APA KABAR RENEGOSIASI KONTRAK TAMBANG?
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri ReforMiner Institute; Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
Kompas, 15 September 2011

Kemandirian Energi Belum Terwujud

Kompas, 24 September 2011

JAKARTA– Kemandirian energi nasional di Tanah Air dinilai masih belum terwujud. Hal ini ditandai dengan ketergantungan pada bahan bakar minyak dan keterbatasan akses masyarakat karena minimnya infrastruktur pendukung energi.

Demikian benang merah diskusi publik bertema “Kemandirian Energi”, Sabtu (24/9/2011), di Kafe Bistro Boulevard, Menteng, Jakarta.

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kardaya Warnika, ada beberapa faktor yang menentukan kemandirian energi.

Salah satunya adalah kemampuan menjamin ketersediaan energi dengan harga terjangkau. Faktor lainnya adalah, aksesibilitas atau infrastruktur pendukung energi misalnya terminal terapung penampung gas alam cair atau LNG. Saat ini sebagian masyarakat tidak bisa mengakses energi lantaran minimnya infrastruktur. Selain itu ketahanan energi ditentukan oleh daya beli masyarakat.

“Karena daya beli masyarakat masih rendah, maka perlu mendapatkan subsidi,” kata dia menegaskan.

Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, saat ini ketahanan energi baru sebatas ketersediaan sumber daya alamnya, tetapi bukan pada suplai atau pasokan energi. Akses negara terhadap sumber daya alam juga terbatas.

“Terhadap sumber daya alam kita sendiri, kita tidak bisa menguasainya. Sebagai contoh, Pertamina selaku BUMN harus bersusah payah mendapatkan blok di wilayahnya sendiri,” ujarnya.

Sementara akses masyarakat terhadap energi juga terbatas. Hal ini ditandai dengan rasio elektrifikasi nasional yang belum mencapai 80 persen, bahkan di beberapa daerah masih kurang dari 70 persen. Jadi daya mampu negara rendah dan daya beli masyarakat terhadap energi masih rendah.

“Suka tidak suka, kita tergantung pada asing, mengandalkan investor, tidak mau mengeluarkan duit untuk membangun infrastruktur energi,” kata dia.

“Jika memang tidak tersedia cukup uang untuk membangun infrastruktur, semestinya pemerintah pro aktif. Misalnya, jika Pertamina butuh insentif, maka maka pemerintah perlu segera memberikannya,” kata dia. Selama ini anggaran pemerintah justru banyak terserap untuk subsidi energi terutama bahan bakar minyak dan listrik. Akibatnya, sehingga pembangunan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru migas berjalan lamban. “Tidak ada terobosan kebijakan untuk mengurangi subsidi,” kata Pri Agung.

Pemerintah seharusnya mengutamakan pengurangan subsidi BBM dibandingkan listrik yang relatif tepat sasaran. Kebijakan BBM perlu segera ditetapkan, apakah menaikkan harga secara terbatas atau memilih pembatasan distribusi BBM secara tegas.

Dinilai Minim Prestasi, SBY Harus Ganti Menteri ESDM

DetikFinance, 20 September 2011

Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh dikabarkan menjadi salah satu menteri yang akan terkena reshuffle dari jabatannya di sektor yang sangat strategis.

Sampai hari ini, jabatannya diisi oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa sebagai Menteri ESDM ad interim. Hal tersebut mengingat Darwin semenjak beberapa hari ini menjalani tugas ke luar negeri.

Menanggapi hal ini, pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto menilai posisi Darwin sebagai Menteri ESDM lebih baik digantikan. Karena menurutnya sejauh ini belum ada ‘prestasi’ yang dilakukan Darwin selama menjabat.

“Menurut saya, kalau melihat prestasi kinerjanya selama ini pantas di-reshuffle,” singkatnya kepada detikFinance, Jakarta, Selasa (20/9/2011).

Dilanjutkan olehnya, tidak ada prestasi atau kebijakan tegas dan menonjol yang bisa diambil selama sektor ESDM berada di bawah kepemimpinannya.

