Serapan Terkendala Infrastruktur; Gas Perlu Dilihat sebagai Penggerak Ekonomi

KOMPAS; Kamis, 23 November 2017

JAKARTA, KOMPAS Kendati pemerintah menyatakan pasokan gas di dalam negeri cukup dan tak perlu impor, serapan gas tidak optimal lantaran keterbatasan infrastruktur dalam negeri. Tahun ini terdapat 40 kargo gas belum terkontrak dan dijual di pasar tunai atau spot dengan harga lebih murah.

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, terasa ironi di tengah kecukupan pasokan gas, tetapi pada saat yang sama masih ada sejumlah kargo gas yang tidak terserap di dalam negeri. Ia menilai, hal ini terutama disebabkan infrastruktur gas di dalam negeri belum siap. Diperkirakan, hingga 2030, dibutuhkan investasi sampai Rp 650 triliun untuk membangun infrastruktur gas tersebut.

Kargo gas tak terserap karena infrastrukturnya minim. Misalnya, terminal penerima gas alam cair (LNG) serta jaringan pipa transmisi dan distribusi yang menghubungkan ke konsumen akhir,kata Pri Agung, Rabu (22/11), di Jakarta.

Menurut Pri Agung, kondisi pasar gas dunia saat ini sedang dalam pasokan yang melimpah, seperti shale gas dari Amerika Serikat, gas dari Qatar, dan proyek-proyek gas bumi yang mulai berproduksi. Dalam hal harga, gas dari luar negeri lebih kompetitif lantaran jalur distribusi yang efisien dengan infrastruktur yang lengkap dan memadai. Sementara persoalan gas di Indonesia banyak tersita masalah penurunan harga, bukan membangun infrastruktur.

Di lain sisi, masalah gas di dalam negeri diperumit dengan cara penanganan proyek yang membuatnya tertunda-tunda. Contohnya, proyek gas di Blok Masela, Maluku, ujarnya.

Dalam keterangan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pihaknya memastikan bahwa impor gas tidak perlu dilakukan, setidaknya sampai 2019. Menurut dia, dalam dua tahun mendatang, masih banyak pasokan gas yang belum terkontrak oleh pembeli.

Tahun ini, kalau tidak keliru, ada sekitar 40 kargo yang belum terkontrak pembeliannya, kata Arcandra.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, kalangan industri masih menunggu janji pemerintah menurunkan harga gas. Dari tujuh sektor industri yang berhak mendapat penurunan harga, baru tiga sektor yang terealisasi, yaitu pupuk, baja, dan petrokimia.

Pemerintah harus diingatkan bahwa gas itu sebagai modal penggerak perekonomian nasional, bukan sebagai sumber pendapatan, ujar Achmad.

Bervariasi

Menurut Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Achmad Safiun, harga gas bumi di setiap wilayah bervariasi. Harga di Sumatera Utara 9,95 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), di Jawa Barat 9,2 dollar AS per MMBTU, dan di Jawa Timur 8,1-8,2 dollar AS per MMBTU.

Komisi VII DPR pernah mengusulkan kepada pemerintah agar gas bumi yang menjadi bagian negara dari hasil produksi oleh kontraktor sebaiknya tidak diekspor, tetapi dijual di dalam negeri dengan harga murah. Jika gas yang menjadi bagian negara dijual murah untuk pembangkit listrik dan industri, dampak berganda yang didapat lebih besar.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan, pemerintah terus melakukan terobosan agar harga gas untuk industri bisa lebih kompetitif. Terobosan itu berupa Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik.

Memang baru untuk listrik (PLN), pupuk, dan baja yang sudah diturunkan. Untuk sektor industri lainnya, kami menunggu rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, ucap Ego.

Sesuai saran Komisi VII, lanjut Ego, pihaknya akan mengkaji tata kelola gas bumi di dalam negeri. Ia mengatakan, pemerintah terus berusaha merealisasikan harga gas di dalam negeri untuk industri lebih kompetitif.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, ada tujuh sektor industri yang berhak mendapat penurunan harga, yaitu pupuk, baja, petrokimia, oleokimia, kaca, keramik, dan sarung tangan karet. Secara rata-rata, harga diturunkan menjadi kurang dari 6 dollar AS per MMBTU. Penurunan harga berlaku efektif per 1 Januari 2016.

Aturan Pajak Gross Split Dinilai Tak Akan Istimewa Bagi Investor

KATADATA; Kamis 23/11/2017, 19.44 WIB

Bagaimana hitungan detailnya nanti di dalam operasional. Indirect taxes setiap tahun bisa berbeda, apa split-nya setiap saat juga berubah, ujar Pri.

Pemerintah saat ini tengah memfinalisasi aturan mengenai pajak skema kontrak bagi hasil gross split. Namun, menurut pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, aturan tersebut tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kontraktor.

Pri menilai aturan pajak gross split tetap akan mengikuti ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku saat ini. Jadi, tidak ada yang istimewa dan memang tidak mungkin juga industri hulu migas akan mendapat perlakuan pajak istimewa dengan kerangka pengelolaan hulu migas saat ini, kata dia kepada Katadata, Kamis (23/11).

