Harga minyak dunia dan rupiah lemah, APBN tak kena beban, kenapa?

Kontan.co.id; Minggu, 27 Mei 2018 / 21:07 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Naiknya harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah masih akan berdampak positif bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).

Beberapa kali dikatakan oleh pemerintah, dari sisi pendapatan negara, meningkatnya harga minyak mentah, melemahnya nilai tukar rupiah, dan stabilnya pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap peningkatan penerimaan PPh (Pajak Penghasilan) dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di sektor minyak.

Hingga 30 April 2018 saja, PNBP mencapai Rp 109,90 triliun atau mencapai 39,90% dari target APBN 2018. Capaian PNBP ini mengalami peningkatan sebesar 21,02% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Capaian PNBP tersebut didorong terutama oleh peningkatan harga Indonesian Crude Price (ICP) pada bulan April 2018 menjadi US$ 67,43 per barel dari sebelumnya pada bulan Maret 2018 sebesar US$61,87 per barel.

Sampai bulan April ini, PNBP migas tercatat sebesar Rp 35,3 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sekitar Rp 24 triliun sehingga ada kenaikan sekitar Rp 11,3 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 45,95%

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, berdasarkan hitungannya, ketika harga minyak dunia sudah di atas US$ 60 per barel, biaya yang harus dikeluarkan untuk subsidi lebih besar dari pada penerimaan yang diperoleh.

Namun demikian, yang terjadi bukanlah seperti itu. Sebab, pemerintah menggunakan mekanisme subsidi tetap untuk BBM.

“Kalau subsidinya menggunakan mekanisme subsidi tetap, apa yang disampaikan Kemkeu tersebut betul,” kata Komaidi kepada KONTAN, Minggu (27/5).

Dengan demikian, Komaidi mengatakan, sejauh mekanisme itu yang dipakai oleh pemerintah, maka keadaan ini akan menguntungkan APBN.

“Yang akan terkena beban adalah pelaksana terutama Pertamina. Ini aman karena beban APBN digeser ke Pertamina. Kalau konsisten dan tertib, APBN seharusnya tidak aman,” jelasnya.

Adapun, Kemkeu mencatat, belanja subsidi per April 2018 sebesar 41,5% dari yang sudah dianggarkan atau naik sebesar 143,7% menjadi Rp 39 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 16 triliun. Angka realisasi untuk BBM sendiri sebesar Rp 26 triliun.

Menurut Komaidi, realisasi subsidi ini masih akan bengkak, tetapi lebih disebabkan oleh minimnya kuota yang diberikan oleh pemerintah pada tahun ini.

“Kalau bengkak sudah pasti karena memang kuota yang diberikan (subsidi BBM dan LPG 3 kilogram sebesar Rp 46,86 triliun) jauh di bawah kebutuhan. Kemarin-kemarin relatif tidak menjadi sorotan karena harga minyak rendah,” katanya.

Direktur Penyusunan APBN Ditjen Anggaran Kemkeu Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, pihaknya kini masih memantau pergerakan dari beberapa aspek asumsi makro, seperti nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah Indonesia yang sudah bergerak jauh dari asumsinya dalam UU APBN 2018.

Harga minyak mentah Brent misalnya, telah melampaui level US$ 80 per barel, jauh dibanding asumsi ICP dalam APBN 2018 sebesar US$ 48 per barel.

Adapun nilai tukar rupiah saat ini bergerak di level Rp 14.100-14.200 per dollar AS dibandingkan asumsinya dalam APBN yang sebesar 13.500 per dollar AS. “Kami monitor terus, dan sampai saat ini belum perlu APBN-P,” kata Kunta.

Problema Kinerja Keuangan PLN
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Industri Masih Tunggu Janji Penurunan Harga Gas

Kompas; Senin, 28 May 2018

JAKARTA, KOMPAS — Sektor industri pengguna gas masih menunggu janji pemerintah untuk menurunkan harga gas. Janji tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Bumi.

Perpanjangan mata rantai niaga gas bumi disebut-sebut membuat harga gas masih terlampau mahal bagi industri.

Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, hingga kini, harga gas untuk industi di Surabaya, Jawa Timur Sekitar 8,9 dollar AS per juta metric britis thermal unit (MMBTU). Menurut dia harga gas yang tinggi itu disebabkan gas bumi tidak langsung dijual dari produsen ke industri sebagai pengguna akhir. Gas masih diperjualbelikan lewat perantara atau pedagang gas (trader).

