannya dari tahun 2015 – 2018 masing-masing adalah 66,4%, 69,8%, 78,9%, dan 73,1%. Sementara itu, untuk kegiatan pengembangan pada wilayah kerja eksploitasi, porsinya tidak terlalu besar, yaitu rata-rata berkisar 5 – 20 % untuk setiap tahunnya, dengan perincian setiap tahunnya masing-masing adalah 19,4%, 11,2%, 6,9%, dan 12,1%. Porsi investasi yang paling kecil adalah untuk kegiatan eksplorasi, yaitu rata-rata kurang dari 10% untuk setiap tahunnya, dengan perincian masing-masing tahun adalah sekitar 6,8%, 8,1%, 5,5%, dan 6%. Dari pola distribusi investasi yang ada, dapat dilihat bahwa porsi terbesar (60 – 80%) investasi yang ada adalah investasi untuk membiayai kegiatan operasi yang sudah berlangsung, utamanya adalah untuk kegiatan produksi. Artinya, sebagian besar porsi investasi yang ada adalah investasi yang berupa operating expenditures, atau pengeluaran untuk biaya operasional dari kegiatan-kegiatan (produksi) yang memang sudah berjalan. Investor atau kontraktor tidak terlalu tertarik untuk berinvestasi mengembangkan lapangan-lapangan baru, pun pada lapangan yang sudah masuk tahap eksploitasi (hanya 5 – 20 % dari porsi investasi). Investor atau kontraktor lebih tidak tertarik lagi untuk berinvestasi dalam kegiatan eksplorasi untuk penemuan lapangan migas baru (dibawah 10 %).

Berdasarkan data yang ada, pola ini sudah terjadi bertahun-tahun, lebih dari sepuluh tahun terakhir dan tidak hanya 3-4 tahun terakhir. Hal ini menggambarkan bahwa sesungguhnya iklim investasi hulu migas Indonesia memang sudah lama tidak cukup kondusif untuk mendorong kegiatan eksplorasi untuk menemukan lapangan migas baru maupun untuk memacu kegiatan pengembangan lanjutan pada lapangan yang sudah ditemukan dan masuk tahap eksploitasi. Klaim bahwa telah terjadi peningkatan nilai investasi pada suatu tahun tertentu, tidak serta merta menggambarkan bahwa kondisi iklim investasi hulu migas Indonesia sudah berubah menjadi kondusif dan menarik untuk investasi. Apalagi kalau peningkatan nilai investasi itu lebih hanya karena didorong faktor peningkatan biaya seperti halnya karena terkait kenaikan harga minyak.

Dalam konteks masa depan hulu migas nasional, yang akan menjadi pilar dan secara fundamental diperlukan adalah: (1) adanya penemuan lapangan-lapangan migas baru dengan cadangan besar (giant fields), (2) adanya peningkatan produksi dan cadangan yang dapat diproduksikan (recoverable reserves). Poin pertama sangat bertumpu pada investasi yang masif di kegiatan eksplorasi, sedangkan poin kedua sangat bertumpu pada investasi yang masif di kegiatan pengembangan lapangan tahap lanjut seperti halnya melalui upaya Enhanced/Improved Oil Recovery (EOR/IOR) skala besar. Tanpa iklim investasi yang kondusif, kedua hal tersebut tidak akan berjalan. Pola angka-angka investasi hulu migas yang ada hingga saat ini belum menggambarkan bahwa iklim investasi hulu migas kita sudah benar-benar berpindah kuadran dari tidak kondusif ke kondusif. Kita masih perlu kerja lebih keras, lebih cerdas, dan, yang tak kalah penting, lebih jujur, untuk bisa mewujudkan semua itu.