Pemerintah Punya Ruang Turunkan Harga BBM Rp1.500 per Liter

Sindonews.com; 26 April 2020

JAKARTA – Pemerintah dinilai mempunyai ruang untuk menurunkan harga produk bahan bakar minyak (BBM) di tengah pandemi Covid-19. Turunnya harga BBM diharapkan mampu mengurangi beban masyarakat serta meningkatkan daya beli walaupun dampaknya kurang signifikan.

“Penurunan harga BBM akan membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19 meskipun tidak signifikan karena roda perekonomian belum berputar normal,” ujar Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, di Jakarta, Minggu (26/4/2020).

Menurut dia, penurunan harga BBM cukup rasional dilakukan di tengah rendahnya harga minyak saat ini. Pihaknya menghitung pada periode Maret-April 2020 dengan rata-rata harga minyak USD30 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp15.000-Rp15.500 per dolar AS maka ada ruang pemerintah menurunkan harga BBM antara Rp1.000-Rp1.500 per liter.

Bahkan, pengajar ekonomi energi Fakultas Tekonologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti tersebut memproyeksikan sepanjang akhir tahun ini fluktuasi harga minyak masih rendah yakni berada di kisaran USD30-USD40 per barel.

“Namun persisnya biar pemerintah dan Pertamina yang menghitung, karena perhitungan formal yang digunakan harus menggunakan data formal dari pemerintah maupun Pertamina,” ujar dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, terdapat dua variabel utama pembentuk harga BBM yakni, harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pihaknya menghitung pada medio Maret-April ada ruang penurunan harga BBM di kisaran Rp1.000-Rp1.500 per liter. “Berdasarkan hitungan kami, ruang penurunan di kisaran Rp1.000-Rp1.500 per liter baik untuk BBM non subsidi maupun non subsidi,” kata dia.

Sebagai informasi, pada Maret 2020 patokan harga minyak mentah di dalam negeri (Indonesia Crude Price/ICP) ditetapkan sebesar USD34,23 per barel turun drastis dibandingkan ICP pada Februari 2020 sebesar USD56,61 per barel. Adapun penurunannya mencapai 39,53% atau anjlok mencapai USD22,38 per barel.

Harga BBM berpeluang turun Rp 1.000 – Rp 1.500 per liter, begini perhitungannya

Kontan.co.id; 22 April 2020

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih belum mengalami penurunan meskipun harga minyak mentah dunia sudah anjlok ke level di bawah US$ 20 per barel. Terlebih, di tengah pandemi corona seperti saat ini, sejumlah kalangan meminta supaya harga BBM bisa diturunkan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, ada beberapa variabel pembentuk harga BBM dalam negeri. Yang paling utama, katanya, ialah harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah.

Komaidi menjelaskan, berdasarkan simulasi yang dihitungnya, setiap penurunan harga minyak mentah US$ 1 per barel dengan asumsi nilai tukar yang tetap, maka harga BBM bisa turun dikisaran Rp 100 per liter. Sementara dari sisi kurs, setiap pelemahan nilai tukar Rp 100 per dolar Amerika Serikat (US$), maka sebaliknya, harga BBM bisa naik dikisaran Rp 100 per liter.

Merujuk pada simulasi tersebut, untuk periode Januari-Februari, harga minyak berdasarkan Indonesian Crude Price (ICP) rata-rata US$ 60 per barel atau turun tiga poin dari asumsi dalam APBN yang sebesar US$ 63 per barel. Sementara pada periode yang sama, nilai tukar menguat Rp 650 per US$ atau menguat 6,5 poin.

“Nah selisihnya 3,5 poin. Jadi 3,5 x 100 adalah Rp 350. Harga BBM di Januari-Februari seharusnya naik Rp 350 per liter,” jelas Komaidi kepada Kontan.co.id, Senin (20/4).

Namun, kondisinya berbeda saat ini. Dengan simulasi yang sama berdasarkan pergerakan harga minyak dan nilai tukar, Komaidi menilai ada ruang penurunan harga BBM pada periode Maret dan April. “Hitungan kami ruang penurunan dikisaran Rp 1.000-Rp 1.500 per liternya. Mirip-mirip untuk subsidi dan non-subsidi,” ungkap Komaidi.

Lebih lanjut, menurut Komaidi, ruang penurunan harga juga terbuka pada produk Liquified Petroleum Gas (LPG). Meski belum melakukan simulasi perhitungan sebagaimana BBM, namun Komaidi melihat ruang penurunan harga LPG lebih sempit ketimbang BBM.

“LPG kondisinya mirip BBM, karena sebagian besar impor. Harus dihitung selisih dampak penurunan harga bahan baku dan dampak nilai tukar. Tetap ada ruang untuk turun, mungkin besarannya juga tidak terlalu besar,” terangnya.

