Dukungan Terhadap Industri Migas Belum Optimal

(Koran SINDO;Selasa, 26 Mei 2015)

JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai dukungan terhadap industri minyak dan gas (migas) belum optimal dalam mewujudkankonsistensi dan kepastian hukum.

Penilaian itu pun menjadi pendorong bagi pemerintah

Pembubaran Petral
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia,Senin 25 Mei 2015

Sebagian besar masyarakat menyambut positif kebijakan pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral).

Sebagaimana informasi yang telah disampaikan ke publik, sejak 13 Mei 2015 Petral dan dua anak usaha Pertamina yaitu Pertamina Energi Service (PES) Pte Ltd dan Zambesi       Invesment Ltd atau Petral Group dibubarkan.

Sejak saat itu, kegiatan Petral Group secara resmi dihentikan dan diambil alih. Selanjutnya pengadaan minyak mentah dan BBM dilakukan langsung oleh Pertamina melalui Integrated Supply Chain  (ISC).

Berdasarkan informasi, pengambilalihan fungsi dan tugas Petral Group telah dilakukan sejak Januari 2015. Pada Januari 2015 ISC telah menyelenggarakan lelang pengadaan minyak mentah dan BBM yang sebelumnya menjadi tugas Petral Group. Dalam lelang tersebut Vitol Group dan Socar Trading terpilih sebagai pemenang untuk memasok minyak mentah, sedangkan Unipec terpilih sebagai pemenang untuk memasok Pertamax.

Pengalihan pelaksanaan lelang dari Petral Group ke ISC diinformasikan memotong dua-tiga mata rantai pengadaan. Diinformasikanpula, pemotongan tersebut memberikan sejumlah penghematan, di antaranya penghematan biaya pengadaan sekitar 30 sen-40 sen dolar AS per barel.

Selain itu, terdapat penghematan biaya letter ofcredit (LC) sekitar 2 sen-3 sen dolar AS per barel serta dan penghematan renegosiasi skema pengiriman dari sebelumnya cost and freight (CFR) menjadi free em board (FOB) sekitar US$100 juta per tahun.

Dengan kebutuhan impor minyak mentah dan BBM yang saat ini mencapai sekitar 300 juta barel per tahun dan asumsi nilai tukar rupiah Rp13.000 per dolar AS, maka jika informasi penghematan tersebut benar, pengalihan lelang dari Petral Group ke ISC akan menghemat sekitar US$200 juta-US$230 juta atau sekitar Rp2,6 triliun Rp3 triliun setiap tahun.

PERLU PARAMETER

Kebijakan pemerintah yang membubarkan Petral Group memang perlu diapresiasi karena mencerminkan upaya serius untuk meningkatkan perbaikan tata kelola sektor minyak dan gas nasional, khususnya menyangkut pengadaan minyak mentah dan BBM.

Namun demikian, apakah pembubaran Petral menjamin akan memberikan dampak positif?

Secara objektif dapat dijawab belum tentu. Seperti halnya pembubaran/penggantian organisasi atau lembaga yang lain, pembubaran Petral Group dapat memberikan dampak positif, negatif, atau tidak memberikan dampak apapun. Hal tersebut masih tergantung dari bagaimana perubahan parameter yang menjadi dasar pengambilan kebijakan setelah Petral dibubarkan.

ReforMiner menilai ada beberapa parameter yang dapat menjadi tolok ukur terhadap dampak (keberhasilan) dari kebijakan pembubaran Petral, di antaranya dampak terhadap harga BBM; dampak terhadap aspek fiskal (APBN); dampak terhadap kinerja keuangan perusahaan (Pertamina) dan dampak terhadap aspek moneter (kebutuhan devisa impor dan nilai tukar rupiah).

Potensi penghematan sekitar Rp2,6 triliun-Rp3 triliun setiap tahun dari pembubaran Petral, seharusnya akan tecermin dalam salah satu atau seluruh parameter tersebut. Secara sederhana efisiensi atau penghematan dalam pengadaan minyak mentah dan BBM akan tecermin dalam harga jual BBM yang lebih murah.

Apalagi selama tiga bulan pertama, realisasi penghematan dari pengalihan lelang ke ISC diinformasikan telah mencapai US$22 juta atau sekitar Rp286 miliar. Oleh karena itu, rencana kenaikan harga Pertamax dari Rp8.800 per liter menjadi Rp9.600 per liter-yang dibatalkan beberapa waktu yang lalu memang akan sulit dipahami/diterima oleh konsumen.

