Menjaga Stabilitas Harga BBM

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

CNN Indonesia:Selasa, 29/03/2016

Konsumsi BBM Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tercatat mengalami peningkatan berkisar 6-7 persen per tahun. Konsumsi BBM tersebut diantaranya terdistribusi untuk sektor transportasi, sektor industri, rumah tangga, dan sektor kelistrikan. Sektor transportasi mengkonsumsi BBM terbesar, sementara sektor rumah tangga mengalami penurunan signifikan dengan berjalannya program konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji. Sebagai negara yang telah berada dalam kondisi net importir minyak, sebenarnya relatif sulit bagi Indonesia untuk dapat menjaga stabilitas harga BBM.

Untuk itu jika tidak terdapat terobosan kebijakan, upaya menjaga stabilitas harga BBM akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Artinya Indonesia mau tidak mau harus kembali lagi kepada era subsidi BBM agar dapat menstabilkan harga Data menunjukkan bahwa saat ini konsumsi bahan bakar berbasis minyak (BBM) Indonesia telah mencapai kisaran 1,4 juta – 1,6 juta barel per hari.

Sementara kemampuan produksi minyak Indonesia saat ini berkisar antara 750 ribu – 800 ribu barel per hari. Dari hasil produksi itupun, Indonesia hanya memperoleh bagian sekitar 60 persen atau 450 ribu-480 ribu barel per hari, karena 40 persen hasil produksi merupakan bagian kontraktor dan cost recovery. Akibatnya sebagian besar atau sekitar 900 ribu – 1,15 juta barel kebutuhan minyak Indonesia harus dibeli/diimpor setiap hari.

Jika harga minyak nantinya kembali normal dan diasumsikan rata-rata sebesar US$80 per barel saja, Indonesia akan membutuhkan devisa setidaknya antara US$26,28 miliar-US$33,58 miliar per tahun anggaran untuk mengimpor minyak dan/atau BBM.

Berdasarkan situasi ini, stabilitas harga BBM kemungkinan hanya akan dapat dilakukan jika harga minyak stabil dan berada pada level yang rendah. Akan tetapi jika harga minyak bergerak naik, stabilitas harga BBM relatif sulit dilakukan karena membutuhkan biaya yang besar.

Pada kondisi sebagian besar kebutuhan minyak (BBM) bergantung pada impor, sulit bagi pihak manapun untuk dapat mengendalikan harga BBM. Termasuk bagi pemerintah Indonesia yang dalam konstelasi pasar minyak dunia juga relatif sudah tidak memiliki kekuatan lagi.

Memanfaatkan Momentum

Saat ini Indonesia dihadapkan pada posisi yang sulit. Di satu sisi, stabilitas harga BBM diperlukan agar stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat tetap terjaga. Sementara sebagai net importir minyak, menjaga stabilitas harga BBM tidak mudah dan memerlukan biaya yang besar.

Jika kemudian pilihannya menjaga atau mengintervensi harga BBM, akan terdapat pos anggaran termasuk pengeluaran produktif di APBN yang harus dikorbankan.

Menurut pandangan saya, pilihan tersebut sulit karena sampai dengan saat ini kemampuan Indonesia dalam merencanakan pemenuhan kebutuhan BBM relatif kurang baik. Hingga saat ini Indonesia relatif tidak memiliki strategi dan perencanaan jangka panjang dalam pemenuhan BBM. Cara pandang dan strategi penyelenggara negara dalam pemenuhan kebutuhan BBM masih berorientasi untuk kepentingan jangka pendek. Akibatnya, kebijakan harga BBM yang diambil seringkali hanya bersifat responsif ketika harga minyak di pasar internasional meningkat.

Perencanaan yang hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek tercermin dari belum ketiadaan cadangan minyak strategis atau strategic petroleum reserve (SPR) di Indonesia.

