Pencanangan bebas padam listrik berlebihan

Bisnis Indonesia,A�27 Juli 2010

JAKARTA (Bisnis.com): Pencanangan RI bebas pemadaman bergilir dinilai berlebihan dan hanya akan membingungkan masyarakat ketika saat ini justru pemadaman itu masih sering terjadi.

Bahkan saat ini saja masih banyak masyarakat yang belum menikmati listrik, yang ditandai dengan rasio elektrifikasi yang masih sekitar 40% di wilayah luar Jawa.

Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto mengatakan penyebab pemadaman listrik, pun yang bergilir, tidak bisa dikotak-kotakan hanya karena defisit daya pembangkit. Menurut dia, pemadaman akibat gangguan teknis atau karena kurangnya kapasitas trafo gardu induk transmisi yang juga bisa menyebabkan pemadaman terjadi meski dari sisi pmbangkitan cukup, tetap saja merupakan pemadaman.

“Sistem Jawa-Bali adalah contohnya [pemadaman yang masih kerap terjadi],” ungkapnya.

Bahkan, tuturnya, di sistem luar Jawa Bali hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum menikmati listrik. “Di luar Jawa Bali justru bukan lagi sekedar pemadaman bergilir karena listriknya memang banyak yang belum ada [rasio elektrifikasi di bawah 40%].

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Indonesia mulai bebas dari pemadaman listrik bergilir di Nusa Tenggara Barat, yang dipilih karena merupakan daerah terakhir yang berhasil membebaskan diri dari pemadaman bergilir di Tanah Air.

Direktur Utama PLN Dahlan Iskan sebelumnya mengatakan seluruh wilayah Indonesia kini telah bebas dari pemadaman listrik bergilir, atau 5 bulan lebih cepat dari target pemerintah sebelumnya. Dahlan menyebut istiliah pemadaman bergilir hanya untuk daerah-daerah yang sudah teraliri listrik.

Namun, dia juga tidak menjanjikan daerah-daerah tersebut benar-benar bebas dari pemadaman listrik, terutama pemadaman yang dipicu oleh faktor-faktor di luar kendali, seperti kerusakan infrastruktur jaringan dan distribusi akibat faktor alam. (mrp)

 

Pemerintah Harus Siap Bayar Kompensasi

Media Indonesia, 24 Jul 2010

PEMERINTAH perlu lebih proaktif dalam renegosiasi pasokan gas dengan Singapura. Langkah itu harus membuahkan hasil berupa pengalihan sebagian gas ke dalam negeri walaupun Indonesia wajib membayar kompensasi. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menegaskan hal tersebut saat dihubungi Media Indonesia, kemarin. . Menurut dia, krisis gas di dalam negeri sudah mendesak untuk segera diatasi. Pemerintah tidak bisa hanya duduk diam menunggu jawaban. “Pemerintah harus lebih proaktif. Kalau perlu, bertemu langsung dengan pemerintah Singapura.”

Sebelumnya, pemerintan menyatakan telah memulai proses renegosiasi pasokan gas ke Singapura demi mengamankan pasokan gas bagi pembangkit PT PLN (persero). “Kita sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar Singapura melalui Kementerian Luar Negeri. Sekarang sedang menunggu jadwal pertemuannya,” ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Energi (ESDM) Darwin Zahedy Saleh, kemarin.

Ia menyatakan secara khusus telah berkomunikasi dengan pihak pemerintah Singapura. Renegosiasi akan mengedepankan pendekatan kolegial sebagai negara tetangga. “Pertama-tama secara intim kita akan berkomunikasi dulu permasalahan gas di dalam negara sehingga ada pemahaman bersama. Baru kemudian kita melihat kerja samanya.”

Saat disinggung tentang volume gas yang akan direnegosiasikan, Darwin mengatakan belum dapat menentukan besarannya. Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto belum lama ini menyatakan bila Indonesia bisa mengurangi 100 juta metrik standar kaki kubik per hari {millions metric standard cubic feet per day /mmscfd) saja sudah cukup membantu PLN. Total pasokan gas ke Singapura mencapai 750 mmscfd.

