Aturan cost recovery dinilai tak perbaiki iklim investasi migas

Bisnis Indonesia, 31 Desember 2010

JAKARTA: Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau cost recovery dinilai tidak akan membantu memperbaiki iklim investasi hulu migas.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, PP cost recovery yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Desember 2010 tersebut, sesungguhnya justru mempertegas tidak diberlakukannya lex specialist dalam hal pajak di hulu migas.

Meskipun ini [aturan PP cost recovery] sedikit berbeda dengan pengembalian melalui tax reimbursement atau tax deduction, tetapi secara arus kas tetap merupakan disinsentif bagi KKKS [kontraktor kontrak kerja sama] migas, sehingga tidak membantu memperbaiki iklim investasi hulu migas, tutur dia, hari ini.

Dengan aturan baru tersebut, jelas dia, KKKS migas tetap akan dikenakan pajak-pajak tidak langsung terlebih dahulu, termasuk pada masa eksplorasi yang kemudian dikembalikan melalui cost recovery.

Dia menilai PP cost recovery tersebut hanya bermanfaat sebagai pedoman bagi Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) untuk menjalankan tugasnya dalam pengendalian KKS. Selain itu, dia menambahkan, aturan yang akan diberlakukan mulai 2011 itu juga dapat digunakan untuk menyamakan persepsi tentang biaya-biaya yang dapat atau tidak dapat dikembalikan antara BP Migas dan auditor-auditor pemerintah seperti BPK atau BPKP.

Itu saja yang ada dalam PP ini, tidak lebih

Lebih lanjut, Pri Agung menjelaskan PP cost recovery tersebut juga makin menegaskan bahwa pendekatan birokratis memang lebih dikedepankan dalam menangani industri hulu migas. Namun, kata dia, ketentuan yang tertuang dalam PP itu tidak menjamin cost recovery akan lebih efisien karena pengendalian hal-hal teknis dan operasional tetap tidak tersentuh.

Berbeda dengan itu, sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Herawati Legowo meyakini kehadiran PP tentang cost recovery itu malah akan meningkatkan investasi migas karena memberikan kepastian hukum bagi para kontraktor.

Itu [PP Cost Recovery] tidak akan mengurangi minat investor. Itu kan hanya perubahan pemindahan saham saja. Kontraktor migas mengatakan bahwa yang penting itu bukan isinya, tapi kepastian hukum. Intinya memberikan kepastian hukum kepada cost recovery itu sendiri, kata dia.

Evita Evita membantah penerbitan PP cost recovery itu dikarenakan kurangnya pengawasan BP Migas karena fungsi pengawasan dan pengendalian BP Migas tetap berjalan seperti biasa.

Cost recovery itu seperti orang tua yang mesti banyak minum vitamin dan obat agar tetap optimal. Saat ini, lapangan banyak yang sudah tua, sehingga membutuhkan biaya lebih banyak seperti teknologi yang lebih tinggi agar mampu meningkatkan produksinya. Jadi, bukan karena BP Migas, tutur Evita

 

Minyak Mentah ke 100 Dollar AS

Kompas, 29 Desember 2010

Kairo, Minggu – Analis pasar komoditas memperkirakan harga minyak mentah berpotensi besar melonjak sampai 100 dollar AS per barrel.

Pengaturan Berpotensi Distorsi


Kompas,
 15 Desember 2010

Jakarta, Kompas – Pemerintah dan DPR sepakat per akhir Maret 2011 akan menerapkan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi di kawasan Jabodetabek. Kendaraan pribadi roda empat dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi. Namun, pengaturan itu dinilai kalangan pengamat berpotensi menimbulkan distorsi dalam pelaksanaannya.

Dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, serta Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan di Jakarta, Selasa (14/12) dini hari, disepakati penerapan pengaturan konsumsi BBM subsidi secara bertahap, dimulai dari jenis premium di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang dilakukan mulai akhir Maret 2011. Sedianya pengaturan itu akan diterapkan per 1 Januari 2011.