Dalam hal SPR Indonesia relatif tertinggal dari sejumlah negara di Asia. Kemampuan SPR Thailand dan Kamboja masing-masing untuk 25 dan 30 hari. Sementara kemampuan SPR China, India, dan Singapura untuk 90 hari. Sedangkan kemampuan SPR Jepang dan Korea Selatan masing-masing telah mencapai 153 hari dan 238 hari.

Indonesia sampai saat ini yang tersedia masih sebatas cadangan operasional BBM untuk 20-23 hari. Dalam hal ini cadangan operasional BBM tersebut juga tidak secara khusus disiapkan oleh negara, tetapi melalui dan menggunakan kas Pertamina. Artinya yang selama ini disebut sebagai cadangan operasional BBM Indonesia adalah stok BBM Pertamina yang belum terjual.

Sementara untuk negara lain, selain memiliki cadangan operasional yang memang disediakan oleh negara, mereka memiliki SPR untuk kurun 25 hari sampai dengan 8 bulan. Permasalahan utama yang menyebabkan Indonesia belum memiliki SPR adalah karena keterbatasan infrastruktur. Saat ini kapasitas tangki timbun BBM Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah sekitar 3.646 juta KL atau 22,93 juta barel. Dengan tingkat konsumsi yang telah mencapai 1,4 jutaa – 1,6 juta barel, kapasitas tangki timbun BBM Indonesia tersebut hanya mampu untuk 14,33 – 16,37 hari.

Keterbatasan ini juga menjadi penyebab pemerintah relatif belum memiliki respon kebijakan untuk dapat memanfaatkan momentum harga minyak rendah seperti yang sedang terjadi saat ini. Sebagai negara net importir, harga minyak yang rendah seperti saat ini pada dasarnya merupakan momentum yang sangat baik untuk merencanakan agar stabilitas harga BBM dapat terjaga, minimal dalam rentang harga tertentu.

Harga minyak rendah menjadi peluang bagi importir termasuk Indonesia-, untuk meningkatkan stok atau cadangan minyak di dalam negeri. Sehingga ketika nantinya harga minyak naik, harga BBM di dalam negeri tetap dapat terjaga stabilitasnya karena diproduksikan dari kombinasi stok minyak lama dengan harga murah dan yang baru sehingga biayanya tidak tidak terlalu meningkat signifikan.

Berdasarkan kondisi dan keterbatasan yang ada tersebut, dalam jangka pendek dan menengah, pemerintah Indonesia harus melakukan terobosan kebijakan agar dapat mengambil keuntungan dari harga minyak yang sedang rendah. Dalam jangka pendek dan menengah pilihan realistis adalah menyewa dan memanfaatkan kilang dan tangki timbun minyak mentah dan BBM di luar negeri. Sedangkan dalam jangka panjang- sampai batas waktu tertentu-, pemerintah harus meningkatkan kapasitas kilang dan tangki timbun di dalam negeri.

Perkembangan Harga Gas Internasional

Screenshot 16

Menunggu Skema Baru Masela

Bisnis Indonesia

JAKARTA Pemerintah meminta investor Blok Masela melakukan kajian baru dan mengajukan plan of development (PoD) tahap pertama setelah adanya keputusan pembangunan kilang gas alam cair darat (onshore liquefied natural gfas/OLNG).

Keputusan mengenai pembangunan kilang gas dengan skema di darat diambil langsung oleh Presiden Joko Widodo di sela-sela kun-jungan di Pontianak, Rabu (23/3).

Dari kalkulasi, perhitungan dan pertimbangan yang sudah saya hitung. Kita pu-tuskan dibangun di darat, ujar Kepala Negara di Ruang ‘Ilinggu Keberangkatan Bandara Supadio, Pontianak.

Hal yang menjadi pertimbangan Presiden a.i. pemerintah ingin agar ekonomi daerah dan ekonomi nasional bisa terimbas dengan adanya proyek di Blok Masela. Selain itu, pembangunan wilayah diharapkan bisa terdampak dengan adanya proyek besar tersebut.