“Bisa diliat sub-sektornya lah. Kementerian ESDM ini seperti mengalami disorientasi kebijakan. Arahnya mau ke mana? Seperti tidak ada prioritas yang mau dilakukan,” tambah Pri Agung.

Pri Agung mencontohkan, salah satu ketidakjelasan yang ada adalah dalam menangani lonjakan konsumsi BBM bersubsidi yang kuotanya selalu ‘bobol’ tiap tahun. Kemudian belum dilakukan juga kebijakan tegas untuk mengatasi itu baik itu melalui pembatasan kebijakan bersubsidi atau dengan sistem subsidi tertutup dan sebagainya.

“Nggak konkret kan untuk BBM, sampai bawa-bawa MUI. Akibatnya kan, subsidi juga kuota BBM-nya terlampaui,” lanjutnya.

“Belum lagi untuk TDL listrik yang direncanakan naik tahun depan. Padahal seharusnya BBM dulu yang seharusnya dinaikkan kalau melihat dari prioritasnya,” timpal Pri Agung sekali lagi. Begitu juga dengan beberapa kebijakan lain seperti produksi minyak Indonesia yang masih surut dan tidak tercapai dari target.

Pri Agung kemudian menambahkan, dirinya berharap ada pengganti yang berasal dari profesional dan tidak terikat dengan suatu kepentingan jika memang nanti ada reshuffle di posisi tersebut.

“Dari profesional sajalah, non parpol, non birokrat. Supaya bebas kepentingan dan berani ambil terobosan,” harap Pri Agung.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mustafa Abubakar dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh dikabarkan akan terkena reshuffle kabinet. Dua posisi penting ini pun diisukan tengah diincar sejumlah parpol anggota koalisi.

“Dari Demokrat juga isunya kena reshuffle, Menteri ESDM. BUMN juga infonya mau di-reshuffle,” ujar sumber detikcom di internal Setgab koalisi.

Menurut sumber tersebut, Menteri ESDM dipandang tidak bekerja optimal, hal ini sesuai dengan hasil evaluasi UKP4 yang terakhir. Sedangkan Menteri BUMN diisukan akan diganti karena kondisi kesehatannya yang tidak stabil.

Seolah-Olah Mengelola Energi
Pri Agung Rakhmanto
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Indonesia Finace Today, 12 September 2011

Dua dari enam asumsi (target) makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kita terkait dengan sektor energi, yaitu harga minyak (Indonesian Crude Price, ICP) dan lifting minyak (produksi minyak siap jual). Ini untuk kesekian kalinya- sudah cukup menegaskan bahwa sektor energi penting bagi perekonomian nasional.

Namun mencermati lebih jauh Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2011, khususnya yang menyangkut besaran subsidi energi yang dialokasikan sebesar Rp 168,6 triliun, tak terlihat bahwa kita benar-benar serius mengelola sektor energi di negara ini.

Subsidi energi terdiri dari subsidi listrik sebesar Rp 45 triliun dan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 123,6 triliun. Dari angka-angka tersebut pada tingkat makro sebenarnya dapat kita lihat seberapa jauh kemajuan dan kinerja yang dicapai pemerintah dalam mengelola sektor energi selama ini. Sekaligus dari angka tersebut kita juga dapat mengukur seberapa besar kesungguhan pemerintah menempatkan dan mengelola sektor energi ini sebagai sektor yang penting bagi perekonomian nasional.

Inefisiensi Kelistrikan

Subsidi listrik yang dialokasikan sebesar Rp 45 triliun jelas mengindikasikan adanya rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik pada 2012. Hal ini juga telah ditegaskan pemerintah sendiri dalam berbagai kesempatan.

Kenaikan tarif dasar listrik pada 2012 dari sudut pandang fiskal dan kebijakan harga listrik yang berlaku saat ini di satu sisi mungkin bisa saja tepat. Namun, dari sudut pandang mikro pengelolaan energi nasional sebenarnya hal itu tidak tepat dan sekaligus menunjukkan kelambanan pemerintah sendiri dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan mendasar di belakangnya.

