Basa-basi Kebijakan Energi
Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
Kompas, Selasa, 24 September 2013

Analisis Tren Industri Migas Global

Studi ReforMiner menemukan bahwa cadangan dan produksi minyak Indonesia pada periode 1980 – 2012 terus menurun setiap tahunnya. Sedangkan di sisi yang lain konsumsi minyak Indonesia justru terus meningkat. Kondisi sektor gas relatif lebih baik, dimana pada kurun waktu tersebut cadangan dan produksi gas Indonesia terus meningkat. Akan tetapi pada periode yang sama konsumsi gas Indonesia juga meningkat dengan laju peningkatan yang lebih tinggi.

Berbeda dengan cadangan minyak Indonesia yang terus menurun, cadangan minyak dunia justru terus mengalami peningkatan. Sebagian besar (54,28 %) cadangan minyak dunia selama kurun waktu 1980-2012 dikuasai oleh wilayah Timur Tengah. Penguasaan cadangan minyak terbesar selanjutnya adalah oleh wilayah Amerika Utara, Amerika Selatan & Tengah, Eropa & Eurasia, Afrika, dan Asia Pasifik. Berdasarkan data yang ada, Kawasan Amerika Selatan & Tengah, Afrika, dan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir tercatat mengalami penambahan cadangan minyak dalam jumlah signifikan. Sedangkan untuk jumlah cadangan minyak di wilayah Asia Pasifik tercatat relatif stagnan. Hampir sama dengan minyak, sebagian besar (40,84 %) cadangan gas dunia selama kurun waktu tersebut dikuasai oleh wilayah Timur Tengah. Penguasaan cadangan gas terbesar selanjutnya adalah oleh wilayah Eropa & Eurasia, Asia Pasifik, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan & Tengah. Kawasan Timur Tengah,Eropa & Eurasia, Afrika, Asia Pasifik, dan Amerika Selatan & Tengah dalam beberapa tahun terakhir tercatat mengalami penambahan cadangan gas dalam jumlah signifikan. Sedangkan untuk jumlah cadangan gas di wilayah Amerika Utara tercatat relatif stagnan bahkan cenderung menurun.

Dari studi yang dilakukan, ditemukan bahwa kondisi penguasaan cadangan di beberapa kawasan dunia sebagai mana tersebut di atas tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan porsi produksi di kawasan tersebut. Porsi produksi minyak kawasan Timur Tengah yang menguasai sekitar 54,28 % cadangan minyak dunia adalah sekitar 29,40 % dari total produksi dunia. Sedangkan porsi produksi minyak terbesar selanjutnya adalah kawasan Eropa dan Eurasia, Amerika Utara, Afrika, Asia Pasifik, dan Amerika Selatan dan Tengah. Sama halnya kondisi produksi minyak, produksi gas di beberapa kawasan dunia juga tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan penguasaan cadangan di kawasan tersebut. Porsi produksi gas kawasan Timur Tengah yang menguasai sekitar 40,84 % cadangan gas dunia rata-rata hanya sekitar 10,04 % terhadap total produksi gas dunia. Data yang ada menunjukkan porsi produksi gas di kawasan Amerika Utara, Eropa dan Eurasia, dan Asia Pasifik lebih tinggi dibandingkan dengan porsi penguasaan cadangan gas di kawasan tersebut. Sedangkan untuk porsi produksi gas kawasan Amerika Selatan dan Tengah, Afrika, dan Timur Tengah lebih rendah dibandingkan dengan porsi penguasaan cadangan gas di kawasan tersebut.

Mengacu pada kondisi cadangan dan produksi migas tersebut, konsumsi minyak di beberapa kawasan dunia cenderung tidak ditentukan oleh penguasaan cadangan dan kemampuan produksi minyak di kawasan tersebut. Konsumsi minyak dan gas lebih lebih didominasi oleh kawasan Amerika Utara, Eropa dan Eurasia, dan Asia Pasifik masing masing sebesar 29,44 %, 27,85 % dan 26,27 % terhadap total konsumsi minyak dunia. Sedangkan untuk kawasan Timur Tengah, Amerika Selatan dan Tengah, dan Afrika masing-masing hanya 6,83 %, 6,30 %, dan 3,31 % terhadap total konsumsi minyak dunia. Berbeda dengan porsi konsumsi minyak, urutan porsi konsumsi gas diantaranya adalah Eropa dan Eurasia (40,59 %), Amerika Utara (31,45 %), Asia Pasifik (12,85 %), Timur Tengah (8,43 %), Amerika Selatan dan Tengah (3,98 %), dan Afrika (2,70 %).

Berdasarkan studi yang dilakukan, data yang ada menunjukkan investasi eksplorasi dan produksi hulu migas global terus meningkat setiap tahunnya. Investasi hulu migas global pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 masing-masing sebesar 418 miliar USD, 471 miliar USD, 566 miliar USD, dan 640 miliar USD. Berdasarkan data tersebut dalam 4 (empat) tahun terakhir realisasi investasi hulu migas global rata-rata meningkat sebesar 15,31 % setiap tahunnya. Peningkatan investasi hulu migas global juga tercatat merata hampir di seluruh kawasan dunia. Berdasarkan porsinya, terdapat tiga wilayah utama yang dominan dalam pengeluaran investasi hulu migas yaitu Amerika Serikat dan Kanada, Asia Pasifik, dan Amerika Latin.