Jika variabel lain tetap atau ceteris paribus, kombinasi dari efisiensi pembubaran Petral dan harga minyak dunia yang cenderung rendah, akan membuat harga BBM menjadi lebih murah. Dalam konteks harga BBM di Indonesia, kedua kondisi tersebut memang tidak secara otomatis berdampak terhadap harga BBM yang lebih murah. Hal itu mengingat selamaini pemerintah memberikan subsidi harga BBM yang dijual di dalam negeri.

Dalam hal ini, untuk merespons perubahan tersebut pemerintah dapat memilih menurunkan harga BBM atau menurunkan besaran subsidi BBM dalam APBN.

Berdasarkan perkembangan yang ada, kecenderungan kebijakan yang kemungkinan besar akan diambil oleh pemerintah adalah mengurangi besaran subsidi di APBN. Harga BBM kemungkinan akan tetap dipertahankan, bahkan berpotensi dinaikkan jika pemerintah memandang perlu.

Pembubaran Petral yang diproyeksikan menghemat sekitar US$200 juta-US$230 juta per tahun, secara otomatis akan berdampak terhadap perbaikan kinerja keuangan Pertamina. Dalam hal ini minimal terdapat potensi bahwa kinerja kuangan konsolidasi Pertamina akan lebih baik dibandingkan dengan sebelum Petral Group dibubarkan. Penghematan tersebut juga berpotensi meningkatkan nilai tukar rupiah seiring dengan berkurangnya kebutuhan devisa untuk melakukan impor.

Dalam Sudut pandang kebijakan, selain berpotensi positif pembubaran Petral juga akan memberikan konsekuensi tersendiri bagi pemerintah dan Pertamina. Dalam aspek transparansi, misalnya, publik berpotensi menuntut adanya peningkatan transparansi dalam proses pengadaan minyak dan BBM.

Aspek transparansi Petral Group yang sebelumnya diinformasikan terkendala oleh ketentuan regulasi Singapura dan Hong Kong, kini tidak lagi terjadi pada ISC. Mengingat sudah tidak terkendala oleh regulasi negara lain, BPK dan BPKP dapat melakukan audit dalam proses pengadaan minyak mentah dan BBM bilamana diperlukan.

Pembubaran Petral Group sesungguhnya bukan merupakan tujuan akhir, tetapi baru langkah awal atau pintu masuk untuk meningkatkan perbaikan tata kelola sektor minyak dan gas, khusunya yang terkait dengan pengadaan minyak mentah dan BBM.

Oleh karena itu, fokus pemerintah dan publik semestinya lebih ditujukan pada hasil akhir perbaikan tata kelola yang tecermin pada parameter yang jelas dan terukur. Jika pembubaran Petral Group tidak memberikan dampak positif berupa harga jual BBM yang lebih murah, pengurangan subsidi BBM, perbaikan kinerja keuangan Pertamina, dan/atau perbaikan nilai tukar rupiah, maka kebijakan tersebut akan menjadi sia-sia.

Semoga semua pihak tetap konsisten dan menyadari bahwa esensi dari pembubaran Petral Group adalah untuk meningkatkan efisiensi dan perbaikan tata kelola sektor migas, bukan pada hiruk-pikuk dan polemik pembubarannya.

 

Pertamina Ambil Peran Petral

(KOMPAS: Senin 25 Mei 2015)

JAKARTA, Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) menjamin tata kelola minyak dan gas bumi, terutama dalam pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak, akan lebih baik. Jaminan ini menyusul likuidasi Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral beserta anak usahanya.

Cadangan Minyak Diupayakan Naik, Komite Selesaikan Masalah di Lapangan

(KOMPAS; Kamis, 07 Mei 2015)

JAKARTA –Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said membentuk Komite Eksplorasi Nasional sebagai upaya meningkatkan cadangan minyak. Tim yang diketuai Andang Bachtiar, anggota Dewan Energi Nasional, ini diharapkan dapat segera menaikkan cadangan minyak dengan menggalakkan eksplorasi.

Sudirman mengatakan, tujuan pembentukan Komite Eksplorasi Nasional sudah jelas, yaitu untuk menaikkan cadangan minyak dan gas bumi di dalam negeri, terutama minyak. Menurut dia, diperkirakan cadangan minyak dalam negeri habis dalam kurun 11-12 tahun mendatang. Cadangan minyak di Indonesia praktis tidak bertambah lantaran rendahnya kegiatan eksplorasi.