Selain itu, secara filosofi kontrak gross split tidak bisa menghindarkan kontraktor dari pajak tidak langsung. Artinya kontraktor tetap membayar terlebih dulu, meskipun nantinya akan dikompensasikan dengan tambahan bagi hasil. Dalam hal ini, pemungutan pajak tidak langsung akan menjadi disinsentif bagi investasi dan menimbulkan ketidakpastian di dalam operasionalnya.

Sebelumnya, pemerintah memang akan memberikan insentif berupa konversi pajak yang sudah dibayarkan menjadi tambahan bagi hasil. Insentif lainnya adalah pemberian kompensasi pajak (tax loss carry forward) selama 10 tahun.

Namun, Pri Agung mempertanyakan implementasi dari insentif tersebut. Apalagi pajak dan bagi hasil merupakan dua hal yang berbeda dan tidak saling berhubungan langsung. Bagaimana hitungan detailnya nanti di dalam operasional. Indirect taxes setiap tahun bisa berbeda, apa split-nya setiap saat juga berubah, ujar dia.

Mengenai tax loss carry forward selama 10 tahun, Pri memberikan respon positif. Namun efektivitas aturan itu masih perlu ditunggu dalam realisasinya. Apalagi dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), tax loss carry forward hanya 5 tahun. Sementara aturan pajak gross split hanya berupa Peraturan Pemerintah yang lebih rendah dibandingkan UU.

Untuk mengatasi masalah perpajakan hulu migas, menurut Pri Agung, filosofi dasar yang perlu diubah. Dalam skema kontrak bagi hasil yang benar, seharusnya kontraktor berkontrak dengan badan usaha sebagai wakil negara.

Dengan skema kontrak itu, maka bisa diterapkan assume and discharge. Artinya, semua pajak yang tidak menjadi kewajiban kontraktor tidak dikenakan dan tidak harus dibayarkan.

Namun, sejak berlakunya Undang-undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 tahun 2001, kontraktor berkontrak dengan badan pemerintah, yang kini bernama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Sehingga kontraktor menjadi obyek pajak tidak langsung dan membayarnya terlebih dulu.

Ini yang berkali-kali saya katakan, penyelesaiannya harus dengan revisi Undang-undang migas. Revisi itu dengan mengubah pihak yang berkontrak mewakili indonesia menjadi berbentuk badan usaha, ujar Pri.

Jangan paksa KKKS gunakan skema gross split

(KONTAN.CO.ID; 22 November 2017)

JAKARTA. Pemerintah kembali memundurkan batas waktu lelang wilayah kerja (WK) migas tahun ini. Jika batas waktu akses dokumen lelang hanya sampai 20 November 2017 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk memperpanjangnya sampai 23 Desember 2017.

Sementara batas pengembalian dokumen lelang yang semula pada 27 November 2017 diperpanjang menjadi 31 Desember 2017. Alasan pemerintah memperpanjang waktu lelang karena menunggu keluarnya aturan perpajakan gross split.

Melihat fenomena itu, pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto menyebut kondisi iklim investasi hulu migas belum juga membaik. Bahkan menurutnya iklim investasi migas semakin tidak kondusif sejak terbitnya aturan gross split.

“Gross split menambah ketidakpastian yang ada sehingga membuat iklim investasi makin tidak kondusif. Tetapi gross split bukan penyebab tunggal tidak kondusifnya iklim investasi hulu migas. Suramnya iklim investasi hulu migas itu kan masalah sudah lama,” jelas Pri Agung ke Kontan.co.id pada Rabu (22/11).

Menurutnya, permasalahan inti yang membuat iklim hulu migas tidak kondusif adalah aturan main yang sering tidak pasti, dalam arti sering tidak sinkron dengan kontrak yang sudah ada. Ditambah dengan perizinan yang sangat banyak. Terlebih lagi dalam urusan lelang WK Migas, masalah data yang masih mentah juga jadi penghalang investasi masuk di sektor hulu migas.

“Jadi seharusnya dari dulu ya pemerintah itu fokus saja di dalam membereskan kedua masalah itu. Jangan malah menambah permasalahan dengan menerbitkan aturan-aturan baru seperti gross split ini. Praktis setidaknya satu tahun terakhir ini energi kita dihabiskan hanya untuk mengurusi dan membicarakan gross split, yang bukan hanya jelas-jelas bukan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, tetapi justru menambah permasalahan yang ada dengan ketidakpastian yang ditimbulkannya,” kata Pri Agung.

Dampak dari adanya ketidakpastian terhadap iklim investasi migas tidak hanya tercermin dari lelang WK tahun ini. Tetapi menurut Pri Agung juga terlihat dari minimnya investasi eksplorasi migas.

Berdasarkan dari SKK Migas, jumlah investasi hulu migas dari Januari 2017-September 2017 (year to date/YTD) yaitu sebesar US$ 6,74 miliar atau baru mencapai 54% dari target tahun ini.

Investasi tersebut terdiri dari investasi untuk blok eksploitasi yang mencapai US$ 6,18 miliar. Sementara investasi untuk blok eksplorasi hanya sebesar US$ 560 juta.

