Harga Minyak Dunia 2017 Tak Akan Lebih dari USD55/Barel

SINDONEWS.COM; Selasa, 16 Mei 2017 – 13:09 WIB

JAKARTA– Pengamat Migas dari ReforMiner Institut Pri Agung Rakhmanto menilai, harga minyak dunia tahun ini masih belum akan bergerak dari level rendah. Harga minyak dunia diprediksi hanya akan berada di kisaran USD50 hingga USD55 per barel.

Dia mengungkapkan, harga minyak dunia sudah menyusut sejak pertengahan 2014. Namun, hingga saat ini harganya belum akan membaik mesipun Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC) telah memangkas produksi minyaknya.

“2017 masih akan bertahan rendah, belum akan melebihi USD60. Masih di angka USD50-USD55. Sudah agak naik karena OPEC memutuskan memangkas produksinya. Kira-kira kalau naik gradient-nya enggak langsung tinggi. Tidak jauh dari USD50-USD55. Kecuali ada gejolak luar biasa seperti perang itu bisa jadi naik luar biasa,” katanya di kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Menurutnya, hal ini lantaran dunia telah mengalami kelebihan pasokan sejak lama. Bahkan, pasokan minyak dunia saat ini telah melebihi permintaan yang ada. “Jadi, harga minyak masih akan bertahan rendah dalam jangka waktu cukup lama,” tutur dia.

Meskipun OPEC bukan satu-satunya penentu kenaikan harga minyak dunia, namun perangai organisasi tersebut tetap memiliki pengaruh signifikan mengingat OPEC menguasai 30% produksi minyak dunia.

Sayangnya, perilaku negara-negara anggota OPEC selama ini selalu memproduksi minyak melebihi dari permintaan. Sehingga, implikasinya membuat harga minyak dunia tidak bisa naik secara signifikan.

“Kalau dia berbaik hati mau turunkan produksinya, mungkin harga minyak naik. Tapi dia enggak mau kalau harga minyak dunia terlalu tinggi. Jadi sekarang politis saja, hanya menjaga balance saja. Itu sebabnya kenapa mereka akan selalu memberikan sinyal kepada pasar harga di kisaran yang mereka kehendaki,” tutur dia.

Akibatnya, tambah Pri Agung, investasi di sektor hulu migas dunia pun mengalami kemerosotan cukup dalam. Bahkan, saat ini investasi di sektor tersebut hanya sekitar USD11 miliar.

“Implikasinya, sejak 2014 investasi di semua negara turun, Indonesia juga turun. 2016 hanya USD11 miliar investasi hulu migas, sebelumnya USD15-USD20 miliar. Ini faktor sangat signifikan,” terangnya.

Regulasi Rumit, Investasi Migas Indonesia Kian Memprihatinkan

www.okezone.com; Selasa, 16 Mei 2017 – 21:27 wib

JAKARTA– Selama tiga tahun terakhir investasi minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2016, ekplorasi turun 24% dan eksploitasi turun 18% dari semester I ke II. Hal ini disebabkan oleh rumitnya regulasi migas yang ada di Indonesia.

Pengamat Energi Komaidi Notonegoro mengatakan, investasi migas dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan keprihatinan. Pasalnya, dari data ketertarikan investasi migas di negara-negara Asia, Indonesia berada di urutan ke-15.

“Posisi ini cuma 1 level di atas Timor leste. Sebenarnya 15 item untuk penilaian, di antaranya masalah regulasi. Nah ini mereka (investor) menilai regulasi di Indonesia tidak stabil,” ujarnya dalam diskusi di Paramadina Graduate School, Gedung Tempo, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Selain regulasi yang rumit, Komaidi mengatakan, iklim politik yang tidak stabil juga menjadi penilaian investor enggan berinvestasi di dalam negeri. Pasalnya, investor takut jika diwarnai tarik-menarik di parlemen membuat ketidakpastian bagi investor nantinya.

“Jadi itu problem. Kemudian ada juga aturan yang dipaksakan seperti gross split. Harusnya kalau menurut saya ini sebagai pilihan saja, karena 100% risiko eksplorasinya ditanggung kontraktor,” ujarnya.

