MANFAATKAN ENERGI TERBARUKAN

Jakarta, Sinar Harapan, 27 Oktober 2009

Dalam usaha mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen, salah satu sektor yang akan mendapatkan prioritas dari pemerintah adalah penguatan di bidang energi.

Untuk mendorong perkembangan industri, ketersediaan energi jadi sangat penting. Artinya, arah kebijakan energi yang jelas dan memihak kepentingan nasional mutlak dibutuhkan. Salah satu yang ditekankan pemerintah baru-bari ini adalah penyelesaian proyek pembangkit listrik 10.000 MW tahap pertama dan tahap kedua. Selain itu, harus dikembangkan juga energi terbarukan.

Masalahnya sampai saat ini, keseriusan pemerintah untuk mengembangakan energi terbarukan masih dirasa kurang. Menurut pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, selain penyelesaian proyek 10.000 MW, program pengembangan enegi alternatif yang selama ini belum terlaksana harus segera direalisasikan jika pemerintah benar-benar mau mendukung pertumbuhan sektor energi. Sampai tahun 2008, bauran energi primer masih mengandalkan minyak bumi.

Dari total konsumsi energi 1.006,53 juta SBM (setara barel minyak), minyak bumi memberi kontribusi 48,4 persen, gas bumi 28,6 persen, batu bara 18,8 persen, panas bumi 1,6 persen, dan air 1,6 persen. Padahal dengan pertubuhan ekonomi dan industri, permintaan terhadap minyak bumi akan semakin meningkat dan harganya pun semakin mahal. Dari komposisi bauran energi itu, terlihat belum ber kembangnya energi terba ru kan.

Dengan asumsi tingkat pertumbuhan konsumsi energi 6 persen, kebutuhan energi pa da tahun 2014 sebesar 1.539 ju ta SBM. Industri dan transpor tasi menjadi pemakai energi terbesar. Untuk itu, diversifikasi energi mutlak dibutuhkan. Saat ini, konsumsi energi bahan baku nabati hanya 770.000 kliloliter. Bandingkan dengan 60 juta kiloliter BBM yang dikonsumsi, tutur Pri kepada SH, Selasa (27/10).

Senada dengan Pri, peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menambahkan, dengan perekonomian India dan China yang makin maju, konsumsi minyak akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.

Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya melakukan diversifikasi energi ke tenaga listrik, air, atau panas bumi yang sumber dayanya melimpah di Indonesia. Menurutnya, hal yang paling memungkinkan dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengoptimalkan potensi energi rakyat skala kecil. Misanya, dengan mendukung penggunaaan metanol dari kotoran hewan atau tenaga air yang melimpah di Indonesia. Masalahnya, harus ada perbaikan di bagian hilir sungai untuk itu. Jika potensi energi skala kecil ini bisa dioptimalkan, bisa menekan biaya tinggi masyarakat untuk energi, serunya.

Untuk melaksanakan hal ini, Ari menegaskan, harus ada political will dari pemerintah. Pemerintah harus mempersiapkan segala infrastruktur dan mendorong industri melakukan alih teknologi yang menggunakan energi alternatif.

Pri Agung pun mendesak pemerintah untuk membuat aturan berupa perpres dan sejenisnya jika benar-benar serius memasukkan sektor energi dalam program yang dikembangkan untuk mencapai target pertumbuhan 7 persen. Dalam aturan tersebut, harus disebutkan target waktu pencapaian. Berapa pembangkit listrik yang harus terbangun misalnya, dan sebagainya.Jika ada aspek legalitas seperti itu, DPR dan masyarakat bisa mengawasi kinerja pemerintah, imbuhnya.

Tantangan terbesar dalam waktu dekat ini menurut Pri adalah harga minyak dunia yang sudah melewati US$ 80 per barel. Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk bersiap menghadapinya. Harus ada rencana yang jelas apakah akan ada tambahan fiskal atau mensubsidi kendaran roda dua atau empat saja, atau mungkin menggunakan winfall profit atau memperbarui data kemsikinan. Kalau tak siap, hanya akan ada tindakan reaktif, seperti menaikkan harga minyak dan masyarakat tak mendapatkan apa-apa, ujarnya.

SUBSIDI DAN DANA CADANGAN DI APBN BISA TERKURAS

Suara Karya, 26 Oktober 2009

JAKARTA – Jika ancaman lonjakan harga minyak mentah (crude oil) dunia bertahan hingga tahun 2010, diperkirakan menguras subsidi untuk energi. Tahap awal gejolak harga minyak yang kini sudah menembus 80 dolar AS per barel akan menguras alokasi dana cadangan fiskal yang terdapat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menurut pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto, untuk 2010, alokasi anggaran hanya bisa bertahan hingga harga 65 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.