“Indikator paling fair di dalam menilai tertarik tidaknya atau kondusif tidaknya iklim investasi adalah seberapa tertarik industri itu melakukan eksplorasi. Gross split, dalam hal ini, tidak cocok untuk blok eksplorasi, karena risiko dan ketidakpastiannya tinggi,” terangnya.

Makanya Pri Agung mengimbau pemerintah agar tidak memaksakan skema kontrak bagi hasil gross split menjadi kewajiban untuk diterapkan oleh KKKS. Justru pemerintah seharusnya bisa memberikan kebebasan bagi KKKS untuk memilih kontrak bagi haisl yang paling sesuai dengan lapangan migas yang dikelolanya.

“Sejak awal sy katakan, fokus menyelesaikan masalah yang ada. Langkah konkret untuk meringkas perizinan, selesaikan aturan main – revisi UU migas. Kalau masalah bentuk kontrak, biarkan investor yang memilih. Kita tidak bisa memaksakan apakah itu PSC gross split ataukah PSC cost recovery dan lain-lain. Jangan dipaksakan dan disamaratakan semuanya. Jadikan beragam bentuk kontrak itu sebagai pilihan. Kesalahan di dalam hal penerapan gross split lainnya adalah ketika memaksakan agar semua blok menggunakan bentuk kontrak itu,” jelas Pri Agung.

Penyatuan Golongan Listrik Bisa Bikin Tagihan Masyarakat Mahal

(Jumat, 17 November 2017; Katadata.co.id)

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai rencana pemerintah menyatukan golongan tarif listrik akan membuat tagihan masyarakat lebih mahal. Ini karena semakin besar daya yang dimiliki, biaya bebannya semakin tinggi.

Penghitungan biaya beban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 tahun 2017. Aturan tersebut menyebutkan untuk golongan 900 Volt Ampere (VA), hingga 200 kilovolt Ampere (kVA), penentuan biaya beban rekening minimumnya menggunakan rumus 40 (jam nyala) x daya tersambung (kVA) x biaya pemakaian.

Atas dasar itu, Pri Agung mengatakan meskipun tarif sama, beban yang ditanggung bisa berbeda. Ini karena daya yang tersambung tidak sama. Golongan yang besar akan membayar lebih mahal karena kilowatt hour (kWh) minimumnya jauh lebih banyak, kata dia kepada Katadata, Jumat (17/11).

Adapun dengan kebijakan penyatuan tersebut, pemerintah akan mengalihkan pelanggan 900 Volt Ampere (VA) ke 1.300 VA. Sedangkan golongan 1.300 VA, 2.200 VA dan 3.300 VA dan 4.400 VA yang jumlah pelanggannya mencapai 13 juta akan beralih ke 5.500 VA. Namun, golongan 450 VA dan 900 VA subsidi tidak berubah.

Di sisi lain, menurut Pri Agung, kebijakan penyatuan golongan itu lebih menguntungkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN. Ini karena pendapatan perusahaan pelat merah itu akan bertambah dari penjualan listrik.

Dengan kata lain, pemerintah menerapkan kebijakan ini untuk membantu menyehatkan keuangan PLN. Ini karena target pendapatan yang ditetapkan berdasarkan asumsi penjualan listrik kemungkinan tidak akan tercapai, ujar Pri.

Dalam laporan keuangan kuartal III-2017 PLN yang dirilis Rabu (1/11), PLN hanya bisa mencetak laba bersih sebesar Rp 3,05 triliun. Jumlah itu lebih rendah 72% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp 10,97 triliun.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir tidak menampik kebijakan itu berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan. Bagus juga, kalau memang mau menambah dua kali lipat, saya terima kasih, kata dia di Jakarta, Kamis (17/11).

Namun, jika perusahaan mendapatkan untung, dana itu akan digunakan untuk listrik desa. Ini karena pemenuhan listrik di desa membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Menurut Sofyan, untuk melistriki satu rumah di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Liran butuh Rp 150 juta. Ongkosnya mahal dan itu seluruhnya dana PLN. Jadi perusahaan harus memperoleh laba. Kalau tidak, 2.500 desa itu tak akan terpenuhi, ujar dia.

Pemerintah Diingatkan Soal Harga BBM Bersubsidi

(18 November 2017; Liputan 6.com)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mempertahankan harga Bahan Bakar Minyak  (BBM) solar subsidi dan premium penugasan, meski harga minyak dunia terus naik.

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto menilai, pemerintah mengalami kemunduran dalam hal subsidi BBM. Pasalnya, dua tahun lalu beban subsidi telah terlepas karena harga BBM bersubsidi menyesuaikan kondisi harga pasar.

“Kita berkutat ke subsidi lagi, sebelumnya 2 tahun ini sudah terlepas, tatakelola mundur lagi,” kata Pri Agung di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/11/2017).

Menurut Pri Agung, semakin ditahannya harga BBM bersubsidi dengan tidak menyesuaikan dengan harga minyak dunia membuat beban pemerintah semakin berat.

