Cadangan BBM Nasional Riskan

Media Indonesia: Senin 27 Juli 2015)

WALAUPUN International Energy Agency (IEA) mensyaratkan cadangan BBM sebuah negara harus 90 hari untuk mencapai ketahanan energi, pemerintah berupaya hanya memenuhi sepertiganya atau 30 hari. Persoalannya butuh dana jumbo untuk membangun gudang penyimpanan dan membeli emas hitam untuk memenuhi cadangan BBM

selama 90 hari tersebut. Hal itu diungkapkan Menteri ESDM Sudirman Said kepada Media Indonesia, akhir pekan lalu.

“Kami membantu Pertamina menambah cadangan BBM dari 18-20 hari menjadi 30 hari, terealisasi pertengahan tahun depan. Kami terkendala dana untuk membangun tangki hingga bisa memiliki cadangan 90 hari.”

Kini Pertamina, seperti disampaikan Direktur Pemasaran Ahmad Bambang, sedang merenovasi 30 tangki untuk mengatrol cadangan BBM.

Tangki-tangki tersebut bisa menyimpan cadangan BBM 350 ribu kiloliter atau menambah 3 hari.

Sebelumnya, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng mengingatkan tentang syarat IEA bahwa cadangan BBM untuk mencapai ketahanan energi harus selama 90 hari (Media Indonesia, 23/7).

“Ada yang bertanya untuk apa kita memiliki cadangan BBM Toh, kita tidak ada perang. Memang tidak ada perang, tetapi ada gempa bumi dan tsunami. Di Jepang begitu ada tsunami besar, reaktor nuklir mati.

Namun, listrik tetap menyala dan itu dari minyak,” ujar Andy.

Guna mewujudkan cadangan BBM 30 hari, walaupun riskan, lanjut Menteri ESDM, pihaknya memprioritaskan pembangunan tangki di Indonesia Timur pada 2017.

Andy mengusulkan agar pemerintah membangun kilang-kilang kecil berkapasitas 10 ribu-15 ribu barel per hari (bph) yang bisa ditempatkan di dekat sumur-sumur kecil.

Ketimbang membangun tangki yang berkapasitas 300 ribu bph yang membutuhkan investasi sebesar US$8 miliar-US$10 miliar.

Program nasional

Setali tiga uang dengan pemerintah. PT Pertamina (persero) pun hanya sanggup menambah cadangan BBM hingga 30 hari.

Sebagaimana disampaikan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.

“Perlu kontribusi pemerintah apabila ingin cadangan BBM hingga 90 hari. Dana menjadi kendala utama selain gudang penyimpanan.”

Pengamat dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mendorong Presiden menerbitkan perpres untuk meningkatkan cadangan BBM menjadi 90 hari.

“Harus jadi program nasional seperti konversi minyak tanah ke elpiji pada 2007. Kalau di luar negeri namanya Strategic Petroleum Reserve.”

Menurut Pri Agung, cadangan Pertamina di kisaran 18-20 hari sudah merupakan level normal kendati teramat riskan.

Untuk kebutuhan dalam kondisi darurat negara minimal harus memiliki cadangan BBM selama 90 hari.

“Anggaran pemerintah hanya untuk menambah cadangan operasional. Belum tentu berhasil. Beda jika masuk program nasional,” tandas Pri Agung.

Govt Seeks To Reserve Funds To Fend Off Fluctuating Prices

(Jakarta Post; July 24 2015)

JAKARTA– The Energy and Mineral Resources Ministry has revived plans to provide special funding to cushion the impact of fluctuating global prices on the nation amid losses suffered by state-owned oil and gas firm Pertamina.

The special funding, named the Petroleum Fund, would finance upstream industry exploration as well as reserve funds to make up for the disparity between government and global oil prices, which has affected Pertamina financial condition.

We want Pertamina to keep the price stable, but we want to prevent the corporation from suffering losses, Energy and Mineral Resources Minister Sudirman Said told reporters on Wednesday.