Panja Konversi Sementara itu, masih terkait dengan penyediaan bahan bakar di dalam negeri, DPR memutuskan membentuk Panitia Kerja (Panja) Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Keputusan itu diambil dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM yang membahas penanganan ledakan tabung gas 3 kilogram (kg), di Jakarta, Kamis (22/7) malam.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendy Simbolon mengatakan permasalahan yang timbul dalam program konversi perlu didalami lebih jauh. “Pendalaman tersebut dilakukan pada mekanisme distribusi yang lebih tepat sasaran serta kegiatan sosialisasi yang lebih optimal kepada masyarakat,” ujarnya. Komisi VI DPR juga mendesak pemerintah segera melakukan penarikan tabung elpiji 3 kg dan peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Tabung elpiji 3 kg yang rusak dan tidak berlabel SNI ditemukan marak beredar di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Meski demikian, hingga saat ini belum ada upaya pemkab setempat untuk merazia maupun menarik tabung-tabung bermasalah tersebut dari pasaran.

Pemerintah Didesak Tarik 9 Juta Tabung Elpiji 3 Kg Tak Ber-SNI

Detik.com, 25 Juli 2010

Jakarta – Pemerintah diminta segera menarik 9 juta tabung elpiji 3 kilogram (Kg) yang tidak memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) dari peredaran.

Itu harus ditarik dan diganti baru oleh pemerintah. Tidak hanya tabungnya tapi juga aksesoris seperti selang dan regulator. Pergantiannya pun harus digratiskan, A�ujar Direktur EksekutifA�Refor-Miner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto saat berbincang dengan detikFinance, Minggu (25/7/2010).

Menurut Priagung, penarikan tersebut dapat dilakukan pemerintah dengan menggunakan data penyebaran tabung elpiji 3 kilogram pada awal program konversi dimulai dari Pertamina.

Tapi tabung tak ber SNI kan belum tentu hanya 9 juta tabung itu saja. Bisa saja lebih banyak dari itu, A�jelasnya.

Untuk itu, ia menyarankan kepada pemerintah untuk segera melakukan identifikasi terhadap daerah-daerah mana saja yang rawan ledakan, kemudian melakukan penyisiran dan memeriksa satu persatu tabung dan aksesoris elpiji 3 Kg yang ada di situ.

Kemudian yang tidak penuhi SNI itu harus dicabut, entah tabung, atau aksesorisnya. Kalau ini tidak dilakukan, maka ledakan elpiji akan sulit dicegah. Pemerintah harus serius karena ini menyangkut nyawa orang,” tegasnya.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan mengakui adanya 9 juta tabung elpiji 3 kg yang tidak memenuhi SNI. Tabung-tabung ini adalah tabung yang diimpor pada saat awal program konversi.

“Sebanyak 9 juta diimpor di awal konversi, tidak ada SNI-nya tapi itu diatur di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 85 Tahun 2008. Tapi itupun berdasarkan kualitas tabung Asia dan Australia.” kata Karen usai menghadiri Editor’s Club di Hotel Four Season, Jakarta, Jumat (23/7/2010).

Namun, Karen mengaku pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa karena yang bertugas menarik tabung elpiji 3 kg adalah Kementerian Perindustrian. Sehingga ia tidak mengetahui berapa jumlah tabung non SNI yang kini masih dipakai masyarakat.

 

Fuel price revision could target new cars

Penghematan Pembatasan BBM Subsidi Tak Signifikan

Metrotvnews.com, 16 Juli 2010

Jakarta: ReforMiner Institute memperkirakan, pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk mobil di atas tahun 2005 hanya mencakup 830 ribu kiloliter hingga akhir tahun ini. Potensi penghematannya pun tidak signifikan. Hal tersebut diutarakan Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Jumat (16/7).

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), saat ini jumlah mobil produksi setelah 2005 yang memakai premium mencapai 1,738 juta unit. “Dengan asumsi jarak tempuh rata-rata per tahun 15.788 kilometer dan konsumsi BBM 1 liter per 11 kilometer, maka konsumsi premium per tahunnya adalah 2,49 juta kiloliter,” katanya.

