Tahun Sibuk Merangsang Investasi Hulu Migas yang Terpuruk

(CNNIndonesia, 29 Desember 2016)

Jakarta,CNN Indonesia— Sektor hulu minyak dan gas bumi dirundung awan kelam sepanjang tahun 2016. Harga minyak mentah yang tak kunjung membaik membuat investasi di sektor hulu migas menjadi tak karuan.

Mengutip data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas pada tahun ini ditargetkan sebesar US$12,01 miliar, atau jauh lebih kecil dibanding realisasi tahun sebelumnya sebesar US$15,9 miliar.

Sayangnya, kondisi ini muncul di tengah keinginan Indonesia untuk memperbaiki cadangan migas. Karena jika tidak diperbaiki, maka lifting migas Indonesia bisa terus melandai.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi memprediksi, lifting minyak di tahun 2020 akan mencapai sebesar 480 ribu barel per hari hingga 550 ribu barel per hari jika tidak ditemukan cadangan besar. Apalagi, tidak ada rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Wilayah Kerja (WK) migas yang signifikan di dalam kurun waktu tersebut.

“Saat ini harga minyak US$40 per barel hingga US$50 per barel, sehingga yang ada malah pengurangan kegiatan migas. Hal itu berdampak pada penurunan laju produksi lapangan existing yang bisa sangat dalam,” jelas Amien di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan, rata-rata penurunan cadangan minyak alami lapangan migas (natural declining rate) terbilang sebesar 19 persen hingga 20 persen per tahun. Karena lapangan migas Indonesia adalah lapangan tua, sehingga perlu dilakukan perawatan terus menerus agar produksinya tetap terjaga.

Sementara itu, terdapat pula 35 WK migas yang masa kontrak bagi hasil produksinya (Production Sharing Contract/PSC) habis hingga tahun 2026. Amien beralasan, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang lama pasti akan mengurangi investasinya selama masa transisi WK ke operator yang baru.

Intinya, Indonesia tidak boleh bergantung lagi pada lapangan-lapangan produksi yang sudah ada dan harus bergerak untuk mencari cadangan baru jika ingin produksi minyak tetap mengalir. Selain itu, eksplorasi migas di Indonesia saat ini harus beralih ke laut dalam mengingat cadangan onshore sudah jarang ditemukan. Namun, eksplorasi cadangan laut dalam tentu memakan biaya yang besar.

President Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengungkapkan, harga minyak yang tengah rontok tentu menjadi disinsentif investasi. Alasannya, harga minyak yang rendah membuat tingkat keekonomian sebuah lapangan migas menjadi tidak menarik.

Namun, pergolakan eksternal itu seharusnya disesuaikan dengan paket regulasi pemerintah terkait sektor migas (fiscal regime). Kebijakan pemerintah disebut sebagai tumpuan utama dalam menggairahkan investasi migas.

Sayangnya, ia menganggap fiscal regime di Indonesia belum bisa mengakomodasi investasi migas. Adapun, perubahan fiscal regime yang dilakukan pemerintah beberapa waktu terakhir malah dianggap menimbulkan perubahan prediksi nilai keekonomian lapangan migas (predictability).

Salah satu kebijakan tersebut, jelas Christina, adalah hilangnya pembebasan pajak-pajak dan retribusi atas barang-barang operasional hulu migas (assume and discharged) yang dimuat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010.

“Padahal di tengah penurunan harga minyak, kini masing-masing negara berlomba menawarkan fiscal terms yang menarik. Kalau Indonesia tak melakukan perbaikan, maka investor akan mengalihkan perhatiannya dari Indonesia,” ujarnya.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas, Taslim Yunus menyebut Indonesia terlalu jual mahal di dalam investasi hulu migas. Pasalnya, regulasi yang ditawarkan Indonesia tak sebanding dengan kondisi geologisnya.

Ia menyebut, kondisi geologi Indonesia kini tidak lagi menyimpan cadangan-cadangan besar. Sehingga, tak jarang jika ini diiringi dengan kegagalan beberapa eksplorasi migas. Maka dari itu, banyak investor memalingkan muka dari Indonesia untuk mencari lokasi baru untuk berinvestasi.

Hal itu, lanjutnya, bisa terlihat dari peringkat kemudahan investasi migas menurut Survei Fraser Institute Global Petroleum, di mana Indonesia menduduki peringkat ke-79 dari 96 negara. Ini berbanding terbalik dibandingkan dekade 1990-an, di mana Indonesia selalu menduduki 10 besar peringkat Fraser Institute.