We have to compensate Pertaminas losses, he added.

Since the eradication of fuel subsidies under President Joko Jokowi Widodos administration, Pertamina has been subsidizing octane-88 Premium, as the government set the fuel price below the market price to maintain the publics purchasing power.

Pertamina suffered a US$212.3 million loss during the January to February period this year, a huge slump from around $490 million in net profits during the same two-month period last year, partly due to Pertamina selling oil at a far lower price than the corporations had paid for it.

The government price of Premium at the end of March, which stood at Rp 7,400 (55 US cents) per liter, was Rp 750 lower than the market price.

With 6.7 million kiloliters of Premium sold by Pertamina in the first quarter, Pertamina may have spent at least Rp 2 trillion ($149 million) in the two months alone to subsidize the Premium.

With the new funding mechanism, the government plans to reserve the gains from when the global oil price slumps lower than the government price to compensate Pertaminas losses when there are further price hikes. The ministrys oil and gas director general IGN Wiratmaja Puja said that the fund is planned to be submitted to the House of Representatives next year.

Oil and gas companies are currently suffering from declining oil prices following a supply glut of US shale oil. The crude oil benchmark West Texas Intermediate was at $49.26 per barrel on Thursday, according to figures from Bloomberg. Another global benchmark, Brent, was at around $56.05 per barrel on Thursday.

Wiratmaja also stated that the funds might be managed by Pertamina, but he hoped that they would be under another body for the next year.

The ministry might propose sourcing the funds from the state budget, while still refusing to call it another subsidy program. Energy think tank ReforMiner Insitute deputy chairman Komaidi Notonegoro warned the government about the move, which they fear is a step backward.
Komaidi also warned the government to determine whether Pertamina had the legal right to receive the compensation.

It is weird that the government doesnt subsidize but Pertamina is asked to sell below the market price. But there is no article in the revised state budget that Pertamina could claim its losses under. It should be discussed in the House of Representatives, Komaidi argued.

The plan to set aside a petroleum fund was also raised in 2012. At that time it was planned to be sourced from the governments non-tax revenue from the oil and gas sector. It was also included in the proposal of the Oil and Gas Law revision. However, deliberations for revising the law were halted.(fsu)

 

Badan Penyangga Harga Gas Harus BUMN Murni

(republika.co.id;  Kamis, 16 Juli 2015)

JAKARTA – Tingginya ketergantungan berbagai industri terhadap penggunaan gas, disertai keragaman jenis dan lokasi industri, mendorong perlu dibentuknya suatu badan penyangga (buffer). Dimana badan itu bertugas menjamin proporsionalitas dan keseragaman harga gas bagi industri.

“Menjadi kebutuhan mendesak untuk dibentuk satu badan penyangga harga di industri gas, seperti halnya Bulog di industri beras. Dengan adanya badan penyangga itu maka harga gas bisa diatur dengan lebih tertib dan proporsional bagi industri pengguna,” kata pengamat yang juga Direktur Reforminer Institut Komaidi Notonegoro, kepada pers, Kamis (16/7).

Menurut Komaidi, disadari bahwa saat ini rancangan atau draf UU Migas sedang dibahas di DPR, dan dalam draf itu yang akan menjadi badan penyangga adalah BUMN.

Namun ia mengingatkan, badan penyangga tunggal yang akan mengatur harga gas itu tidak boleh perusahaan yang tidak 100 persen milik negara.

“Amanat UU menentukan demikian, yang menjadi badan penyangga atau agregator tunggal mesti BUMN murni, seperti Pertamina. Perusahaan yang sebagian sahamnya sudah dimiliki asing tidak diperbolehkan, namun dia bisa membantu sesuai dengan infrastruktur yang dimilikinya,” katanya.

Pertamina, katanya, memiliki sumber gas bumi di hulu, dan juga memiliki akses LNG domestik serta impor. Hal itu merupakan kekuatan untuk mengatur sehingga harga gas bisa seragam atau diatur secara proporsional.