Selanjutnya, kalau penerapan pembatasan jadi diterapkan mulai September 2010, selama empat bulan konsumsi premium yang bisa dihemat hanya sekitar 830 ribu kiloliter. Dengan demikian, nilai penghematan subsidi BBM yang didapat hanya Rp1,25 triliun. “Tidak terlalu signifikan,” ujarnya.

Baca Selelngkapnya

Pembatasan BBM tidak Jamin Aman Kebocoran

Media Indonesia, 16 Juli 2010

JAKARTA–MI: Usulan Kementerian ESDM untuk melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (PSO) dengan melarang mobil produksi tahun 2005 ke atas belum menjamin tidak adanya kebocoran dalam prakteknya. Pun demikian halnya dengan penghematan volume dan besaran subsidi yang dihasilkan masih terbilang minim.

“Kebijakan ini tidak akan signifikan menekan volume maupun nilai penghematan. Implementasi di lapangan juga tidak gampang karena petugas SPBU harus mengenal jenis kendaraan produksi tahun 2005 atau sebelumnya. Pemakaian STNK untuk identifikasi bisa saja, namun belum menjamin tidak ada kebocoran,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, kepada Media Indonesia, Jumat (16/7).

Kecurangan yang dilakukan pemilik kendaraan dan petugas SPBU masih mungkin dilakukan disamping membuka peluang terbukanya praktek penimbunan BBM oleh pemilik mobil dibawah tahun produksi 2005 atau kendaraan umum untuk mencari keuntungan.

Menurutnya, dengan mengambil penghitungan dari tingkat konsumsi salah satu jenis BBM PSO yakni premium (bensin) saja, penghematan yang didapat tidak terlalu berarti.

Dalam hitungannya, berdasarkan data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) jumlah kendaraan yang mengkonsumsi premiun produksi tahun 2005 ke atas hanya sekitar 1,738 juta mobil, dengan asumsi jarak tempuh rata-rata per tahun 15.788 km (statistik energi Kementerian ESDM),rata-rata konsumsi premium kendaraan tersebut 1 liter untuk setiap 11 kilometer.

“Jadi per tahunnya sekitar 2,49 juta KL. Jika diterapkan mulai September, berarti penghematannya paling hanya sekitar 831,3 ribu KL atau senilai dengan Rp1,25 triliun saja,” paparnya.

Sementara mobil diesel pemakai solar yang kisarannya hanya 8%-9% (150 ribu-160 ribu unit) juga tidak akan menambah penghematan secara signifikan.

“Jadi kebijakan ini tetap tidak membuat subsidi tepat sasaran. Ini kebijakan yang masih setengah hati karena pemerintah tidak berani untuk tidak populer misalnya dengan menerapkan pembatasan konsumsi untuk kendaraan pribadi secara total,” ujarnya.

Sedangkan menurut Pengamat Transportasi Danang Parikesit menyatakan kebijakan ini akan percuma apabila pemerintah tidak membenahi infrastruktur transportasi umum.

“Saya kira sebagai instrumen pengurang subsidi bisa dilakukan, meskipun dalam praktek pengawasan di lapangan akan sulit. Namun untuk membuatnya menjadi instrumen pendorong pemakaian angkutan umum saya kira tidak,” ujar Danang.

Dampak yang justru akan terasa adalah apabila pemerintah mengalokasikan penghematan dari subsidi tersebut untuk pengembangan angkutan umum. “Kecuali kalau pengurangan subsidi bisa dialokasikan ke angkutan umum, dampaknya akan terasa signifikan,” pungkasnya. (Jaz/OL-3)

Premium Mobil di Atas Tahun 2000 Dibatasi, Subsidi Hemat Rp 6,9 T

Detik.com, 15 Juli 2010

Jakarta – Pemerintah diperkirakan dapat menghemat subsidi Rp 6,9 triliun per tahun jika penggunaan BBM subsidi untuk mobil pribadi yang diproduksi di atas tahun 2000 dibatasi. “Kalau mobil di atas tahun 2000 hanya boleh pakai BBM non subsidi mulai September, maka penghematannya sepertiga dari Rp 6,9 triliun tadi,”ujar Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto saat berbincang dengan detik finance, Kamis (15/7/2010).