Tahun ini subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp 68 triliun dan untuk listrik Rp 37,8 triliun dengan asumsi harga minyak 65 dolar AS per barel. “Kalau harga minyak sampai 72 dolar AS per barel, misalnya untuk rata-rata tahun depan, alokasi untuk subsidi itu akan habis. Alokasi dana cadangan fiskal sebesar Rp 8,6 triliun tentunya terancam habis pula,” kata Direktur ReforMiner Institute ini di Jakarta, Minggu (25/10).

Meski demikian, Pri Agung mengatakan, untuk APBN 2009, diperkirakan masih bisa bertahan jika rata-rata harga minyak mulai Oktober hingga Desember 2009 mencapai 80 dolar AS per barel. Ini berarti patokan asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia crude price/ICP) sekitar 75 dolar AS per barel. Artinya, secara fundamental, semestinya keseimbangan harga minyak hanya berada pada kisaran di bawah 75 dolar AS per barel. Ini mengingat APBN 2009 yang mematok harga minyak Indonesia 61 dolar AS per barel sudah dalam kondisi aman.

Namun, jika mengacu pada asumsi APBN 2010 sebesar 65 dolar AS per barel, diharapkan tidak akan ada pembengkakan yang lebih besar. “Bisa saja harga naik sampai di atas 100 dolar AS per barel. Namun, secara rata-rata, asumsi APBN 2009 masih sama. Oleh karena itu, pemerintah mesti memantau perkembangan harga minyak dunia,” ujarnya. Selain itu, Pri Agung juga mengatakan, penyebab kenaikan harga minyak dunia hingga 80 dolar AS per barel akhir-akhir ini akibat ulah spekulan. Semua dipicu adanya informasi terkait proyeksi permintaan minyak dunia yang akan naik sekitar 500.000 barel per hari dan turunnya nilai tukar dolar AS.

“Akibat aksi spekulasi, maka harga minyak akan naik atau turun secara cepat, tergantung pada beberapa informasi yang mewarnai pasar dan ditanggapi para pelaku,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu Anggito Abimanyu menyatakan, dampak kenaikan harga minyak dunia di atas 80 dolar AS per barel bersifat netral di sisi kebijakan fiskal, sehingga tidak menimbulkan masalah serius.

“Dampaknya netral karena tambahan subsidi dikompensasi dengan tambahan pendapatan,” kata Anggito.

Menurut dia, masalah akan muncul justru karena adanya perbedaan harga BBM internasional dengan harga di dalam negeri. “Jadi, kalau dari sisi fiskal, secara umum tak ada masalah,” ucapnya.

Anggito mengatakan, alokasi dana cadangan risiko fiskal dalam APBN 2010 sebesar Rp 8,6 triliun sementara ini masih akan mampu menampung perubahan yang terjadi. Apalagi diyakini bakal mampu menghadapi gejolak harga karena sebelumnya pemerintah pernah menghadapi situasi seperti itu. “Kita pernah mengalami harga minyak hingga di atas 100 dolar AS per barel dan kita mampu menghadapinya,” kata Anggito.

Proyek Penghasil Energi Terbarukan Perlu Insentif

Kompas, 19 Oktober 2009

Jakarta, Kompas – Pemanfaatan energi terbarukan dalam penyediaan energi di Indonesia masih rendah. Padahal, itu bisa meningkatkan mutu lingkungan dan ikut mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah dan bahan bakar minyak yang ketersediaannya terus semakin turun. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, Sabtu (17/10) di Jakarta, menyatakan perlu ada insentif bagi para investor dalam bidang energi terbarukan yang menggunakan teknologi efisien dan ramah lingkungan.

Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, pemanfaatan energi nonfosil jauh lebih kecil dibandingkan potensi yang ada. Sampai tahun 2008, kapasitas terpasang energi nonfosil, seperti tenaga air baru 4,2 gigawatt (GW) dari sumber daya 75,62 GW atau baru termanfaatkan sebesar 0,5 persen. Demikian juga dengan panas bumi. Dari total potensi 27.710 megawatt (MW) yang tersebar di beberapa wilayah, lapangan yang telah berproduksi, antara lain, adalah di Sibayak, Kamojang, Lahendong, Dieng, Wayang Windu, Darajat, dan Salak dengan total kapasitas 1.052 MW. Adapun kapasitas lapangan yang dalam pengembangan sekitar 1.537 MW, sedangkan kapasitas yang akan ditenderkan 680 MW. Rendahnya pemanfaatan energi terbarukan, antara lain, disebabkan tingginya investasi yang dibutuhkan sehingga biaya produksi energi dari nonfosil relatif mahal. Sebagai perbandingan, biaya pokok produksi listrik dari bahan bakar minyak atau diesel Rp 1.600-Rp 1.800 per kilowatt hour (kWh), batu bara Rp 250-Rp 350 per kWh, gas Rp 350-Rp 450 per kWh, sedangkan panas bumi Rp 700-Rp 800 per kWh.