“Memang, kalau kondisi geologi tidak bagus, Indonesia bisa mengubah fiscal regime dengan menarik. Karena secara geologis tidak menarik, maka Indonesia jangan jual mahal dalam menawarkan investasinya,” jelas Taslim.

Melengkapi ucapan Taslim, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyebut berbagai jenis peraturan yang menjadi disinsentif bagi investor.

Yang pertama, adalah sistem bagi hasil (split) produksi migas yang tidak fleksibel dengan kondisi eksternal saat ini, khususnya fluktuasi harga minyak dunia. Padahal, tingkat keekonomian proyek migas sangat bergantung dengan pergerakan harga minyak.

Sebagai informasi, saat ini bagian produksi minyak pemerintah tercatat sebesar 85 persen sesuai kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC). Bagi hasil ini dipatok tetap sepanjang tahun tanpa dipengaruhi asumsi eksternal apapun.

Selain itu, ia mengatakan pelaku usaha sangat terbebani dengan PP Nomor 79 Tahun 2010 yang mengatur cost recovery.

Di dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa biaya eksplorasi ditanggung sepenuhnya oleh investor dan akan diganti pemerintah melalui cost recovery jika eksplorasinya berhasil. Namun jika cadangan tak ditemukan, maka pemerintah tidak mau mengganti biaya-biaya tersebut.

“Kalau seperti ini apa investor semakin tidak malas berinvestasi? Apakah benar, investor bisa ditarik pungutan pajak dan beban-beban lain di saat eksplorasi? Padahal produksinya saja belum keluar,” jelas Komaidi.

Menyadari bahwa investasi hulu migas tengah dirundung lesu, pemerintah mungkin ingin menjadikan tahun 2016 sebagai masa-masa introspeksi. Banyak usulan kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk membangkitkan investasi hulu migas di tahun ini.

Berbenah Diri

Pertengahan tahun lalu, pemerintah mulai mengubah formulasi minyak mentah (Indonesian Crude Price/ICP) yang sebelumnya berdasarkan referensi Platts dan RIM menjadi Brent dan West Texas Intermediate (WTI). Perubahan ini dimaksudkan agar harga minyak Indonesia relevan dengan harga acuan minyak dunia.

Meski bertujuan untuk mengerek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun perubahan formulasi ini bisa meningkatkan nilai keekonomian lapangan migas. Sehingga, ini diharapkan bisa menjadi insentif pengembangan lapangan migas meski secara tak langsung.

Di samping itu, pemerintah juga memberlakukan sistem open bid split di dalam lelang 14 Wilayah Kerja (WK) konvensional di tahun ini. Skema open bid split adalah sistem bagi hasil di mana investor bisa menawar porsi bagi hasil yang sesuai dengan keekonomian KKKS.

Sebelumnya, angka bagi hasil ditentukan secara tetap (fixed) sehingga investor tidak bisa melakukan negosiasi ulang. Skema ini dianggap kurang menarik investor untuk menggarap WK di tengah kondisi eksplorasi yang juga melesu.

Sayangnya, lelang WK tersebut masih belum membuahkan hasil hingga saat ini. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan hanya beberapa WK saja yang diminati oleh calon investor. Untuk itu, pemerintah memutar otak lagi agar investasi migas giat kembali.

“Kalau tidak laku tahun ini ya kami lelang lagi tahun depan,” jelasnya.

Langkah berikutnya adalah dengan merevisi PP Nomor 79 Tahun 2010, yang selama ini dianggap momok investasi hulu migas.

Di dalam revisi beleid tersebut, pemerintah memberikan lima poin utama sebagai insentif eksplorasi yang secara garis besar terdiri dari pembebasan pajak eksplorasi, fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi, pembebanan bersama (cost sharing) pemerintah dan KKKS dalam mengelola aset hulu migas negara, fasilitas non fiskal, dan pemberlakuan sistem sliding scale, di mana pemerintah mendapatkan bagi hasil lebih apabila terdapat windfall profit.

Namun, upaya ini masih ditanggapi sinis oleh asosiasi hulu migas. Pasalnya, poin revisi tersebut tidak mengembalikan lagi asumsi assume and discharged. Apalagi, masih belum jelas apakah kontrak lama atau kontrak baru saja yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut.