Menurut dia, perhitungan itu dengan menggunakan data gabungan industri kendaraan bermotor Indonesia (Gaikindo) dan kementerian perhubungan 3,2 juta mobil pribadi di atas 2000 dengan konsumsi BBM subsidi 4,6 juta liter per tahun.

“Tapi itukan baru perhitungan saya karena sampai sekarang pemerintah masih belum memutuskan mobil pribadi produksi tahun berapa yang akan dibatasi,” jelasnya.

Ia menyatakan, rencana pembatasan mobil pribadi berdasarkan buatan tahun tertentu dikhawatirkan malah akan mendorong masyarakat membeli mobil produksi tahun lama yang lebih polusi. “Kalau mobil baru kan lebih efisien karena teknologinya baru,” jelasnya.

Lagipula, imbuh Pri Agung kendaraan roda empat produksi lama belum tentu tidak masuk dalam kategori mobil mewah. “Kaya Mercy atau Jaguar buatan tahun lama itu kan tetap saja termasuk mobil mewah. Saya khawatir kebijakan ini akan membuat subsidi tetap tidak tepat sasaran,” jelasnya.

Pri Agung menilai kalau memang pemerintah ingin menekan volume BBM bersubsidi dan subsidi yang diberikannya tepat sasaran, maka sebaiknya pemerintah melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi seluruh kendaraan pribadi. “Saya lebih suka pemerintah ambil kebijakan yang tidak populer ini. Karena walaupun semua orang kaya yang punya mobil bukan orang kaya, tapi kalau sudah bisa beli mobil, itu pasti orang mampu yang sudah tidak butuh subsidi,” paparnya.

Namun pemerintah juga tidak bisa begitu saja membatasi konsumsi BBM bersubsidi kepada seluruh kendaraan pribadi tanpa menyelesaikan akar masalah membludaknya jumlah motor dan mobil di tanah air yaitu buruknya transportasi umum.

“Orang milih pakai motor dan mobil itukan karena transportasi umum kita buruk, makanya kalau mau membatasi penggunaan BBM bersubsidi, pemerintah juga harus memperbaiki transportasi umum,” tambahnya.

Seperti diketahui, menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh menyatakan pemerintah berencana untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan roda empat buatan tahun tertentu. Hal itu merupakan salah satu opsi yang akan diajukan pemerintah ke DPR dalam waktu dekat. Sayangnya, Darwin enggan menyebutkan mobil produksi tahun berapa yang akan dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Namun, Ia memastikan sepeda motor dan transportasi umum boleh menggunakan BBM subsidi.

High tariff will not encourage new investment; Analysts

THE JAKARTA POST/JAKARTAJuly 5th, 2010

A recent power tariff increase may help the government cope with electricity budget deficit in a short term, but analysts say this will not automatically boost investment in the sector. Energy and Mineral Resources Minister Darwin Zahedy Saleh said last weeks recent power tariff increase by an average of 10 percent also aimed at attracting more investors. Tor investors and power producers, the new tariff will send positive signals for them to invest in the sector,” Darwin said.

But, Pri Agung Rakhmanto, energy analyst fromA�ReforMiner Institute, said the increase would have no significant impact on investment as the tariff was still far lower than the market price. Citing data from the 2010 revised state budget, Pri Agung said that with the tariff increase of 10 percent, the average power tariff from state power firm PLN would be at Rp 732.08 (8.1 US cents) per kilowatt an hour (kWh) or still far less than the companys production cost, which is Rp 1,105.94 per kWh. “Even with the 10 percent in-crease, the power tariff is still subsidized, thus it will not attract much investment,” he said.