Direktur Divisi Transmisi dan Distribusi Siemens Indonesia Markus Strohmeier menyatakan, dukungan pemerintah terhadap pemanfaatan teknologi ramah lingkungan masih kurang. Contohnya, pemerintah mematok harga sama untuk energi listrik yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga batu bara ataupun pembangkit listrik tenaga angin dan panas bumi. Padahal, biaya pokok produksi listrik dari tenaga angin dan panas bumi lebih mahal daripada BBM dan batu bara.

Dalam rencana strategis pemerintah 2010-2014 disebutkan, PT PLN ditugaskan melakukan diversifikasi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap pertama. Program 10.000 MW tahap kedua memberi porsi besar bagi kontribusi dari panas bumi, yaitu 4.733 MW yang akan mendorong pengembangan panas bumi.

Pri Agung menyatakan, insentif untuk proyek pembangkit listrik berbasis energi terbarukan akan menjadi daya tarik para investor untuk menanamkan modalnya. Menurut Pri Agung, insentif yang bisa diberikan, antara lain, adalah pemerintah menanggung sebagian biaya eksplorasi, memberi keringanan pajak untuk barang-barang impor atau penundaan pembayaran pajak, serta ada jaminan bahwa energi listrik yang dihasilkan akan dibeli PLN. Pemanfaatan panas bumi ini akan dapat mendorong sisi hilir, yaitu untuk meningkatkan penyediaan listrik bagi rakyat.

Dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, maka akan mengurangi konsumsi minyak mentah dan BBM, ujar Pri Agung.

Di beberapa negara maju, seperti Belanda dan Jerman, pemanfaatan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan dengan energi terbarukan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. (EVY)

Dampak Kenaikan Harga Harus Diawasi

Jakarta (Sinar Harapan)

Setelah resmi menaikkan harga elpiji kemasan 6 kg, 12 kg, dan 50 kg, PT Pertamina (persero) diminta mengawasi harga eceran tertinggi di masyarakat.

Direktur Eksekutif Rerfor miners Institute Pri Agung Rahkmanto mengatakan, pe merintah harus mengawal agar kenaikan tersebut tidak me mengaruhi konsumsi elpiji 3 kg. Pemerintah harus mengawal, misalnya dengan menerapkan semacam harga tertiggi sehingga harga di tingkat konsumen tidak naik berlipat-lipat, katanya yang dihubungi SH, Sabtu (10/10) pagi.

Pri Agung juga meminta agar pemerintah memantau dampak kenaikan terhadap konsumsi elpiji yang disubsidi langsung. Harus dipantau seberapa dampaknya ke konsumsi elpiji 3 kg. Jangan sampai ada kelangkaan, jelasnya. Terhitung mulai hari ini Sabtu (10/9), Pertamina menaikkan harga elpiji sebesar Rp 100 untuk elpiji ukuran 6 kg, 12 kg, dan 50 kg. Dengan kenaikan ini, harga elpiji 12 kg sebesar Rp 70.200 per tabung, 12 kg menjadi Rp 5.850 kg, dan Rp 35.100 untuk tabung 6 kg. Pertamina juga menaikkan harga elpiji ukuran 50 kg sebesar Rp 100 menjadi Rp 7.355 per kg mulai 10 Oktober atau Rp. 367.750 per tabung 50 kg.

Kenaikan harga ini menyesuaikan kenaikan harga pasar bahan baku LPG. Dengan diberlakukannya harga baru ini, Pertamina berharap dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumen, ujar VP Corporate Communication Pertamina Basuki Trikora Putra dalam siaran persnya, Jumat (9/10) malam. Pertamina tidak me naik kan harga elpiji 3 kg.

Karena itu, Pertamina meminta agar konsumen tidak beralih ke elpiji 3 kg yang dikhususkan untuk masyarakat tidak mampu. Rugi Rp 2,3 Triliun Sebelumya, Pertamina mengklaim kerugian penjualan elpiji 12 kg hingga Oktober diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun.

Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso mengatakan, kerugian itu turun dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 4,7 triliun. Rata-rata CP Aramco sejak Januari sempai Oktober sekitar US$ 479 per ton, katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/10). Dengan rata-rata CP Aramco tersebut, harga keekonomian elpiji 12 kg sekitar Rp 8.343 per kilogram. Sementara itu, harga elpiji 12 kg dijual Rp 5.750 per kg. Konsumsi elpiji 12 kg sepanjang Januari hingga Sep tember mencapai 705.739 MT.

Sesuai UU BUMN, BUMN itu kan tidak boleh rugi, jelasnya. Hal tersebut mendorong Pertamina untuk segera menyesuaikan harga elpiji 12 kg sesuai harga keekonomiannya. Rencananya, Pertamina akan menaikkan harga elpiji tiap bulan sebesar Rp 100 hingga mencapai tingkat keekonomian.