Tidak tepat, karena semestinya kenaikan tarif dasar listrik dilakukan setelah acuan atau basis untuk kenaikan tarif dasar listrik tersebut, yaitu biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, efisien (optimal) terlebih dahulu. Biaya pokok penyediaan listrik selama ini tinggi (tidak efisien) karena biaya bahan bakar yang digunakan untuk menghasilkan listrik juga tidak efisien.

Banyak pembangkit listrik berbahan bakar gas yang ada tidak mendapatkan pasokan gas dalam jumlah cukup sehingga dipaksa menggunakan bahan bakar minyak yang biayanya dapat 400% lebih mahal. Dari sekitar 1.800 million standard cubic feet (MMSCFD) kebutuhan gas untuk pembangkit, hanya sekitar 800 MMSCFD yang bisa dipenuhi.

Lamban, karena berarti program pemenuhan gas pembangkit-pembangkit tersebut dan juga program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt berbahan bakar batu bara yang juga lebih murah tidak dapat diselesaikan tepat waktu.

Terminal penerima liquified natural gas sebagai sarana pemenuhan kebutuhan gas pembangkit paling cepat diperkirakan baru akan beroperasi pada 2013. Demikian juga dengan program pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt batu bara yang direncanakan selesai sejak 2009, hingga akhir 2011 diperkirakan baru akan selesai 30% yang siap beroperasi dan masuk ke sistem kelistrikan nasional. Sehingga biaya pokok penyediaan listrik tetap tinggi dan untuk menekan subsidi listrik yang ada kebijakan yang ditempuh masih harus dengan cara menaikkan tarif dasar listrik.

Dapat diringkas bahwa kenaikan tarif dasar listrik sebenarnya tidak perlu dilakukan di 2012 seandainya program pemenuhan kebutuhan gas pembangkit dan program pembangunan 10 ribu megawatt pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dilaksanakan dan diselesaikan tepat waktu.

Potensi penghematan anggaran subsidi listrik jika kedua program tersebut diselesaikan tepat waktu sebetulnya bisa mencapai Rp 30 triliun, lebih besar daripada penghematan anggaran yang diskenariokan pemerintah melalui kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10% yang nilainya Rp 20 triliun.

Politisasi Bahan Bakar

Subsidi bahan bakar minyak yang dialokasikan sebesar Rp 123,6 triliun (di dalamnya termasuk subsidi untuk bahan bakar nabati dan elpiji tiga kilogram), tidak jauh berubah dari anggaran subsidi bahan bakar minyak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 yang sebesar Rp 129 triliun.

Dari angka ini yang terlihat adalah bahwa setidaknya hingga saat penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, pemerintah masih belum memiliki rencana kebijakan yang jelas dan konkret terkait bagaimana mengurangi besaran subsidi bahan bakar minyak yang ada, baik melalui pengendalian konsumsi ataupun melalui pengaturan harga.

Angka yang ada dengan kata lain juga mengindikasikan bahwa politisasi (harga) bahan bakar minyak, dalam arti tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak demi alasan politis, tetap akan dilanjutkan. Dalam kaitan dengan pengembangan energi alternatif, seperti bahan bakar gas atau bahan bakar nabati, angka yang ada juga menunjukkan pemerintah tetap belum memiliki program nasional khusus yang benar-benar mendorong pengembangan secara masif. Yang ada hanyalah sebatas pilot project skala uji coba, yang kelanjutannya setelah itu sering kali tidak jelas.

Jadi, kalau beberapa waktu lalu diaktifkan kembali Instruksi Presiden (Inpres) tentang hemat energi, hasilnya juga tak tercermin dalam besaran subsidi yang dianggarkan. Tentu saja, karena memang sifatnya hanya merupakan kampanye publik untuk menunjukkan bahwa pemerintah melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak konkret- untuk mengurangi besaran subsidi energi tersebut, dan hasilnya pasti tidak akan signifikan.

Konsekuensinya, kondisi dan segala permasalahan terkait energi dan subsidi bahan bakar minyak yang ada saat ini termasuk kelangkaan gas dan bahan bakar minyak dan penyalahgunaan bahan bakar minyak di banyak wilayah kemungkinan tetap akan terjadi dan berulang di tahun depan.

Sedikit penurunan besaran subsidi bahan bakar minyak yang ada di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 bukan karena dilakukan perbaikan dalam pengelolaannya, melainkan hanya karena basis asumsi yang digunakan berbeda, dari harga minyak US$ 95 per barel turun menjadi US$ 90 per barel.

Dari tinjauan makro dan mikro di atas, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kita selama ini hanya seolah-olah mengelola sektor energi. Sektor energi seolah-olah dianggap dan ditempatkan sangat penting dan strategis, tetapi di dalam praktiknya ternyata diperlakukan biasa-biasa saja.

Seolah-olah hiruk pikuk dengan beragam program dan kebijakan energi, tetapi sebenarnya tak ada yang benar-benar konkret dan substansial menyelesaikan satu per satu permasalahan mendasar yang ada. Apakah hal ini ada kaitannya dengan absennya dirigen di dalam penyelenggaraan pemerintahan di sektor energi nasional yang benar-benar mumpuni Sangat bisa jadi

 

Gawat, 72% Kebutuhan BBM 2030 Harus Diimpor!

Bisnis Indonesia, 6 September 2011

JAKARTA: Jika tidak ada penambahan kilang minyak baru, impor BBM pada 2030 diperkirakan mencapai 574,57 juta barel atau sekitar 71,8% dari total kebutuhan BBM nasional sebesar 800,24 juta barel.

Komaidi, Wakil Direktur ReforMiner Institute mengatakan nominal pengadaan BBM impor tersebut mencapai US$68,94 miliar atau sekitar Rp600 triliun.

“Mengingat besarnya kebutuhan impor tersebut, pemerintah perlu mengintervensi untuk menetapkan kebijakan akuisisi kilang milik TPPI meski Pertamina kurang berminat melakukannya,” ujarnya dalam acara diskusi restrukturisasi TPPI hari ini.

Menurut Komaidi, meski menurut Pertamina margin bisnis kilang masih lebih rendah dari margin bisnis hulu, namun penambahan kilang baru mutlak diperlukan demi ketahanan energi nasional. Jika kilang bisa dikembangkan dari proyek eksisting dan ada penambahan proyek, impor BBM bisa berkurang dari 71,8% menjadi 54%.

Jika kilang dikembangkan dengan cara upgrading, impor BBM bisa berkurang menjadi 51%. Sementara itu jika kilang dikembangkan dengan menambah kilang minyak baru, impor BBM bisa semakin berkurang lagi menjadi hanya 3% dari total kebutuhan BBM.

Adapun kapasitas terpasang kilang Pertamina dan swasta per 2009 adalah sekitar 1,156 juta barel per hari. Pada 2014, pengolahan minyak mentah Pertamina ditargetkan sebesar 913 MBCD (ribu barel crude per hari), meningkat dari 2009 sebesar 885 MBCD.

“Opsi akuisisi kilang TPPI ini memang keputusannya tergantung pada pemerintah. Tapi sebenarnya tidak ada salahnya jika kilang TPPI diakuisisi, karena otomatis kapasitas kilang domestik bertambah,” ujarnya.

Meski demikian, Komaidi mengakui bahwa diperlukan kalkulasi ulang atas opsi akuisisi jika utang TPPI saat ini sebesar total Rp17 triliun, lebih besar dari nilai asetnya sebesar Rp13,5 triliun. (sut)

Pertamina ajukan syarat jaminan pembayaran utang TPPI

Bisnis Indonesia, 6 September 2011

JAKARTA: Jika tidak ada penambahan kilang minyak baru, impor BBM pada 2030 diperkirakan mencapai 574,57 juta barel atau sekitar 71,8% dari total kebutuhan BBM nasional sebesar 800,24 juta barel.

Komaidi, Wakil Direktur ReforMiner Institute mengatakan nominal pengadaan BBM impor tersebut mencapai US$68,94 miliar atau sekitar Rp600 triliun.