Pri Agung added that the growing number of power projects during the first three years was not because of the power tariff but more to guarantee the incentives provided by the government under its 10,000 MW fast track electricity program.Investments in the power sector began to increase in 2006 following the government launching the 10,000 MW fast track program. Between 1997 and 2006, investment in the sector was almost at standstill due to the governments retrenchment program to reduce the impact of the Asian financial crisis in early 2008, which also severely hurt Indonesia. Since most of the power plants under the projects are still construction, most regions across the country are still prone to blackouts due to limited power supply and overburden grids. At present, the electricity service has covered only about 65 percent of the population.

The new electricity law actually provides wide opportunities for private investors as it allows the regional governments to activelywork with state-owned enterprises or independent power producers (IPP) to provide electricity to their respective areas. Former PLN deputy president director Rudiantara said that the power increase by 10 percent would slightly help the companys cash flow, but do almost nothing for investment “This will not increase PLNs profitability and, as the results show, this will not increase the interest of the IPP to cooperate with PLN,” he said. Energy analyst Herman Darnel Ibrahim said PLNs lenders did not see the tariff as the factor, but it would look at the margin given by the government to PLN. For the past two years, the government began to allocate what is called the “margin” or return for PLN to help the company finance new investments. As for this year, the government and lawmakers agreed to provide PLN with a margin of 8 percent of the companys production cost PLNs business and risk management director Murtaqi Syamsuddin said that PLNs total production cost would reach Rp 140 trillion, meaning that the company would receive a gross return of about Rp 1.L2 trillion.

 

DPR Tolak Pembentukan BP Migas Aceh

REPUBLIKA, 14 Juli 2010

JAKARTA – DPR menolak tentang wacana pembentukan BP Migas Aceh. Anggota Komisi VII DPR, Satya W. Yudha menyatakan DPR hanya mendukung adanya kantor-kantor perwakilan BP Migas seperti yang sudah dilaksanakan di Surabaya, Pekan Baru dan juga Aceh untuk efektifitas rentang kerja BP Migas. ”Tapi kita akan menolak dibentuknya BP Migas tandingan di Aceh,” kata Satya kepada Republika, Rabu (14/7).

Dalam pandangan Satya, pembentukan BP Migas Aceh bertentangan dengan UU Migas tahun 2001. ”Dalam UU Migas 2001 disebutkan bahwa dalam sektor migas diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak ada kewenangan sedikit pun di daerah,” kata Satya.

Hal ini lanjut Satya mengingat produksi migas merupakan penyangga APBN kita selama ini.”Pemerintah harus tegas dalam masalah ini,” kata Satya. Satya menegaskan bahwa otonomi yang diberikan di Aceh tidak meliputi masalah keuangan negara, hubungan luar negeri, pertahanan dan juga sektor migas. ”Mengawinkan UU Migas dengan UU Aceh bukan domain pemerintah, maka kami berpegang pada UU yang saat ini mengatur BP Migas yaitu UU Migas 2001,” tandas Satya.

Namun pendapat berbeda datang dari pengamat perminyakan. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menyatakan pembentukan BP Migas Aceh tidak bertentangan dengan UU Migas. Bahkan Pri menyarankan agar BP Migas Aceh terbentuk tetapi terintegrasi dengan pusat. ”Kalau mengacu pasal 160 ayat 1 dan 2 UU Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006 di mana kewenangan pengelolaan migas Aceh itu adalah bersama, itu sebaiknya terintegrasi,”kata Pri kepada Republika, Rabu (14/7).

Namun BP Migas Aceh ini kata dia dibentuk dengan personel baru gabungan yang dipimpin oleh orang yang dikehendaki rakyat atau Pemerintah Aceh. ”Jika terpisah, bukan hanya koordinasinya yang sulit tapi juga masalah adminsitrasinya, anggaran dan konsekuensi fiskalnya jadi lebih rumit,” katag Pri Agung.

Pri Agung menambahkan, pembentukan BP Migas Aceh berdasar pasal 160 ayat 2 UUPA itu juga optional, yakni tidak harus. ”Ini juga bukan BP migas tandingan, tapi berdasar UUPA tersebut dapat dibentuk bersama dengan pusat,” kata Pri Agung. ”Jadi menurut saya tidak bertentangan dengan UU Migas, apalagi jika diintegrasikan,” kembali Pri Agung menegaskan.

UUPA dan Pengelolaan Migas Aceh
Pri Agung Rakhmanto-Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Serambi Indonesia, 14 Juli 2010
UUPA dan Pengelolaan Migas Aceh

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah banyak memberikan perubahan pada penyelenggaraan kehidupan masyarakat Aceh di segala bidang. Satu diantaranya yang cukup signifikan adalah pengelolaan sumber daya alam, termasuk di dalamnya secara khusus pengelolaan minyak dan gas bumi (migas). Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 160 Ayat 1 UUPA, Pemerintah Aceh kini memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan sumber daya migas bersama dengan Pemerintah Pusat. Dalam Ayat 2 Pasal yang sama kemudian disebutkan bahwa untuk melakukan pengelolaan migas tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. Dalam konteks pengelolaan migas nasional, khususnya menyangkut kewenangan dan keterlibatan daerah, ketentuan dalam UUPA ini sejatinya merupakan salah satu buah perjuangan Rakyat Aceh yang telah memakan waktu puluhan tahun dan merenggut ribuan korban jiwa. Pencapaian yang sangat berharga ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya secara arif dan bijaksana oleh Pemerintah dan DPR Aceh agar sumber daya migas yang ada di wilayah Aceh benar-benar memberikan manfaat dan kemakmuran yang nyata dan sebesar-besarnya bagi rakyat Aceh.Ujian Satu ujian pertama yang kini dihadapi Pemerintah dan DPR Aceh dijumpai pada kasus pengelolaan migas di wilayah Blok A. Blok A yang berlokasi di daerah Kuala Langsa hingga Tualang Cut, merupakan wilayah kaya akan migas, yang di dalam pengembangannya saat ini dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) PT. Medco E&P Indonesia beserta dengan mitra konsorsiumnya. Kontrak Medco pada Blok A tersebut akan berakhir pada 31 Agustus 2011. Ujian yang dimaksudkan di sini terkait keputusan perpanjangan kontrak Medco pada Blok A tersebut; Apakah Pemerintah dan DPR Aceh sebaiknya menyetujui perpanjangan kontrak Medco pada Blok A tersebut sesegera mungkin sebelum kontrak berakhir ataukah sebaiknya menangguhkan persetujuan perpanjangan kontrak hingga terbitnya Peraturan Pelaksana (PP) dari UUPA yang ada-yang mungkin akan menjadi dasar pelaksanaan terbentuknya badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh. Opsi pertama, menyetujui perpanjangan kontrak sesegera mungkin, dapat dikatakan merupakan pilihan yang memberikan kepastian dan kejelasan bagi semua pemangku kepentingan yang ada.

Bagi Pemerintah dan DPR Aceh, dan juga rakyat Aceh secara keseluruhan, kepastian yang lebih jelas akan adanya aliran pendapatan daerah dari dana bagi hasil produksi migas akan dapat diperoleh dari perpanjangan kontrak yang lebih segera. Dari sini Pemerintah dan DPR Aceh akan dapat membuat perencanaan program-program pembangunan dengan dasar acuan yang relatif lebih terkontrol dan lebih terukur. Hal yang sama juga berlaku bagi Pemerintah Pusat, dimana penerimaan negara yang bersumber dari migas sebagiannya juga bergantung pada pengusahaan Blok A ini. Bagi Medco, kepastian ini juga akan sangat berguna untuk perencanaan dan realisasi investasinya. Semakin cepat kepastian perpanjangan kontrak Blok A diperoleh, semakin cepat pula Medco dapat merealisasikan investasinya, yang pada gilirannya akan semakin cepat pula manfaat ekonomi dari pengembangan Blok A ini dapat dirasakan semua pemangku kepentingan yang ada.