“Pertamina terbebani. Kalau dulu dijalankan konsisten ada kenaikan tidak besar, tapi sekarang terlalu besar,” tutur dia.

Bahkan dia memprediksi, pemerintah akan semakin berat menyesuaikan harga BBM bersubsidi kedepannya jika harga minyak dunia terus naik. Apalagi pada tahun depan sudah memasuki tahun politik.

”Ini political will. Sekarang pemerintah agak kehilangan momentum, kalau 2018 bisa lebih berat lagi,” dia menandaskan.

Pertamina Kehilangan Potensi Pendapatan Rp 19 T

PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.

Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. “Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan,” ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.

“Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan,” kata dia.

Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.

Namun laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat  merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.

“Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar),” jelas dia.

Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, namun Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

“Tapi t’s okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen,” tandas dia.

Benarkah harga premium kemahalan?

Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Kontan; Selasa, 14 November 2017

Pada 31 Oktober 2017, sahabat saya Fahmy Radhi menulis di Harian KONTAN tentang Rakyat Menanggung Mahalnya Harga Premium. Kesimpulan tulisan tersebut, premium (bensin RON 88) yang dijual Pertamina kemahalan. Kesimpulan diambil berdasarkan harga jual bensin RON 89 dari PT Vivo dan perhitungan yang mengacu pada formula harga Bensin RON 88 yang dilakukan Harian KONTAN pada 28 Oktober 2017.

Berdasarkan hasil hitungan tersebut, harga premium Pertamina dinilai kemahalan Rp 693,4 untuk setiap liter. Sehingga jika mengacu pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM) saat ini yang disebut mencapai 1,74 juta barel per hari, kemahalan harga BBM yang harus ditanggung rakyat disebutkan bisa mencapai Rp 70,01 triliun per tahun.

Dengan asumsi harga minyak US$ 50 per barel dan nilai tukar Rp 13.560 per US$, harga dasar (HD) bensin RON 88 disebutkan Rp 4.264,15 per liter (US$ 50/159) x Rp 13.560). Jika ditambah margin dan biaya, PPN, dan PBBKB, harga jual premium per liter yang dinilai wajar adalah Rp 5.756,60 atau lebih rendah Rp 693,40 dari harga jual premium Pertamina (Rp 6.450 – Rp 5.756,60).

Tulisan ini dibuat bukan dalam konteks menyanggah (menyalahkan), tetapi karena ada beberapa perbedaan pandangan dalam melihat permasalahan ini. Dalam konteks dialektika akademis, hal seperti ini sangat lumrah.

Saya melihat ada beberapa hal yang belum dimasukkan (mungkin terlupakan), baik dalam mengambil kesimpulan atas perbandingan harga Pertamina vs PT Vivo maupun di dalam menghitung harga dasar BBM (khususnya bensin RON 88) tersebut.

Dalam teori pasar, yang dilakukan PT Vivo yang menjual lebih murah, dapat merupakan bagian dari strategi untuk masuk pasar melalui penetration pricing. Strategi ini umum untuk bisnis yang ingin memasuki pasar baru dan dengan pangsa pasar yang masih relatif kecil.

Pada kondisi ekstrim, bahkan perusahaan bersedia merugi terlebih dahulu agar dapat masuk ke dalam pasar. Sehingga harga yang lebih murah tersebut tidak dapat serta merta menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa PT Vivo lebih efisien dibanding Pertamina. Bisa iya dan tidak.

Apakah yang dilakukan PT Vivo merupakan bagian dari strategi untuk masuk pasar atau tidak, yang tahu pasti adalah PT Vivo dan waktu yang kemudian akan menjawab.

Vivo sebagai pembanding

Strategi yang sama, sebelumnya juga dilakukan pesaing Pertamina yang telah ada saat ini. Tetapi jika kita lihat publikasi BPH Migas, harga jual untuk beberapa jenis BBM periode 1-15 November 2017 dari pesaing Pertamina tercatat lebih tinggi.

Struktur biaya pengadaan BBM PT Vivo yang saat ini masih sebatas beroperasi di Cilangkap Jakarta Timur, tentu tidak pas jika dibandingkan secara langsung dengan struktur biaya Pertamina yang harus mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil dan perbatasan yang volume konsumsinya tidak cukup ekonomis dari sudut pandang hitung-hitungan bisnis.

Saya menilai, perhitungan yang menemukan harga dasar BBM RON 88 sebesar Rp 4.624,16 tersebut karena terdapat variabel yang belum masuk pertimbangan. Perhitungan tersebut mengasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang masuk proses pengilangan akan menjadi BBM, satu barel minyak mentah menjadi satu barel BBM. Ini tercermin dari angka pembagi sebesar 159 liter (1 barel).

Meski tidak sama persis, pengilangan minyak mentah memiliki kemiripan dengan penggilingan padi. Dalam proses penggilingan padi tidak semua gabah (padi kering) yang digiling akan menjadi beras, satu ton gabah tidak berarti menghasilkan sat ton beras. Karena proses tersebut menghasilkan residu berupa sekam (15%-20 %), bekatul (8%-12 %), dan menir/beras yang hancur (sekitar 5 %).