Pascakeputusan ini maka akan ditindak-lanjuti oleh Kementerian ESDM dan juga SKK Migas, katanya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan segera membalas surat permohonan kontraktor yang berisi usulan pembangunan kilang terapung di Blok Masela.

Surat tersebut menegaskan pembangunan kilang terapung (floating liquefied natural gas/FLNG), ditolak sehingga investor harus melakukan kajian dan mengajukan permo-honan revisi PoD 1.

Surat permohonan kontraktor akan di-balas, yang isinya usulan offshore tidak di-terima dan diminta untuk melakukan kajian dan mengajukan permohonan baru, katanya.

Menurutnya, dengan adanya keputusan itu proyek Blok Masela diperkirakan sedikit mengalami keterlambatan. Hanya saja, Kementerian ESDM akan mendorong Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) agar penundaan proyek tidak terlalu lama.

“Jadi kepada mereka kita akan berikan ke-sempatan untuk mengkaji kembali, tetapi kita akan berusaha agar semua pihak memper-oleh manfaat secara optimal, ungkapnya.

Pascakeputusan dari Presiden itu diharapkan tank ulur dan prokontra yang ber-kembang di lingkaran pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang minyak dan gas (migas) berakhir.

Dihubungi terpisah, Kepala Satuan Keija Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi menuturkan pihaknya akan memberikan penjelasan lebih Janjut kepada Inpex untuk menyusun revisi PoD dengan skema pembangunan kilang yang baru.

SURAT RESMI

Senior Communications and Relations Manager Inpex Corporation Usman Slamet mengatakan pihaknya masih tetap menanti surat resmi dari pemerintah untuk menentukan sikap. Terkait dengan skema pembaruan PoD 1, dia belum bisa digambarkan.

Nanti kami tunggu saja karena kami belum terima secara resmi dari pemerintah,katanya.

Hal senada juga diungkapkan Ceneral Manager External Relations Shell Indonesia Haviez Gautama. Namun, Dia menegaskan tetap melanjutkan investasinya di Blok Masela.

Kami belum bisa komentar karena masih menunggu keputusan resmi revisi PoD yang kami ajukan dari Pemerintah Indonesia baik Menteri ESDM maupun badan lainnya yang berwenang, katanya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Ko-maidi Notonegoro mengatakan Presiden Joko Widodo tentu memiliki pertimbangan khusus mengenai keputusan pembangunan kilang

Blok Masela di darat.

Dari berbagai kajian, baik internal pemerintah, SKK Migas, maupun konsultan independen, pembangunan kilang di Blok Masela mengarah ke skema kilang terapung. Keputusan presiden bukan tidak berdasar tetapi punya kajian kuat yang memang belum dipubliftasikan, katanya.

Keputusan pemerintah membangun kilang di darat sudah masuk radar sejumlah korporasi dalam negeri.

CEO PT Bakrie Pipe Industries, Mas Wi-grantoro Roes Setiyadi, mengatakan pihaknya terus memantau perkembangan proyek yang telah diajukan sejak 1998 itu. Pihaknya mengaku telah menaruh perhatian pada proyek ini sejak 6 tahun lalu. Tertarik ya tentu tertarik ya. Kami meng-ikuti project ini dari 2010, katanya.

Lebih lanjut, dari skema pembangunannya, kilang darat (onshore liquefied natural gas/ OLNG) akan lebih menguntungkan bagi perusahaan penunjang migas. Pasalnya, bila menggunakan skema kilang terapung(floating liquefied natural gas/FLNG) pipa yang digunakan lebih sedikit yaitu hanya dari permukaan laut ke fasilitas operasi.

Di sisi lain Direktur Utama Hulu PT Per-tamina (persero) Syamsu Alam mengatakan Blok Masela memiliki daya tarik dari segi investasi dilihat dari potensi yang tersimpan. Oleh karena itu, pihaknya pun melakukan kajian dari segi pembangunan kilang darat.