Tak berhenti di revisi PP Nomor 79 Tahun 2010, di akhir tahun ini, pemerintah juga berencana untuk mengubah rezim kontrak bagi hasil dari PSC cost recovery menjadi PSC Gross Split. Skema yang disebut belakangan, adalah sistem bagi hasil di mana split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.

 

Pembahasan Blok Masela Berlarut-larut

(Kompas, 28 Desember 2016)

Jakarta, Pembahasan pengembangan Blok Masela, Maluku, yang kaya gas bumi, hingga kini belum tuntas. Belum ada kesepakatan mengenai rencana penambahan kapasitas produksi, perpanjangan operasi, dan lokasi kilang pengolahan gas di darat.

Pengajar Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, keputusan pengembangan Blok Masela yang panjang dan berlarut-larut bisa berdampak kurang baik bagi iklim investasi di Indonesia. Akan tetapi, menurut dia, investor juga perlu menyadari, realitas sosial, ekonomi dan politik menyangkut Blok Masela cukup sensitif.

Namun, saya percaya dengan keputusan yang diambil terkait pengembangan gas Blok Masela benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dari segala aspek, kata Pri Agung, di Jakarta, Selasa (27/12).

Kontraktor Blok Masela, Inpex Corporation dan Shell, mengajukan tiga permintaan kepada pemerintah terkait dengan pengembangan gas Blok Masela. Ketiga hal itu adalah penambahan masa operasi 10 tahun, penambahan kapasitas kilang gas alam cair (LNG) dari 7,5 metrik ton per tahun menjadi 9,5 metrik ton per tahun, dan pembayaran cost recovery atau biaya operasi yang bisa diganti senilai 1,2 miliar dollar AS yang sudah dibelanjakan kontraktor.

Dari ketiga hal tersebut, pemerintah memberi sinyal mengenai perpanjangan operasi selama tujuh tahun. Kedua hal lainnya masih dalam pembahasan lebih lanjut.

Pembahasan lebih jauh terus kami lakukan dengan pemerintah. Kami berharap proyek pengembangan gas di Blok Masela dapat segera terlaksana, kata senior Communication Manager Inpex Corporation Usman Slamet saat ditanya tentang keputusan pemerintah yang bersedia menambahkan operasi selama tujuh tahun di Blok Masela.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, pekan lalu, menyebutkan, proyek pengembangan gas Blok Masela hampir mendekati kesepakatan.

Menurut dia, ada tiga proyek terkait pengembangan gas Blok Masela, yaitu proyek kilang LNG, petrokimia, dan pabrik pupuk.

Soal permintaan perpanjangan operasi, mereka (Inpex dan Shell) meminta 10 tahun, tetapi kami melihat angka yang realistis tujuh tahun, ujarnya. Cadangan di Blok Masela diperkirakan 10,7 triliun kaki kubik.

Dibayangi Kenaikan Harga Minyak

(Koransindo,22 Desember 2016)

Setelah mengalami penurunan sekitar 59% dalam kurun waktu dua tahun terakhir, harga minyak dunia tahun depan diperkirakan mulai kembali naik.

K eputusan Organisasi Negaranegara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas produksi di penghujung tahun ini, ditambah membaiknya permintaan secara global, diyakini bakal mendongkrak harga minyak dunia. Tak heran jika pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 pun mematok asumsi harga minyak di angka USD45 per barel, lebih tinggi ketimbang asumsi dalam APBN-P 2016 sebesar USD40 per barel.

Bahkan, beberapa pendapat menyebut ratarata harga minyak dunia tahun depan bisa di atas USD50 per barel. Pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto misalnya, memperkirakan rata-rata harga minyak tahun depan berada pada kisaran USD55-60 per barel. Di satu sisi, kenaikan harga minyak dunia akan menjadi beban mengingat masih tingginya impor minyak oleh negara ini.

Kurang lebih separuh dari kebutuhan minyak dalam negeri sebesar 1,6 juta barel per hari harus dipenuhi melalui impor. Di sisi lain, proyeksi naiknya harga minyak mentah juga membangun optimisme akan meningkatkan investasi ekplorasi di sektor hulu minyak dan gas bumi di dalam negeri. Namun, tampaknya agak sulit berharap produksi minyak dalam negeri akan meningkat signifikan pada tahun depan.