Outlook Harga Minyak Dunia 2013 – 2014

Studi ReforMiner tentanga Outlook Harga Minyak Dunia 2013 – 2014 difokuskan pada faktor yang mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia. Studi menemukan bahwa harga minyak di pasar Internasional dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :(1) pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia khusunya di kawasan Asia mulai membaik, (2) adanya cuaca ekstrim yang dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap produksi dan penawaran komoditas minyak, dan (3) masih berlarutnya masalah geopolitik di timur tengah khususnya terjadinya perang saudara di Suriah dan Mesir.

Studi yang dilakukan juga menemukan bahwa perkembangan harga minyak di pasar Internasional tidak selalu berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi (PDB) maupun jumlah penawaran minyak. Sebagai contoh pada periode 1991 – 1994, ketika ekonomi (PDB) dunia meningkat, justru harga minyak pada periode tersebut mengalami penurunan. Sementara, pada periode 2003-2005, ketika produksi/penawaran minyak mengalami peningkatan, harga minyak di pasar Internasional tidak mengalami penurunan, namun justru meningkat. Temuan tersebut mempertegas bahwa harga minyak tidak hanya ditentukan oleh faktor fundamental, namun juga oleh faktor non fundamental.

ReforMiner memproyeksikan harga minyak di tahun 2014 akan meningkat sebesar 2,43 USD per barel dari tahun sebelumnya. Karena itu, jika rata-rata harga minyak dunia pada 2013 sebesar 94,22 USD per barel pergerakan harga minyak WTI pada tahun 2014 akan berada pada kisaran harga 96,65 USD per barel.

Secara akumulasi sepanjang tahun 2013-2014 akan terjadi penurunan pasokan minyak dunia 1,17 juta barel per hari atau 1,3 % terhadap kebutuhan minyak dunia. Hal itu disebabkan oleh tertahannya produksi OPEC di kisaran 30 juta barel per hari dari yang seharusnya 31,1 juta barel per hari. Selain itu, penurunan pasokan minyak dunia juga disebabkan oleh menurunnya pasokan minyak Amerika sebesar 2,8 juta barel. ReforMiner memperkirakan hal tersebut akan meningkatkan harga minyak dunia sepanjang 2013-2014 hingga mencapai level keseimbangan harga 102,62 USD per barel.

ReforMiner memproyeksikan bahwa asumsi harga minyak (ICP) yang ditetapkan dalam APBN-P 2013 dan RAPBN 2014 pada dasarnya relatif moderat. Dalam hal ini, APBN-P 2013 telah menetapkan asusmi ICP sebesar 108 USD per barel. Sedangkan RAPBN 2014 menetapkan asumsi ICP pada kisaran 100  – 115 USD per barel. Berdasarkan studi ReforMiner, postur APBN saat ini akan lebih baik jika realisasi ICP lebih rendah dibandingkan asumsi yang ditetapkan. Hal tersebut dikarenakan jika realisasi ICP lebih tinggi dari asumsi yang ditetapkan, tambahan anggaran subsidi energi yang dibutuhkan jauh lebih besar dibandingkan tambahan penerimaan negara dari sektor migas. Dalam hal ini, jika ReforMiner memproyeksikan harga minyak pada kisaran 96,65 USD – 102,62 USD per barel, cukup moderat jika kemudian asumsi ICP yang ditetapkan di APBN adalah 108USD – 115 USD per barel.

Analisis RPJMN 2010-2014 Untuk Sektor Energi dan Pertambangan

Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014, pemerintah menetapkan pembangunan sektor energi sebagai prioritas pembangunan ke- 8. Anggaran yang ditetapkan untuk pembangunan sektor energi selama 2010 – 2014 adalah sebesar Rp 59,77 triliun. Dengan demikian rataa – rata alokasi anggaran pembangunan sektor energi selama 2010 – 2014 adalah Rp 11,95 triliun per tahun. Proporsi besaran anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan sektor energi tersebut sebesar 4,72 % terhadap total anggaran untuk 11 prioritas pembangunan pada RPJMN 2010 – 2014 yang nilainya mencapai Rp 1.266,53 triliun.

Sub program prioritas pembangunan sektor energi yang ditetapkan di dalam RPJMN 2010 – 2014 diantaranya adalah pembuatan dokumen kebijakan, program restrukturisasi BUMN energi, peningkatan kapasitas energi, pengembangan energi alternatif, pengolahan/pengembangan hasil turunan minyak bumi/gas, dan konversi menuju penggunaan gas. Sementara itu, berdasarkan skala prioritas, sebagian besar anggaran dialokasikan untuk program peningkatan kapasitas energi nasiona yang meliputi peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar rata – rata 3.000 MW per tahun, rasio elektifikasi 60 % pada 2010 dan 80 % pada 2014, dan produksi minyak bumi sebesar lebih dari 1,2 juta barel per hari mulai pada tahun 2014.

Sedangkan pengembangan energi alternatif dan program konversi menuju pada penggunaan gas menjadi prioritas pembangunan sektor energi setelah program peningkatan kapasitas energi nasional. Dalam hal ini, pengembangan energi alternatif yang akan dilaksanakan pada 2010 – 2014 meliputi: (1) peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014; (2) dimulai produksi CBM untuk membangkitkan listrik pada 2011; dan (3) pemanfaatan potensi tenaga surya microhydro, bio energi, dan nuklir secara bertahap.