Pada proses pengilangan minyak, juga tidak semua minyak mentah yang diproses akan menjadi BBM. Departemen Energi Amerika (EIA) menyebutkan, untuk tahun 2016 bensin yang dihasilkan dari kilang di Amerika adalah sekitar 48 % dari minyak mentah yang diolah.

Sementara 52 % sisanya produk lain dan residu. Produk lain yang dihasilkan meliputi LPG, minyak diesel, jet fuel, minyak bakar, tinta, aspal, deodorant, ammonia, dan produk petrokimia yang lain.
Karena hasil produk yang beragam tersebut, terdapat indikator yang disebut indeks efisiensi kilang. Indeks ini mengukur rasio produk terhadap minyak mentah yang diproses jika nilainya disetarakan dengan BBM. Informasi yang ada menyebutkan indeks efisiensi kilang di dunia saat ini berkisar 70% -90 %. Artinya, nilai produk setara BBM yang dapat dihasilkan oleh kilang yang ada saat ini adalah 70%-90 % dari nilai minyak mentah yang diolah. Besaran indeks efisiensi kilang ditentukan oleh sejumlah faktor, diantaranya teknologi kilang, umur kilang, dan kualitas minyak mentah yang diolah.

Jika efisiensi kilang Indonesia diasumsikan 85 %, maka pembagi yang digunakan untuk menghitung harga dasar BBM adalah 85 % x 159 liter = 135,15 liter. Dengan asumsi yang sama, maka harga dasar bensin RON 88 adalah (US$ 50 x Rp 13.560)/135,15 liter = Rp 5.016,64 per liter. Dengan formula yang sama, maka harga jual bensin RON 88 yang seharusnya adalah Rp 5.016,64 + (Rp 5.016,64 x 20 %) + (Rp 5.016,64 x 10 %) + (Rp 5.016,64 x 5 %) = Rp 5.016,64 + Rp 1.003,33 + Rp 501,66 + Rp 250,83 = Rp 6.772,48 per liter.
Hasil perhitungan tersebut tidak jauh berbeda dari hasil perhitungan dengan menggunakan formula (kalkulator) harga BBM BPH Migas (www.bphmigas.go.id/perhitungan-harga-bbm. Dengan asumsi yang sama, harga BBM RON 88 berdasarkan formula BPH Migas adalah Harga Dasar + Biaya Tambahan Distribusi + PPN + PBBKB = Rp 6.052,70 + Rp 121,10 + Rp 605,30 + Rp 302,60 = Rp 7.081,70 per liter.

Berdasarkan hasil tersebut, justru diketahui bahwa harga jual premium Pertamina yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 6.450 kemurahan Rp 631,70 untuk setiap liter. Dengan asumsi total konsumsi BBM yang sama, kemurahan atau subsidi yang diberikan Pertamina kepada rakyat dalam satu tahun ada Rp 63,78 triliun.

Berdasarkan hasil perhitungan yang berbeda tersebut dan mengingat BBM merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas, para pihak perlu lebih proporsional dalam menyampaikan informasi. Meskipun, dalam hal ini saya yakin niat sahabat saya tersebut sangat baik, agar rakyat diperlakukan adil, tidak diberikan harga BBM di atas yang seharusnya.

Demikian pula dengan pemerintah yang menyambut positif masuknya Vivo yang menjual BBM murah karena memang sejalan dengan visi menyediakan energi murah untuk rakyat. Namun demikian, kita perlu tetap harus proporsional dalam melihat dan merespon apa yang terjadi. Jika tidak, yang akan terjadi kemungkinan hanya dua hal, keuangan negara (APBN) atau keuangan korporasi (BUMN) yang akan dikorbankan.

Pertamina Dapat Hak; Pada 2018-2026, Masa Kontrak 34 Blok Habis

Kompas; Sabtu, 11 November 2017

JAKARTA, KOMPAS PT Pertamina (Persero) harus mengantisipasi risiko pengelolaan blok-blok minyak dan gas bumi yang habis masa kontraknya. Pertamina mendapat hak istimewa mengelola 34 blok yang habis masa kontraknya, dari 2018 sampai 2026. Pertamina memutuskan enam blok akan diambil mulai tahun depan.

Kalkulasi bisnis harus jadi pertimbangan. Tak harus semua blok itu diambil semua. Pertamina bisa berbagi peran menggandeng perusahaan lain sebagai mitra, berbagi risiko, sekaligus sebagai portofolio bisnis, kata pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Jumat (10/11), di Jakarta.

Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang dikelola penuh Pertamina per 1 Januari 2018, lanjut Pri Agung, akan menjadi tolok ukur kemampuan perusahaan dalam mengelola blok-blok migas raksasa. Namun, ia meyakini Pertamina cukup berpengalaman mengelola blok-blok besar, seperti yang sudah terjadi pada Blok Offshore North West Java (ONWJ) di lepas pantai utara Jawa Barat.

Jika blok-blok migas yang habis masa kontraknya tidak cukup menarik secara bisnis dan orientasi perusahaan ke depan, tak perlu dipaksakan dikelola Pertamina. Ini yang harus dipahami pemerintah untuk tidak memberi penugasan begitu saja kepada Pertamina, kata Pri Agung.

