Bersiap jika Harga Minyak Rendah
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti,Pendiri ReforMiner InstituteA
Kompas;Senin 31 Agustus 2015

Sebagaimana diperkirakan banyak analis, pergerakan harga minyak sepanjang 2015 belum akan beranjak dari tingkat harga rendah, di bawah 60 dollar AS/barrel.

Sejak Juli, harga terus turun dan akhir Agustus harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menyentuh 38 dollar AS/barrel. Sebagaimana tulisan “Membaca Tren Harga Minyak” yang pernah dimuat di harian ini (27/l/2015), saya masih melihat dua faktor utama penyebab rendah dan makin turunnya harga minyak belakangan ini. Pertama, faktor fundamental, yaitu pasokan yang terus berlebih di tengah adanya kekhawatiran penurunan permintaan. Kedua, faktor spekulasi, yang berkorelasi dengan tren terus menguatnya mata uang dollar AS terhadap mata uang negara lain.

Selama 2-3 tahun terakhir, pertumbuhan pasokan minyak dunia rata-rata 2 juta barrel per hari (bph), melebihi rata-rata pertumbuhan permintaan 1,2 juta bph. Ditambah spare capacity OPEC 4 juta-5 juta bph, secara fundamental keseimbangan pasar minyak dunia memang mengalami kelebihan pasokan.

Perlambatan pertumbuhan ekonorni Tiongkok sebagai importir minyak terbesar dunia kian menekan pertumbuhan permintaan. Kondisi ini diperparah berlanjutnya persaingan antar produsen utama minyak dunia.

Demi tetap menguasai pangsa pasar, OPEC-khususnya Arab Saudi dan Iran- tetap pada sikap mempertahankan tingkat produksi 30 juta bph. Pada Juli lalu produksi OPEC bahkan meningkat hingga 32,1 juta bph. Mereka agaknya berpandangan, percuma mengurangi produksi karena pasar tetap akan dibanjiri pasokan dari pihak lain di luar OPEC.

Level harga 60 dollar AS/barrel tampaknya memang tidak cukup untuk mematikan produksi minyak dan gas dari lapisan shale di AS dan Kanada Dari Januari hingga Juli 2015 produksi minyak AS masih relatif bertahan, bahkan dengan tren meningkat, di kisaran 9,1 juta-9,6 juta bph. Produksi minyak Rusia, yang merupakan eksportir minyak terbesar kedua dunia, juga meningkat sepanjang Januari-Mei 2015 di kisaran 10,7 juta bph.

lnovasi teknologi dan efisiensi biaya, hingga pada pengurangan jumlah pegawai, tampaknya telab membuat para produsen minyak yang bermain di shale mampu bertahan bahkan dalam kondisi harga 40 dollar AS/barrel sekalipun. Ini yang menjadikan Arab Saudi dan Iran tetap bersikukuh tidak akan mengurangi pasokan ke pasar, meskipun mereka sebenarnya juga terpukul dengan harga yang terus turun.

Spekulasi

Titik terendah dan kestabilan baru tampaknya belum akan tercapai hingga “perang” yang mempertontonkan kemampuan bertahan para produsen utama minyak dunia itu berakhir. Ditambah faktor spekulasi, ini artinya bukan tidak mungkin harga akan terus turun hingga 30-20 dollar AS/barrel. Dengan acuan harga rill pada Januari 2015, data statistik menunjukkan, dunia pernah mengalami titik terendah harga riil minyak di kisaran 20 dollar AS/barrel, yaitu pada periode 1968-1972 dan 1997-1998.

Sementara faktor kelebihan pasokan secara fundamental mengondisikan harga minyak untuk tetap rendah, spekulasi adalah faktor utama yang lebih berperan dalam memengaruhi dan menentukan pergerakan harga minyak dari hari ke hari. Minyak yang didenominasikan dalam dollar AS adalab bagian dari instrumen investasi di pasar komoditas dan pasar keuangan, tak ubahnya seperti emas, saham, ataupun valuta asing itu sendiri.

Aksi spekulasi di pasar komoditas terhadapnya, ataupun aksi spekulasi di pasar keuangan terhadap dollar AS, serta di pasar sekunder lain yang berkorelasi dengan pergerakan nilai tukar dollar AS, berperan amat signifikan dalam memengaruhi pergerakan harga minyak. Statistik sejak 2006 menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara harga minyak dan indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lain. Saat indeks nilai tukar dollar AS menguat dan tinggi terhadap mata uang lainnya, harga minyak melemah, juga sebaliknya. Maka, ketika dollar AS begitu perkasa akhir-akhir ini-termasuk terhadap euro, yen, rubel, dan yuan- harga minyak yang sejak semula telah rendah di bawab 60 dollar AS/barrel dengan mudah turun di bawab 40 dollar AS.

Dengan kecenderungan posisi dollar AS terhadap mata uang lainnya akan tetap kuat dalam 1-3 tahun ke depan, menyimpan dollar AS untuk kepentingan spekulasi tampaknya lebih menjanjikan daripada menyimpan minyak. Ditambah dengan kondisi di mana secara fundamental keseimbangan pasar minyak dunia tetap masih akan mengalami kelebihan pasokan, prospek harga minyak ke depan tampaknya memang masih akan suram.

Dengan kondisi seperti itu, sebaiknya pemerintah sedini mungkin segera bersiap. Antisipasi defisit APBN karena turunnya penerimaan migas perlu disiapkan. Kebijakan evaluasi harga BBM yang lebih komprehensif dan proporsional perlu segera dilakukan, tidak harus menunggu November karena dinamika yang ada bergerak begitu cepat. Dengan rata-rata harga minyak Indonesia untuk Juli di 51,81 dollar AS/barrel, dan Agustus kemungkinan di bawab 45 dollar AS/barrel, harga BBM untuk Agustus lalu dan September mendatang mestinya sudah dapat diturunkan di kisaran Rp 6.800-Rp Rp. 6.000 per liter.

Di tengah kondisi krisis ekonomi, penurunan harga BBM yang masih sesuai dengan nilai keekonomiannya adalab salah satu wujud nyata stimulus perekonomian. Terhadap industri migas nasional, tidak ada pilihan lain selain melakukan efisiensi di semua aspek. Hampir dapat dipastikan industri migas nasional, khususnya di sektor hulu beserta industri penunjangnya, ke depan akan semakin tertekan. Peran dan langkah nyata dari pemerintah sangat ditunggu.

Sektor Migas Makin Tertekan

(Kompas, 19 Agustus 2015)

Pemerintah Bisa Membantu Beri Kemudahan

JAKARTA,- Sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia bakal makin tertekan menyusul jatuhnya harga minyak menjadi 41,75 dollar AS per barrel atau terendah dalam kurun enam tahun terakhir. Pemerintah bias mengurangi tekanan

Asumsi Lifting dalam RAPBN 2016 Dinilai Realistis

(Investor Daily: 15 Agustus 2015)

JAKARTA– Pengamat energi ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai penetapan asumsi produksi terjual (lifting) minyak bumi pada RAPBN 2016 sebesar 830.000 barel per hari cukup realistis.

“Angka ‘lifting’ minyak itu kemungkinan dapat tercapai terutama dengan adanya tambahan dari Lapangan Banyuurip, Blok Cepu,

” katanya di Jakarta, Jumat (14/8/2015), seperti dikutip Antara. Presiden Joko Widodo dalam pidato pengantar RAPBN 2016 di sidang paripurna DPR, Jakarta, Jumat menyampaikan, asumsi “lifting” minyak sebesar 830.000 barel per hari, “lifting” gas bumi 1,55 juta barel setara minyak per hari, dan harga minyak (Indonesia crude price/ICP) 60 dolar AS per barel.

Komaidi mengatakan, selain Cepu, pemerintah mesti menahan penurunan laju produksi sumur-sumur minyak lainnya.”Jangan terlalu drastis turunnya. Kalau bisa konstan,” ujarnya.

Saat ini, fasilitas produksi Banyuurip di Bojonegoro, Jatim dengan kapasitas 185.000 barel minyak per hari sedang dikerjakan dengan target operasi pada kuartal ketiga 2015.Dengan selesainya fasilitas tersebut, Banyu Urip yang per Juni 2015 berproduksi sekitar 80.000 barel per hari akan meningkat pada Agustus menjadi 149.000 barel per hari dan terus meningkat hingga 205.000 barel per hari pada November 2015.

Komaidi juga mengatakan, angka ICP sebesar 60 dolar AS per barel sepanjang 2016 juga cukup realistis.

Ia memprediksikan, harga minyak dunia pada 2016 masih tetap rendah.”Angka 60 dolar AS per barel itu saya kira cukup moderat meskipun terdapat kemungkinan harga bisa di bawah angka tersebut,” katanya. Ia menambahkan, dalam hal harga minyak, pemerintah memang relatif tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikannya.”Hal yang perlu dilakukan adalah memantau perkembangannya,” ujarnya.

Pada APBN Perubahan 2015, asumsi “lifting” minyak ditetapkan sebesar 825 ribu barel per hari, “lifting” gas bumi 1,221 ribu barel setara minyak per hari, dan ICP 60 dolar AS per barel.

Perbaikan Kebijakan BBM
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kompas,com

Hingga akhir Juli 2015, Pertamina dikatakan mengalami kerugian hingga Rp 12 triliun dalam penjualan BBM, khususnya premium dan solar.

Kerugian disebabkan Pertamina harus menalangi selisih harga keekonomian bahan bakar minyak dan harga jual BBM yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah. Ini yang menyebabkan harga BBM saat ini tak akan diturunkan bahkan mungkin dinaikkana meski harga minyak dunia saat ini turun menyentuh 47 dollar AS per barrel, yang merupakan level terendah dalam enam bulan terakhir.

Dalam masalah ini, Pertamina jadi korbana, publik jadi bingung karena logika sederhana kemudian menjadi tampak rumit. Lalu muncul istilah baru, oil fund, dari pemerintah, semacam dana untuk stabilitas BBM, yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?

Menurut saya karena dua hal. Pertama, kebijakan BBM yang parsial. Kedua, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang parsial itu.

Disebut parsial karena saat pemerintahmenurunkan harga BBM pada November 2014, diikuti penurunan pada bulan selanjutnya, dan tak lagi menyubsidi premium dan menerapkan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, pemerintah tidak melengkapi kebijakan tersebut dengan menyiapkan bantalan fiskalnya di APBN. Inkonsisten karena penyesuaian naik-turun harga BBM yang semula dilakukan dalam dua minggu hingga satu bulan mengikuti pergerakan faktor utama yang memengaruhinya (harga minyak dunia dan kurs rupiah) tidak lagi dilakukan dengan pola yang sama, dengan alasan masyarakat belum siap dengan kebijakan itu.

Pada titik itu sebenarnya terlihat bahwa yang lebih tidak siap adalah pemerintah sendiri, bukan masyarakat. Pemerintah tak siap dengan bantalan fiskal BBM di APBN sehingga kemudian Pertamina yang harus menjadi bantalana dan baru belakangan memunculkan istilah yang tampak baru, oil fund,yang secara esensi tidak lain adalah bantalan fiskal BBM itu sendiri. Juga tidak siap dalam menakar kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat dengan baik sehingga dalam menetapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga tidak memiliki pola yang jelas.

Maka, pemerintah yang perlu lebih jelas dan tegas dalam hal kebijakan BBM. Apakah sebenarnya premium memang bebas subsidi dan solar disubsidi tetap, ataukah sebenarnya keduanya masih disubsidi APBN dengan pola yang sama seperti pemerintahan sebelumnya? Jika yang dipilih adalah terobosan kebijakan seperti yang pertama, setidaknya dua hal perlu segera diperbaiki.

Pertama, bantalan fiskal BBM sejumlah tertentu perlu dianggarkan secara jelas di APBN. Ini untuk mengantisipasi ketika penyesuaian harga karena sesuatu dan lain hal tidak dapat dilakukan. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban bantalan fiskal di APBN jelas lebih baik dan memiliki landasan payung hukum yang lebih jelas dibandingkan menggunakan Pertamina sebagai bantalan atauoil fund yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya.

Kedua, konsistenlah dalam menerapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga BBM sehingga dapat memberikan pola yang lebih mudah diterima dan ditangkap oleh masyarakat ataupun perekonomian secara keseluruhan. Tiga atau enam bulan, seperti yang belakangan pemerintah wacanakan, kiranya jauh lebih bijak daripada periode dua minggu hingga satu bulan yang sebelumnya diterapkan.

 

Pri Agung Rakhmanto, Reforminer Institute: Produksi Puncak Bisa Meleset

(Republika, Senin, 03 Agustus 2015)

Apakah kejadian di Blok Cepu berpengaruh ke lifting minyak nasional?

Ya kalau pengaruh ke lifting sebenarnya tergantung. Pertama, terhadap produksi yang ada saat ini seberapa cepat bisa dikembalikan produksinya.

Ini Aturan Yang Bikin Produksi Gas di RI Banyak Salah Sasaran

(Detik Finance, 3 Agustus 2015)

JAKARTA-Indonesia merupakan salah satu produsen sekaligus eksportir terbesar gas bumi di dunia. Sayangnya, produksi gas sering salah sasaran, selain peruntukannya bukan ke sektor yang tepat, gas juga bisa dikuasai trader yang tidak punya modal, alias ‘saudagar bermodal kertas’.

Salah sasaran dan dapat dikuasainya alokasi gas bumi oleh trader gas, karena ada aturan terkait alokasi gas, yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 3 Tahun 2010, tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Seperti dalam Pasal 4 ayat 2 berbunyi: ‘Kewajiban Kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25% dari hasil produksi gas bumi bagian kontraktor.’

Tujuan pasal ini untuk pemenuhan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

Dalam aturan ini, juga mengatur tentang kebijakan alokasi gas bumi, yang ditentukan dalam skala prioritas, yakni:

Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional

– Industri Pupuk

– Penyediaan tenaga listrik

– Industri lainnya.

Ada celah dalam aturan yang dibuat Menteri ESDM saat itu Darwin Zahedy Saleh. Pasalnya, alokasi yang diberikan tidak jelas pengaturannya, kepada siapa, syaratnya apa.

“Aturan di sana hanya ada prioritas alokasi gas pertama untuk lifting minyak, industri pupuk, listrik, dan industri. Tapi siapa yang dapatkan alokasi itu tidak diatur jelas, ini celah dan sudah lama dibiarkan,” kata Analis ReforMiner Institute yang juga Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, beberapa waktu lalu.

Tak hanya masalah siapa yang mendapatkan alokasi gas, skala prioritas penggunaan gas bumi juga menjadi sorotan. Hal ini menyangkut proyek ladang minyak Duri di Sumatera yang telah digali oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sejak 1950-an. Pasalnya, dalam produksi minyak Chevron sekitar 460.000 barel per hari, dibutuhkan gas untuk mendorong produksi tersebut.

“Di Indonesia ini kan gas itu bisa sama dengan sebanding dengan minyak. Jadi pada prinsipnya dari pada gas digunakan hanya untuk memproduksi minyak negara yang rugi,” ujar Pri Agung.

(rrd/dnl)

Kok Bisa Makelar Bermodal Kertas Dapat Jatah Gas?

(Detik Finance, 3 Agustus 2015)

JAKARTA -Menteri ESDM Sudirman Said mengakui, bila 80% trader gas di Indonesia saat ini adalah perusahaan gas yang tidak punya modal, bahkan malah bisa punya alokasi gas bumi. Mengapa ini bisa terjadi?

Jawabannya, karena ada aturan yang sampai saat ini berlaku,yang mengizinkan perusahaan tanpa modal infrastruktur bisa jadi trader gas bahkan bisa memiliki alokasi gas bumi.

Celah ini ada di aturan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009. Permen ESDM ini dibuat pada zaman Menteri ESDM dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro.

Hal ini pernah diakui sendiri oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Ia mengatakan, di mana dalam aturan tersebut, siapa pun perusahaannya, walau tidak memiliki infrastruktur pipa gas sama sekali, boleh menjadi perusahaan pemegang izin usaha niaga gas, alias trader gas.

“Ada peraturan, yang klausulnya tidak mengharuskan memiliki infrastruktur gas,” ujar Sudirman.

Hal yang pernah diungkapkan, Analis ReforMiner Institute yang juga Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto. Dalam Permen ESDM tersebut, tidak diatur apakah perusahaan atau trader tersebut harus punya infrastruktur atau tidak, atau punya kewajiban bangun infrastruktur gas.