Sesuai dengan prioritas pembangunan 8 yang ditetapkan di dalam RPJMN 2010 – 2014, program aksi bidang energi pada 2010 – 2014 meliputi: (1) kebijakan integrasi rencana induk energi nasional, (2) restrukturisasi BUMN energi, (3) peningkatan kapasitas energi nasional, (4) peningkatan pemanfaatan energi alternatif, (5) revitalisasi industri hasil ikutan dan turunan minyak bumi/gas, dan (6) perluasan konversi BBM menuju penggunaan gas. Dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan, selama periode 2010-2014 dokumen kebijakan dan laporan terkait sektor energi yang dihasilkan ditargetkan sekitar 143 dokumen. Sementara itu, dokumen kebijakan yang diatergetkan selesai pada rentang waktu tersebut diantaranya: kebijakan ketenagalistrikan, kebijakan penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif, kebijakan pengembangan bahan bakar nabati, dan kebijakan pengembangan desa mandiri energi.

Selain itu, program restrukturisasi BUMN energi pada RPJMN 2010 – 2014 lebih diprioritaskan pada program transformasi dan konsolidasi BUMN bidang energi. Transformasi dan konsulidasi BUMN energi akan dimulai dari PLN dan Pertamina yang ditargetkan selesai selambata – lambatnya pada 2010 dan dikuti oleh BUMN lainnya. Restrukturisasi BUMN energi akan dilakukan pada seluruh BUMN yang dianggap besar, penting, dan memiliki nilai strategis. Sementara, tahapan dalam program restrukturisasi BUMN energi tersebut mencakup kajian terhadap restrukturisasi, pelaksanaan restrukturisasi, dan monitoring dan evaluasi.

Studi ReforMiner mengidentifikasikan bahwa idealnya program pembangunan jangka pendek (APBN) merupakan penjabaran dari program pembangunan jangka menengah (RPJMN). Namun, berdasarkan review yang dilakukan, program dan anggaran yang ditetapkan di dalam APBN terdapat kecenderungan berbeda dengan program dan anggaran yang ditetapkan di dalam RPJMN. Hal itu tercermin dalam APBN 2010 dan APBN 2011, dimana program dan anggaran yang ditetapkan di dalamnya cenderung tidak sejalan dengan program dan anggaran yang telah ditetapkan di dalam RPJMN 2010 – 2014.

Berdasarkan review terhadap ketentuan undanga – undang (UU) No. 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, belum ditemukan program dan anggaran yang mengakomodasi ketentuan di dalam RPJMN 2010 – 2014. Bahkan secara yuridis, Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 yang mengatur tentang RPJMN 2010 – 2014, tidak dijadikan dasar dan pertimbangan di dalam UU No.2 Tahun 2010 dan UU No.47 Tahun 2009. Sementara itu, dalam ketentuan di dalam UU APBN 2011, secara yuridis Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 yang mengatur tentang RPJMN 2010-2014 juga belum/tidak dijadaikan dasar dan pertimbangan di dalam penyusunan UU APBN 2011. Selain belum cukup untuk mengakomodasi ketentuan, program, dan anggaran yang ditetapkan di dalam RPJMN 2010-2014, pada ketentuan UU APBN 2011 juga terdapat celah yang besar untuk menjadikan UU APBN 2011 semakin jauh dari ketentuan di dalam RPJMN 2010-2014.

Analisis Perkembangan Harga Minyak Dunia

Studi ReforMiner menemukan bahwa selama periode Maret sampai dengan April 2010 perkembangan harga minyak dunia dan ICP cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan harga minyak tersebut pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh kinerja beberapa indikator/variabel ekonomi dunia (internasional) yang juga cenderung membaik pula. Membaiknya kondisi perekonomian dunia pada kuartal pertama 2010, terlihat dari peningkatan kinerja beberapa indikator ekonomi dunia, salah satunya tercermin dari cenderung meningkatnya indeks harga saham di beberapa bursa saham dunia. Sebagai contoh, selama periode yang dimaksud, rata-rata Frankfurt Dax Indeks meningkat dari 5.956,48 pada Maret 2010 menjadi 6.214,23 pada April 2010; rata-rata Hang Seng Indeks meningkat dari 21.137,67 pada Maret menjadi 21.628,62 pada April 2010. Pada periode yang sama, indikator lain yang mempengaruhi peningkatan harga minyak dunia adalah penurunan stok minyak AS yang mencapai rata-rata sebesar 0,23 juta barel per hari dan keputusan OPEC terkait tidak adanya penambahan kuota produksi yakni masih tetap sebesar 24,84 juta barel per hari.

Secara konseptual faktor fundamental yang menggerakkan harga minyak dunia adalah meningkatnya PDB dunia dan penawaran (suplai) minyak di pasar internasional. Berdasarkan simulasi ReforMiner, dengan asumsi besaran PDB dunia telah mencapai 54.672,53 miliar USD dan penawaran minyak yang mencapai 84,45 juta barel per hari maka setiap penurunan penawaran minyak sebesar 10 % atau sebesar 8,44 juta barel per hari akan menaikkan harga minyak dunia rata-rata sebesar 2,12 USD per barel atau meningkat sebesar 4 % dari harga semula. Sehingga, penurunan kuota produksi sebesar 10 % atau setara dengan 2,484 juta barel per hari akan meningkatkan harga minyak sebesar 0,63 USD per barel atau meningkat sebesar 1 % dari harga semula. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi atau peningkatan PDB sebesar 10 % dari periode sebelumnya akan meningkatkan harga minyak rata-rata sebesar 4,16 USD per barel atau meningkat sebesar 6,95 % dari harga sebelumnya.