Mulai 2018 hingga 2026, akan ada 34 blok migas yang habis masa kontraknya. Tahun ini ada empat blok yang masa kontraknya kedaluwarsa, yaitu Blok ONWJ (sudah diambil alih Pertamina sejak awal Januari 2017), Blok Lematang di Sumatera Selatan, serta Blok Mahakam dan Blok Attaka di Kalimantan Timur.

Pada 2018, ada delapan blok migas yang kontraknya berakhir. Dari semua blok tersebut, Pertamina telah menyatakan minat mengelola enam blok, yaitu Blok South East Sumatera (Sumsel), Blok Tengah (Kaltim), North Sumatera Offshore (Sumut), Ogan Komering OJB (Sumsel), Blok Sanga-sanga (Kaltim), dan Blok Tuban (Jawa Timur).

Aspek komersial

Menurut Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam, timnya sudah mengkaji aspek komersial keenam blok itu. Dari hasil kajian, keenam blok tersebut memiliki prospek bagus. Pihaknya sudah menyampaikan proposal model pengelolaan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Seperti Blok Mahakam, kami juga mempresentasikan rencana pengelolaannya seperti apa. Kami masih menunggu respons pemerintah terkait proposal yang kami serahkan untuk keenam blok tersebut, kata Syamsu.

Selain harus melanjutkan pengelolaan blok-blok migas yang kontraknya habis, Pertamina juga wajib membangun kilang baru dan meningkatkan kapasitas kilang lama.

 

kompas sabtu

Catatan terhadap Visi Energi Berkeadilan

Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo kerap menekankan bahwa tidak ada visi misi kementerian yang berjalan sendiri-sendiri, yang ada hanya visi misi Presiden. Di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hal ini sangat terasa, terutama sejak dipimpin Ignasius Jonan. Sejak itu sependek yang saya cermati, tema utama yang diangkat Kementerian ESDM dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara negara di dalam pengelolaan energi dan sumber daya mineral di Tanah Air hingga saat ini tampaknya adalah energi berkeadilan.

Keharusan Efisiensi

Sementara bagi pelaku dan investor, terminologi energi berkeadilan itu tampaknya belum terlalu diperhatikan karena mungkin hanya dianggap sebagai jargon. Jonan tampaknya tidak main-main menjalankan kata-kata energi berkeadilan itu.

Serangkaian kebijakan dan peraturan yang sejak Oktober lalu diterbitkan tidak lain dan pada tingkatan tertentu merupakan manifestasi dari tema energi berkeadilan itu. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan BBM Satu Harga; (2) Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penurunan Harga Gas; (3) Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Penawaran Participating Interest 10 Persen pada Wilayah Kerja Migas; (4) Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split; (5) Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik; dan (6) Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Además, existe un mini-supositorio que mediante un aplicador se deposita en el interior del conducto de la orina o probé todos los métodos de la medicina tradicional y le ofrecemos la oportunidad de comprar Lovegra. en línea Cuenta con varios hospitales de especialidades múltiples.

Kebijakan dan peraturan diatas, meski bidangnya beragam dan tidak selalu sama persis, seluruhnya mengarahkan agar produsen dan pemasok energi di Tanah Air mengakomodasi efisiensi dan mengakomodiasi kepentingan publik (konsumen) di dalam memproduksi dan menyediakan energi. Secara lebih spesifik, bentuk peningkatan efisiensi yang diingingkan adalah menurunkan biaya produksi. Sementara pengakomodasian kepentingan publik diarahkan melalui kesediaan produsen berbagi margin keuntungan dengan publik, baik melalui instrumen harga yang diatur untuk diturunkan maupun melalui pengikutsertaan publik dalam hak pengelolaan.

Dari prespektif produsen serangkaian kebijakan dan peraturan di atas dapat dikatakan tidak cukup bersahabat karena cenderung memberikan tekanan di sisi pengembalian investasi. Saya menangkap dan melihat ada sinyal dan argumen yang cukup kuat yang kemungkinan melatarbelakangi kebijakan semacam itu. Tema pengelolaan energi berkeadlian tampaknya dilatarbelakangi adanya semacam ketidakpercayaan kepada produsen dan pemasok energi di Tanah Air bahwa mereka selama ini telah melakukannya dengan cara yang (paling) efisien.

Dalam beberapa kesempatan, Jonan berulang kali membandingkan ExxonMobil yang dianggapnya sebagai perusahaan migas terbesar di dunia yang sudah ada sejak lama, tetapi nilai kapitalisasi pasarnya ternyata lebih kecil ketimbang Facebook yang baru ada kurang lebih 10 tahun lalu. Ada semacam ketidakpercayaan pada industri energi secara umum, dan khususnya di Tanah Air, bahwa mereka tidak cukup efisien dan tidak cukup kompetitif dibandingkan dengan sektor atau industri lain. Hal ini secara langsung kemudian berimplikasi terhadap tidak dipercayanya hitung-hitungan dan angka-angka yang berkaitan dengan biaya produksi, keuntungan, kerugian ataupun harga yang bersumber dari produsen atau investor energi.