Perebutan Sumber Energi Kian Ketat

KOMPAS: Rabu 17 Mei 2017

JAKARTA, KOMPAS Persaingan perebutan sumber energi di kawasan Asia kian ketat. Indonesia harus bersaing dengan negara-negara besar, seperti India, China, Jepang, dan Korea Selatan, untuk mengamankan pasokan energi, khususnya minyak dan gas bumi.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia yang terus berkurang seiring naiknya konsumsi di dalam negeri tidak diimbangi oleh penemuan cadangan baru. Jika tidak segera melakukan terobosan untuk meningkatkan cadangan lewat eksplorasi, Indonesia akan semakin bergantung pada impor energi dari negara lain.

Saat ini, setengah dari konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri didapat dari impor. Produksi di dalam negeri hanya sekitar 800.000 barrel per hari, sedangkan konsumsinya mencapai 1,6 juta barrel per hari, ujar Komaidi dalam diskusi tentang ketahanan energi nasional yang diselenggarakan Universitas Paramadina, Selasa (16/5), di Jakarta.

Menurut Komaidi, cadangan minyak Indonesia yang sekitar 3 miliar barrel tidak sampai 1 persen dari cadangan minyak dunia. Adapun konsumsi minyak Indonesia setara dengan 3 persen konsumsi minyak dunia. Sementara itu, produksi minyak Indonesia hanya 0,2 persen dari produksi minyak dunia.

Dengan pemetaan seperti itu, ketahanan energi Indonesia belum begitu kuat. Indonesia akan lebih banyak bergantung pada impor jika tidak segera bertindak, ujar Komaidi.

Sayangnya, upaya menarik investor hulu minyak dan gas bumi ke Indonesia tidak didukung oleh sistem yang kondusif. Iklim investasi hulu minyak dan gas bumi masih dibayangi ketidakpastian peraturan, situasi politik yang tidak stabil, dan minimnya pemberian insentif fiskal.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengakui bahwa regulasi hulu migas di Indonesia yang kerap berubah- ubah tidak menarik bagi investasi. Investor akan lebih banyak menunggu untuk tidak berinvestasi lantaran cemas akan ada perubahan aturan lagi di tengah jalan.

Inkonsistensi aturan itu menimbulkan ketidakpastian. Investor tentu cemas dan tidak berani mengambil keputusan investasi. Hal yang sangat diperlukan bagi investor adalah kepastian hukum dalam berbisnis, kata Amien.

Soal cadangan migas Indonesia yang kian menipis, kata Amien, Indonesia harus tetap optimistis. Masih banyak cekungan- cekungan yang berpotensi mengandung hidrokarbon yang belum diteliti lebih lanjut. Ada 74 cekungan yang sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia yang belum pernah diteliti.

Intinya, tidak perlu cemas. Negara semacam Jepang atau Korea Selatan yang notabene pengimpor energi justru menjadi negara maju. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum dieksplorasi kendati itu perlu biaya dan teknologi maju, ujar Amien.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sepanjang tahun 2016, produksi minyak Indonesia sebanyak 820.000 barrel per hari, sedangkan impornya 780.000 barrel per hari. Adapun produksi elpiji Indonesia sebanyak 2,1 juta metrik ton, sedangkan impornya 4,47 juta metrik ton.

Sementara itu, produksi gas domestik sebanyak 7.300 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan yang diekspor sebanyak 2.400 MMSCFD. Seiring dengan naiknya konsumsi, Indonesia diperkirakan defisit minyak dan gas bumi pada tahun 2019.

Skema Gross Split Cocok untuk Lapangan Mature dan Produksi

www.okezone.com: Selasa, 16 Mei 2017 – 17:01 WIB

JAKARTA– Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Gross Split. Skema bagi hasil gross split dinilai cocok untuk lapangan minyak dan gas (migas) yang sudah produktif.

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, skema bagi hasil gross split sebaiknya jangan dipaksakan untuk wilayah kerja (WK) eksplorasi.

“Bila ibaratkan seperti makanan, biarkan skema gross split masuk ke dalam menu makanan yang bisa menjadi pilihan bagi Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S),” tuturnya, dalam bincang santai dengan awak media, di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Pasalnya, lanjut Pri, lapangan migas tidak bisa disamakan. Untuk penerapan skema gross split lebih baik digunakan untuk lapangan mature (tua).

“Jadi lapangan yang sudah siap produksi, risiko sudah ter-manage semua. Yang dibutuhkan cuma satu percepatan project, ada tempatnya bagi gross split. Tapi kalau lapangan mentah, belum tahu apa-apa, belum jelas risiko tinggi, silakan tawarkan yang lain,” jelasnya.

Jadi, lanjut Pri, biarkan investor memilih. Jangan seperti sekarang peraturan mengondisikan untuk tidak ada pilihan harus gross split. Padahal, kata dia, aturan gross split masih gambling bagi investor saat ini.