Mengacu pada simulasi tersebut, diketahui bahwa elastisitas peningkatan harga minyak terhadap penurunan penawaran minyak lebih rendah jika dibandingkan dengan elastisitas harga minyak terhadap permintaan minyak (pertumbuhan ekonomi). Peningkatan/penurunan penawaran minyak sebesar 10% akan menurunkan/menaikan harga minyak sebesar 4%. Sementara itu, peningkatan/penurunan permintaan minyak (pertumbuhan ekonomi) sebesar 10% akan meningkatkan/menurunkan harga minyak sebesar 6,95 %.

Dengan demikian, jika mengacu pada faktor fundamental penggerak harga minyak serta mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2010 (oleh IMF sebesar 4,25 %), maka harga minyak pada tahun 2010 secara teoritis akan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,95 USD per barel atau meningkat sekitar 3,04% dibandingkan periode 2009. Jika pada prakteknya peningkatan harga minyak jauh melebihi angka-angka tersebut, kondisi tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor lainnya yang bersifat tidak langsung (non-fundamental) seperti spekulasi dan/atau sentimen-sentimen psikologis lain yang terkait dengan pergerakan pasar saham, inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar, imbal hasil surat utang, dan imbal hasil dari portofolio investasi.

Analisis Krisis Gas dan Rencana Kenaikan TDL

Berdasarkan studi ReforMiner terhadap Neraca Gas Indonesia 2009-2020 dan Neraca Gas Indonesia 2010-2025 ditemukan bahwa selama 2009 dan 2010 sebanyak 8 wilayah dari 12 wilayah/region mengalami defisit gas. Dimana pada periode 2009 defisit gas nasional tercatat sudah mencapai 2.153 MMSCFD yang terdistribusi dalam 8 wilayah, yang masing-masing wilayah mengalami defisit antara 18 – 916 MMSCFD. Sedangkan pada 2010 defisit gas nasional masih sebesar 1.289,70 MMSCFD, yang terdistribusi dalam 8 wilayah/region, dimana masing-masing wilayah mengalami defisit antara 27 – 367 MMSCFD. Data yang ada menunjukkan 8 wilayah yang mengalami defisit gas mencakup wilayah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Bagian Utara, Sumatera Bagian Selatan dan Tengah, Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur, Kalimantan Bagian Timur, Papua, dan Kepulauan Riau.

Sementara defisit gas masih terus terjadi, PGN justru berencana mengambil kebijakan menaikan harga jual gas domestik. PGN berencana menaikkan harga gas domestik rata-rata sebesar 15 %. Meski harus melalui pro dan kontra terlebih dahulu, dan setelah melalui rapat koordinasi antara Kementerian Perindustrian, Asosiasi-asosiasi Industri dan PGN, rencana kenaikan harga gas domestik oleh PGN akhirnya direalisasikan dan efektif per 1 April 2010.

Di satu sisi kebijakan pemerintah menaikkan harga gas domestik dimaksudkan untuk memberikan insentif agar pengusahaan sektor hulu gas dapat ditingkatkan. Namun di sisi lain, kebijakan kenaikan gas sebagaimana dilakukan oleh PGN tersebut sesungguhnya tidak tepat/tidak sejalan jika dikaitkan dengan peningkatan produksi (ketersediaan pasokan) di sisi hulunya. kenaikan harga gas tersebut hanya terjadi di sektor hilir atau hanya kenaikan harga jual gas oleh PGN yang dikenakan terhadap konsumen, sementara harga beli gas PGN dari KKKS tetap tidak ada evaluasi. Sebagai perbandingan, dengan harga Japan Crude Cocktail (JCC) sebesar 80 US$/barel, harga jual gas Donggi Sonoro di kepala sumur sekitar 7,36 US$/mmbtu. Sementara, dengan asumsi harga minyak (ICP) di APBN-P 2010 yang ditetapkan sebesar 80 US$/barel, harga beli gas PGN dari KKKS masih tertahan pada kisaran 1 – 3 US$/mmbtu.

Dalam perkembangannya, sebagai salah satu cara mengurangi beban subsidi listrik dan menangani permasalahan krisis listrik yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mewacanakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang akan dilakukan pada bulan Juli 2010. Kurangnya pasokan (krisis) listrik sebenarnya sudah dirasakan sejak tahun 2000. Sejak saat itu, laju rata-rata pertumbuhan pemasangan baru dan penambahan daya sudah di bawah laju pertumbuhan kapasitas terpasang. Data dari tahun 2000 hingga tahun 2008 menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan pemasangan baru sebesar 5,81 %, sementara rata-rata laju pertumbuhan kapasitas terpasang hanya sebesar 2,46 %. Kondisi tersebut merefleksikan besaran demand listrik lebih besar dibandingkan dengan supply listrik yang mampu disediakan oleh PLN.

Atas kondisi tersebut, pemerintah/PLN mengklaim bahwa krisis listrik yang berdampak terhadap rendahnya rasio elektrifikasi nasional (sampai tahun 2009 masih sekitar 60 %) disebabkan oleh rendahnya harga jual listrik. Kondisi tersebut diklaim mempersempit ruang gerak PLN dalam melakukan ekspansi usaha dan meningkatkan rasio elektrifikasi. Data pemerintah menunjukkan bahwa sejak tahun 2004-2008, rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok produksi listrik. Bahkan dari tahun ke tahun selisih antara harga jual listrik dan BPP listrik semakin besar. Kondisi tersebut mengharuskan pemerintah menganggarkan subsidi listrik untuk menutup biaya operasi PLN setiap tahunnya.

