Dana Ketahanan Energi
Pri Agung Rakhmanto :
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kompas ;Rabu 30 Desember 2015

Pekan lalu, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter dan solar turun dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950.

Harga baru ini mulai diberlakukan pada 5 Januari 2016. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya Rp 6.950/liter, sedangkan solar Rp 5.650/liter. Namun, untuk kepentingan pengembangan energi terbarukan, pemerintah menambah Rp 200/liter pada harga premium dan Rp 300/liter pada harga solar. Dana Rp 200/liter dan Rp 300/liter yang diambil dari harga premium dan solar ini diklaim merupakan dana ketahanan energi.

Dasar hukum lemah

Gagasan tentang dana ketahanan energi seperti yang dicetuskan Menteri ESDM pada dasarnya baik. Namun, untuk mengimplementasikannya menjadi kebijakan resmi, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu harus memiliki pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.

Saya menilai rujukan peraturan yang digunakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan dana ketahanan energi ini, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak cukup kuat. Pasal 30 Ayat 1, 2, dan 3 UU No 30/2007 memang menyebut tentang dana untuk penelitian pengembangan energi. Namun, untuk pengaturan lebih lanjut tentang itu, pada Ayat 4 disebutkan, diperlukan PP. Dalam konteks ini, PP yang dimaksud adalah PP tentang pendanaan kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, yang mungkin dalam konteks kebijakan dana ketahanan energi bisa menjadi lebih relevan.

Dengan demikian, PP No 79/2014 bukan aturan pelaksana yang dimaksud Pasal 30 UU No 30/2007. PP No 79/2014 memang menyebut tentang adanya premi pengurasan (depletion premium)energi fosil yang dapat diperuntukkan bagi kegiatan eksplorasi migas, selain bagi pengembangan energi baru terbarukan, sumber daya manusia, penelitian pengembangan, dan infrastruktur. Namun, PP itu tak secara spesifik mengatur bahwa premi pengurasan itu diambil dari sebagian harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diterapkan pemerintah dalam kebijakannya saat ini.

Dengan kata lain, saya berpendapat bahwa PP No 79/2014 ini pun tidak cukup kuat sebagai landasan hukum untuk memungut  dana ketahanan energi dari harga BBM yang diberlakukan di masyarakat.

Premi pengurasan

Secara konseptual, premi pengurasan pada dasarnya adalah sejumlah nilai ekonomi tertentu yang dikenakan pada aktivitas pendayagunaan suatu sumber daya (energi) yang tidak terbarui. Tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan sumber daya energi (tersebut) selama mungkin atau juga untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi lain dalam arti yang lebih luas.

Dalam praktiknya, sebagaimana diterapkan di banyak negara, hal ini dapat secara langsung diambilkan dari sebagian penerimaan yang diperoleh dari pendayagunaan sumber energi nonterbarukan atau dapat juga dikenakan dalam bentuk pajak yang dimasukkan sebagai salah satu komponen harga energi. Dalam konteks Indonesia, kedua cara ini pada dasarnya sama-sama dapat diterapkan.

Pemerintah melalui instrumen APBN, dengan persetujuan DPR tentunya dapat secara langsung menyisihkan sebagian penerimaan negara (penerimaan negara bukan pajak/PNBP) yang diperoleh dari pengusahaan energi nonterbarukan, seperti migas atau batubara. Pemerintah melalui instrumen pajak juga dapat menetapkan pajak premi pengurasan sejumlah tertentu pada harga energi yang diberlakukan kepada masyarakat. Sesuai filosofinya, hasil penyisihan sebagian PNBP energi nonterbarukan atau pajak tersebut harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi penyediaan energi nasional secara berkelanjutan.

Untuk menerapkan salah satu atau keduanya di Indonesia, tetap terlebih dahulu harus ada dasar hukum yang kuat dan jelas, yang secara khusus mengatur tentang bagaimana premi pengurasan itu akan diterapkan, bagaimana mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, dan pertanggungjawabannya. Saran sederhana saya, dasar hukum yang kuat dan jelas mesti ada dulu, baru kebijakan dana ketahanan energi diterapkan.