“Bisa jadi di reduksi cost tapi lebih baik liat dari pandangan yang berbeda. Ini masalah cara pandang dan pemahaman kepada industri migas,” ujarnya.

Pemerintah Harus Lakukan Ini agar Gross Split Menarik Investor

www.sindonews.com: Selasa, 16 Mei 2017 – 17:45 WIB

JAKARTA– Pengamat Minyak dan Gas Bumi (Migas) ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menuturkan bahwa skema bagi hasil kontrak migas gross split yang diberlakukan pemerintah saat ini masih kurang menarik.

Pemerintah perlu memperbaiki aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split tersebut agar menarik untuk investor.

Pertama, kata Pri Agung, investor diberikan kesempatan untuk bernegosiasi mengenai bagi hasil (based split) antara pemerintah dan investor. Sebab, dalam skema yang saat ini, pemerintah memperoleh bagian terlalu besar sehingga investor tidak terlalu tertarik.

“Jadi peraturannya jangan begitu, kita kan enggak boleh kritik terus, kasih solusi. Jadi tolong base split nya negosiasi dengan kewajaran angka,” katanya di Kantor Chevron, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Kedua, pemerintah juga harus konsisten jika akan menggunakan skema gross split. Misalnya, mengenai aturan pengadaan barang, jika memang investor atau kontraktor diperbolehkan melakukan pengadaan barang sendiri, maka seharusnya setelah kegiatan eksplorasi tersebut selesai barang akan tetap menjadi milik investor.

Namun di prinsip gross split saat ini, barang akan menjadi milik negara. Jika memakai cost recovery, pengadaan harus melalui persetujuan SKK Migas.

“Kenapa ada seperti itu? Karena nanti barang itu jadi milik negara. Barang milik negara kan tidak dikenakan pajak. Makanya berlaku prinsip assume and discharge. Sekarang pakai gross split, barang pengadaan boleh milik sendiri, nanti harusnya barang milik kontraktor, tapi di gross split, barangnya nanti milik negara. Jadi ini government win,” terang dia.

Ketiga, kontraktor seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih menggunakan skema cost recovery atau gross split. Pemerintah jangan memaksakan bahwa kontraktor harus menggunakan skema bagi hasil gross split.

“Jangan dipaksakan. Jadikan dia sebagai menu makanan, jadi investor bisa memilih. Peraturan yang sekarang itu mengkondisikan untuk tidak ada pilihan gross split. Ini masalah cara pandang dan pemahaman kepada industri migas,” tuturnya.

Peningkatan ICP bisa berlangsung sepanjang tahun

www.kontan.co.id; Kamis, 04 Mei 2017 / 22:29 WIB

JAKARTA. Tim Harga Minyak Indonesia Kementerian ESDM merilis hasil perhitungan rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia bulan April 2017 yang hasilnya mengalami peningkatan. Pada April 2017, ICP tercatat mencapai US$ 49,56 per barel.

Jumlah ini meningkat US$ 0,85 per barel atau setara Rp 11.324 dari ICP Maret 2017 lalu, sebesar US$ 48,71 per barel. Kondisi yang sama juga terjadi pada harga minyak jenis Brent (ICE) yang naik US$ 1,28 per barel dari US$ 52,54 di bulan Maret 2017, menjadi US$ 53,82 per barel pada April 2017.

Lalu, harga minyak jenis WTI (Nymex) naik US$ 1,45 per barel dari US$ 49,67 pada April 2017 menjadi US$ 51,12 per barel pada April 2017. Sedangkan keranjang (basket) OPEC naik US$ 1,15 dari US$ 50,32 menjadi US$ 51,47 per barel.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro memperkirakan tren kenaikan harga minyak akan berlangsung sepanjang tahun 2017. Dengan catatan, jika OPEC konsisten mempertahankan pengurangan kuota produksi.

“Bagi Indonesia, jika dilihat dari keuangan negara akan cukup membantu. Apalagi, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan semakin membaik,” kata Komaidi, Kamis (4/5). Menurutnya, pemerintah akan mendapat manfaat positif, karena subsidi dipatok di angka tertentu.

Besaran peningkatan ICP, lanjut Komaidi, bergantung pada banyak variabel. Antara lain permintaan minyak global, penawaran minyak, pertumbuhan ekonomi, stok minyak negara-negara maju, pertumbuhan ekonomi, spekulasi di pasar minyak non fisik, geopolitik lokasi produsen serta jalur distribusinya, dan sebagainya.