Buruknya manajemen kelistrikan nasional di dalam penggunaan bahan bakar pembangkit kiranya juga menjadi satu hal yang harus dicermati. Berdasarkan data yang ada, bauran energi untuk bahan bakar pembangkit PLN masih didominasi oleh BBM. Dominasi BBM dalam bauran energi pembangkit listrik PLN perlu dicermati, mengingat porsi kapasitas pembangkit yang menggunakan bahan bakar BBM (PLTD) sebenarnya relatif kecil. Buruknya manajemen penggunaan bahan bakar pembangkit PLN berdampak pada peningkatan biaya produksi listrik dari yang semestinya. Tidak jarang karena tidak mendapatkan pasokan gas, untuk mengoperasikan pembangkit (PLTG dan PLTGU), PLN menggantinya dengan penggunaan BBM.

Studi ReforMiner menemukan fakta bahwa pasokan gas untuk PLTG dan PLTGU periode 2010 tidak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan. Dari 26 PLTG dan PLTGU, tercatat hanya 11 pembangkit yang mendapatkan pasokan gas. Sementara, dari 11 pembangkit yang mendapatkan pasokan gas, hanya 3 pembangkit yang mendapat pasokan penuh (sesuai dengan perkiraan kebutuhan). Dengan kondisi tersebut, untuk menjaga stabilitas produksi listrik, praktis 12 pembangkit (PLTG dan PLTGU) harus beroperasi dengan menggunakan BBM. Sementara, 8 pembangkit sisanya harus beroperasi dengan menggunakan bahan bakar campuran antara gas dan BBM. Kondisi tersebut menyebabkan biaya produksi listrik menjadi lebih mahal (tidak efisien) dan proporsi biaya penggunaan BBM menjadi dominan.

Berdasarkan studi ReforMiner, sebenarnya bukan selalu hanya kenaikan TDL sajalah yang semestinya dipilih sebagai cara untuk menyelesaikan masalah kelistrikan nasional karena hal itu pun sebenarnya juga tak akan menyelesaikan ataupun memperbaiki permasalahan mendasar yang ada tetapi hanya sekedar mengurangi beban anggaran subsidi saja -, tetapi upaya pemenuhan gas bagi PLTG-PLTGU-lah yang semestinya dijalankan dengan segera, sungguh-sungguh dan konsisten.

Analisis Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Nasional Tahun 2010-2025

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2950 K/21/MEM/2006, maka dianggap perlu untuk menetapkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Sebagai tindak lanjut ketentuan tersebut, telah diterbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0225K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2010 – 2025.

Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2010 – 2025 itu terdiri atas: (1) Peta Luas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi, Ruas Dedicated hulu, Ruas Dedicated Hilir, Ruas Kepentingan Sendiri dan Wilayah Distribusi Gas Kota; (2) Matriks Ruas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi, RuasDedicatedHulu, RuasDedicatedHilir, Ruas Kepentingan Sendiri dan Wilayah Distribusi Gas Kota. Dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0225K/11/MEM/2010, lebih lanjut dijelaskan (definisi) tentang Peta Ruas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi, RuasDedicatedHulu, RuasDedicatedHilir, Ruas Kepentingan Sendiri, dan Wilayah Distribusi Gas Kota di bagai menjadi beberapa kategori.

Sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0225K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2010 – 2025, pada periode sebelumnya telah diterbitkan Keputusan Mentei yang serupa. Keputusan Menteri yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 2950K/21/MEM/2006 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Jika dibandingkan, pada dasarnya secara substansi antara kedua Kepmen tersebut relatif tidak terdapat perbedaan yang berarti. Tepatnya, Kepmen No. 0225.K/11/MEM/2010 hanya merupakan pembaruan dokumen dari Kepmen No. 2950.K/21/MEM/2006.

Berdasarkan analisis substansi terhadap kedua Kepmen tersebut, ReforMiner tidak menemukan perbedaan yang mendasar. Sebagian besar pertimbangan dan dasar terhadap dikeluarkannya Kepmen No. 2950.K/21/MEM/2006 juga masih diakomodasi (digunakan) sebagai pertimbangan dan dasar terhadap dikeluarkannya Kepmen No. 0225.K/11/MEM/2010. Sementara itu substansi Ketetapan Kesatu sampai dengan Ketetapan Kesembilan dari kedua Kepmen tersebut juga relatif tidak terdapat perbedaan yang berati. Jika dianalisis lebih detail, perbedaan antara kedua Kepmen tersebut sebenarnya tidak terletak pada substansi (isi), melainkan hanya pada perbedaan sistematika.

Terkait dengan kepentingan investasi dan pemenuhan pasokan Gas Bumi domestik, pada prinsipnya para investor (pengusaha) dan masyarakat luas lebih konsen terhadap realisasi dari dokumen kebijakan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional dibandingkan dengan hanya sekedar perbaikan dan pembaruan dokumen. Sayangnya, terkait realisasi Kepmen No. 2950.K/21/MEM/2006, meski setelah 4 (empat) tahun diundangkan belum ada perkembangan yang berarti tekait Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Bahkan dalam periode satu tahun terakhir. Permasalahan defisit gas nasional yang masih terus terjadi hingga saat ini, salah satu penyebab utamanya jelas ada pada minimnya realisasi dan implementasi dari dokumen Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Nasional tersebut. Oleh karena itu, realisasi terhadap semua kebijakan yang ada pada hakekatnya lebih penting dan mendasar dibandingkan hanya secara reguler pemerintah memperbaiki dan memperbarui dokumen kebijakan.

