Sektor Migas dan Korupsi
Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, 28 Agustus 2013

Pemerintah Didorong Bangun Kilang BBM

Koran Sindo, 28 Agustus 2013

Jakarta, Pemerintah di minta bersinergi dengan PT Pertamina (Persero) demi mempercepat pembangunan kilang dalam rangka mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM)

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pembangunan kilang dinilai lebih efektif dibanding menggenjot bahan bakar nabati (BBN). Namun, lanjutnya, diversifikasi BBM ke gas dan BBN secara masif juga dapat mengurangi impor BBM.

Hanya jumlahnya impor BBM yang dikurangi dari program itu tidak sebanyak pengurangan impor BBM dari pembangunan kilang baru, ujarnya di jakarta kemarin.

Menurut dia, langkah mempercepat pembangunan kilang sangat diperlukan untuk menekan impor BBM. Pemerintah harus segera menyediakan insentif sedangkan Pertamina yang melaksanakan.

Jika secepatnya dilakukan, maka ada manfaat yang lebih nyata bagi negara dan masyarakat. Apalagi didukung dengan masuknya Pertamina ke dalam 500 perusahaan terbaik versi Fortune, kata dia.

Menurut Pri Agung, perlu langkah konkret untuk membangun infrastruktur, seperti kilang BBM ataupun infrastruktur penerima, tranmisi, dan distribusi gas dalam rangka mendorong diversifikasi energi. Pasalnya, permasalahan impor BBM tidak dapat diselesaikan secara parsial dengan pembatasan konsumsi. Saat ini energi fosil kan masih memiliki porsi 50 % lebih dalam bauran energi primer yang digunakan, katanya.

Sementara, sekretaris Badan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto mengatakan, rencana mengoptimalkan BBN untuk mengurangi impor solar tidak akan mengganggu pasokan dalam negeri. Karena jumlah,impor solar yang dikurangi akan disesuaikan dengan jumlah BBN yang akan dicampur dengan solar. Dengan asumsi, kebutuhan solar 16 juta kiloliter dan mandatori penggunaan BBN 10%, setidaknya dapat mengurangi impor 1,6 juta kiloliter, katanya.

Angota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha menyarankan pemerintah untuk menambah infrastruktur kilang dalam negeri demi menekan impor BBM, khususnya bagi transportasi. Dengan adanya penambahan armada kilang baru, setidaknya pemerintah hanya melakukan impor minyak mentah sehingga produk jadi BBM dapat diolah di dalam negeri. Ini salah satu cara mengatasi ketergantungan impor yang sifatnya jangka panjang, tutup dia

 

Harus Tekan Impor BBM Pengendalian Konsumsi BBM agar Diterapkan

Kompas,23 Agustus 2013

Jakarta, Kompas Ketergantungan impor bahan bakar minyak terus meningkat, Pemerintah harus segera menambah kapasitas atau membangun kilang minyak yang baru dan melakukan diversifikasi bahan bakar minyak ke gas dan pengembangan bahan bakar nabati secara masif.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan hal itu saat dihubungi kamis (22/8), di Jakarta.

Impor BBM (bahan bakar minyak) hanya bisa dikurangi dengan tiga cara, ujarnya. Pertama, menambah kapasitas atau membangun kilang BBM baru. Kedua, diversifikasi BBM ke gas dan bahan bakar nabati secara masif. Ketiga, menaikan harga BBM ketingkat keekonomian sehingga mengurangi konsumsi BBM oleh masyarakat dan mengurangi praktik-praktik penyalahgunaan dan penyeludupan BBM.

Sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menyatakan, volume impor BBM terus meningkat seiring pertumbuhan konsumsi energi yang mencapai 8 persen per tahun. saat ini total kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barrel per hari, sedangkan produksi minyak nasional hanya 840.000 barrel per hari.

Adapun hasil produksi minyak mentah yang bisa diolah di kilang di dalam negeri hanya 650.000 barrel per hari. total kapasitas kilang Pertamina 1 juta barrel per hari. Untuk memenuhi kebutuhan BBM, Pemerintah melalui Pertamina mengimpor minyak mentah 350.000 barrel per hari dan produk BBM 400.000 barrel per hari. Untuk mengurangi impor BBM, sumber energi baru terbarukan dikembangkan, ujarnya.