Namun, Komisi VII DPR meminta pemerintah melakukan kajian komprehensif, termasuk dampak sosial ekonomi terkait rencana pembatasan itu. Kajian itu harus disetujui Komisi VII terlebih dahulu pada masa sidang berikutnya, yakni Januari 2011, sebelum memulai pelaksanaannya.

Pengamat minyak dan gas Pri Agung Rakhmanto mengemukakan, pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan roda empat di Jabodetabek berpotensi menimbulkan persoalan baru dan distorsi dalam pelaksanaannya.

Menurut Pri Agung, pembatasan subsidi BBM di Jabodetabek hanya akan mengurangi volume pemakaian BBM subsidi. Nilai penghematan yang diperoleh berkisar Rp 1,5 triliun.

Namun, ujar Pri Agung, tak ada jaminan bahwa pengendara kendaraan pribadi roda empat tidak akan beralih ke sepeda motor. Sejumlah potensi penyimpangan juga berpeluang muncul, di antaranya kendaraan umum memanfaatkan pembelian BBM subsidi untuk dijual lagi. Kendaraan roda empat di wilayah perbatasan Jabodetabek berpotensi membeli BBM subsidi di luar Jabodetabek.

Tidak ada mekanisme yang sanggup mengontrol dan mencegah munculnya penyimpangan dalam pelaksanaan, ujarnya. Kebijakan pembatasan BBM subsidi juga dinilai tidak antisipatif terhadap kemungkinan naiknya harga minyak dunia tahun 2011.

Pri Agung meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakan pembatasan BBM subsidi dengan mempertimbangkan opsi lain. Di antaranya, revisi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 dengan mengurangi alokasi subsidi BBM untuk kapal ikan besar dan kendaraan penunjang industri.

Selain itu, juga mempertimbangkan opsi menaikkan harga BBM premium secara bertahap Rp 200-Rp 300 per liter. Peningkatan itu akan mampu menghemat subsidi Rp 7 triliun-Rp 11 triliun. Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi Faisal Basri. Kebijakan itu akan menimbulkan banyak persoalan baru akibat disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi Rp 4.500 dan Pertamax Rp 6.900 per liter.

Menurut Faisal, akan terjadi perpindahan besar-besaran masyarakat di wilayah perbatasan Jabodetabek ke luar wilayah untuk mencari BBM subsidi. Dampaknya, terjadi kelangkaan di daerah sekitar Jabodetabek yang memasok BBM subsidi, ujarnya

Ia mengatakan, lebih baik pemerintah mengkaji opsi menaikkan harga BBM secara bertahap dan merata. Dengan kenaikan secara bertahap, pemerintah bisa fokus untuk mengalihkan subsidi dari komoditas menjadi subsidi untuk sistem jaminan sosial nasional bagi masyarakat miskin.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini mengemukakan, pemerintah dan DPR tidak memperhitungkan bahwa kendaraan pelat hitam tidak hanya digunakan untuk keperluan pribadi, tetapi juga komersial.

Apa betul 53 persen dari kendaraan pelat hitam seperti yang disebut pemerintah itu kendaraan pribadi semua. Banyak kegiatan usaha, termasuk usaha kecil menengah, yang menggunakan pelat hitam untuk kegiatan mereka. Dampaknya akan luar biasa, kata Hendri.

Dengan peralihan dari premium seharga Rp 4.500 ke Pertamax Rp 6.900 per liter, berarti ada kenaikan Rp 2.400 per liter yang harus ditanggung konsumen. Kenaikan biaya transportasi ini otomatis akan mendorong kenaikan biaya produksi.

Hendri mengatakan, dampak kenaikan biaya ini akan memunculkan efek bergulir luar biasa yang mengakibatkan daya beli masyarakat turun dan daya saing produk Indonesia melemah.

Pemerintah harus ingat, tahun 2011 tahun tekanan tinggi terhadap inflasi. Dampaknya tidak sebanding dengan penghematan subsidi hanya Rp 3,8 triliun, ujar Hendri.

Penjualan ilegal BBM

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas Tubagus Haryono mengakui, bakal banyak celah praktik untuk mengakali mendapatkan BBM subsidi, penimbunan, atau penjualan BBM secara ilegal.

Kami sudah memperkirakan, warga yang tinggal di wilayah perbatasan Jabodetabek, terutama Tangerang, bisa berupaya mendapatkan BBM bersubsidi di luar wilayah. Ini akan sulit dikontrol karena memang tidak ada aturan pembeli BBM harus sesuai domisili, kata Tubagus.

Praktik penimbunan BBM bersubsidi untuk dijual lagi oleh pengemudi kendaraan umum juga berpotensi sangat besar. Apalagi kalau tidak ada pembatasan pemakaian, bisa-bisa angkot itu bolak-balik puluhan kali hanya untuk menimbun BBM. Ini yang sedang kami siapkan antisipasinya dengan menggunakan kartu kendali, pemakaian BBM kendaraan umum perlu dibatasi, ujarnya.

Menurut Tubagus, dibutuhkan koordinasi antara BPH Migas, Gaikindo, Kementerian Perhubungan, dan Polri terkait pendataan kendaraan angkutan umum dan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi.

Diakui Tubagus, waktu tiga bulan sebelum kebijakan diterapkan pada Maret 2011, rawan terjadi penimbunan dan praktik penjualan BBM subsidi antarwilayah. Ini masalah-masalah yang harus kita antisipasi mengingat disparitas harga premium dan Pertamax yang besar sekali, ujarnya

Mendorong Kembali BBG untuk Transportasi
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute)
Suara Pembaruan, 13 Desember 2010

Pembatasan BBM Terkendala Infrastruktur

KOMPAS.com, 11 Desember 2010

JAKARTA, Pemerintah sudah menggembar-gemborkan rencana kebijakan pembatasan BBM bersubsidi akan diterapkan per 1 Januari mendatang. Namun, rencana ini tampak tak sadar diri. Pasalnya, pemerintah dinilai belum siap.

“Pemerintah, menurut saya, belum siap dalam penerapan, misalnya dalam infrastruktur,” ungkap Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi di diskusi mingguan Polemik, Sabtu (11/12/2010).

Komaidi mengatakan, dari 600 SPBU yang terdata di DKI Jakarta, baru sekitar 400 SPBU yang dinilai siap menyalurkan pertamax saat ini. BPH Migas mencatat butuh waktu 6 bulan sampai 1 tahun untuk bisa menyiapkan 200 SPBU yang lain untuk mampu menjual pertamax.

Sementara itu, lanjutnya, dari seluruh SPBU di Jawa dan Bali, baru 35 persen SPBU yang siap. Oleh karena itu, tampaknya, menurut Komaidi, rencana kebijakan ini seperti melakukan testing the water. Pengamat ekonomi LIPI, Latif Adam, juga menegaskan bahwa pemerintah belum siap. Jika ditujukan untuk tujuan pro-growth, pun jelas tak cocok. Selain infrastruktur, pemerintah juga belum siap dalam antisipasi masa peralihan.

“Kalau kebijakan ini diberlakukan, pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke transportasi umum. Jadi belum ada setting pengguna kendaraan pribadi ke umum. Selain itu juga, kalau tidak dipersiapkan, ada blackmarket untuk BBM bersubsidi ini,” katanya.

Pemerintah juga harus memikirkan cara memenuhi permintaan pertamax yang tinggi dari masyarakat nantinya. Diperkirakan setidaknya ada kebutuhan sekitar 4 juta kiloliter setelah kebijakan diterapkan. “Mau dari mana?” tandasnya.

Pasar LNG Indonesia Terancam Direbut Australia

Investore Daily, 8 Desember 2010

JAKARTA- Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto mengingatkan, pasar gas alam cair (LNG) dari Indonesia terancam direbut Australia dalam beberapa tahun mendatang.

Pembatasan BBM Bersubsidi Kembali ke Titik Gamang

Media Indonesia, 30 November 2010

JAKARTA–MICOM: Pemerintah semakin terkesan tidak memiliki koordinasi yang baik di dalam penetapan pembatasan BBM bersubsidi (Pso) untuk tahun 2011 nanti. Apabila ini berlarut-larut, dikhawatirkan akan terjadi penimbunan BBM Pso dan reaksi pasar yang berlebihan seiring implementasi kebijakan yang (katanya) akan digulirkan pada 1 Januari 2011 ini.