A�

Analisis Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010 -2014

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 04 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2010 – 2014. Kebijakan energi nasional dan rencana pengembangan sektor pertambangan (migas, batubara, dan pertambangan umum) periode 2010 – 2014 (idealnya) akan mengacu pada poina – poin Permen ESDM tersebut. Rencana strategis yang tertuang dalam regulasi tersebut juga menjadi acuan bagi unita – unit kerja yang berada di lingkungan Kementerian ESDM.

Adapun beberapa program kerja yang mengacu pada regulasi tersebut adalah 1. Penyusunan Strategis Unit Badan Pengatur Hilir Minyak Gas Bumi dan Sekretariat Jenderal Energi Nasional; 2. Penyusunan rencana kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi dan Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional; 3. Penyusunan Rencana/Program Pembangunan Daerah Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral; 4. Koordinasi perencanaan kegiatan antar sektor, antar instansi yang menangani Energi dan Sumber Daya Mineral di Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota); dan 5. Pengendalian kegiatan pembangunan di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Berdasarkan analisis ReforMiner atas substansi Permen ESDM 04/2010, diketahui bahwa pada periode 5 (lima) tahun ke depan konsentrasi pemerintah yang dituangkan di dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM dititikberatkan pada pengembangan dan pembangunan infrastruktur migas, infrastruktur listrik (transmisi, distribusi, & EBT), dan pengembangan Pertambangan Umum. Rencana strategis pemerintah tersebut tercermin dari rencana investasi pengembangan sektor ESDM Tahun 2010 – 2014. Berdasarkan identifikasi ReforMiner, diketahui bahwa kebutuhan investasi sektor ESDM pada lima tahun ke depan (2010 – 2014) berkisar antara Rp 286,12 triliun Rp 356,49 triliun setiap tahunnya. Secara kumulatif, kebutuhan investasi untuk pengembangan sektor ESDM pada durasi lima tahun ke depan sedikitnya membutuhkan anggaran sekitar Rp 1.598,75 triliun. Dimana, dari besaran investasi tersebut sebagian besar (55,19 %) terdistribusi untuk pengembangan sektor migas.

Studi ReforMiner menemukan bahwa pelaksanaan rencana strategis pengembangan sektor ESDM 2010 – 2014 relatif tergantung terhadap sumber pendanaan dari Swasta dan BUMN. Berdasarkan rencana invetasi pengembangan sektor ESDM teridentifikasi bahwa rataa – rata porsi investasi Swasta dan BUMN setiap tahunnya mencapai sekitar 91,31 % terhadap total kebutuhan investasi. Sementara di sisi yang lain, porsi pendanaan/investasi yang bersumber dari APBN hanya sekitar 8,69 % dari total kebutuhan investasi. Keterbatasan kemampuan APBN dalam membiayai pengembangan sektor ESDM, secara tidak langsung membawa konsekuensi ketergantungan pengembangan sektor ESDM terhadap pihak Swasta dan BUMN.

Dengan kata lain, apa yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014 tersebut sesungguhnya belum dapat dikatakan merepresentasikan perencanaan yang sesungguhnya, karena memang tidak menunjukkan secara jelas rencana apa yang diimplementasikan dalam kurun waktu tersebut. Angkaa – angka yang tercantum di dalamnya bukanlah merupakan budget anggaran suatu kegiatan tetapi lebih hanya merupakan angka kebutuhan anggaran investasi yang diperlukan. Bagaimana merealisaikannya secara konkrit tidak dapat diketahui secara jelas dalam rencana tersebut.

Analisis Kontribusi Ekonomi Dan Efek Multiplier Industri Hulu Migas Dalam Perekonomian Nasional

Studi ReforMiner menemukan bahwa keterkaitan sektor hulu migas dengan sektor penunjangnya relatif masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari porsi input sektor hulu migas yang berasal dari sektor penunjangnya hanya sekitar 5,32 %. Masih relatif kecilnya kontribusi sektor-sektor penunjang terhadap kebutuhan input hulu migas mengindikasikan bahwa dalam mekanisme penggunaan input sektor hulu migas masih berorientasi impor. Hal itu mengakibatkan realisasi penggunaan komponen produksi lokal dalam mendukung aktivitas sektor hulu migas masih relatif kecil. Kondisi tersebut juga menjawab pertanyaan mengapa sampai sejauh ini kontribusi sektor hulu migas terhadap PDB nasional masih relatif rendah. Dengan kontribusi sektor penunjang hulu migas terhadap PDB nasional mencapai 62,67 % menyebabkan daya tarik sektor hulu migas untuk menggerakkan sektor-sektor penunjang tersebut juga relatif lemah

Porsi output sektor penunjang yang dialokasikan ke sektor hulu migas hanya sekitar 0,079 % terhadap total output sektor-sektor penunjang tersebut. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa keterkaitan ke belakang sektor hulu migas dengan sektor-sektor penunjangnya sampai sejauh ini masih sangat lemah. Artinya dalam mekanisme penggunaan input produksi, sektor hulu migas belum berorientasi domestik.