Satu hal yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi perekonomian nasional, yang saat ini tengah memerlukan stimulus, cara menyisihkan sebagian PNBP energi nonterbarukan secara langsung melalui mekanisme APBN mungkin akan lebih baik dibandingkan memberi beban tambahan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Jadi, kiranya tidak ada salahnya jika kebijakan dana ketahanan energi yang akan dijalankan saat ini ditinjau ulang dan dikaji kembali lebih mendalam.

 

Harga Semakin Rendah (Manfaatkan Momentum untuk Mempercepat Proyek Migas)

Kompas:19 Desember 2015

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah sebaiknya memanfaatkan momentum harga minyak yang semakin rendah akhir-akhir ini, yakni kurang dari 40 dollar AS per barrel. Caranya dengan memberikan kemudahan perizinan dan percepatan keputusan proyek minyak dan gas bumi di Indonesia.

Pemerintah memberikan sinyal harga bahan bakar minyak akan turun tahun depan. Langkah ini merupakan respons terhadap harga minyak dunia yang terus merosot.

Hingga Jumat (18/12) sore, berdasarkan data dari laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis WTI (West Texas Intermediate) sebesar 34,91 dollar AS per barrel. Adapun harga minyak mentah jenis Brent 37,05 dollar AS per barrel. Harga minyak di laman Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) lebih rendah lagi, yakni 32,33 dollar AS per barrel. Harga itu paling rendah dalam sembilan tahun terakhir.

Pengamat energi dari Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, harga minyak dunia yang rendah harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Momentum itu antara lain dimanfaatkan untuk mempercepat eksekusi proyek migas di sektor hulu.

“Meskipun tidak ada yang bisa memprediksi dengan pasti harga minyak ke depan, pemerintah semestinya mengantisipasi atau mengambil kebijakan yang selaras dengan harga minyak sekarang,” kata Pri Agung.

Pri Agung melanjutkan, selain memberikan insentif di sektor hulu, pemerintah sebaiknya juga memberikan insentif di sektor hilir dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), yakni premium dan solar. Bagi masyarakat, penurunan harga menjadi semacam insentif di tengah kondisi perekonomian yang lesu akhir-akhir ini.

Berpotensi turun

Secara terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, pemerintah memantau harga minyak mentah dunia yang rendah. Pemerintah juga mengkaji harga BBM per tiga bulan.

Dengan harga minyak mentah yang rendah seperti saat ini, lanjut Sudirman, ada potensi harga BBM di Indonesia turun. Namun, kondisi harga minyak mentah yang rendah juga merupakan kesempatan untuk menghimpun dana ketahanan energi. Dana itu bisa dipakai sebagai subsidi pada saat harga minyak tinggi atau untuk pengembangan energi baru terbarukan.

“Rendahnya harga minyak dunia, secara kalkulasi, membuat harga BBM di dalam negeri berpotensi turun,” ujarnya.

Sejak 29 Maret 2015 hingga saat ini, harga BBM jenis premium Rp 7.300 per liter di luar Jawa dan Bali, sedangkan harga di Jawa dan Bali Rp 7.400 per liter. Harga minyak yang rendah membuat harga BBM jenis pertamax turun, dari Rp 8.750 per liter menjadi Rp 8.650 per liter sejak 10 Desember lalu.

Pemerintah sudah memutuskan untuk mengkaji harga premium dan solar per tiga bulan sekali. Kajian mendatang akan dilakukan pada 1 Januari 2016. Dua komponen utama yang digunakan sebagai acuan pemerintah dalam menentukan harga jual BBM adalah harga minyak dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Dalam Rapat Umum Tahunan Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA), awal bulan ini, Presiden IPA Craig Stewart mengatakan, harga minyak dunia yang rendah berdampak pada bisnis perusahaan migas.

“Harga minyak terus turun hingga lebih dari 50 persen dalam setahun terakhir. Akibatnya, pendapatan perusahaan merosot dan menempuh langkah efisiensi, termasuk sejumlah rencana investasi hulu migas menjadi tertunda,” kata Craig.

Analisis Fokus Kebijakan Sektor ESDM Tahun 2016

Fokus kebijakan Sektor ESDM tercermin dari program kerja dan pagu anggaran yang ditetapkan. Program kerja menunjukkan ke arah mana sektor ESDM akan dibangun. Sementara, pagu anggaran mencerminkan tingkat perhatian pemerintah terhadap program kerja tersebut. Dari informasi yang dihimpun, dalam program prioritas Kementerian ESDM tahun 2016, pemerintah menetapkan tiga program yang bersinggungan dengan sektor migas yaitu program eksplorasi migas secara agresif, peningkatan produksi dan lifting migas, dan pembangunan infrastruktur migas.

