Donggi Senoro dan Jargon Ketahanan Energi Nasional
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute)
Kontan Mingguan, Edisi 30 November – 6 Desember 2009

Roda pemerintahan yang baru telah berjalan lebih dari sebulan. Penyelesaian masalah Donggi-Senoro yang sudah terkatung-katung selama hampir kurang satu tahun masih juga belum tuntas. Ketegasan, kejelasan, dan (barangkali yang lebih tepat) keterusterangan dari Pemerintah terkait penyelesaian akhir dari masalah ini yang sesungguhnya sudah sangat diharapkan dan dinantikan oleh semua pihak dan semua pemangku kepentingan terkait masalah ini tak kunjung muncul. Yang muncul justru hanya sinyal-sinyal yang sering berganti-ganti arah haluan di suatu waktu memberikan sinyal bahwa gas Donggi Senoro akan dialokasikan untuk domestik, di lain waktu mengindikasikan bahwa gas Donggi Senoro tetap untuk ekspor – dan makin membuat ketidakpastian bagi semua pihak (atau setidaknya bagi pihak-pihak yang masih dapat dibingungkan oleh semua sinyal itu).

Bagi penulis, sinyal-sinyal dan apa yang dimunculkan di permukaan tersebut sesungguhnya cenderung hanya merupakan upaya mengulur-ulur dan membuang waktu saja (buying time). Sambil tentunya merupakan upaya testing the water untuk mengetahui arah angin dan timing yang dirasa tepat untuk dieksekusinya suatu kebijakan penyelesaian akhir yang dalam gelagatnya sudah diskenariokan sejak lama. Ya, bagi penulis, kemungkinan penyelesaian akhir dari kasus Donggi Senoro ini sesungguhnya sudah terang benderang sejak lama, yaitu bahwa pada akhirnya gas Donggi Senoro ini tetap ditujukan untuk ekspor.

Ada beberapa argumen yang mendasari hal ini, diantaranya adalah: Pertama, bahwa skema pengusahaan yang dipilih dalam pengembangan gas Donggi Senoro sejak dari awal adalah skema hilir (downstream). Dengan skema hilir berarti kilang LNG yang akan dibangun dan LNG yang akan dihasilkan dari kilang tersebut pada gilirannya tidak akan menjadi milik Pemerintah, namun milik si investor penyandang dana pembangunan kilang tersebut. Konsekuensinya, hak dan kewenangan untuk mengalokasikan penjualan LNG yang dihasilkan, apakah untuk domestik ataupun untuk ekspor bukan di tangan Pemerintah tetapi di tangan si pemilik kilang. Kedua, dalam kaitan dengan skema hilir yang digunakan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa dalam kasus Donggi Senoro ini ketergantungan Pemerintah dan pihak nasional yang terlibat di dalamnya dalam hal ini Pertamina sebagai BUMN dan Medco dari pihak swasta nasional baik dalam hal finansial maupun teknologi terhadap Mitsubishi tampaknya sangat tinggi.

Mitsubishi tidak saja memegang mayoritas kepemilikan saham dalam konsorsium pembangunan kilang LNG Donggi Senoro (Mitsubishi memegang 51% saham, sementara Pertamina 29% dan Medco 20%) tersebut namun de facto juga tampak sebagai penentu dalam go or no go nya proyek ini. Bahwa Pertamina dan Medco tampak sangat gusar manakala diharuskan mengalokasikan produksi LNGnya untuk domestik kiranya cukup mengindikasikan dengan jelas betapa sesungguhnya yang menjadi penentu dalam kasus ini adalah Mitsubishi. Sebagaimana diketahui, Mitsubishi menginginkan agar LNG yang nantinya dihasilkan diekspor ke negaranya, Jepang.

Maka, manakala ada tuntutan agar LNG yang dihasilkan tidak diekspor keberlanjutan proyek ini menjadi tanda tanya besar karena kemungkinan hengkangnya Mitsubishi dari konsorsium. Dalam konteks ini patut dicatat bahwa orientasi kepentingan bisnis tampaknya jauh lebih dikedepankan oleh para pelaku nasional yang terlibat dalam konsorsium itu dibandingkan dengan visi turut mengamankan pasokan kebutuhan energi dalam negeri. Dan sikap Pemerintah dalam hal ini pun tampaknya demikian. Pernyataan dari salah seorang pejabat Pemerintah dan beberapa kalangan di parlemen yang menekankan bahwa yang penting proyek ini harus tetap jalan kiranya tidak hanya menunjukkan superioritas kepentingan bisnis diatas kepentingan ketahanan energi nasional secara gamblang, tetapi sesunguhnya juga telah secara terang benderang menunjukkan ke arah mana kasus ini akan bermuara.