“Harga minyak ditentukan oleh faktor fundamental dan non-fundamental, jadi tidak mudah memberikan angka proyeksi,” tuturnya. Jika dilihat dari trennya, ICP berada lebih tinggi dari harga WTI dan berada di bawah harga BRENT.

Pemerhati dan Praktisi Migas Indonesia, Iwan Ratman menambahkan, ICP masih akan terus stabil hingga akhir tahun di kisaran +/- US$ 5 per barel.

Menurutnya, meski ICP terus menanjak naik, namun penerimaan negara dari sektor migas tidak akan meningkat signifikan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, produksi migas dalam negeri tidak ada peningkatan signifikan.

Kedua, iklim investasi migas masih berada pada kondisi memprihatinkan, akibatnya banyak investor yang belum tertarik berinvestasi. Ketiga, kepastian hukum yang tak kunjung dibenahi. “UU Migas sampai saat ini juga belum ada revisi sejak BP Migas dibubarkan tahun 2012 oleh MK,” jelas Iwan pada KONTAN, Kamis (4/5).

Akibat kondisi iklim investasi ini, harapan peningkatan cadangan migas makin pesimis. Iwan bilang masa depan migas nasional tidak bisa diharapkan lagi sebagai penyumbang penerimaan negara seperti tahun-tahun terdahulu.

Yang terjadi saat ini, terdapat ketergantungan impor produk migas untuk memenuhi kebutuhan nasional. “Ada akibat berantainya karena subsidi migas sudah dihapus MK, harga jual migas domestik jadi tinggi. Akibatnya, fuel cost (biaya energi) masyarakat juga makin tinggi. Lama-lama bisa memperlemah ketahanan energi nasional,” jelas Iwan.

Industri Hulu Migas dan Perubahan Zaman

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)
KOMPAS: Jumaat 12 Mei 2017

Setiap tahun, biasanya pada bulan Mei, para pelaku industri hulu migas rutin menggelar acara yang dikemas di dalam forum yang disebutnya sebagai konvensi dan ekshibisi.

Salah satu agendanya, biasanya para pemangku kepentingana khususnya para pelaku dan unsur pemerintaha membicarakan persoalan yang ada dan bagaimana mengatasinya. Tahun ini juga demikian. Acara yang dinamakan the 41stIndonesian Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex) 2017 akan digelar pada 17-19 Mei, yang mengangkat tema kurang lebih bagaimana mempercepat upaya-upaya reformasi yang dilakukan untuk menarik kembali investasi guna memenuhi target pertumbuhan ekonomi.

Maksud dan tujuan penyelenggaraan forum semacam itu tentu baik. Namun, agar tak terkesan jadi seremoni rutin setiap tahun, ada baiknya para pelaku industri hulu migas di Indonesia menyempatkan diri untuk lebih mencermati tanda-tanda perubahan zaman. Demikian juga pemerintah agar lebih mengingat kembali apa sejatinya maksud, tujuan, dan posisinya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan kegiatan usaha hulu migas.

Lain dulu, lain sekarang

Kondisi dan keadaan sekarang telah berbeda jauh dibanding saat awal industri hulu migas nasional mulai intensif digarap di awal 1970-an. Saat itu, dengan segala dinamika gejolak harga minyak yang ada, hingga 1984/1985 porsi penerimaan negara dari hulu migas berkisar 50-60 persen terhadap total penerimaan negara. Sangat mudah dimengerti jika industri hulu migas pada saat itu seperti dianakemaskan. Sekarang, porsi penerimaan hulu migas hanya di kisaran 3-5 persen dari total penerimaan negara di APBN. Meskipun tidak berarti benar, dapat dimengerti jika kemudian pemerintah saat ini tidak terlalu memberikan perhatian pada sektor hulu migas.

Periode sebelum 1997/1998 diwarnai lingkungan politik dan sistem pemerintahan yang cenderung otoritarian dan sentralistik. Alhasil, ketika ada satu perintah atau garis kebijakan nasional untuk mengamankan pelaksanaan proyek-proyek hulu migas, semua elemen penyelenggara pemerintahana baik di pusat maupun daeraha akan mengikuti dan menyukseskannya.