Pembatasan BBM

Pri Agung menilai, pembatasan BBM tidak akan dapat mengurangi impor BBM. Kabijakan itu hanya akan mengalihkan konsumsi dari BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Namun, langkah ini bisa mengurangi anggaran atau beban subsidi BBM, tapi relatif tidak berdampak terhadap pengurangan impor BBM, ujarnya.

Pengurangan impor BBM juga diserukan juga oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Franky Sibarani. Dia mendesak Pemerintah menekan konsumsi BBM impor dengan mendorong penggunaan gas. Langkah ini diyakini akan cepat memberi dampak menekan defisit migas.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat berpendapat, Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal dalam pengelolaan energi. Energi harus diutamakan untuk kepentingan nasional.

Sekitar 20 persen saja yang diekspor, selebihnya harus untuk kepentingan dalam negeri. Stasiun pengisian bahan bakar jangan lagi BBM, tetapi gas. Malaysia dan Thailand melakukan hal tersebut 20 tahun lalu, kata Ade.

Sebelumnya Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina (Persero) Hanung Budya Menyatakan, pemasangan alat kendali BBM dengan memakai teknologi di 276 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di wilayah DKI Jakarta ditargetkan tuntas pada Agustus 2013. Hal ini sebagai bagian dari program pengendalian BBM bersubsidi untuk menekan angka penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Alat identifikasi dengan gelombang radio (radio frequency identification/RFID) ditargetkan terpasang di 150 SPBU di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) pada akhir juli nanti. Setelah lebaran, pemasangan RFID di semua SPBU di jabodetabek ditargetkan tuntas dan berfungsi pada Agustus nanti, kata Hanung.

Sejauh ini pemasangan tanda RFID baru sebatas pada mobil dinas Pertamina serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dua pekan setelah lebaran, pemasangan tanda RFID dimaksimalkan. tahap awal, implementasi dilakukan di wilayah jawa bagian barat, Kalimantan, dan Sumatera bagian selatan.

Kami memprioritaskan penerapannya di Kalimantan karena rawan penyelewengan solar bersubsidi ke industri pertambangan. jadi, ada potensi penghematan riil, katanya. Penerapan sistem pengendalian BBM di Jawa bagian barat dinilai belum efektif karena masih ada kendaraan antar provinsi yang masuk ke Jakarta.

Reforminer Institute Usulkan Skenario Jalan Tengah Untuk Blok Mahakam

Dunia-energi.com, 2 Agustus 2013

JAKARTA Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto PhD menilai, kisruh yang mengemuka menjelang berakhirnya kontrak pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) Blok Mahakam pada 2017, akibat tidak idealnya kondisi pengelolaan migas di Tanah Air. Untuk itu ia mengusulkan skenario guna mengatasi polemik tersebut.

Pri Agung mengakui, polemik yang mengemuka seputar kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam saat ini, sudah masuk ke ranah yang kurang sehat. Isu yang lebih mengemuka hanya seputar dikotomi nasional versus asing, dan label nasionalis versus tidak nasionalis. Padahal yang harus dipikirkan, bagaimana wilayah kerja migas itu ke depan masih dapat menjadi penyokong penerimaan negara.

Pri Agung tidak memungkiri, adanya desakan yang cukup kuat, agar Blok Mahakam yang saat ini dikelola Total E&P Indonesie asal Perancis, diserahkan untuk dikelola Pertamina pasca 2017. Pihak lain menilai, kontrak Total di Blok Mahakam selayaknya diperpanjang, guna memberikan kepastian dan jaminan atas investasi jangka panjang yang telah ditanamkan Total di blok itu.

Satu yang harus disadari, kata Pri Agung, peralihan pengelolaan pada suatu wilayah kerja migas, harus melalui suatu tahap transisi. Masa transisi dari pengelola lama ke pengelola yang baru ini penting, guna menghindari anjloknya produksi, yang merupakan ancaman bagi penerimaan negara ujarnya dalam diskusi Membedah Potensi Blok Mahakam di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2013.