“Secara official tidak ada yang meminta, tetapi memang potensi di blok tersebut sangat menarik untuk dilakukan kajian, katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Fadel Muhammad mempertanyakan apakah keputusan Presiden Joko Widodo itu sejalan dengan keinginan para investor.

Komisi VII mempertanyakan apakah dengan memilih onshore itu sudah sesuai dengan yang dikehendaki oleh investor? Kan dibutuhkan penjelasan, tutur Fadel saat dihubungi oleh Bisnis.

Akan tetapi di sisi lain, anggota Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan Efendi Sim-bolon menilai keputusan Presiden sudah benar. Faktanya kan memang seperti itu. Pemerintah mengambil keputusan tersebut agar perekonomian daerah memperoleh manfaat, tegasnya.

Sebagai gambaran, berdasarkan data SKK Migas, penerimaan negara dari pembangunan kilang di darat berkisar US$39,59 miliar US$42,32 miliar selama 24 tahun. ‘

 

Kawal Manfaat Blok Masela

(kompas: Kamis,24 Maret 2016)

Presiden: Keputusan Berdasarkan Kalkulasi dan Pertimbangan

JAKARTA Keputusan Presiden Joko Widodo agar gas Blok Masela, Maluku, diolah di darat harus dikawal pelaksanaannya agar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Keputusan tersebut sekaligus menghentikan polemik soal model pengolahan gas di Blok Masela.

Keputusan Presiden tersebut menjawab revisi rencana pengembangan (plan of development/POD) Blok Masela yang diajukan investor, yakni Inpex Corporation (Jepang) dan Shell (Belanda). Dalam revisi yang diajukan Inpex dan Shell pada September 2015, mereka menginginkan gas diolah di laut dengan model kilang LNG terapung.

“Keputusan (Presiden) itu harus dilaksanakan. Harus dikawal. Karena sudah diputuskan, sudah bukan waktunya lagi menilai tepat atau tidak keputusan tersebut,” ujar pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Rabu (23/3), di Jakarta.

Menurut Pri Agung, dengan dasar keputusan Presiden, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki dasar yang kuat untuk melanjutkan pengusahaan dan pengembangan Blok Masela.

“Saya kira pertimbangan Presiden bukan semata-mata biaya (investasi). Yang lebih diutamakan dan menjadi pertimbangan utama Presiden adalah yang diyakini lebih banyak memberi manfaat ekonomi dan menyejahterakan masyarakat di daerah sekitar Masela,” ujar Pri Agung.

Senior Communication Manager Inpex Corporation Usman Slamet enggan mengomentari keputusan Presiden. Menurut dia, pihaknya masih menunggu surat resmi dari Menteri ESDM terkait keputusan itu.

Sebelumnya, Inpex dan Shell berkomitmen meneruskan investasi di Masela. Saat ditanya kemungkinan proyek tertunda akibat keputusan itu, Usman tak menolak, tetapi juga tak mengiyakan.

Revisi POD diajukan setelah cadangan gas yang ditemukan di Blok Masela lebih besar daripada sebelumnya, yaitu menjadi 10,7 triliun kaki kubik (TCF). Investasi untuk skema kilang LNG terapung, seperti yang dicantumkan dalam revisi POD, adalah 14 miliar dollar AS.

Pertimbangan

Keputusan pengembangan proyek gas Masela itu disampaikan Presiden Joko Widodo di Bandar Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. “Blok Masela ini proyek jangka panjang yang menyangkut ratusan triliun rupiah. Oleh karena itu, dari kalkulasi dan pertimbangan-pertimbangan yang sudah saya hitung, kita putuskan dibangun di darat,” kata Presiden, yang didampingi Menteri ESDM Sudirman Said, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Sudirman menyatakan akan mengirim surat resmi kepada investor untuk memberi kesempatan mengkaji ulang proyek. Sudirman juga meminta SKK Migas mengkaji lebih detail terkait proses pembangunan di darat.