Mengacu pada asumsi makro energi 2016, ReforMiner menilai sektor migas dan energi baru terbarukan masih akan menjadi prioritas utama Kementerian ESDM tahun 2016 mendatang. Salah satu indikasinya, dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019alokasi anggaran untuk kedua sektor tersebut mencapai 55 % dari total anggaran Kementerian ESDM.

Mengacu pada Surat Menkeu S-505/MK.02/2015 maupun Surat Menkeu S-564/MK.02/2015, alokasi anggaran belanja Kementerian ESDM lebih difokuskan untuk belanja barang dan belanja modal. Berdasarkan review, terbitnya Surat Menkeu S-564/MK.02/2015merubah postur belanja infrastruktur dan non infrastruktur Kementerian ESDM. Porsi belanja infrastruktur meningkat menjadi 53,71 % dari sebelumnya dari 42,46 %, yang terdistribusi untuk empat sub sektor yaitu migas, EBTKE, ketenagalistrikan, dan geologi. Sektor migas mendapatkan alokasi terbesar yaitu 57,90 % atau sekitar Rp 2,96 triliun. Berdasarkan program kerja Kementerian ESDM, anggaran infrastruktur sektor migas dialokasikan untuk pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga dengan alokasi anggaran sekitar 45,02 %.Sementara 55 % sisanya untuk pembangunan infrastruktur BBG dan pembelian lahan.

Berdasarkan review terhadap program kerja dan anggaran, ReforMiner menilai arah pembangunan atau fokus sektor ESDM- khusus untuk sektor migas-, masih akan fokus terhadap penyelesaian sejumlah permasalahan di sektor hilir. Rincian alokasi anggaran belanja infrastruktur sektor migas menegaskan hal tesebut. Sementara perhatian pemerintah untuk sektor hulu, kemungkinan masih akan tetap sama dengan tahun anggaran sebelumnya. Bahkan untuk sektor hulu terdapat inkonsistensi pemerintah dalam penetapan program prioritas.Sejumlah program prioritasyang ditetapkan untuk sektor hulu, idak tercermin dalam mata anggaran yang telah dibuat oleh pemerintah itu sendiri.

Kebijakan PTSP Perizinan Sektor Hulu Migas

Untuk mendorong peningkatan iklim ivestasi dan penyederhanaan perizinan, Kementerian ESDM mendelegasikan sejumlah wewenang pemberi perizinansektor migas kepada Kepala BKPM. Pendelegasian dilakukan melalui penerbitan Permen ESDM No.23/2015tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Berdasarkan review, kebijakan PTSP di sektor migas tersebut bukan hal yang baru. Dalam sejarahnya, sebelum terbitnya Permen ESDM No.23/2015, pemerintahan SBY-JK telah menerbitkan Perpres No.27/2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Perpres No.27/2009kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Permen ESDM No.05/2010 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Usaha di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk mengakomodasi perkembangan yang ada, Perpres No.27/2009kemudian diganti dengan Perpres No.97/2014 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Berdasarkan ketentuan Permen ESDM No.23/2015, pendelegasian wewenang pemberian perizinan di bidang migas akan terbagi menjadi beberapa tahap. Pendelegasian akan dilakukan pada awal Agustus 2015, awal September 2015, dan awal Oktober 2015.Pemberian perizinan yang didelegasikan kepada Kepala BKPM meliputi izin usaha, rekomendasi, persetujuan, dan bentuk lain. Untuk teknis pelaksanaan, Dirjen Migas akan menunjuk pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian ESDM (Ditjen Migas) untuk ditempatkan di BKPM. Permen ESDM tersebut menetapkan, pendelegasian wewenang yang dilimpahkan masih dapat ditarik kembali oleh Menteri ESDM jika dinilai perlu dilakukan.