“Jadi siapa saja bisa dapat alokasi dan distribusikan gas. Pada kenyataannya banyak yang dapat gas seorang trader yang tidak punya infrastruktur, sehingga hanya dagang alokasi. Bahkan ada alokasi yang harusnya untuk pembangkit listrik bisa dialihkan ke mana-mana, seperti kasus di Bangkalan,” katanya.

Pri Agung mengungkapkan lagi, tidak hanya alokasi gas, dalam tender wilayah kerja migas pun, sudah sejak lama, para pemenang-pemenang wilayah kerja (blok migas) tidak diseleksi sangat ketat.

“Hal itu terbukti pemenang-pemenang blok migas bukan pemain hulu migas yang riil, sehingga tidak dieksplorasi, tidak dikerjakan, sehingga cadangan migas Indonesia tidak bertambah, mereka hanya jual surat saja, ini semua sumbernya karena aturan-aturan yang dibuat, entah dibuat sengaja atau tidak, sehingga celah mafia bisa bermain di sektor ini,” tutupnya.

 

Ricuh di Blok Cepu, Intervensi Pemerintah Ditunggu

(KOMPAS: Minggu, 2 Agustus 2015)

JAKARTA, Pemerintah diminta segera melakukan normalisasi di proyek minyak Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Timur, Sabtu (1/8/2015) kemarin. Penanganan cepat dapat menghindarkan risiko paling buruk dari berhentinya produksi di dua area kerja Blok Cepu,

Ricuh di Blok Cepu, Subkontraktor Diharapkan Lebih Manusiawi terhadap Pekerja

(KOMPAS: Minggu, 2 Agustus 2015)

JAKARTA, Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat bahwa kericuhan yang terjadi di proyek minyak Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Timur, Sabtu (1/8/2015) kemarin, merupakan persoalan manajemen di tingkat operasional. Menurut Pri, kemungkinan ada unsur akumulasi kekecewaan dari para pekerja subkontrak. Selain masalah itu, kata Pri, ada unsur masalah sosial bahwa jika proyek Cepu berhenti, maka para pekerja subkontrak tidak lagi memiliki pekerjaan. Di sisi lain, pihak yang mempekerjakan mereka ingin mendisiplinkan para pekerja subkontrak, tetapi caranya dianggap salah.

“Butuh pendekatan yang lebih manusiawi terhadap pekerja di level seperti itu. Di sisi lain, manajemen harus membangun sistem yang tetap bisa mendisiplinkan,” ujar Pri dihubungi Kompas.com, Minggu (2/8/2015).

Pri mencontohkan, manajemen bisa memberlakukan sistem reward and punishment untuk mendisiplinkan para pekerja subkontrak. “Bukan kemudian dengan pintunya dibikin satu, dari tiga dibikin satu,” kata dia lagi.

Sebagai penanggungjawab, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) bisa meminta perusahaan subkontrak untuk membenahi operasional, mulai dari jam kerja bahkan sampai layout di lapangan.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah dan pihak terkait masih melakukan proses investigasi atas insiden di Blok Cepu. Pihaknya masih mengumpulkan informasi dari para saksi.

“Saran kami bila memang diperlukan para pegawai diliburkan, untuk membuat suasana tenang. Cooling down enggak apa-apa,” kata Djoko kepada Kompas.com, Minggu.

Kerusuhan di proyek minyak Blok Cepu dipicu kemarahan ribuan karyawan hingga merusak kantor dan mobil. Keributan terjadi sekitar pukul 12.00-12.30 WIB bertepatan dengan waktu istirahat karyawan proyek minyak Blok Cepu. (Baca: Kerusuhan di Blok Cepu karena Ribuan Pekerja Sulit Keluar Makan Siang)

Akibat insiden itu, operasi kerja di area EPC 1 dan 5 dihentikan. Produksi pun turun dengan potensi kehilangan 50.000 hingga 55.000 barel per hari. (Baca: Ricuh Sehari di Cepu, Produksi Minyak Berkurang 55.000 Barel).

Harga BBM Tidak Berubah: Pertamina Jalankan Program Efisiensi Pengadaan Minyak

(Kompas;

JAKARTA, Pemerintah memutuskan tidak mengubah harga bahan bakar minyak jenis premium, solar, dan minyak tanah per 1 Agustus 2015. Pemerintah akan mengkaji ulang penetapan harga BBM agar tidak merugikan Pertamina karena menjual di bawah harga keekonomian.