Kontrak bagi hasil Blok Masela ditandatangani pada 1998, berakhir pada 2028. Inpex memegang saham 65 persen dan Shell 35 persen.

 

Komponen Biaya Operasional PLTGU 2015

Screenshot 13

Pertumbuhan Harga Jual Listrik Berdasarkan Kelompok Pelanggan

Screenshot 14

Ketahanan Energi dan Strategic Petroleum Reserve

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Bisnis Indonesia: Senin, 21 Maret 2016

Ketahanan energi mencerminkan ukuran dan kekuatan sebuah negara. Tingkat ketahanan energi berkaitan dengan struktur dan besaran perekonomian, tingkat peradaban, cara berfikir dan kemampuan merencanakan dari para penyelenggara negara.

Struktur perekonomian yang berbasis industri akan memerlukan daya dukung dan daya tahan energi yang lebih tinggi. Begitupula, semakin tinggi tingkat peradaban dan cara berfikrir sebuah bangsa umumnya akan berkorelasi dengan tuntutan terhadap ketahanan energi yang lebih baik.

Untuk Indonesia, isu ketahanan energi semestinya telah harus menjadi perhatian sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah kondisi yang ada seharusnya telah memunculkan sense of crisis bangsa ini terhadap ketahanan energi.

Data menunjukkan konsumsi energi Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Sementara kemampuan penyediaan energi – khsusunya minyak bumi-, dari dalam negeri mengalami penurunan.

Realisasi konsumsi bahan bakar berbasis minyak pada tahun 2015 adalah sekitar 1,4 juta barel per hari. Sementara realisasi produksi minyak Indonesia pada tahun yang sama hanya 778 ribu barel per hari. Dari jumlah tersebut bagian yang diterima negara sekitar 60 % atau 467 ribu barel per hari, sedangkan 40 % hasil produksi merupakan bagian kontraktor dan cost recovery.

Dalam kurun 10 tahun terakhir, konsumsi bahan bakar berbasis minyak (BBM) Indonesia rata-rata tumbuh antara 6 – 7 % setiap tahunnya. Mengacu pada pertumbuhan tersebut, konsumsi BBM Indonesia pada tahun 2025 mendatang berkisar antara 2,5 – 3 juta barel untuk setiap harinya.

Kondisi ini perlu menjadi perhatian mengingat peran BBM dalam bauran energi nasional sampai saat ini masih sangat dominan. Apalagi Indonesia tidak sendiri, mengingat porsi minyak bumi dalam bauran energi dunia juga masih dominan. Dengan asumsi kemampuan produksi minyak Indonesia dapat ditingkatkan menjadi 1 juta barel per hari dan semuanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kebutuhan impor BBM dan/atau minyak mentah Indonesia pada tahun 2025 berkisar antara 1,5 – 2 juta barel per hari.

Dengan besaran impor tersebut dan harga minyak pada tahun 2025 diasumsikan 80 USD per barel, Indonesia akan membutuhkan devisa impor untuk minyak mentah dan produk paling tidak antara 45 60 milyar USD setiap tahunnya. Kebutuhan tersebut berpotensi jauh lebih besar lagi jika produksi minyak di dalam negeri tidak dapat ditingkatkan dan/atau harga minyak di pasar internasional mengalami peningkatan.

Strategic Petroleum Reserve

Untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi dan mengelola nilai tukar dari tekanan kebutuhan devisa impor, sebagian besar negara di dunia memiliki cadangan minyak strategis atau strategic petroleum reserve (SPR).

Keberadaan SPR tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi, tetapi juga untuk memberikan dampak positif bagi aspek fiskal dan moneter dari negara yang bersangkutan.

Dengan keberadaan SPR negara dapat memanfaatkan momentum ketika harga minyak rendah dan tidak terlalu tertekan ketika harga minyak tinggi.