Sebab, produksi minyak dalam negeri saat ini memang relatif kecil karena sebagian besar ladang minyak yang ada relatif berusia tua. Tak hanya itu, iklim investasi, khususnya di sektor migas juga dinilai masih dibayangi ketidakpastian. Utamanya adalah terkait belum selesainya revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Dalam kondisi tersebut penerimaan dari sektor ini diperkirakan tidak akan meningkat signifikan karena produksi yang relatif stagnan. Hal senada diutarakan anggota DPR Komisi VII DPR dari Fraksi Gokar Satya Widya Yudha. Pesimisme akan naiknya produksi hulu migas secara signifikan tahun depan menurutnya didasari pada persoalan iklim investasi migas di dalam negeri. Kompleksitas permasalahan peraturan yang berlapis dan izin birokrasi yang berbelit menurutnya masih menjadi pekerjaan rumah tahun depan.

Meski begitu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mempunyai pandangan berbeda. Jonan mengatakan bahwa kemungkinan tahun depan lifting migas melampaui target APBN 2017 sebesar 815.000 barel per hari. Secara internal target tersebut telah ditetapkan bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Menurut Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, produksi minyak siap jual tahun depan diperkirakan mencapai 825.000 barel per hari. Optimisme itu muncul karena rata-rata lifting harian saat ini mencapai 821.000 barel per hari atau melebihi target APBN 2016 sebesar 820.000 barel per hari. Apabila tidak ada kejadian luar biasa sampai akhir tahun ini, kata dia, target lifting 820.000 barel per hari optimistis tercapai.

Terlepas dari itu, optimisme pemerintah seharusnya memang juga ditunjang langkah konkrit memperbaiki iklim investasi migas, khususnya memberikan kepastian dengan menyelesaikan revisi UU Migas yang menjadi aturan dasarnya.

Bagi investor, pemerintah juga diharapkan memberikan kepastian dengan memberikan keputusan terkait 22 blok migas yang akan habis masa kontraknya pada 2020. Selain itu, penyederhanaan izin mutlak diberikan. Bahkan, pemberian insentif pun sudah harus dipertimbangkan untuk mendorong kontraktor kontrak kerja sama lebih giat menggarap wilayah kerjanya.

Pengamat : Kasihan Pelaku Migas, Regulasi Selalu Berubah-ubah

(IndoPetroNews,20 Desember 2016)

IndoPetroNews-Adagium ganti menteri, ganti pula kebijakan bukan hanya sindiran khalayak kepada pemegang kebijakan di Tanah Air. Dan inilah yang terjadi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini.

“Dulu, zamannya Pak Sudirman Said jadi Menteri ESDM, fokus utamanya adalah tata kelola. Saat Pak Luhut Binsar Pandjaitan menjabat Plt Menteri ESDM lebih gencar menggulirkan revisi PP 79 2010. Kini, Pak Jonan lebih gandrung pada skema Gross Split yang akan menggantikan cost recovery,” tandas Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, kepada indoPetroNews.com Senin petang (19/12/2016) di Jakarta. Akibatnya, pihak kontraktor kebingungan

“Kasihan pengusahanya,” kata Komaidi. Sejatinya, regulasi minyak dan gas bumi (migas) dibuat secara permanen sehingga ada kepastian. “Kepastian itulah yang dibutuhkan pelaku bisnis. Mereka kan sudah membuat planing dan kalkulasi bisnis secara matang jauh hari sebelum mengeksekusi satu bisnis,” terang Komaidi.

Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah menggodok perubahan skema bisnis dalam industri hulu migas. Selama ini skema yang dijalankan menggunakan cost recovery. Sistem ini hendak diubah dengan skema Gross Split.

Menurut anggota Komisi VII DPR, Satya W Yuda, skema Gross Split tidak jauh berbeda dengan rezim cost recovery. “Hanya lebih dimodifikasi di sana-sini,” ujarnya, dalam satu diskusi pada Senin (19/12/2016) di Jakarta. Namun intinya tetap sama.

Sementara Bobby Gafur, Ketua Bidang Oil and gas Kadin Indonesia, berharap pemerintah memberikan panduan Gross Split kepada pengusaha. “Semoga regulasi ini dapat diimplentasikan di lapangan,” kata Bobby.

Realisasi Subsidi Listrik Berdasarkan Penerima

Presentation1 (2)

ESDM menerapkan syarat TKDN di gross split

(Kontan,15 Desember 2016)

JAKARTA –Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan, penggunaan skema bagi hasil memakai gross split akan mensyaratkan beberapa hal. Terutama adalah pemakaian tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan, semakin banyak TKDN yang dipakai oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), akan semakin besar pula split yang didapat mereka. “Kalau mereka (KKKS) tidak mau memakai TKDN maka split tidak dapat besar. Dan tidak ada insentif,” ungkap dia, usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII, Rabu (14/12).