“Tentu saja, dalam kurun pemerintahan sekarang, yakni lima tahun, diharapkan ada penambahan cadangan minyak di dalam negeri. Eksplorasi di Indonesia adalah sesuatu yang sudah lama tidak dikerjakan,” kata Sudirman, Selasa (5/5) malam, di Jakarta.

Sudirman menambahkan, selain akan menggalakkan kegiatan eksplorasi di dalam negeri, pemerintah juga akan menata ulang berbagai izin dan aturan main yang tujuannya untuk mempermudah investor sehingga tercipta iklim investasi yang lebih baik. Dengan menata ulang berbagai aturan dan perizinan, katanya, diharapkan hal itu memberikan kepastian dalam hal investasi dan menciptakan transparansi bagi investor.

“Tim ini berisi orang-orang dari berbagai disiplin ilmu yang mempunyai visi sama, yaitu bagaimana kita memperbaiki cadangan yang ada dan bagaimana produksi dapat ditingkatkan. Detail tentang tim ini nanti akan dibicarakan,” ujar Sudirman.

Sementara itu, Andang Bachtiar mengatakan, sebelum pembentukan Komite Eksplorasi Nasional ini, sudah ada tim sejenis di era pemerintahan sebelumnya. Tujuannya sama, yaitu untuk mencari cadangan baru di dalam negeri. Dari tim yang sudah dibentuk sebelumnya itu, katanya, sudah ada daftar hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk menemukan cadangan baru tersebut.

Menurut Andang, kendati pernah ada tim sejenis berikut program kerjanya, tetap saja realisasi di lapangan menjadi buntu. Penyebab kebuntuan itu adalah hal yang sama, seperti terganjal tumpang tindih aturan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan koordinasi yang buruk antar-pemangku kepentingan.

“Daftar masalah sudah ada dari dulu. Akan kami utamakan masalah apa yang paling mendesak untuk diselesaikan,” kata Andang.

Secara terpisah, pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, ia mengkhawatirkan pembentukan komite tersebut nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan tim yang pernah dibentuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di era tersebut, pemerintah membentuk Tim Percepatan Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.

“Kegiatan eksplorasi memang perlu dinaikkan. Hanya saja, komite ini, kan, tidak punya kewenangan untuk melakukan itu (eksplorasi). Apa mereka juga bisa membantu mempercepat perizinan Meringkas perizinan Kan, tidak juga. Bagaimanapun segala izin tetap harus dilalui,” ucap Pri Agung.

Dengan dibentuknya komite ini, lanjut Pri Agung, pemerintah seolah-olah tidak memberdayakan secara maksimal lembaga resmi yang ada, misalnya Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Apalagi, komite sama sekali tidak mempunyai kewenangan dalam hal pengambilan keputusan.

Dari catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), cadangan minyak di Indonesia tersisa sekitar 3,7 miliar barrel. Cadangan tersebut akan habis dalam kurun 11 tahun apabila diproduksi secara konstan sebanyak 800.000 barrel per hari.

Sedang sakit

Kepala Pengendalian Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Widyawan Prawiraatmadja mengatakan, saat ini industri hulu sedang sakit. Oleh karena itu harus diperbaiki, baik di sisi teknis maupun dari sisi pemerintahan.

Menurut Widyawan, eksplorasi memegang peranan penting untuk kebutuhan minyak nasional. Saat ini, harga minyak di pasar memang sedang turun cukup jauh, tetapi eksplorasi harus tetap dilakukan.

Selama 30 tahun ini, kata Widyawan, sudah lima kali harga minyak turun hingga di bawah 50 persen. Saat ini, produksi minyak memang sedang melimpah sehingga permintaan turun. Jadi wajar harga turun. Namun, suatu saat harga ini akan kembali merangkak naik hingga ke harga tertinggi. Jika tidak ada yang melakukan eksplorasi, ketersediaan migas terjamin. Jika tidak, harga akan tidak bisa terkendali karena tidak ada ketersediaan.

“Memang saat ini ada beberapa tempat yang tidak murah lagi biaya eksplorasinya. Untuk yang seperti ini, ya, eksplorasinya ditahan dulu. Namun, masih banyak ladang-ladang eksplorasi yang biayanya masih di bawah harga minyak di pasaran,” ujar Widyawan.