Indeks keterkaitan ke belakang (keterkaitan dengan sektor penunjang) sektor hulu migas hanya sebesar 0,0639. Dengan indeks daya penyebaran sektor hulu migas dibawah 1 atau dibawah rata-rata, dapat dikatakan bahwa sektor hulu migas tidak berorientasi domestik dalam penggunaan input produksinya. Sedangkan berdasarkan urutan nilai indeks, diketahui bahwa penggunaan input produksi sektor hulu migas memiliki orientasi domestik yang paling rendah dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Hal itu menegaskan bahwa TKDN di sektor hulu migas masih rendah. Dengan kondisi keterkaitan ke belakang yang masih rendah, sementara porsi sektor-sektor penunjang terhadap PDB nasional besar (lebih dari 60 %) juga menjawab dan menegaskan kembali mengapa kontribusi sektor hulu migas terhadap PDB nasional relatif rendah.

Data yang ada menunjukkan bahwa keterkaitan sektor hulu migas dengan sektor pengunanya justru relatif besar (kuat). Hal itu dapat dilihat dari besarnya porsi output sektor hulu migas yang dialokasikan ke sektor pengguna mencapai 83,54 %, porsi input dari sektor hulu migas mencapai 12,04 % terhadap total input sektor pengguna, dan indeks keterkaitan ke depan (keterkaitan dengan sektor pengguna) sektor hulu migas mencapai 3,82253.

Berdasarkan simulasi ReforMiner, teridentifikasi bahwa besarnya angka pengganda ouput sektor hulu migas adalah sebesar 1,19098. Dengan kondisi tersebut,jika terjadi peningkatan permintaan hulu migas sebesar Rp 1 triliun, akan meningkatkan output perekonomain nasional sebesar Rp 1,19 triliun.Dalam hal ini teridentifikasi bahwa besarnya angka pengganda input sektor hulu migas adalah sebesar 3,72065. Dengan demikian jika terjadi peningkatan alokasi output sektor hulu migas kepada sektor pengguna sebesar Rp 1 triliun, akan meningkatkan output perekonomian nasional sebesar Rp 3,72 triliun.Jika besarnya angka pengganda tenaga kerja sektor hulu migas adalah sebesar 0,01367. Dengan demikian jika terjadi peningkatan permintaan output sektor hulu migas sebesar Rp 1 triliun, akan menambah penyerapan tenaga kerja sebanyak 13.670 tenaga kerja.

ReforMiner juga menemukan bahwa pengurangan impor (peningkatan TKDN) di sektor hulu migas masing-masing sebesar 5 %, 10 %, dan 20 % dari kondisi awal akan berdampak terhadap peningkatan ouput perekonomian nasional masing-masing sebesar Rp 7,67 triliun, Rp 15,34 triliun, dan Rp 30,69 triliun.Terdapat perbedaan data realisasi TKDN yang disampaikan dengan realisasi TKDN berdasarkan hasil kajian. Dalam kurun 2006-2010, rata-rata realisasi TKDN dilaporkan telah mencapai 50,48 %. Sedangkan TKDN (porsi input sektor hulu migas dari sektor-sektor penunjang) berdasarkan hasil kajian hanya sebesar 5,32 %.

Dari data yang ada ReforMiner menemukan bahwa kontribusi sektor penunjang dan sektor pengguna sektor hulu migas terhadap PDB Nasional masing-masing sebesar 62,67 % dan 25,45 %. Terkait dengan struktur perekonomian yang ada, daya dorong dan daya tarik sektor hulu migas terhadap perekonomian nasional masih kurang optimal.Dalam hal ini sektor migas memiliki kontribusi dan peran penting dalam pos penerimaan APBN. Dalam kurun waktu 2004-2010, rata-rata realisasi kontribusi penerimaan sektor hulu migas terhadap penerimaan negara berkisar antara 25 % hingga 30 %.

PP Cost Recovery dan Kemungkinannya Pasca Judicial Review

Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa terbitnya PP Cost Recovery salah satunya dipicu oleh tekanan publik kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan pengawasan dalam masalah cost recovery migas. Pasca kebijakan penaikan harga BBM pada tahun 2005, permasalahan cost recovery mulai bergulir dan mendapatkan perhatian yang besar dari publik. Kecenderungan meningkatnya cost recovery, sementara produksi migas utamanya minyak terus menurun, menjadi fokus perhatian dari publik dan hal itu merupakan salah satu pemicunya.

Perhatian atau kritik publik terhadap kecenderungan ketidaksesuaian antara besaran cost recovery migas dan produksi minyak, kemudian medapat respon dari DPR. Itu kemudian diawali dengan adanya pembahasan antara pemerintah dan DPR mengenai Koreksi Cost Recovery PT. Pertamina-EP 2003 – 2007 terhadap Depresiasi Aset PT. Pertamina (Persero),pada 10 Maret 2008. Pembahasan tersebut terkait dengan Keputusan PANJA Asumsi Dasar, Defisit dan Pembiayaan DPR-RI tanggal 19 September 2007 tentang Cost Recovery yang timbul atas kontrak BP Migas dan PT. Pertamina EP. Pada tahapan selanjutnya, pada 26 Juni 2008 dilaksanakan Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII DPR-RI dengan Menteri Keuangan dan Konsultasi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Itu dimaksudkan untuk membahas cost recovery dan sebagai masukan PANJA BP/BPH Migas.