“Mengingat besarnya kebutuhan impor tersebut, pemerintah perlu mengintervensi untuk menetapkan kebijakan akuisisi kilang milik TPPI meski Pertamina kurang berminat melakukannya,” ujarnya dalam acara diskusi restrukturisasi TPPI hari ini.

Menurut Komaidi, meski menurut Pertamina margin bisnis kilang masih lebih rendah dari margin bisnis hulu, namun penambahan kilang baru mutlak diperlukan demi ketahanan energi nasional. Jika kilang bisa dikembangkan dari proyek eksisting dan ada penambahan proyek, impor BBM bisa berkurang dari 71,8% menjadi 54%.

Jika kilang dikembangkan dengan cara upgrading, impor BBM bisa berkurang menjadi 51%. Sementara itu jika kilang dikembangkan dengan menambah kilang minyak baru, impor BBM bisa semakin berkurang lagi menjadi hanya 3% dari total kebutuhan BBM.Adapun kapasitas terpasang kilang Pertamina dan swasta per 2009 adalah sekitar 1,156 juta barel per hari. Pada 2014, pengolahan minyak mentah Pertamina ditargetkan sebesar 913 MBCD (ribu barel crude per hari), meningkat dari 2009 sebesar 885 MBCD.

“Opsi akuisisi kilang TPPI ini memang keputusannya tergantung pada pemerintah. Tapi sebenarnya tidak ada salahnya jika kilang TPPI diakuisisi, karena otomatis kapasitas kilang domestik bertambah,” ujarnya.

Meski demikian, Komaidi mengakui bahwa diperlukan kalkulasi ulang atas opsi akuisisi jika utang TPPI saat ini sebesar total Rp17 triliun, lebih besar dari nilai asetnya sebesar Rp13,5 triliun. (sut)

Bisnis Indonesia, 6 September 2011

JAKARTA: Jika tidak ada penambahan kilang minyak baru, impor BBM pada 2030 diperkirakan mencapai 574,57 juta barel atau sekitar 71,8% dari total kebutuhan BBM nasional sebesar 800,24 juta barel.

Komaidi, Wakil Direktur ReforMiner Institute mengatakan nominal pengadaan BBM impor tersebut mencapai US$68,94 miliar atau sekitar Rp600 triliun.

“Mengingat besarnya kebutuhan impor tersebut, pemerintah perlu mengintervensi untuk menetapkan kebijakan akuisisi kilang milik TPPI meski Pertamina kurang berminat melakukannya,” ujarnya dalam acara diskusi restrukturisasi TPPI hari ini.

Menurut Komaidi, meski menurut Pertamina margin bisnis kilang masih lebih rendah dari margin bisnis hulu, namun penambahan kilang baru mutlak diperlukan demi ketahanan energi nasional. Jika kilang bisa dikembangkan dari proyek eksisting dan ada penambahan proyek, impor BBM bisa berkurang dari 71,8% menjadi 54%.

Jika kilang dikembangkan dengan cara upgrading, impor BBM bisa berkurang menjadi 51%. Sementara itu jika kilang dikembangkan dengan menambah kilang minyak baru, impor BBM bisa semakin berkurang lagi menjadi hanya 3% dari total kebutuhan BBM.Adapun kapasitas terpasang kilang Pertamina dan swasta per 2009 adalah sekitar 1,156 juta barel per hari. Pada 2014, pengolahan minyak mentah Pertamina ditargetkan sebesar 913 MBCD (ribu barel crude per hari), meningkat dari 2009 sebesar 885 MBCD.

“Opsi akuisisi kilang TPPI ini memang keputusannya tergantung pada pemerintah. Tapi sebenarnya tidak ada salahnya jika kilang TPPI diakuisisi, karena otomatis kapasitas kilang domestik bertambah,” ujarnya.

Meski demikian, Komaidi mengakui bahwa diperlukan kalkulasi ulang atas opsi akuisisi jika utang TPPI saat ini sebesar total Rp17 triliun, lebih besar dari nilai asetnya sebesar Rp13,5 triliun. (sut)

ANTARA, 6 September 2011 Jakarta (ANTARA News) – PT Pertamina mengajukan persyaratan kepada PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) terkait skema pelunasan utangnya, berupa jaminan penerbitan letter of credit (L/C) sejak tahun pertama periode pembayaran kewajibannya.