Dia juga tidak ingin berandai-andai, jika pada penerapannya malah gagal meningkatkan pendapatan untuk negara. “Tadi DPR bilang, jangan dulu ngomongin gross split. Tunggu sampai dibahas di DPR,” ungkap dia.

Sejauh ini pemerintah dan beberapa asosiasi penunjang migas juga akan melakukan diskusi soal masalah penerapan TKDN ini.

Sementara itu, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong, belum mau menegaskan soal pemakaian TKDN bagi KKKS, jika nantinya skema gross split akan diterapkan pada Januari 2017.

IPA mengaku diskusi belum sampai soal TKDN. “Tapi yang saya bisa katakan bahwa soal TKDN dan soal teknologi, KKKS akan seefisien mungkin, karena cost akan ditanggung sepenuhnya oleh KKKS,” ungkap dia, kepada KONTAN, Rabu (14/12).

Dia juga menerangkan, bahwa ide gross split untuk conventional assets sebenarnya datang dari pemerintah. Saat ini pihaknya masih menganalisa positif dan negatif skema gross split tersebut. “IPA saat ini bekerja sama dengan pemerintah untuk menganalisa positif-negatif atau kekuatan dan kelemahan konsep gross split dan saat ini diskusi masih berlangsung serta masih di analisa,” terang Marjolijn.

Karena alasan masih didiskusikan, Marjolijn belum bisa membeberkan untung dan rugi skema gross split ini. Ia menegaskan, IPA bekerja sama dengan pemerintah agar memperoleh suatu model gross split yang baik, untuk pemerintah maupun investor.

Namun berdasarkan kajian awal, skema gross split dianggap akan merugikan KKKS karena return of invesment (RoI) KKKS yang ditanamkan tidak bisa kembali dalam waktu singkat. “Itu tergantung model commercial yang akan diterapkan, dan hal tersebut yang sedang kami diskusikan saat ini dengan pemerintah,” urainya.

Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro menilai, jika memakai cost recovery maka RoI bisa kembali dalam lima tahun investasi atau bisa lebih cepat, karena ada kepastian biaya ditanggung pemerintah. “Sedangkan gross splittidak,” kata dia.

Yang menjadi ketakutan juga, karena skema gross split ini diserahkan 100% ke KKKS. Menurut Komaidi, KKKS berhak menentukan teknologi yang dibawa oleh perusahaan yang terintegrasi di luar negeri.

Diperkirakan, KKKS akan takut memakai TKDN karena tidak efisien dan rugi. “Mereka sepertinya akan ketakutan sendiri. Semakin tidak efisien, maka semakin mereka dirugikan. Kalau kondisi seperti ini, maka akan terjadi disinsentif,” ujar Komaidi.

Harga Naik, Trend Produksi Masih Turun

(Kompas,15 Desember 2016)
Jakarta, Kompas –Harga minyak dan gas, tahun depan, cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua tahun terakhir. Hal ini berpeluang meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Persoalannya, tren penurunan volume produksi minyak dan gas yang terjadi sejak 2004 masih akan berlanjut pada tahun depan. Dosen Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, di Jakarta, Rabu (14/12), menyatakan, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menimbulkan ketidakpastian perekonomian global dan berpotensi memunculkan ketegangan antara AS dan sejumlah negara mitra. Hal ini menjadi faktor utama yang mendorong harga minyak dunia naik.

Faktor ini diperkuat dengan keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memotong produksi 1,2 juta barrel per hari, dari 33,7 juta barrel menjadi 32,5 juta barrel. Ini berlaku per Januari-Juni 2017 dan dapat diperpanjang untuk paruh kedua pada 2017. Pri memperkirakan harga rata-rata selama 2017 berkisar 55-60 dollar AS per barrel, sementara asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja N egara 2017 adalah 45 dollar AS per barrel.