Pasca-reformasi 1997/1998 dan implementasi otonomi daerah tahun 1999, kekuasaan tidak lagi terpusat hanya pada satu poros. Terjadi distribusi kewenangan dan kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Legislatif tidak lagi hanya berfungsi sebagai pemberi stempel bagi kebijakan dan program eksekutif, tetapi sudah lebih riil menjalankan kewenangan dalam pemberian persetujuan program dan anggaran. Otonomi daerah membuat daerah memiliki kewenangan sendiri di berbagai aspek sehingga tidak sepenuhnya lagi dapat diatur oleh pusat.

Tuntutan daerah untuk mengelola, berpartisipasi, dan mendapatkan hasil lebih dari migas juga semakin besar. Dengan perubahan seperti itu, proses pengambilan keputusan menjadi lebih memakan waktu dan pelaksanaan program kegiatan tak semudah dan sesederhana dulu.

Pada periode yang sama, di hulu migas sendiri terjadi perubahan yang signifikan. UU yang mengaturnya, UU No 8/1971 tentang Pertamina, digantikan UU No 22/2001 tentang Migas. UU Pertamina menerapkan prinsip lex specialis dalam perpajakan hulu migas, sedangkan UU Migas membuka diri dalam hal perpajakan untuk mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku.

Model pelaksanaan bisnis hulu migas tidak lagi dijalankan dengan mekanisme business to business (B to B) antara Pertamina dan kontraktornya, tetapi berganti menjadi government to business (G to B) antara BP Migas (sekarang SKK Migas) dan kontraktor. Sistem yang digunakan utamanya tetap kontrak bisnis, yaitu production sharing contract PSC), tetapi yang menjalankan bukan entitas bisnis.

Budaya di korporasi tentu tak sama dengan di birokrasi. Jika korporasi dapat lebih fleksibel dan mengedepankan negosiasi, di birokrasi lebih birokratis karena mengedepankan prosedur. Jika korporasi lebih mengedepankan bagaimana negara mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui kesepakatan investasi, birokrasi cenderung lebih mengarah pada bagaimana negara tidak dirugikan dan tidak ada peraturan yang dilanggar. Kegiatan usaha hulu migas, yang merupakan hal bisnis, cenderung diperlakukan menjadi hal bukan bisnis, tetapi administratif.

Implikasi dari semua itu, sebagaimana berulang kali dikeluhkan para pelaku hulu migas di dalam forumnya, iklim investasi hulu migas menjadi (sangat) tak kondusif. Jika sebelumnya diperlukan waktu rata-rata kurang dari tujuh tahun, kini perlu waktu hingga 15 tahun dari sejak lapangan migas ditemukan hingga lapangan tersebut berproduksi.

Sangat tidak efisien. Akibatnya, investasi untuk menemukan dan mengembangkan lapangan migas baru menurun. Produksi dan cadangan migas terus menurun, ekspor menurun dan impor membesar. Jika sebelumnya Indonesia adalah eksportir LNG terbesar dunia dan anggota OPEC yang disegani, kini menjadi nett oil importer dan sebentar lagi akan juga mengimpor gas.

Semua mesti berubah

Jadi, zaman memang sudah berubah. Iklim investasi untuk hulu migas memang tak akan pernah sama lagi ramahnya dengan dulu karena kondisi politik-sosial-ekonomi yang melingkupinya memang sudah jauh berbeda. Meskipun tak sepenuhnya dapat disalahkan, daripada terus-menerus meminta berbagai perlakuan khusus untuk mengembalikan kondisi seperti sediakala yang diharapkan, akan lebih baik kiranya industri hulu migas untuk memasukkan semua perubahan itu sebagai country risks yang baru untuk berbisnis hulu migas di Indonesia.

Apalagi, di pemerintahan saat ini, dengan visi energi berkeadilan, jangan harap perlakuan khusus itu akan diberikan. Hanya jika industri hulu migas mampu membuktikan tanpa keistimewaan itu mereka bisa melahirkan terobosan seperti revolusi shale oil dan shale gas di AS, sehingga bisa meningkatkan produksi dan cadangan migas nasional secara signifikan, perhatian, dan perlakuan khusus itu akan datang.

Meskipun demikian, tak berarti pemerintah juga tak perlu berbenah. Proses bisnis di industri hulu migas harus kembali diperlakukan dengan pendekatan bisnis sebagaimana mestinya, bukan pendekatan birokratis dan administratif. Bisnis dan investasi adalah persoalan win-win, bukan government win Jika keduanya tidak berubah, forum apa pun namanya hanya akan sekadar menjadi seremoni belaka.

Menyoal Regulasi Gross Split
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti,Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia