Rencana pembatasan BBM bersubsidi dinilai terburu-buru

Bisnis Indonesia, 23 November 2010

JAKARTA: Rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai awal 2011 dinilai terburu-buru jika tanpa dibarengi dengan sosialisasi dan persiapan yang jelas.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan pembatasan BBM berdasarkan tahun pembuatan mobil 2005, secara hitungan di atas kertas memang bisa mengurangi konsumsi premium hingga 7,08 juta kiloliter (kl) per tahun atau setara dengan Rp10,6 triliun.

“Akan tetapi, dengan persiapan yang tidak jelas hingga sekarang ini, serta minimnya sosialisasi, saya ragu ini akan bisa diterapkan dengan baik di awal 2011,” ujar Pri Agung kepada Bisnis, siang ini.

Sebelumnya, pemerintah memastikan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi akan berlaku per Januari 2011, meski target sasarannya belum diputuskan apakah seluruh kendaraan bermotor pelat hitam atau hanya yang diproduksi pada 2005 ke atas.

Menurut dia, pembatasan dengan skenario tersebut implementasinya tidak mudah karena memerlukan kesiapan pelaksana di lapangan dalam membedakan atau mengidentifikasi kendaraan berdasarkan tahun.

Pri Agung mengemukakan cara yang paling efektif dan relatif lebih sederhana implementasinya yakni dengan membatasi hanya kendaraan umum dan roda dua saja yang masih berhak mengonsumsi BBM subsidi.

“Hanya cara ini butuh keberanian dan ketegasan pemerintah untuk tidak populis, untuk tidak ingin selalu terlihat baik di mata masyarakat.”

Dia menuturkan apapun pilihan pembatasan yang akan diterapkan, masyarakat perlu tahu dana penghematan yang diperoleh digunakan untuk apa.

“Karena semestinya dari dana penghematan itu bisa digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat seperti pembenahan transportasi publik atau pengembangan energi alternatif sehingga tidak lagi bergantung ke BBM.” (zuf)

BP Migas Diusulkan Jadi BUMN Pengurus Kontrak Migas

Detik finance, 9 November 2010

Jakarta – Badan Pengawas Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) sebaiknya diubah bentuknya menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan menjadi sebuah BUMN, BP Migas akan khusus menangani kontrak-kontrak perusahaan migas sehingga tidak ditangani oleh Pertamina saja. Demikian hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics Pri Agung Rakhmanto dalam seminar di Hotel Nikko, Jalan M Thamrin, Jakarta, Selasa (9/11/2010).

“Posisi BP Migas sebagai BUMN baru ini sejajar dengan Pertamina dan keduanya berada di bawah Kementerian ESDM (Energi, Sumber Daya, dan Mineral),” katanya.

Hal ini terkait dengan urgensi revisi UU Migas 22/2001 dari sisi tata kelembagaan di sektor hulu. Menurutnya, UU tersebut memiliki kelemahan dalam aspek penguasaan wilayah migas oleh negara, sehingga melemahkan salah satu aspek terpenting dalam ketahanan energi nasional. Ia mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi 21-12-2004 yang mengharuskan revisi terhadap Pasal 12 ayat 3 yang berbunyi, Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.

“Frase ‘diberi wewenang’ dipandang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33,” katanya.

Dengan demikian, selama UU migas itu tidak direvisi maka tidak ada jaminan bahwa negara atau dalam hal ini perusahaan migas negara (Pertamina) akan menguasai dan mengelola wilayah migas di tanah airnya sendiri.

Selain itu, revisi UU migas itu juga bisa melemahkan iklim investasi, khususnya untuk investasi eksplorasi, sehingga membahayakan kelangsungan sektor hulu migas nasional ke depan. Hal ini disebabkan karena di dalam pengusahaan sektor hulu migas, sebagian kuasa usaha hulu migas diserahkan bukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi kepada Badan Hukum Milik Negara, yaitu BP Migas.

“Pasal 12 ayat 3 dengan frase ‘diberi wewenang’ itu sesungguhnya tidak akan ada jika kuasa usaha hulu migas diberikan kepada BUMN,” imbuhnya. Atas dasar inilah, ia mengusulkan BP Migas bisa berubah bentuk menjadi sebuah perusahaan pelat merah. Jika hal itu sudah terjadi, Pertamina dalam hal ini tidak lagi berkontrak dengan BP Migas. Pertamina akan mendapatkan kewenangan pengelolaan dan pengusahaan wilayah migas tertentu yang diterapkan Kementerian ESDM.