Dalam catatan Kontan.co.id, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) pada Senin (20/4) siang untuk kontrak pengiriman Mei 2020 di Nymex berada di level US$ 14,99 per barel. Level tersebut mengalami penurunan hingga 17,95% dibanding akhir pekan lalu, sekaligus menjadikan level terendah harga minyak WTI dalam dua dekade terakhir.

Adapun, ICP Maret 2020 anjlok ke angka US$ 34,23 per barel. ICP Maret turun sebesar US$ 22,38 per barel atau 39,53% dari ICP Februari 2020 yang masih berada di angka US$ 56,61 per barel. Sementara itu, nilai tukar Rupiah di pasar spot pada Senin (20/4) tercatat di angka Rp 15.465 per dolar AS.

Harga Minyak Anjlok, Pendapatan Negara dari Migas Bakal Turun 50 Persen di 2020

Liputan6.com. 21 April 2020

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto memperkirakan, kemerosotan harga minyak dunia yang terjadi saat ini bisa terus berlanjut hingga penghujung 2020. Penerimaan negara dari sektor migas diprediksi bisa anjlok hingga lebih dari 50 persen jika harga minyak belum kunjung membaik.

Menurut dia, harga minyak sekarang benar-benar telah turun signifikan. Hal itu bisa dilihat pada harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) acuan West Texas Intermediate (WTI) yang anjlok lebih dari 100 persen hingga minus USD 37,63 per barel pada perdagangan Senin (20/4/2020) kemarin.

Pri Agung bahkan memprediksi, harga rata-rata minyak dunia hingga akhir tahun ini kemungkinan bisa bertahan minus pada kisaran 30 USD per barel atau lebih rendah.

Kondisi tersebut akan semakin parah jika volume lifting juga ikut turun. Dengan begitu, maka penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas) pasti akan turun signifikan juga.

“Bisa turun 40-50 persen lebih dari target yg ditetapkan di APBN (2020), karena asumsi harga minyak di APBN adalah USD per barel,” jelas dia kepada Liputan6.com, Selasa (21/4/2020).

Situasi bagi sektor migas saat ini kian tidak kondusif lantaran pandemi virus corona (Covid-19). Pri Agung memprediksi, penerimaan negara dari migas bisa minus di atas 50 persen dari asumsi APBN 2020.

“Apalagi ditambah dengan kebijakan penurunan harga gas yang akan mengambil sebagian dari bagian penerimaan negara. Penerimaan negara dari migas bisa turun lebih dari 50 persen dibandingkan asumsi APBN 2020,” pungkas dia.

Proyeksi Harga Minyak Dunia, US$ 35-40 per Barel Sampai Akhir 2020

Katadata.co.id; 21 April 2020

Pekan ini dimulai dengan anjloknya harga minyak mentah berjangka kontrak Mei Amerika Serikat (AS) terburuk dalam sejarah. Penutupan perdagangan Senin (20/4) mencatat harga minyak mentah WTI minus US$ 37,63 per barel.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, kondisi ini terjadi lantaran stok minyak dalam inventori lebih banyak dibandingkan permintaan. Pandemi corona, menurutnya, membuat permintaan minyak turun signifikan sebab orang membatasi pergerakan guna memutus penyebarannya.

Sebaliknya, kata Komaidi, penjual harus tetap mengeluarkan uang biaya pengiriman yang menjadi tanggungannya karena sudah terikat kontrak berjangka. Biaya yang harus dikeluarkan penjual itu lah membuat harga minyak mentah WTI minus. “Keputusan Donald Trump untuk terus meningkatkan produksi shale dengan keyakinannya tetap stabil juga memengaruhi,” kata Komaidi kepada Katadara.co.id, Selasa (21/4).

Produksi minyak dalam jumlah tinggi tak bisa tertampung lagi dalam storage. Namun, penjual juga tak bisa mengekspor ke luar negeri lantaran permintaan dari luar juga turun. Permintaan minyak dunia turun sampai 30% menurut OPEC. Ditambah lagi perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia yang sempat terjadi dan membuat pasokan minyak dunia berlebih di pasar.

Perang minyak antara kedua negara tersebut terjadi lantaran Rusia menolak proposal Arab Saudi untuk mengurangi produksi minyak. Akhirnya Arab Saudi menambah produksi dan membanjiri pasar minyak. Harga menjadi turun. Kedua negara memang kemudian bersepakat berdamai dan mengurangi produksi minyak mentah, tapi menurut Komaidi hal itu belum bisa menaikkan harga minyak dalam waktu dekat.

Kini OPEC plus Rusia telah memangkas produksi minyak mentah menjadi 9,7 juta barel per hari. Langkah ini dilakukan dari Mei sampai Juni tahun ini.   “Itu kenapa harga minyak WTI masih terdampak. Pangkal masalahnya di situ,” kata Komaidi. Dampak turunnya permintaan dan perang minyak, kata Komaidi, juga jadi penyebab turunnya harga minyak di luar regional AS. Meskipun tak setajam WTI, harga minyak mentah Brent mengalami penurunan dari US$ 2,51 per barel menjadi US$ 25,57 per barel atau turun 9%.

Proyeksi Harga Minyak Dunia

Melihat kondisi yang tejadi saat ini, Komaidi memprediksi harga minyak dunia akan berada di rata-rata US$ 35-40 per barel sampai akhir tahun nanti. Harga itu menurutnya bisa bertahan lebih lama jika pandemi covid-19 belum juga berlalu.

“Bisa lebih jatuh juga harganya dari itu. Karena selama pandemi belum berlalu, ekonomi akan tetap terpukul di banyak sektor dan permintaan terus menurun. Karena harga tergantung kondisi pasar,” kata Komaidi. Prediksi Komaidi ini tak jauh berbeda dengan IMF.

Dalam World Economic Outlook yang dirilis lembaga penalangan dana internasional pada pekan lalu, harga minyak dunia diprediksi rata-rata US$ 35 per barel sampai akhir 2020. Proyeksi ini mempertimbangkan kontraksi ekonomi dunia sebesar 3%. Perkiraan harga minyak dunia tersebut turun dari proyeksi IMF pada Januari lalu, yakni US$ 58,03 per barel pada 2020 dan US$ 55,31 per barel pada 2021.

Bahkan, IMF memprediksi harga minyak dunia akan tetap di bawah US$ 45 per barel sampai 2023 atau 25% lebih rendah dari harga rata-rata pada 2019. Sebab, IMF menyebut permintaan minyak dunia akan susah kembali normal seperti sebelum pandemi corona terjadi. Akibat hal ini, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi negara pengekspor minyak akan turun 4,4% sehubungan dengan terjungkalnya harga minyak dunia.

Negara pengekspor minyak di Timur Tengah dan Asia Tengah, menurut IMF, akan mengalami kontraksi ekonomi sebesar 3,9% dengan GDP Arab Saudi turun 2,3%, Uni Emirat Arab turun 3,5% dan Irak turun 4,7%. Untuk prediksi jangka pendek, Komaidi menyatakan harga minyak dunia pada Juni-Juli di kisaran US$ 10-15 per barel. Itu pun menurutnya sudah bagus sekali mengingat ketidakpastian di tengah pandemi corona ini.

“Nanti setelah pada titik terendah biasanya rebound, tapi ini tidak bisa dipastikan karena tergantung kondisi pasar,” kata Komaidi.

ICP Bisa Terdampak Lebih lanjut, Komaidi menyatakan meskipun harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih stabil, tapi bisa terdampak apabila WTI dan Brent terus mengalami penurunan sampai akhir 2020. Sebab jika harga ICP terus tinggi dibanding Brent yang menjadi tolok ukur harga minyak dunia, maka akan menyesuaikan. “Asumsinya bisa turun jadi US$ 30 per barel. APBN terancam hilang RP 50 triliun kalau itu terjadi. Karena sekarang saja sudah kehilangan terus sejak harga minyak turun. Baik penerimaan APBN dari PNBP maupun migas,” kata Komaidi.

Sayangnya, kata Komaidi, tak ada yang bisa dilakukan negara untuk mengantisipasi kekurangan APBN selain utang. Karena saat ini seluruh sektor telah terpukul dan tak bisa diharapkan mendorong kinerja pemasukan APBN. Langkah pemerintah dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 pun menurutnya sudah paling realistis.

“Sekali lagi memang kuncinya pandemi ini segera berlalu dan ekonomi kembali pulih,” kata Komaidi.

Terkait anjloknya harga minyak dunia, PT Pertamina memutuskan memangkas investasi sektor hulu hingga 30% tahun ini. Hal ini disampaikan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati dalam video conference Bersama Komisi VII DPR, Selasa (21/4).

Nicke menyatakan pihaknya akan melakukan sejumlah program prioritas, yakni menurunkan belanja modal atau capital expenditure (capex) dan menghemat pengeluaran operasional atau operating expenditure (opex) untuk pengeboran sumur eksplorasi.

Dengan pemotongan ini, Nicke menyatakan “sehingga dari sisi produksi kita lakukan minimal sekali, baik dari sumber eksplorasi dan eksploitasi.”

Oleh karena itu, untuk sementara Pertamina hanya akan memaksimalkan capaian produksi dari sumur yang tersedia. Produksi sektor hulu Pertamina saat ini 80%-90% berasal dari sumur eksisting. Produksi di sektor hulu Pertamina diproyeksi akan turun sekitar 2% dari 430.000 barel per hari menjadi 421.000 barel per hari. Sedangkan produksi gas akan turun hingga 4%. Totalnya, produksi di sektor hulu Pertamina akan turun sekitar 3%.