Patut untuk diperhatikan di sini, telah lebih dari 30 tahun sejak potensi migas di Blok A ini ditemukan (kurang lebih tahun 1972), pengembangannya banyak menemui hambatan terutama karena nilai ekonominya yang tergolong marjinal (cadangan gas hanya berkisar 343 BSCF) dan tingginya tingkat risiko investasi yang ada. Salah satu aspek yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai titik lemah dari opsi pertama ini adalah hanya jika kontrak diperpanjang di saat belum terbentuk badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh, maka kewenangan pengelolaan migas dikhawatirkan tetap akan ada di tangan Pemerintah Pusat dan bukan di tangan Aceh sendiri. Opsi kedua, menangguhkan persetujuan perpanjangan kontrak hingga menunggu terbitnya PP dari UUPA, terlebih menunggu dibentuknya badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh, membawa konsekuensi pada adanya ketidakpastian dalam berbagai aspek.

PP dari UU PA tentu tidak bisa begitu saja diterbitkan hanya semata karena dorongan untuk segera mengambil keputusan tentang perpanjangan kontrak Blok A. Penerbitan PP memerlukan kajian dan pertimbangan yang saksama dan komprehensif. Pembentukan badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh, jika mengacu pada Pasal 160 Ayat 2 di atas, sejatinya juga dapat dikatakan bukan merupakan suatu keharusan, tetapi lebih merupakan suatu pilihan yang mungkin bisa diterapkan ataupun tidak di dalam konteks pengelolaan migas bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dalam praktik industri migas di banyak negara, pengelolaan migas pun tidak selalu dilakukan melalui suatu badan pelaksana. Di tingkat nasional, saat ini juga sudah mulai bergulir wacana untuk kemungkinan ditiadakannya badan pelaksana migas tersebut, karena dalam banyak aspek dipandang tidak cukup kondusif untuk pengelolaan sektor migas secara keseluruhan. Dengan kata lain, meskipun opsi kedua tampaknya menjanjikan sesuatu yang lebih, khususnya dalam hal kewenangan mengelola , unsur ketidakpastian menyangkut kapan dapat diwujudkannya akan hal itu juga tinggi.

Perlu untuk menjadi perhatian bersama bahwa kontraktor migas-siapapun itu, nasional ataupun asing-memerlukan kepastian yang jelas untuk bersedia menanamkan investasinya. Dalam pada itu, investasi yang ditanamkan saat ini, terlebih jika berkaitan dengan kegiatan eksplorasi dan produksi migas, juga tidak akan langsung membuahkan hasil saat ini juga, sehingga aspek waktu menjadi penting dalam hal ini. Mencermati perkembangan kasus Blok A hingga saat ini, setidaknya sebagaimana yang diberitakan Serambi (18 Mei 2010), bahwa dari pertemuan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah pada 17 Mei 2010 lalu, telah disetujui bahwa kontrak Medco di Blok A diperpanjang dengan syarat-tidak merugikan Aceh dan Medco akan mengikuti PP Migas bila nanti telah disahkan-, apa yang diputuskan tersebut sesungguhnya dapat dikatakan sudah tepat. Dalam hal ini, sisi positif dari opsi pertama, yaitu masalah kepastian yang dinantikan semua pemangku kepentingan, telah dipenuhi, dan sisi positif dari opsi kedua, yaitu concern terhadap masalah kewenangan pengelolaan oleh Aceh, juga relatif telah terakomodasi. Dengan memberikan persetujuan perpanjangan kontrak Blok A segera namun bersyarat ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah dan rakyat Aceh tetap akan dapat memetik manfaat dari pengembangan Blok A ini dengan lebih pasti, tanpa harus khawatir bahwa kewenangan pengelolaan nantinya tidak berada di tangan Aceh. Tanpa adanya badan pelaksana migas untuk wilayah Aceh pun, dengan ketentuan Pasal 160 UUPA, sudah begitu jelas bahwa Pemerintah Aceh-dengan persetujuan DPR Aceh-mempunyai kewenangan mengelola sumber daya migasnya.