Setelah pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada Senin (29/11), Direktur Pemasaran Pertamina Djaelani Sutomo mengemukakan pemberian BBM Pso hanya terhadap seluruh kendaraan plat kuning serta kendaraan roda dua dan tiga saja, Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo menegaskan belum ada kepastian mengenai hal tersebut.

Ditemui para wartawan di Jakarta, Selasa (30/11), Evita mengaku progres pembatasan BBM Pso tahun 2011 masih di dalam tahap pembatasan. “Kita masih diskusikan,” jelas Evita.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengaku tidak habis pikir dengan langkah-langkah apa yang dilakukan pemerintah.

“Kredibiltias pemerintah menjadi dipertanyakan,” imbuh Pri Agung pada perbincangan dengan Media Indonesia di Jakarta, Selasa (30/11).

Pri Agung mengkhawatirkan apabila kesimpangsiuran ini berlangsung lebih jauh, potensi terjadinya panic buying alias reaksi pasar yang berlebihan semakin besar. Selain itu, ketidaktegasan pemerintah dapat berdampak terhadap penyalahgunaan BBM Pso seperti penimbunan dan sikap apatis dari lapisan masyarakat tertentu.

“Saya lihat memang masing-masing masih jalan sendiri. Belum ada koordinasi, dan jadinya berhenti pada tahap wacana lagi. Hal ini karena dari kalangan pemerintahan sendiri masih belum matang. Sebaiknya kan tidak perlu banyak diungkapkan, jadikan satu suara dulu baru dibeberkan ke masyarakat sehingga masyarakat tidak menjadi apatis. Garis bawahnya, pemerintah seperti tidak konsisten. Dulu, katanya akan membereskan penyelundupan dan membenahi Perpres supaya kendaraan industri tidak memakai BBM Pso. Itu belum ditempuh, sudah ada pembatasan,” jelas Pri Agung.

Pada rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (29/11), jajaran direksi PT. Pertamina (Persero) mengemukakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan depot di pulau Jawa, Madura, Bali, dan sebagian NTT telah siap untuk menjalankan opsi pembatasan BBM Pso terhadap mobil pelat kuning, roda dua, dan roda tiga untuk tahun 2011.

Padahal, Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengemukakan belum ada kepastian mana opsi yang akan dipakai. Ia hanya mengatakan ada dua opsi yang akan diserahkan terhadap DPR dan opsi yang kedua adalah seluruh kendaraan plat kuning, kendaraan roda dua dan tiga serta kendaraa plat hitam produksi sebelum tahun 2005. Baik Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh dan Dirjen Migas ESDM Evita Herawati Legowo pun mengemukakan dua opsi itu yang akan diserahkan ke DPR pada 6-9 Desember nanti.

Kendati demikian, baik Hatta, Darwin, maupun Evita secara senada mengatakan opsi pertama memang lebih mudah untuk diterapkan dan distorsi di masyarakatnya pun cenderung minim.

Sementara itu, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono yang ditemui di tempat yang sama setelah RDP Komisi VII DPR RI dan BPH Migas ditunda, mengatakan dirinya tidak punya kapasitas untuk mengemukakan opsi mana yang dipakai.

“Itu domain pemerintah, yakni Kemenkeu dan Kementerian ESDM. Kesiapan BPH Migas adalah melakukan pengaturan. Kita tunggu dulu perpresnya karena kalau mengatur pembatasan jenis kendaraan tertentu harus kita siapkan mekanismenya. Dari perspektif BPH Migas, semakin cepat perpres diperbaiki dan keluar makin memudahkan kami melakukan prognosa,” tutur Tubagus yang mengharapkan raker minggu depan dengan Menteri ESDM dapat mempercepat sosialiasi. (OL-3)

Lagu Lama Pembatasan BBM Bersubsidi
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute)
INVESTOR DAILY, 29 November 2010