“Kalau ada perusahaan lain yang juga punya infrastruktur, perusahaan itu dapat disertakan di dalam sistem untuk mendukung dan memperkuat,” tambah Komaidi.

Meskipun demikian, Komaidi tidak menampik adanya kemungkinan disparitas harga gas, namun selisihnya hanya sedikit karena faktor jarak dan lokasi. karena Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang luas dan panjang, dari Sabang sampai Merauke.

“Bisa saja ada sedikit selisih, namun tidak lagi mencolok seperti saat ini. Saat ini perbedaan harga gas ada yang empat dolar AS, ada yang 11 dolar AS, ada yang 4,5 dolar,” ungkapnya

Harga Minyak Turun Bisa Hambat Produksi

(Kompas, 6 Juli 2015)

JAKARTA, Usaha pemerintah untuk menaikkan cadangan dan produksi minyak bumi dikhawatirkan terhambat lantaran harga minyak Indonesia merosot menjadi 59,4 dollar AS per barrel. Merosotnya harga minyak Indonesia tersebut dipengaruhi faktor eksternal seperti produksi minyak anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang meningkat beberapa waktu terakhir. Karena itu, perlu kemudahan berinvestasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) yang diikuti berbagai terobosan kebijakan oleh pemerintah.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan, harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang turun berpotensi menghambat upaya pemerintah menaikkan cadangan dan produksi minyak di dalam negeri. ICP yang rendah akan berpengaruh langsung terhadap nilai keekonomian proyek-proyek hulu migas yang dikembangkan, baik oleh perusahaan migas nasional maupun asing di Indonesia.

“Sebab, nilai keekonomian bisnis migas didasarkan pada bagi hasil yang telah dipatok pada harga minyak tertentu. Maka, pemerintah perlu memberi insentif berupa peringanan pajak dan persentase bagi hasil yang sesuai saat harga minyak rendah,” kata Satya, Minggu (5/7), di Jakarta.

Dalam asumsi makro APBN-P 2015, harga minyak mentah Indonesia ditetapkan 60 dollar AS per barrel. Adapun produksi minyak siap jual (lifting) Indonesia 825.000 barrel per hari.

Satya menambahkan, jika harga minyak terus turun, kekhawatiran dalam jangka panjang adalah banyak proyek eksplorasi yang tertunda. Eksplorasi yang tertunda akan berpengaruh terhadap upaya pemerintah menambah cadangan minyak dan menaikkan produksi minyak di dalam negeri.

Akhir pekan lalu, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan ICP periode Juni 2015 sebesar 59,4 dollar AS per barrel atau lebih rendah daripada periode Mei 2015 yang ditetapkan 61,8 dollar AS per barrel. Penyebabnya, produksi minyak anggota OPEC melonjak 0,023 juta barrel per hari menjadi 30,9 juta barrel per hari pada Mei 2015.

Faktor penyebab lainnya adalah peningkatan ekspor minyak mentah Iran selama Juni 2015 menjadi 3,2 juta barrel per hari. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat dan kondisi perekonomian Eropa yang belum pulih menyebabkan permintaan minyak merosot, padahal produksinya terus melimpah.

Tata kelola

Secara terpisah, pengamat energi dari Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, di tengah harga minyak Indonesia yang merosot, pemerintah sebaiknya memperbaiki tata kelola. Langkah itu untuk menggairahkan iklim investasi di sektor migas dalam negeri.

Menurut dia, pemerintah sebaiknya turun tangan langsung mengawal usaha-usaha perbaikan tata kelola tersebut. Perbaikan itu mencakup perizinan yang dipersingkat dan diperjelas, pembebasan lahan yang lebih pasti, dan peraturan yang tidak saling tumpang tindih.

Namun, Pri Agung berpendapat, ICP yang turun tidak berdampak signifikan terhadap industri migas di dalam negeri.