Dibandingkan sejumlah negara di Asia, Indonesia relatif tertinggal dalam hal ketersedian SPR. Sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, Cambodia, China, India, Jepang, dan Korea Selatan tercatat telah memiliki SPR dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda.

Kemampuan SPR dari Thailand dan Cambodia masing-masing untuk 25 dan 30 hari. Sementara kemampuan SPR China, India, dan Singapura untuk 90 hari. Sedangkan kemampuan SPR Jepang dan Korea Selatan masing-masing telah mencapai 153 hari dan 238 hari.

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki SPR, yang tersedia baru sebatas cadangan operasional BBM untuk 20-23 hari. Dalam hal ini cadangan operasional BBM tersebut juga tidak secara khusus disiapkan oleh negara, tetapi melalui dan menggunakan Kas Pertamina. Artinya yang selama ini disebut sebagai cadangan operasional BBM Indonesia adalah stok BBM Pertamina yang belum terjual.

Sementara untuk negara lain, selain memiliki cadangan operasional yang memang disediakan oleh negara, juga memiliki SPR untuk kurun 25 hari sampai dengan 8 bulan.

Berdasarkan pencermatan, permasalahan utama yang menyebabkan Indonesia belum memiliki SPR adalah keterbatasan infrastruktur. Saat ini kapasitas tangki timbun BBM Indonesia yang tersebar di delapan regional adalah sekitar 3.646 juta KL atau 22,93 juta barel.

Dengan tingkat konsumsi yang telah mencapai 1,4 juta barel, kapasitas tangki timbun BBM Indonesia tersebut hanya mampu untuk 16,37 hari. Keterbatasan yang ada menyebabkan pemerintah relatif belum memiliki respon kebijakan untuk memanfaatkan momentum harga minyak rendah yang sedang terjadi saat ini.

Sebagai negara net importir, dalam jangka pendek dan menengah, pemerintah Indonesia harus melakukan terobosan kebijakan agar dapat mengambil keuntungan dari harga minyak yang sedang rendah. Mencermati keterbatasan yang ada, untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut pemerintah harus melakukan kebijakan paralel.

Dalam jangka pendek dan menengah pilihan realistis adalah menyewa dan memanfaatkan kilang dan tangki timbun minyak mentah dan BBM di luar negeri. Sedangkan dalam jangka panjang- sampai batas waktu tertentu-, pemerintah harus meningkatkan kapasitas kilang dan tangki timbun di dalam negeri.

Berdasarkan indikator alokasi anggaran, keterbatasan infrastruktur migas termasuk infrastruktur untuk minyak dan BBM-, pada dasarnya tampak telah teridentifikasi dan secara bertahap kemungkinan akan diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Hal itu tercermin dari adanya tambahan anggaran program pengelolaan dan penyediaan minyak dan gas bumi pada APBN-P 2015 sebesar 3,41 triliun rupiah dan adanya alokasi anggaran pengembangan infastruktur migas pada APBN 2016 sekitar 2 triliun rupiah. Dari penelusuran diketahui peruntukkan dari alokasi anggaran tersebut diantaranya untuk pengembangan infrastruktur pengolahan BBM, penyimpanan BBM, pengangkutan BBM, dan niaga BBM.

Dari sejumlah indikator, Indonesia kemungkinan akan terus tumbuh menjadi negara yang besar dengan tingkat peradaban yang juga semakin meningkat. Oleh karenanya, mewujudkan ketersediaan SPR sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan ketahanan energi perlu dilakukan.

Dengan besaran ekonomi (PDB) dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan Singapura, Thailand, dan Cambodia, kondisi SPR Indonesia semestinya harus lebih baik dari negara-negara tersebut.