Dengan kata lain, ada semacam pandangan: industri energi selama ini telah cukup atau terlalu lama menikmati margin keuntungan yang terlalu besar. Jadi, sudah sewajarnya saat ini hal itu dibagi dengan cara harga yang diturunkan atau dengan memberi publik hak pengelolaan tertentu. Selain itu, tampaknya ada semacam pesan tersirat bahwa pemerintah juga tidak khawatir atau tidak (lagi) bergantung pada produsen atau investor di sektor energi.

DI sektor hulu migas, misalnya, pemerintah tampaknya terlihat tidak terlalu risau makin kecilnya kontribusi penerimaan negara di APBN dari hulu migas (saat ini kurang dari 5 persen dan semakin mengecilnya cadangan dan produksi migas nasional.

Semakin kecilnya kontribusi penerimaan migas terhadap penerimaan negara di APBN justru dilihat sebagai indikator bagus, yang berati sektor lain berkembang dengan baik. Sementara penurunan cadangan dan produksi migas nasional sepertinya dilihat tidak terlalu jadi masalah selama negara masih memiliki daya beli yang kuat untuk menyubstitusinya melalui impor.

Antisipasi dan Jalan Tengah

Terlepas apakah serangkaian kebijakan dan peraturan di atas memang cenderung memberikan kepada produsen di sisi pengembalian investasi, dan apakah sinyal ketidakpercayaan yang tertangkap memang seperti itu adanya atau tidak, saya melihat perlu bagi pemerintah untuk mengantisipasi segala potensi dampak (negatif) yang mungkin timbul.

Mengedepankan efisiensi tentu positif, tetapi terlalu menekan produsen di sisi pengembalian investasi tentu juga akan jadi disinsentif bagi investasi yang pada gilirannya dapat membahayakan ketersediaan pasokan energi itu sendiri.

Impor energi tidak selalu dapat jadi solusi karena energi adalah komoditas strategis. Impor energi yang tinggi bagi negara kita yang memiliki sumber energi, selain kurang pantas, juga akan menambah ketergantungan ketahanan energi kita pada pihak lain. Dalam kondisi di mana kita sering kali mengambil posisi tidak bersedia mengeluarkan investasi dan menanggung risiko sendiri untuk mencari, memproduksi dan memasok energi, tetap harus ada ruang negosiasi, fleksibilitas, kompromi dan jalan tengah menang-menang antara pemerintah dan investor.

Pendekatan yang mengedepankan regulasi yang bersifat generalisasi dan mengharuskan (top down) mesti diimbangi dengan pendekatan fasilitas yang lebih ramah kepada investasi. Jangan sampai tujuan mulia energi berkeadilan justruk menjadi bumerang bagi ketahanan energi kita di kemudian hari.

Antisipasi Harga Naik; Pemerintah Perlu Konsisten Lakukan Evaluasi

Kompas; Senin, 6 November 2017

JAKARTA, KOMPAS  Harga minyak Indonesia terus menunjukkan kenaikan seiring dengan naiknya harga minyak acuan dunia. Kenaikan ini berpotensi memicu naiknya harga jual bahan bakar minyak dan tarif listrik di dalam negeri di tahun depan. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini.

Pada pengumuman tim harga minyak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga minyak Indonesia (ICP) periode Oktober 2017 naik menjadi 54,02 dollar AS per barrel. Harga tersebut lebih tinggi daripada periode September 2017 yang sebesar 52,47 dollar AS per barrel. Adapun ICP pada Agustus 2017 dipatok pada angka 48,43 dollar AS per barrel.

Meski begitu, kenaikan harga minyak ini tak membuat harga jual bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri ikut naik, khususnya jenis premium dan solar bersubsidi. Demikian pula tarif listrik yang salah satu komponen penentunya adalah harga minyak Indonesia. Pemerintah telah memutuskan, hingga tutup tahun tidak akan ada perubahan harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi dan tarif listrik.

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, pemerintah harus cermat menyusun kebijakan yang diterapkan saat harga minyak terus merangkak naik. Begitu pula dampaknya terhadap APBN dan keuangan PT Pertamina (Persero).

Jangan sampai gagap saat harga minyak terus naik. Pemerintah juga sebaiknya konsisten dengan kebijakan reformasi subsidi energi dan evaluasi harga BBM setiap bulan yang sudah diterapkan dengan baik di dua tahun awal pemerintahan sekarang, kata Pri Agung, Minggu (5/11), di Jakarta.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri ESDM Ignasius Jonan memutuskan takkan mengubah harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi sampai akhir tahun. Saat ini premium dijual Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Kebijakan serupa diterapkan pada tarif listrik yang tak berubah sampai tutup tahun ini.

Pertamina berharap

Di sisi lain, kendati keputusan harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi ada di tangan pemerintah, Pertamina berharap ada penyesuaian harga dengan melihat fakta harga minyak yang terus naik akhir-akhir ini. Berdasarkan perhitungan Pertamina, jika harga jual premium dan solar bersubsidi disesuaikan dengan pergerakan harga minyak dunia, akan ada tambahan penerimaan 1,5 miliar dollar AS sampai triwulan III-2017.