BUMN baru yang khusus menangani kontrak-kontrak pengusahaan migas ini dijalankan atas dasar prinsip korporasi sehingga bisa melakukan aktifitas dalam bentuk penyertaan modal terhadap wilayah-wilayah kerja yang dinilai menguntungkan bagi negara. “Kementerian ESDM, dalam hal ini Ditjen Migas, menjadi penentu wilayah mana yang akan diserahkan pengelolaannya kepada Pertamina atau BUMN baru ini,” ujarnya.

Alternatif lainnya, menurut Pri Agung, pemerintah bisa menempatkan BP Migas menjadi salah satu unit atau direktorat usaha di bawah Pertamina, khusus untuk menangani pengusahaan kontrak-kontrak migas seperti di negara lain.

Akuisisi Medco, Pertamina Perkuat Sektor Hulu

Investor Daily,A�8 november 2010

JAKARTA -A�Langkah PT Pertamina (Persero) mengakuisisi saham PT Medco Energi Internasional Tbk (Medco) diprediksi sebagai tindakan bisnis strategis dari BUMN migas tersebut untuk memperkuat sektor bisnis hulu. Demikian dikemukakan anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto dan pengamat migas yang juga Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto ketika dihubungi, Senin.

Dito Ganinduto menilai bahwa langkah Pertamina mengakuisisi saham Medco akan memperkuat bisnis inti BUMN tersebut di sektor hulu. “Pembelian saham Medco berpotensi menguntungkan Pertamina. Sebab, Medco memiliki sejumlah ladang potensial di dalam dan luar negeri, sehingga bisa meningkatkan produksi Pertamina dan juga akan berdampak terhadap produksi nasional,” ujar anggota komisi migas DPR itu.

Berdasarkan catatan, beberapa aset Medco di antaranya perusahaan minyak Rimau, lapangan minyak Sumatra Selatan, blok minyak Sembakung, blok minyak Tiaka, blok gas Lematang, blok gas Senoro, dan lapangan gas blok A di Aceh. Di luar negeri, mereka memiliki 20 aset yang tersebar di Asia, Afrika, dan Amerika Serikat. Pri Agung mengatakan, aksi korporasi melalui pengambilalihan saham dengan kode perdagangan MEDC itu merupakan bagian dari bisnis yang dikembangkan oleh Pertamina.

Dengan demikian, langkah strategis ini membuat kapasitas produksi Pertamina bertambah, A�lanjutnya. Hal itu, jelas dia, tentu akan berdampak positif terhadap upaya mencapai target produksi migas 1 juta barel minyak per hari (boepd) pada 2015. Terlebih, Pertamina dan Medco adalah perusahaan migas nasional yang sedang berupaya menjadi pemain kelas dunia.

Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun menjelaskan langkah BUMN migas itu mengakuisisi secara tidak langsung sebagian saham Medco merupakan bagian pencapaian rencana produksi migas 1 juta barrels of oil equivalent per day (boepd) pada 2015 mendatang.”Kami punya target untuk memproduksi migas hingga 1 juta boepd pada 2015.

Untuk itu, Pertamina tidak bisa hanya mengandalkan sumber migas dari lapangan-lapangan yang sudah ada, tetapi juga dengan cara merger dan akuisisi,” ungkap Harun. Menurutnya, Pertamina bisa mendapatkan tambahan produksi minyak sebesar 10 ribu barel per hari (bph) dari total produksi Medco sebesar 30 ribu bph setelah secara tidak langsung menguasai 27,9 persen saham Medco.

Adapun produksi minyak Medco di Indonesia per Agustus 2010 mencapai 30.974 barel per hari (bph). Capaian ini telah melebihi dari target yang ditetapkan perseroan untuk satu tahun penuh (2010), yang sebesar 29.690 bph. Tahun ini, Medco Energi menargetkan produksi migas 54.789 boepd. Sementara itu, harga rata-rata gas (gas sales average) perusahaan keluarga Panigoro tersebut mencapai 145 billion british thermal unit per day (bbtupd). (tk/ant)