Dari kedua hal di atas dan ditambah dengan track record yang ditunjukkan Pemerintah kita sendiri selama ini yang cenderung lebih senang memenuhi kebutuhan energi negara lain ketimbang mencukupi kebutuhan energi domestik, apa yang bisa kita simpulkan secara sederhana sebenarnya adalah bahwa peningkatan ketahanan energi nasional yang telah dan selalu digembar-gemborkan sejak lama pada kenyataannya masih tetap saja hanya sebatas jargon. Sementara implementasi nyatanya dengan berbagai argumen, dalih, dan justifikasi lainnya masih sangat minim. Tak ada political will yang sungguh-sungguh untuk mewujudkannya, sehingga tak ada pula langkah terobosan signifikan yang dilakukan untuk itu. Ketika Negara-negara lain sudah sampai tahap menerapkan pengembangan teknologi Gas to Liquid (untuk mengkonversi gas-gas yang jangkauan infrastrukturnya terbatas menjadi bahan bakar cair yang bisa menggantikan fungsi bbm), membangun pipa transmisi-distribusi gas dan terminal penerima LNG yang nyata-nyata saat ini sudah sangat dibutuhkan untuk pembangkit-pembangkit listrik PLN pun kita tak kunjung merealisasikannya.

Maka, sesungguhnya tak perlu heran jika pemadaman listrik bergilir yang salah satunya disebabkan karena pembangkit listrik yang ada tidak mendapatkan pasokan gas pun kini sudah makin sering melanda Ibu Kota Negara kita. Secara sadar, ternyata (sebagian) dari kita sendiri yang melakukannya dan terus melanjutkannya. Kasus Donggi Senoro yang sesungguhnya (untuk kesekian kalinya) dapat menjadi titik awal dan momentum yang tepat untuk berubah dan untuk memulai satu demi satu perbaikan kondisi energi nasional yang sudah karut marut tampaknya atas nama kepentingan bisnis juga hanya akan dilewatkan begitu saja.

 

Saatnya Tak Bergantung (Lagi) pada Minyak
Pri Agung Rakhmanto
Koran Sindo, 15 November 2009

SERUANuntuk mengubah paradigma untuk beralih dari mengandalkan minyak sebagai penopang penerimaan negara dan sebagai sumber energi utama dalam pemanfaatan energi di Tanah Air sesungguhnya sudah digaungkan sejak lebih dari dua dekade lalu. Seruan itu pun sudah (selalu) dituangkan ke dalam dokumen-dokumen kebijakan energi nasional yang selama ini kita miliki.Namun karena hanya terhenti pada tataran (dokumen) kebijakan,sementara pada tataran eksekusi dan implementasinya minim, ketergantungan negeri ini terhadap minyak, baik dalam hal penerimaan negara maupun dalam hal pemanfaatan sumber energi masih tetap dominan hingga kini. Dalam hal penerimaan negara, selama lima tahun terakhir di mana harga minyak rata-rata mencapai USD64 per barel, kurang lebih 30% penerimaan negara di APBN masih bersumber dari minyak.

Dalam hal bauran energi, sejak awal 1990- an hingga saat ini,lebih dari 45% bauran energi primer dan 60% bauran energi final juga masih didominasi minyak. Kondisi seperti ini tentu bukanlah merupakan sesuatu yang layak dibanggakan atau patut dilanjutkan. Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasarinya. Pertama, karena jumlah cadangan minyak kita yang terbatas. Posisi saat ini, cadangan minyak terbukti (proven oil reserves) hanya ada di kisaran 3,75 miliar barel (hanya 0,4% dari total cadangan terbukti minyak dunia). Dengan tingkat produksi saat ini yang mencapai kurang lebih 345 juta barel per tahun dan jika tanpa ada penemuan cadangancadangan minyak baru, maka ketersediaan cadangan terbukti minyak kita akan habis hanya dalam waktu kurang dari 11 tahun dari sekarang. Upaya-upaya eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru dari potensi minyak yang (dikatakan) mencapai 80 miliar barel lebih tentu harus diintensifkan dan ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kehabisan minyak tersebut.Namun harap diingat, hal tersebut tidaklah mudah. Selain membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi, eksplorasi tidaklah selalu berhasil. Artinya belum tentu dari 80 miliar barel lebih potensi minyak yang sering dikatakan ada,semuanya dapat menjadi cadangan terbukti yang dapat diproduksikan.

Bahwa produksi dan cadangan minyak kita selama sepuluh tahun terakhir berangsur-angsur terus menurun (produksi terus turun dari di atas 1,4 juta barel per hari di tahun 1999 menjadi hanya 948 ribu barel per hari saat ini dan pada periode yang sama cadangan terbukti turun dari 5,2 miliar barel menjadi hanya 3,75 miliar barel) adalah suatu indikasi yang sangat jelas bahwa ketersediaan minyak yang dapat diproduksikan di Tanah Air sudah semakin terbatas dan langka. Selama periode itu pula, target produksi (lifting)minyak pemerintah yang menjadi salah satu asumsi dasar APBN hampir selalu gagal terpenuhi.