Dalam hal ini saya menilai gagasan Menteri ESDM mengenai rencana pembentukan dana ketahanan energi (DKE) dan wacana pembentukan holding BUMN Energi sangat relevan untuk mendorong terwujudnya SPR dan ketahanan energi. Meski masih terus memerlukan penyempurnaan dan diskursus intelektual juga terus berjalan, sejumlah gagasan tersebut sangat positif jika dapat segera diwujudkan.

Pertumbuhan Konsumsi Energi Sektor Industri

Screenshot 10

Perkembangan Pertumbuhan Produksi Biomassa dan Biofuel

Screenshot 7

Kebijakan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi

Pemerintah akhirnya merespon desakan untuk merevisi dan mencabut Permen ESDM No.37/2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi. Pemerintah mengganti Permen tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.06/2016. ReforMiner menilai, terbitnya Permen tersebut mengindikasikan pemerintah mengakomodasi keluhan Asosiasi Pedagang Gas Alam Indonesia/Indonesian Natural Gas TraderAssociation (INGTA) yang menilai Permen No.37/2015 bertentangan dengan UU Migas dan UU Antimonopoli.

 

Berdasarkan review, sejumlah substansi yang mengindikasikan bahwa pemerintah cukup mengakomodasi kepentingan INGTA diantaranya adalah ketentuan alokasi dan pemanfaatan gas bumi yang sebelumnya- di dalam Permen ESDM No.37/2015- diprioritaskan untuk BUMN dan BUMD, dalam Permen yang baru juga diberikan kepada INGTA. Ketentuan lain yang juga mengakomodasi kepentingan INGTA adalah bahwa Badan Usaha Niaga Gas Bumi yang telah memiliki alokasi gas bumi dan tidak melakukan penjualan kepada pengguna akhir tetap dapat melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi sampai berakhirnya alokasi dan pemanfaatan gas bumi. Pemerintah juga memberikan tenggat waktu paling lama 2 tahun sejak berlakunya Permen ESDM No.06/2016.

 

ReforMiner menilai, meskipun posisi tawar Permen ESDM No.06/2016 terhadap trader relatif tidak sekuat Permen ESDM No.37/2015, tetapi tetap lebih kuat dibandingkan dengan Permen ESDM 03/2010. Dari substansi di dalamnya Permen tersebut tetap dapat mengakomodasi tujuan utama dari terbitnya Permen No.37/2015 yaitu menghilangkan trader gas yang hanya bermodalkan kertas. Hal tersebut tampak dari adanya ketentuan yang menetapkan bahwa Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga (Trader) gas yang akan diberikan alokasi adalah mereka-meraka yang memiliki infrastruktur.

 

ReforMiner menilai, revisi Permen ESDM No.37/2015 memang harus dilakukan. Hal itu bukan karena dinilai bertentangan dengan UU Migas dan UU Antimonopoli, tetapi juga ditinjau dari aspek kesiapan BUMN dan BUMD, serta keberlanjutan bisnis gas itu sendiri. Dengan mempertimbangkan adanya keterbatasan aspek keuangan, pemberian prioritas alokasi gas kepada BUMN dan BUMD berpotensi mempengaruhi kinerja BUMN, BUMD, industri hulu gas, maupun pengguna gas itu sendiri.

 

Berdasarkan substansi yang tertuang di dalamnya, ReforMiner memproyeksikan terbitnya Permen ESDM No.06/2016 berpotensi memberikan dampak yang lebih positif. Pemberian alokasi gas kepada selain BUMN dan BUMD akan mendorong pasar gas di Indonesia lebih kompetitif. Sementara di sisi yang lain industri gas juga akan lebih transparan dan efisien karena pelaku selain BUMN dan BUMD yang memperoleh alokasi gas juga harus memiliki infrastruktur terlebih dahulu. Secara keseluruhan ReforMiner melihat bahwa semangat dari pemberian alokasi gas kepada selain BUMN dan BUMD adalah untuk mendorong industri gas nasional menjadi lebih kompetitif, bukan dalam konteks tidak memprioritaskan BUMN dan BUMD.