Artinya, kenaikan harga minyak akan meningkatkan penerimaan negara. Namun, persoalannya adalah produksi minyak dan gas siap jual konsisten turun. Artinya, kenaikan harga minyak akan mendongkrak sumbangan migas terhadap penerimaan negara pada tahun depan, tetapi tidak terlalu signifikan. Jadi, tahun depan, penerimaan negara dari migas akan naik sedikit karena volume produksinya memang kecil. Sudah begitu, konsumsi dalam negeri meningkat sehingga akan semakin sedikit produksi migas yang diekspor, kata Pri.A

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari sektor migas anjlok dalam dua tahun terakhir. Ini sejalan dengan produksi migas siap jual yang konsisten turun. Pada periode yang sama, harga minyak dunia juga anjlok. Sejak 2004, produksi minyak siap jual konsisten turun. Saat itu, produksinya mencapai 1.038.000 barrel per hari. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi terus turun sampai mencapai 778.000 barrel per hari pada 2015.

Tahun ini, proyeksinya 820.000 barrel per hari. Tahun depan, produksi diasumsikan turun menjadi 815.000 barrel per hari. Tren serupa terjadi pada produksi gas siap jual, dari 1,33 juta barrel setara minyak per hari pada 2010 menjadi 1,15 juta barrel setara minyak per hari pada 2016, Tahun depan, asumsinya 1,15 juta barrel setara minyak per hari alias stagnan. Turunnya produksi sejalan dengan anjloknya harga minyak dunia Setelah mencapai angka di atas 100 dollar AS per barrel selama 2011-2013, harga minyak dunia turun menjadi 97 dollar AS per barrel pada 2014.

Tahun 2015, harganya turun lagi menjadi 40 dollar AS per barrel. Kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas anjlok pada dua tahun terakhir. Penerimaan dari migas bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas. Realisasi PPh migas pada 2014 adalah Rp 87,4 triliun. Tahun lalu, realisasinya merosot menjadi Rp 49,7 triliun. Tahun ini, proyeksinya Rp 33,4 triliun. Adapun PNBP migas pada 2014 mencapai Rp 216,9 triliun. Tahun lalu, realisasinya anjlok menjadi Rp 78,2 triliun Tahun ini, proyeksinya Rp 68,7 triliun.

Perhatian minim

Pri berpendapat, isu utamanya terletak pada turunnya produksi migas.siap jual. Tren ini disebabkan minimnya perhatian pemerintah dan DPR pada hulu migas. Indikator utamanya adalah revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tak kunjung dibahas dan dituntaskan. Padahal, kekosongan hukum di hulu migas terjadi sejak 2012. Hal ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berimplikasi pada pembubaran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. Gugatan ke MK diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat. Untuk mengisi kekosongan hukum, pernerintah lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Meski demikian, hal itu dipandang tidak cukup sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam iklim investasi hulu migas di Indonesia. Ditambah dengan harga minyak yang turun, eksplorasi migas menjadi lesu. Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Maxensius Tri Sambodo memproyeksikan harga minyak dunia tahun depan berkisar 55-60 dollar AS per barrel. Pada satu sisi, ini akan meningkatkan penerimaan negara.

Namun, disisi lain, ini akan menggelembungkan biaya impor dan meningkatkan subsidi energi. Dalam sebuah acara, Selasa lalu; Menteri BUMN Rini S Soemarno meminta PT Pertamina agar lebih agresif mengakuisisi blok-blok minyak dan gas bumi yang ada di luar negeri. Akuisisi menjadi tumpuan di tengah sulitnya mencari cadangan minyak dan gas bumi baru di Indonesia. Kontribusi dari hasil akuisisi Cukup signifikan bagi Pertamina. Wakil Direkbur Utama Pertamina Ahmad Bambang menambahkan, dari belanja modal Pertamina yang setiap tahunnya berkisar 6-7 miliar dollar AS, porsi investasi di hulu mencapai 60-70 persen. Untuk akuisisi, Pertamina tengah mempertimbangkan blok migas di Aljazair yang saat ini masih dimiliki Repsol, perusahaan Spanyol.

Relatif Baik, tetapi
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Pemerintah Diingatkan, Investasi Sektor Migas Menurun Signifikan

(RMOL, 12 Desember 2016)

RMOL. Kebijakan pemerintah menurunkan harga gas bagi industri petrokimia, pupuk, serta baja dan akan mulai berlaku pada1 Januari 2017 mendatang merupakan kebijakan yang paling moderat.

“Pemerintah juga harus memerhatikan sektor hulu. Jika harga terlalu murah, maka industri hulu migas tidak akan berkembang. Minat investasi sektor migas saat ini menurun cukup signifikan,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, sebagaimana dilansir JPNN.