ReforMiner menilai, pelimpahan kewenanganpemberian perizinan dari Menteri ESDM kepada Kepala BKPM tidak akan secara otomatis menyederhanakan permasalahan perizinan pada sektor hulu migas. Ketentuan Permen ESDM No.23/2015mencerminkan bahwa mekanisme perizinan usaha di sektor migas belum akan menjadi lebih sederhana. Salah satu indikatornya perizinan yang dilakukan di BKPM masih harus didampingi oleh Kementerian ESDM. Untuk perizinan yang bersifat teknis, oleh BKPM akan dikembalikan lagi kepada otoritas yang berwenang.

Nasib Harga Minyak Tahun Depan di Tangan Arab Saudi

(www.okezone.com Senin, 14 Desember 2015)

JAKARTA– Harga minyak dunia tahun depan diprediksi masih rendah. Namun, bisa saja harga minyak dunia tahun depan melonjak tajam.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan penentuan nasib harga minyak tahun depan berada di tangan Arab Saudi.

Indonesia Jadi Anggota OPEC (Lagi)

(viva.co.id; Selasa 8 Desember 2015)

Dulu Indonesia merupakan anggota OPEC karena termasuk produsen.

Sidang Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) ke 168 yang berlangsung pada 4 Desember 2015 di Vienna Austria secara resmi menerima pengaktifan kembali Indonesia sebagai anggota organisasi negara-negara eksportir minyak

Minyak Bumi : Indonesia Tak Harus Bergantung ke OPEC

(Kompas, 7 Desember 2015)

JAKARTA, KOMPAS  Indonesia tak harus melulu bergantung kepada Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC dalam hal pembelian minyak mentah ataupun bahan bakar minyak. Mempererat hubungan dengan negara pengekspor minyak non-OPEC juga penting. Sebaiknya pemerintah juga fokus membangun

Penerapan Permen Alokasi Gas Diharapkan Konsisten

(Beritasatu.com - Jumat 04 Desember 2015)

Jakarta Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 37 tahun 2015 tentang tata kelola gas akan mendorong terciptanya tata niaga gas yang lebih baik. Permen tersebut sudah lebih tegas bahwa alokasi gas akan diberikanpada mereka yang punya komitmen mengembangkan infrastruktur. “Dalam Permen 37 ada keberpihakan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan BUMD. Tujuan permen ini untuk menghilangkan trader yang hanya bermodal kertas. Keberpihakan pada BUMN/BUMD tercermin di Pasal 6 sampai 12,” ujar pengamat migas dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi wartawan, Jumat (3/11).

Dia meyakini, Permen 37 ini mempunyai peran untuk memperbaiki tata niaga gas karena dari sisi isi dan cakupan aturan lebih baik dibandingkan dengan Permen Nomor 3 tahun 2010. “Permen ini untuk memperbaiki tata niaga yang ada,” tegasnya.

Komaidi juga menilai wajar dorongan sebagian pihak yang ingin merevisi Permen tersebut. “Dorongan revisi wajar saja tapi kalau sudah yakin ya harus segera diimplementasikan. Sebelum permen dibuat kan pasti sudah ada kajian akademisnya. Ini tinggal konsistensi saja dan segera diberlakukan diterapkan,” ujar Komaidi.

Komaidi optimistis permen baru ini dapat mengeliminir permainan para calo gas yang selama ini membuat harga gas semakin mahal dan infrastruktur gas bumi tidak berkembang. Sebagai negara dengan potensi sumber gas bumi yang sangat besar, Indonesia harus terus melakukan terobosan agar kekayaan itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat.

Oleh karena itu dibutuhkan lembaga yang mampu menjalankan fungsi agregator gas dan menjamin pembangunan infrastruktur berjalan secara kontinyu.

Pasalnya, tanpa dukungan infrastruktur, kekayaan alam berupa gas bumi hanya akan dinikmati asing karena di ekspor. Gas bumi harus memberikan manfaat yang paling optimal bagi ekonomi nasional. “Dengan alokasi yang tepat dan kebijakan yang konsisten itu bisa kita capai. Saya yakin pemerintah tidak akan kalah dengan aksi pemburu rente,” ujar dia.

Sejak diteken menteri ESDM pada 13 Oktober 2015, Permen 37 terus mendapat penolakan dari para trader yang selama ini hanya mengandalkan kertas dan lobi untuk mendapatkan alokasi gas. Terkait keberadaan trader tanpa fasilitas ini, seorang pejabat di kementerian ESDM menyatakan, jika keberadaan trader modal kertas bisa dihilangkan, efisiensi harga gas bisa mencapai US$ 1- US$ 2 per MMBtu.