Kelemahan Kontrak PSC dan pelaksanaannya juga menjadi pembahasan dalam konsultasi dengan BPK RI. Saat itu pembahasan yang dilakukan meliputi: (1) Kelemahan Klausul-klausul Kontrak; (2) Permasalahan Penguasaan Barrel Minyak untuk Security of Supply Dalam Negeri; dan (3) Pengawasan Biaya KKKS Tahap Eksplorasi. Berkaitan dengan itu, BPK mengusulkan agar pemerintah menerima Barel Minyak sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan KKKS. Menurut pandangan BPK, hal itu tidak memberatkan mengingat di sisi lain hak KKKS telah dibayarkan dalam bentuk Barrel Minyak. Berdasarkan catatan ReforMiner, poin-poin yang disampaikan oleh BPK tersebut berkontribusi signifikan terhadap substansi Pasal 4 UU No.41/2008 yang mengamanatkan kepada pemerintah agar membentuk PP Cost Recovery. Kerena itu, sebagian dari masukan (catatan) BPK tersebut kemudian dituangkan dalam ketentuan PP No.79/2010.
Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa pemangku kepentingan, dalam hal ini legislatif berada pada satu sikap dan kesimpulan yang sama bahwa pemerintah perlu menerbitkan peraturan yang mengatur tentang cost recovery. Sedangkan dari unsur pemerintah (eksekutif) juga dapat dikatakan dari keseluruhan pihak/instansi yang berkontribusi dalam hal itu, juga relatif telah satu suara. Berdasarkan sikap dan posisi para pihak tersebut, terbitnya PP Cost Recovery sesungguhnya dapat dikatakan merupakan kesepakatan politik bersama. Seluruh Fraksi-Fraksi di DPR, baik yang tergabung dalam mitra koalisi maupun oposisi, terbukti berada pada sikap yang sama (kesepakatan) bahwa pemerintah perlu menerbitkan PP Cost Recovery. Sedangkan, baik untuk melaksanakan amanat dari DPR atau hanya untuk mengakomodasi kepentingan sektornya masing-masing, beberapa instansi pemerintah juga menyambut positif dan bahkan menjadi inisiator atas terbitnya PP Cost Recovery.

Berdasarkan review terhadap substansi ketentuan yang tertuang di dalam PP No.79/2010, ReforMiner berkesimpulan bahwa adalah terlalu dini dan menjadi kurang berdasar apabila dikatakan PP Cost Recovery ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih pasti dalam hal pengembalian biaya operasi dan masalah perpajakan. Selain itu, jika dikatakan dengan PP Cost Recovery ini iklim investasi hulu migas akan membaik dan lebih kondusif, hal ini tampaknya akan jauh dari harapan. Apalagi jika dikatakan bahwa PP Cost Recovery ini adalah jawaban atas segala permasalahan dan hiruk pikuk cost recovery selama ini, jawaban itu bukanlah jawaban yang tepat.

Pada tanggal 16 Juni 2011,Indonesian Petroleum Association (IPA) mengajukan judicial review atas PP 79/2010 atau PP Cost Recovery ke Mahkamah Agung. Pengajuan tersebut dikarenakan PP Cost Recovery dinilai meresahkan dan memiliki implikasi yang besar terhadap produksi migas. Berdasarkan ketentuan yang ada, pengajuan judicial review diberikan batas waktu selama 180 hari atau 6 (enam) bulan sejak regulasi diterbitkan. Tekait itu, IPA tetap mengajukan judicial review meskipun pada saat yang sama sedang dan terus membangun dialog yang positif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan. Dalam perkembangannya, pada tanggal 18 Oktober 2011 atau 3,5 bulan setelah IPA menyampaikan judicial review, Mahkamah Agung menyampaikan penolakan atas permohonan tersebut. Namun demikian, dasar penolakan atas itu belum dapat diketahui secara pasti oleh IPA, karena rincian dari hasil keputusan tersebut belum diterima oleh IPA. Berdasarkan review IPA, keputusan Mahkamah Agung yang keluar dalam waktu 3,5 bulan tersebut merupakan satu hal yang luar biasa. Pada umumnya, jika penolakan berisi substansi dari judicial review itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 (dua) tahun. Berdasarkan pantauan ReforMiner, sampai saat ini rincian hasil keputusan dan dasar penolakan atas judicial review IPA belum disampaikan, paling tidak belum disampaikan (diketahui) oleh media dan publik.

Berdasarkan konstelasi aktor-aktor pengambil kebijakan, konsideran dan subtansi PP No.79/2010, dan tahapan yang telah dilalui, menunggu hasil argumentasi penolakan atas judicial review yang dilakukan IPA tampaknya kurang produktif. Itu karena hampir dapat dipastikan pemerintah sebagai termohon, dalam hal ini yang akan menang atau dimenangkana. Beberapa argumentasi yang memperkuat itu diantaranya: (1) Pasal 9 PERMA No.1/2004 menyatakan bahwa putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali – artinya penolakan Mahkamah Agung atas judicial review tersebut bersifat mutlak; (2) berdasarkan ketentuan dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, posisi pemerintah dalam hal ini relatif kuat. PP No.79/2010 secara tegas disebutkan sebagai aturan pelaksana atas UU No.36/2008, sehingga jika tidak bertentangan dengan itu tidak dapat digugat; dan (3) berdasarkan konstelasi aktor (stakeholder) dapat dikatakan bahwa IPA relatif berdiri sendiri – Kementerian ESDM dan BP Migas yang semestinya relatif dapat diharapkan untuk mengakomodasi kepentingan tersebut justru telah menjadi bagian dari aktor yang ikut mempertahankan PP Cost Recovery