Menurut Komaidi, harga yang terlalu rendah akan membuat investor asing hengkang dari tanah air. Hal itu tentu merupakan persoalan dilematis karena pemerintah juga ingin menggenjot iklim investasi ke dalam negeri.

Selain itu, lanjut dia, harga gas industri semestinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, peraturan tersebut ditetapkan dalam rangka mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasi

Selain itu juga mewujudkan harga gas bumi yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah bagi industri tertentu. Dengan demikian, daya saing bisa dikatrol.

“Jika harga gas industri turun namun tidak inline dengan pertumbuhan ekonomi, ada tanda tanya besar. Ada yang salah dengan ekonomi Indonesia,” urainya.

Kapan Indonesia Punya Cadangan Strategis Minyak?

(Kompas,10 Desember 2016)

JAKARTA, KOMPAS.com – Wacana pembangunan cadangan strategis minyak atau strategic petroleum reserve (SPR) terus bergulir, namun belum juga ada realisasinya hingga penghujung 2016 ini. Padahal, negara-negara lain sudah mulai membangun cadangan strategis minyaknya, sebagai salah satu syarat mendukung ketahanan energi.

Negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan memiliki SPR antara lima hingga enam bulan. Sementara Amerika Serikat memiliki cadangan strategis minyak hingga empat bulan.

“Indonesia belum punya SPR,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam sebuah diskusi on air di Jakarta, Sabtu (10/12/2016).

“Cadangan yang disebutkan 15-23 hari itu adalah cadangan operasional atau stok Pertamina,” kata dia lagi.

Untuk membangun cadangan strategis minyak ini, diakui Komaidi, tidak mudah. Keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi salah satu kendala utama.

“APBN kita sangat terbatas. Untuk menutup defisit saja bingung, apalagi nambah pos belanja baru,” ujar Komaidi.

Kondisi tersebut tentu menyulitkan Indonesia untuk membangun SPR. Akan tetapi, ada risiko ketimpangan produksi dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), serta faktor eksternal yang menurut Komaidi seharusnya bisa menjadi alasan utama pemerintah untuk menyegerakan pembangunan SPR.

Saat ini, konsumsi BBM per hari mencapai 1,6 juta barel. Sedangkan produksinya hanya 815.000 sampai 820.000 per hari, di mana bagian pemerintah hanya sebesar 60 persen.

Artinya kata dia, sebanyak satu juta hingga 1,2 juta barel per hari BBM harus didatangkan dari luar negeri.

Komaidi menjelaskan, jalur impornya pun melalui Singapura. Sehingga, apabila terjadi konflik atau gangguan keamanan di kawasan tersebut, akan mengganggu arus masuk minyak ke Indonesia.

Komaidi mengatakan, apabila tidak ada pasokan sebulan saja dari impor, maka kegiatan ekonomi dan sosial bisa tidak berjalan.

“Hal ini seharusnya menjadi pemicu, memikirkan ketahanan energi, termasuk membangun SPR. Ini harus ditindaklanjuti,” ujar Komaidi.

“Bahwa itu membutuhkan dana besar, tentu. Tetapi kita harus memikirkan, negara-negara lain sudah bikin itu. Kan bisa dananya dilakukan multiyears. Jadi harus ada komitmen pemerintah bahwa ini (SPR) merupakan suatu keharusan,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Energi Seknas Jokowi Tumpak Sitorus juga mendesak janji Jokowi untuk membangun ketahanan energi, sebagaimana janji kampanye.

“Usulan kami setidaknya kita harus punya cadangan strategis minyak antara tiga hingga enam bulan,” ujar Tumpak.

Pemerintah khususnya Kementerian ESDM sejak zaman Sudirman Said terus menggaungkan wacana SPR ini. Pada awal 2015, Sudirman kala itu mengatakan, sumber dana SPR diambil dari laba bersih penjualan solar. Waktu, itu Sudirman bilang, hal itu sudah menjadi kesepakatan antara Menteri ESDM, bersama Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Seiring berjalannya waktu, pemerintah mewacanakan pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) yang mana salah satu peruntukannya membangun SPR. Rencananya, sumber DKE meluas, tidak hanya dari laba bersih penjualan solar, melainkan dari pungutan ke produsen.

Namun, setelah keputusan Presiden mengenai penundaan pungutan pada awal tahun ini, hingga kini belum terdengar lagi rencana pemerintah untuk menjalankan pembangunan SPR.