“Ada banyak trader mendapat alokasi gas dari hulu dan kemudian menghubungkan dengan pembeli di hilir tanpa memiliki jaringan gas. Jika yang seperti ini dibiarkan terus, negara sangat merugi. Selain menjadikan harga gas di konsumen mahal, infrastruktur tidak akan banyak dibangun,” katanya.

Sejak awal ditunjuk menjadi menteri ESDM, Sudirman Said termasuk salah satu menteri yang dianggap mampu untuk menghilangkan jalur rente yang selama ini menyulitkan pengembangan gas bumi.

Karena pasokan gas dari sejumlah produsen gas banyak melewati perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki fasilitas infrastruktur. Akibat trader gas bertingkat itu harga semakin mahal dan konsumen dirugikan.

Whisnu Bagus Prasetyo/WBP

Menteri ESDM Diminta Abaikan Intervensi Mafia Gas Pipa

(CNN Indonesia; Kamis 3 Desember 2015)

Menteri ESDM Diminta Abaikan Intervensi Mafia Gas PipaLangkah Sudirman Said menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2015 untuk membatasi alokasi gas bumi bagi pengusaha tanpa infrastruktur sudah tepat. (ANTARA FOTO/Hendra Sonie).

Jakarta:Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said yang ingin membatasialokasi gas bagi perusahaan yang tidak memiliki infrastruktur pipa mendapat dukungan Pengamat Energi Research Institute for Mining and Energy Economics (Reforminer) Insitute Komaidi Notonegoro.

Menurut Komaidi, langkah Sudirman menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi sudah tepat dan akan mendorong terciptanya tata niaga gas yang lebih baik.

Permen tersebut juga sudah secara tegas menyatakan bahwa alokasi gas hanya akan diberikan pemerintah kepada pengusaha yang berkomitmen mengembangkan infrastruktur.

“Dalam Permen 37 ada keberpihakan ke BUMN dan BUMD dan tujuan Permen ini kan memang untuk menghilangkan trader yang hanya bermodal kertas. Keberpihakan pada BUMN dan BUMD tercermin di Pasal 6 sampai 12,” ujar Komaidi, Kamis (3/12).

Ia yakin, melalui aturan tersebut upaya pemerintah memperbaiki tata niaga gas yang ada dapat dengan mudah terbantu. Oleh karena itu, adanya dorongan sebagian pihak yang ingin merevisi aturan tersebut melalui sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga para trader gas, untuk tidak dihiraukan.

“Dorongan revisi wajar saja tapi kalau sudah yakin ya harus segera diimplementasikan. Sebelum Permen dibuat kan pasti sudah ada kajian akademisnya. Ini tinggal konsistensi saja dan segera diberlakukan dan diterapkan,” ujar Komaidi.

Ia optimistis Permen baru ini dapat mengeliminir permainan para calo gas yang selama ini membuat harga gas semakin mahal dan infrastruktur gas bumi tidak berkembang.

Tanpa dukungan infrastruktur, kekayaan alam berupa gas bumi hanya akan dinikmati perusahaan asing selaku pembeli di luar negeri. Padahal seharusnya, gas bumi memberikan manfaat yang paling optimal bagi ekonomi nasional.

“Dengan alokasi yang tepat dan kebijakan yang konsisten itu bisa kita capai. Saya yakin pemerintah tidak akan kalah dengan aksi pemburu rente,” ujar dia.

Sejak diteken Menteri ESDM pada 13 Oktober 2015, Permen 37 terus mendapat penolakan. Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menyebut aturan menteri berseberangan dengan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Menurut Kardaya, UU Migas tidak mengatur adanya kewajiban pelaku usaha untuk memiliki infrastruktur pipa gas, maka para pelaku usaha semestinya tetap diperbolehkan untuk melanjutkan usahanya.

UU masih bolehkan (pelaku usaha) gak punya (infrastruktur). Kita kan mesti ikut UU. Kalau mau dilarang, UU-nya mesti ada dulu,” ungkap Kardaya. (gen)

CNN Indonesia Kamis, 3 Desember 2015