Berangkat dari itu, ia pun mengusulkan suatu skenario yang bisa dianggap sebagai jalan tengah atas polemik pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017. Inti usulan ini, ungkapnya, tetap harus ada Kontrak Baru di Blok Mahakam pada 2017, yang berisi sejumlah poin penting sebagai berikut;

  1. Total E&P tetap sebagai operator di Blok Mahakam sampai 2022.
  2. Pertamina ditunjuk pemerintah sebagai operator di Blok Mahakam mulai 2022. Dengan begitu, ada rentang masa transisi lima tahun antara 2017 – 2022.
  3. Porsi bagian keuntungan (split) untuk pemerintah diperbesar secara signifikan. Misalnya untuk minyak pemerintah dan Total berbagi 95:5, lalu untuk gas 85:15.
  4. Insentif fiskal lain untuk Total E&P dikurangi. Misalnya dengan menerapkan Domestic Market Obligation(DMO) selama masa produksi, depresiasi dipercepat ditiadakan, investment credit ditiadakan, cost recoverydibatasi, dan sebagainya.
  5. Pertamina tidak harus membeli/membayar untuk mendapatkan porsi Participating Interest tertentu di Blok Mahakam selama masa transisi lima tahun 2017 – 2022.

Saya pikir kalau usulan ini dilaksanakan oleh pemerintah, maka akan tercipta situasi yang win-win solution(sama-sama diuntungkan, red) dalam pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017 nanti, tukasnya.

Situasi yang win-win itu diantaranya, risiko penurunan, ketidakstabilan, maupun ketidakberlanjutan produksi (cadangan)di Blok Mahakam lebih kecil. Selain itu, proses transfer teknologi, manajerial, dan expertise (keahlian, red) dalam pengelolaan Blok Mahakam bakal berlangsung lebih smooth.

Terkait adanya potensi opportunity lossa penerimaan negara jika, kata Pri Agung, dapat dikompensasikan melalui porsisplit untuk pemerintah yang diperbesar, dan pengurangan insentif fiskal lainnya terhadap Total E&P.

 

Bagi Pertamina juga untung, karena tidak perlu membeli untuk mendapatkan Participating Interest. Sementara Total E&P dan partner lain yang ada di Blok Mahakam saat ini, tetap dapat melanjutkan investasinya dalam mengoperasikan dan mengelola blok itu sesuai komitmennya, kata Pri Agung lagi.

Segera Putuskan

Lebih lanjut Pri Agung mendesak, agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera memutuskan nasib pengelolaan Blok Mahakam, dalam tahun ini. Karena jika menyeberang ke 2014, mendekati Pemilu, maka situasi politis akan semakin mendominasi polemik seputar pengelolaan Blok Mahakam.

Segera putuskan dan beri kejelasan status kontrak Blok Mahakam, yakni dengan usulan skenario Kontrak Baru tersebut. Segera setelah ada keputusan, Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, Total E&P dan pihak lain yang mungkin terlibat, duduk bersama untuk memformulasikan isi dan ketentuan Kontrak Baru, tandasnya.

Setelah hal itu diputuskan, sambung Pri Agung, maka rencana dan komitmen investasi Total E&P hingga 2017 di Blok Mahakam sebesar USD 7,3 miliar, harus benar-benar direalisasikan.

Ke depan, pemerintah perlu menerbitkan aturan tentang masa transisi (lima tahun sebelum kontrak berakhir) untuk diterapkan pada Kontraktor Kerjasama (KKS) migas yang baru maupun KKS lama yang bersedia mengakomodasinya, tegas Pri Agung.

 

Nasib Blok Mahakam Harus Diputuskan Tahun Ini

Neraca.co.id, 01 Agustus 2013

Jakarta Pengamat minyak dan gas bumi (migas) Pri Agung Rakhmanto menegaskan, keputusan pemerintah terkait kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhir kontraknya dengan Total E&P Indonesie, harus dikeluarkan tahun ini juga. Hal ini untuk mencegah semakin banyaknya muatan politik, jika finalisasi nasib blok itu