“Kami minta jaminan sejak tahun pertama proses pelunasan utangnya sebagai antisipasi kemungkinan gagal bayar sehingga L/C bisa dicairkan,” kata Vice President Communication PT Pertamina (Persero), Mochammad Harun dalam diskusi “Ada apa dengan Restrukturisasi utang TPPI ” yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) bersama National Press Club of Indonesia (NPCI) di Jakarta, Selasa.

Menurut Harun, pihaknya mengajukan syarat tersebut mengingat TPPI baru bersedia membuka L/C pada tahun kedelapan dalam periode pembayarannya, sebagaimana disampaikan saat pembahasan perjanjian restrukturisasi utang.

Ia melanjutkan TPPI bersedia melakukan pembayaran utang kepada Pertamina yang totalnya mencapai 548 juta dolar AS atau sekitar Rp5,06 triliun melalui dua cara. Pertama,TPPI akan membayar tunai sebesar 300 juta dolar dan sisanya dalam bentuk open account (pembayaran kemudian) secara bertahap dengan mengirimkan produknya berupa elpiji dan bahan bakar mogas (bensin) selama 10 tahun.

Harun mengungkapkan soal penjualan elpiji tersebut juga belum disepakati. Sampai saat ini, Pertamina menolak harga elpiji yang diajukan TPPI karena harga jualnya dipatok sebesar cost pice (CP) Aramco plus 140 dolar AS per ton.

Harga tersebut bagi Pertamina terlalu mahal mengingat BUMN ini biasanya membeli dengan harga CP Aramco minus 40 dolar AS per ton. “Tawaran harga tersebut tidak lazim sehingga terkesan TPPI tidak serius untuk berbisnis,” ujar Harun.

Posisi Pertamina, lanjut Harun, masih menunggu sampai masalah tersebut disepakati dahulu sebelum melakukan penandatanganan Master of Restructuring Agreement (MRA). Hal itu sekaligus agar MRA bisa tetap mengedepankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).

“Jadi pada prinsipnya Pertamina mendukung upaya restrukturisasi utang TPPI agar piutang Pertamina kembali, asalkan tetap dalam koridor governance yang baik,” kata Harun.

Tunda MRA

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, meminta Pertamina untuk tidak terburu-buru menandatangani perjanjian restrukturisasi utang TPPI. Alasannya, kata Harry, TPPI saat ini sedang menghadapi tuntutan kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dari Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV selaku kreditor TPPI lainnya yang berkedudukan di Belanda.

“Saya sarankan Pertamina tunda dulu untuk menandatangani MRA tahap II karena ada tuntutan pailit. Sehingga kalau diteruskan dan pengadilan memutuskan pailit dikhawatirkan Pertamina hanya memperoleh `bangkai` saja,” katanya.

Menurut Harry Azhar, jika TPPI diputus pailit dan belum ada kesepakatan MRA justru menguntungkan Pertamina karena BUMN ini bisa mendapatkan aset-aset TPPI lebih murah melalui lelang. Sementara apabila keputusan pengadilan tidak dipailit, Harry meminta Pertamina untuk juga mengajukan tuntutan pailit atas TPPI.

Ia berjanji membicarakan kasus utang TPPI yang berpotensi merugikan negara ini dalam rapat internal Komisi XI DPR. “Ada kemungkinan kita juga akan meminta BPK untuk melakukan audit kinerja dan audit investigasi terhadap TPPI karena berpotensi merugikan negara,” ujarnya

Sementara pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi mendesak agar masalah utang TPPI bisa segera diselesaikan terlepas apakah lewat cara restrukturisasi atau gugatan pailit. “Keputusan harus segera diambil karena jika berlarut-larut kerugiannya akan semakin besar,” katanya.