Sebagai perbandingan, penerimaan Pertamina sepanjang triwulan III-2016 sebanyak 26,62 miliar dollar AS dengan rerata ICP 37,88 dollar AS per barrel. Adapun penerimaan sepanjang triwulan III-2017 tercatat 31,38 miliar AS di saat rata-rata ICP 48,86 dollar AS per barrel. Kendati penerimaan lebih besar, laba Pertamina turun lantaran sebagian penerimaan dibelanjakan untuk menutup selisih yang timbul dari harga jual BBM ke masyarakat dengan harga keekonomian.

Seandainya ada penyesuaian harga jual BBM, penerimaan Pertamina bertambah 1,5 miliar dollar atau sekitar Rp 19 triliun. Namun, tak masalah karena ini menjadi kebijakan pemerintah. Yang menikmati harga juga masyarakat, ucap Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dalam paparan kinerja triwulan III-2017, pekan lalu, di Jakarta.

Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman menyebutkan, dengan kondisi harga minyak dunia saat ini, harga jual ideal premium adalah Rp 7.150 per liter dan solar bersubsidi Rp 6.500 per liter. Namun, kata dia, Pertamina tetap akan mematuhi kebijakan penentuan harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi.

Harga Minyak Naik Subsidi Energi Bisa Membesar

Media Indonesia: Minggu ,5 November 2017 06:44 WIB

1509840919_grafis-2

TREN pergerakan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat hingga di atas US$50 per barel harus diwaspadai pemerintah. Hal tersebut bisa berpotensi menekan anggaran subsidi energi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Perlu diingat bahwa indikator ekonomi makro dari sisi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN Perubahan 2017 dan APBN 2018 dipatok sebesar US$48 per barel. Dengan begitu, anggaran subsidi energi di APBN rentan untuk terlampaui, ungkap pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Berdasarkan situs www.bloomberg.com, harga minyak dunia dari sejumlah patokan terus terpantau naik. Patokan AS, minyak mentah light sweet atau WTI crude oil (Nymex) mencapai US$55,64 per barel. Kemudian patokan global, yaitu minyak mentah Brent North Sea (ICE), tercatat US$62,07 per barel.

Sementara itu, alokasi subsidi energi pada APBN-P 2017 ditetapkan sebesar Rp89,9 triliun dengan rincian subsidi BBM dan elpiji 3 kg Rp44,48 triliun serta subsidi listrik Rp45,37 triliun. Alokasi subsidi energi dalam APBN 2018 sebesar Rp94,5 triliun. Rinciannya yakni untuk subsidi BBM dan elpiji Rp46,9 triliun, serta subsidi listrik mencapai Rp47,7 triliun.

Pri melanjutkan agar subsidi energi tidak terlampaui, pemerintah mesti kembali menyesuaikan harga BBM di tengah fluktuasi harga minyak dunia. Hal itu disebabkan harga minyak dunia merupakan salah satu indikator penentu harga BBM, selain nilai tukar rupiah dan inflasi.

Jika harga BBM tidak berubah, beban PT Pertamina (persero) sebagai BUMN yang mendapat penugasan akan kian bertambah. Pertamina jelas semakin terbebani dengan tidak adanya (penyesuaian) harga BBM. Kalaupun bicara efisiensi, itu normatif karena selama ini sudah dilakukan Pertamina, tutur Pri.

Karena itu, lanjut dia, kebijakan penyesuaian harga BBM secara berkala per tiga bulan perlu dilakukan kembali. Terlebih, harga BBM yang telah ditetapkan pemerintah saat ini selisihnya semakin lebar dengan harga keekonomian. Jika ini (penyesuaian) dilakukan, bisa berdampak positif pada APBN sekaligus kinerja Pertamina, tutup Pri.

Defisit

Senada dengan dia, ekonom dari Indef Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah bahwa belanja untuk subsidi energi sampai akhir 2017 berpotensi tidak cukup dengan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia.

Begitu realisasi belanja subsidi energi melebihi pagu anggaran, itu bakal mendorong defisit fiskal di atas 2,9% terhadap produk domestik bruto. Padahal, dalam APBN-P 2017, outlook defisit anggaran ditetapkan 2,67%.

Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih rasional menugasi Pertamina untuk menjalankan program BBM satu harga. Sebaiknya, implementasi BBM satu harga dilakukan perlahan pada lokasi terbatas.

Selain itu, Bhima menyoroti strategi pengurangan distribusi premium di berbagai wilayah agar masyarakat beralih menggunakan produk BBM ramah lingkungan dengan kadar RON lebih tinggi. Padahal, migrasi produk BBM bisa memengaruhi inflasi, tuturnya.

Terkait dengan hal itu, pada kesempatan terakhir saat jumpa pers APBN 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah tetap berkukuh menahan kebijakan penyesuaian harga atau administered prices policy saat ini dan tahun mendatang. Hal tersebut ditempuh untuk menjaga daya beli masyarakat serta demi mengendalikan inflasi.