Dengan kondisi seperti ini, jika kita masih terus memaksakan bergantung dan mengandalkan minyak sebagai andalan penerimaan negara, maka tidak hanya APBN sajalah yang dari tahun ke tahun harus mengalami tekanan fiskal (karena target produksi tak tercapai), tapi fenomena mengobral atau menjual murah pengelolaan sumber daya minyak kepada investorinvestorlah (utamanya asing) yang akan terjadi. Dalam konteks ini, hampir dapat dipastikan bahwa untuk memacu investasi demi mengejar peningkatan produksi yang belum tentu dapat dicapai, kebijakan pemberian aneka insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang tak jarang hingga mengorbankan kepentingan energi domestik akan (selalu) ditempuh.Dampak jangka panjangnya, bisa-bisa potensi minyak yang (dikatakan) mencapai 80 miliar barel tersebut benar-benar terbukti ditemukan dan dapat diproduksi, anak dan cucu kita di kemudian hari tetap tak dapat menikmatinya secara utuh karena sudah terlebih dahulu diijonkan kepada pihak asing. Maka, ke depan kiranya menjadi lebih baik untuk tak perlu (lagi) memaksakan diri terus- menerus menggenjot produksi minyak sehingga kita bisa memiliki posisi tawar yang lebih baik sehingga pada gilirannya justru dapat mendorong lahirnya pola pengusahaan dan pengelolaan minyak yang lebih menguntungkan bagi bangsa ini.

Prinsip tidak laku saat ini tidak menjadi masalah (karena dapat dimanfaatkan anak cucu di masa mendatang) hendaknya kita kedepankan dalam pengelolaan minyak nasional. Ini hanya bisa dilakukan jika kita secara sungguh-sungguh dan konsisten bertekad untuk tidak menggantungkan lagi penerimaan negara kita pada minyak. Kedua, karena kita memiliki sumber energi lain yang ketersediaannya lebih besar dibandingkan minyak. Gas alam dan batubara adalah dua sumber energi fosil lain yang kita miliki yang mestinya mendapatkan perhatian lebih serius untuk benarbenar ditempatkan sebagai sumber energi dan bahan baku industri domestik daripada hanya sekadar sebagai komoditas yang dapat diekspor untuk menghasilkan devisa. Dengan cadangan terbukti yang juga tergolong tak terlalu besar lagi (tapi terbilang masih cukup), sekitar 106 triliun kaki kubik, dan dengan defisit gas nasional yang terjadi saat ini, orientasi produksi gas semestinya bukan lagi untuk ekspor. Pembangunan infrastruktur gas seperti pipa transmisi dan distribusi, LNG receiving terminal, mestinya tak lagi sekadar diserahkan kepada mekanisme pasar (investor), tetapi butuh inisiasi dan intervensi langsung dari pemerintah untuk memulainya.

Demikian halnya dengan batubara. Dengan cadangan mencapai 4,3 miliar ton dan potensi mencapai 104 miliar ton, penggunaan batubara untuk energi domestik, khususnya untuk pembangkit listrik mestinya juga menjadi prioritas. Selain batubara dan gas, panas bumi adalah salah satu sumber energi lain yang terbarukan yang kita miliki yang semestinya juga kita manfaatkan untuk dapat mengurangi ketergantungan energi kita terhadap minyak. Dengan total potensi mencapai 27.000 MWe lebih, sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 1.000 MWe, jelas panas bumi merupakan sumber energi yang masih sangat potensial untuk dikembangkan. Selain itu,masih ada sumber energi surya, air, coal bed methane (CBM), dan bahan bakar nabati yang kesemuanya belum tergarap secara optimal. Maka, sudah sewajarnya kita tak lagi menggantungkan minyak sebagai sumber energi kita dan sudah sewajarnya pula bila segala sumber daya dan upaya kita kini tak lagi harus terlalu difokuskan kepada minyak. Dengan melakukan itu sesungguhnya kita bukanlah mengabaikan minyak yang memang tak dapat dibantah merupakan sumber energi paling strategis di dunia melainkan kita justru memeliharanya supaya lebih sustainable. Demi pengelolaannya yang lebih baik dan menguntungkan, tidak hanya bagi kita saat ini,tetapi juga bagi generasi yang akan datang.(*)

 

Saatnya Audit Sistem Kelistrikan

WASPADA ONLINE, 15 November 2009

JAKARTA Pemerintah didesak segera melakukan audit sistem kelistrikan PLN dalam program kerja 100 hari pertama. Fokus negara pada negoisasi IPP dinilai tidak menyelesaikan masalah.