Ia mengatakan posisi utang TPPI jauh melebihi nilai asetnya. Saat ini, total utang TPPI baik kepada kreditur dalam dan luar negeri diperkirakan sekitar dua miliar dolar AS atau sekitar Rp18 triliun. Jika dihitung berdasarkan harga perusahaan sejenis dengan kapasitas produksi yang sama, maka harga TPPI saat ini sekitar Rp13,5 triliun.Khusus kepada kreditur dalam negeri yang terdiri dari Pertamina, pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dan BP Migas, TPPI diperkirakan memiliki utang satu miliar dolar AS atau Rp9,92 triliun. Perinciannya, Pertamina Rp5,06 triliun, PPA Rp3,26 triliun, dan BP Migas Rp1,66 triliun.

Dengan begitu, apabila didasarkan atas nilai aset dan posisi utang kepada kreditur dalam negeri, maka nilai 100 persen saham bersih TPPI hanya sekitar Rp3,58 triliun (Rp13,5 triliun dikurangi Rp9,92 triliun). Nilai saham bersih itu lebih kecil dibandingkan utang TPPI ke Pertamina yang mencapai Rp5,02 triliun, katanya.

Target SBY Kejar Lifting 1 Juta Barel Dianggap Mustahil

DetikFinance, 6 September 2011

Jakarta – Keinginan Presiden SBY untuk mencapai memproduksi minyak (lifting) 1 juta barel per hari dinilai masih mustahil dilaksanakan. Saat ini Indonesia masih belum memiliki proyek peningkatan minyak yang skala besar.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Selasa (6/9/2011).

“Kemungkinan tidak akan bisa, karena satu-satunya andalan untuk meningkatkan produksi secara signifikan saat ini hanyalah dari Blok Cepu yang paling cepat baru bisa berproduksi dengan kapasitas penuh pada pertengahan atau akhir 2013,” tanggap Pri Agung.

Sejauh ini pula, katanya, Indonesia juga tidak ada pelaksanaan proyek EOR (Enhance Oil Recovery/peningkatan produksi minyak) dalam skala yang sangat besar. “Maka itu tidak ada yang bisa diharapkan untuk meningkatkan produksi,” lanjutnya.

Dirinya menilai, satu-satunya yang bisa dilakukan dan diharapkan adalah melalui optimalisasi lapangan-lapangan tua yang cadangannya terus menurun.

“Itu pun, pada saat blok Cepu nanti sudah berproduki penuh (dengan kapasitas 165.000 barel minyak per hari) belum tentu cukup untuk menutup penurunan alamiah dari lapangan tua yang ada,” tambahnya.

Oleh karena itu, dirinya menyimpulkan produksi minyak 1 juta barel sehari belum tentu dapat tercapai. “Iklim investasi untuk eksplorasi migas juga sangat tidak kondusif sehingga kegiatan eksplorasi migas sangat minim dilakukan dalam 10 tahun terakhir. Itu penyebab utamanya sebetulnya,” kata Pri Agung.

Di tempat yang berbeda, anggota Komisi VII DPR RI, Satya W Yudha mengatakan cara satu-satunya yang paling realistis dilakukan adalah dengan cepat mengoptimalkan lapangan dan sumur migas yang sudah tua di Indonesia.

“BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas) juga harus mampu mencegah adanya unplanned shutdown dengan melakukan pengawasan di lapangan secara ketat bersama dengan pihak Kontraktor Migas yang mengoperatori tiap-tiap lapangan migas,” ujarnya.

Satya menilai, unplanned shutdown (berhentinya pengoperasian produksi migas yang tidak terencana) tidak semata-mata diakibatkan karena adanya keadaan alam. Tapi juga diakibatkan adanya kerusakan fasilitas produksi seperti misalnya kebocoran pipa. “Hal-hal seperti itu yang perlu diawasi,” tukasnya.

Seperti diketahui, Presiden SBY ingin meningkatkan produksi minyak Indonesia menjadi 1 juta barel per hari (bph) maksimal pada 2013. Kementerian ESDM harus melaporkan langkah yang harus dilakukan.

Hal tersebut disampaikan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa usai menghadiri sidang kabinet hari ini. “Menghadapi ketidakpastian harga minyak yang meningkat atau stabil tinggi, presiden meminta tingkatkan lifting minimum 1 juta dalam waktu singkat maksimal 2013,” tutur Hatta.