“Padahal salah satu cara efektif untuk menekan harga gas untuk industri adalah dengan tidak memberikan alokasi gas pada trader untuk diperjualbelikan, tetapi langsung dijual ke industri alias pengguna akhir. Saya kira itu bias menurunkan gas gas sampai 1 dollar AS per MMBTU. Itu cukup signifikan dan ibarat menjadi insentif bagi industri,” kata achmad, Minggu (27/5/2018), di Jakarta.

Proses itu menyebutkan, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari 9 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas bumi tertentu dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleo kimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Agas pemanfaatan gas didalam negeri optimal, ujar achmad, pemerintah harus tegas mengurangi penggunaan solar sebagai bahan bakar industri mendorong peralihan ke gas. Pembangunan infrastruktur gas harus diperkuat. Dengan demikian, takan ada lagi produsi gas yang tidak terserap di dalam negeri.

“Tidak aka nada lagi cerita gas dari Indonesia dijual ke pasar tunai karena tidak terserap di dalam negeri. Ini kan ironis,” Tambah Achmad.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengemukakan, kebijakan penurunan harga gas bumi melibatkan multisektor, mulai dari hulu hingga hilir. Ususlan-usulan pengurangan bagian Negara dan produsen (kontraktor kontrak kerja sama/KKKS) membutuhkan negosiasi panjang,. Ada sejumlah kosekuensi akibat usulan-usulan tersebut.

“Jika KKKS diminta menurunkan bagian tertentu dari keekonomian proyek, hal itu sama saja meminta mereka menghitung ulang investasi proyek dan itu menimbulkan diskusi yang panjang dan berlarut-larut,” ujar Komaidi.

Di hilir, kata Komaidi penghitugan harga jual gas bumi memasukkan nilai pengembalian investasi pembangunan infrastruktur berupa jaringan gas. Perjanjian jual beli gas dalam jangka pendek belum cukup mampu menurunkan harga gas dalam jumlah signifikan. Biaya trasportasi dan distribusi gas tetap akan tinggi.

“Di sisi lain, itegrasi PGN dan Pertagas semoga dapat menciptakan efisiensi yang berujung pada penurunan harga gas bumi,” kata Komaidi.

Pilihan Pemerintah Sangat Terbatas
Harga minyak mentah terus naik, bahkan diproyeksi bisa mencapai 100 dollar AS per barrel. Pemerintah tak punya banyak pilihan untuk meresponsnya.

Holding BUMN Migas dalam Perspektif UU Keuangan Negara
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Enam Efek Domino yang Harus Diwaspadai Akibat Naiknya Harga Minyak

KATADATA: Jum’at 11 Mei 2018, 19.51 WIB

Indonesia tidak bisa menghindari dampak tersebut karena sudah menjadi net importir minyak.

Harga minyak mentah terus mengalami tren kenaikan setelah adanya isu mengenai keluarnya Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir Iran. Kenaikan harga minyak itu bisa membawa efek domino bagi perekonomian Indonesia.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan tren harga minyak ke depan kemungkinan akan semakin menguat. Apalagi dengan adanya keputusan Amerika Serikat terkait kesepakatan nuklir Iran.

Kesepakatan dengan nuklir Iran ini diteken 2015 antara Iran dan Tiongkok, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat. Dengan kesepakatan itu, sanksi Iran bisa dicabut asalkan mereka mau membatasi program nuklirnya. Jadi, jika kesepakatan itu dibatalkan, pasokan minyak dari Iran bisa berkurang.

Menurut Komaidi, kenaikan harga minyak yang tinggi akan relatif tidak menguntungkan Indonesia. Ini karena Indonesia sudah menjadi net importir sejak tahun 2002. Indonesia perlu berhati-hati, kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (11/5).

Efek pertama yang akan dirasakan Indonesia akibat kenaikan harga minyak mentah adalah membengkaknya subsidi energi di luar kapasitas fiskal. Kedua, kebutuhan devisa impor makin besar. Ketiga, nilai tukar berpotensi semakin terdepresiasi.

Keempat, harga barang dan jasa akan berpotensi semakin mahal. Kemudian, efek kelima, inflasi akan semakin meningkat. Keenam, daya saing produksi dan jasa makin melemah.

Untuk itu, pemerintah harus bisa mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Neraca Pembayaran dengan. Selain itu, mitigasi bisa dilakukan, tetapi lebih ke aspek mencari solusi optimal karena tidak bisa menghindari dampaknya.

Pemerintah harus membuat kebijakan energi yang jangka panjang. Tidak ada kebijakan instan yang bisa dilakukan dalam satu tahun, apalagi hanya untuk kebijakan responsif, ujar dia.

Adapun, harga minyak jenis Brent saat ini sudah menyentuh level US$ 77,27 per barel. Kemudian harga minyak jenis West Texas Intermediate US$ 71,34 per barel.