Tuntaskan Divestasi NNT

Kompas, 14 November 2009

Jakarta, Kompas -Divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara harus segera dituntaskan. Penundaan akan menjadi preseden buruk bagi divestasi perusahaan tambang lain.

Pengamat: Antam Mundur, Upaya Pemerintah Sia-sia

Republika,12 November 2009

JAKARTA–Mundurnya PT Aneka Tambang (Antam) tbk dari konsorsium divestasi Newmont disayangkan sejumlah pihak. Salah satunya adalah pengamat pertambangan

Menteri ESDM Harus Tanggung Jawab Soal Pemadaman Listrik

detikFinance, 10 November 2009

Jakarta – Masalah pemadaman listrik yang semakin sering terjadi bukan hanya tanggung jawab direksi PLN. Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh sebagai menteri teknis dinilai sebagai orang yang paling bertanggung jawab soal pemadaman ini.

“Sebenarnya ini juga jadi tanggungjawab Menteri ESDM bukan hanya direksi PLN saja,” jelas Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Selasa (10/11/2009).

Terkait pemadaman ini, Pri Agung menilai perlunya dilakukan emergency response (langkah darurat) untuk mengatasi pemadaman listrik di wilayah Jakarta.

Langkah-langkah yang bisa diambil misalnya dengan pengalokasian sejumlah dana untuk secepatnya mengganti/mengupgrade kapasitas trafo gardu induk,mengganti mesin pembangkit yang rusak, dan lain-lain.

“Intinya, PLN dan pemerintah mesti bersama-bersama terjun lansung ke hal teknis operasional,” jelas Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada detikFinance.

Selain itu, audit teknis terhadap sistem pembangkitan, transmisi dan distribusi mesti diselesaikan secepatnya.

“Jangan hanya masalah negosiasi 50 IPP saja yang jadi prioritas program 100 hari. Itu tidak menjawab masalah,” ungkapnya.

Menteri ESDM sebelumnya menyatakan, pemadaman listrik di wilayah Jakarta tidak dapat dihindari untuk jangka pendek. Ia berjanji akan mengatasi masalah pemadaman agar tidak terulang.

Agenda Utama di Sektor Energi
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute)
Koran Sindo, 10 November 2009

Pemerintah Dinilai Anak Tirikan Pertamina Soal Blok Masela

detikFinance, 5 November 2009

Jakarta – Pemerintah dinilai sangat tidak berpihak pada PT Pertamina (Persero) dengan tidak memberikan prioritas kepada BUMN Migas tersebut untuk masuk ke blok Masela.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Kamis (5/11/2009)

“Pemerintah sangat tidak berpihak pada BUMN-nya sendiri. Satu-satunya peluang yang feasible bagi Pertamina saat ini untuk dapat turut serta mengelola Blok yang cadangan gasnya mencapai 13,65 TCF(setara Blok Tangguh) malah diberikan ke swasta,” ujar Pri Agung.

Setelah divestasi Newmont, lanjut Pri Agung, nuansa politik balas jasa dan bagi-bagi sumber uang bagi pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan dengan menganaktirikan BUMN kembali sangat terasa disini.

Seperti diketahui, BUMN Migas terbesar di Indonesia ini memang sejak lama mengincar kepemilikan kepemilikan (participating interest) di Blok Masela. Ari Soemarno, yang saat itu masih menjabat sebagai Dirut pernah menyatakan pihaknya berminat memiliki participating interest hingga 30 persen di lapangan yang berada di laut Timor tersebut.

Keinginan Pertamina untuk masuk ke Blok tersebut terus berlanjut di masa kepimpinan Karen Agustiawan. Beberapa waktu lalu, Vice Presiden Pertamina Basuki Trikora Putra menyatakan Pertamina masih mengincar blok itu dan fokus melakukan kajian terhadap potensi yang ada di Masela.

“Apabila memang menarik, kita akan menggunakan porsi participating interest sesuai dengan portofolio kita,” ujar Basuki tanpa menyebutkan berapa porsi kepemilikan saham yang diincar perseroan.

Namun sayangnya keinginan Pertamina harus kandas di tengah jalan, karena PT EMP Energi Indonesia, anak usaha PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) telah menandatangani perjanjian akusisi 10% working interest di Blok Masela PSC milik INPEX Masela Ltd.

INPEX Masela merupakan perusahaan terafiliasi dengan INPEX Corporation. INPEX Masela saat ini menguasai 100% working interest di blok Masela PSC yang memiliki luas 3.221 kilometer persegi.

Blok Masela merupakan blok dengan kandungan gas yang terbilang besar. Blok ini direncanakan akan memproduksi 4,5 juta ton gas alam cair (LNG) per tahun mulai 2016.

Pengembangan Masela memakai pola hulu (upstream) yang terintegrasi mulai pengeboran sumur gas sampai pembangunan kilang LNG secara terapung (floating).