Pengamat: Dampak pelemahan rupiah ke harga BBM bisa diantisipasi dengan efisiensi

Kontan.co,id: 25 Maret 2020

JAKARTA. Belakangan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan pelemahan. Merujuk data dari Bloomberg, pada penutupan Senin (23/3) lalu, rupiah di pasar spot berada di level Rp 16.575 per dolar AS. Sementara, pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) rupiah telah turun 3,29% dan berada di level Rp 16.608 per dolar AS.

Setelah beberapa hari melemah, baru pada Selasa (24/3) lalu rupiah berhasil ditutup menguat 0,45% ke level Rp 16.500 dari penutupan sebelumnya.

Pelemahan rupiah ini tentu berdampak ke berbagai sektor, termasuk ke penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif listrik. Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, efek nilai tukar rupiah terhadap harga BBM dan energi ini berbanding terbalik.

“Artinya, jika rupiah melemah maka harga energi akan meningkat. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar energi terutama BBM sudah kita impor,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id, Selasa (25/3).

Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah yang menyebabkan harga BBM meningkat ini akan memberikan sentimen yang cenderung negatif terhadap pelaku industri. Namun demikian, tak menutup kemungkinan pelemahan ini bisa memberikan sentimen yang netral. “Pasalnya, di sisi lain harga minyak mentah mengalami penurunan pada beberapa waktu lalu,” paparnya.

Kemudian, kata Komaidi, apabila pelemahan rupiah ini terus berlanjut sampai beberapa waktu ke depan, maka Pemerintah Indonesia dapat melakukan efisiensi untuk mengantisipasi dampak negatif secara berkelanjutan.

Apalagi, mengingat kondisi eksternal yang saat ini semakin sulit untuk diprediksi.

Secara spesifik, efisiensi yang dapat dilakukan adalah mengganti input produksi yang selama ini mengandalkan impor, kemudian diganti dengan produk lokal. Dengan kata lain, persentase penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) harus lebih ditingkatkan lagi.

Komaidi menuturkan, efisiensi ini tak hanya berlaku bagi BBM, tetapi juga untuk sektor energi lain seperti listrik. Terlebih, komponen pembangkit listrik sebagian besar masih mengandalkan impor.

Jadi, dengan opsi efisiensi inilah pemerintah dirasa dapat mengantisipasi dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan di kemudian hari. “Paling tidak bisa meminimalkan dampak negatif,” kata Komaidi.

Selama rupiah anjlok dan corona mewabah, penyesuaian harga BBM tidak berefek

www.kontan.co.id: Senin, 23 Maret 2020 / 18:30 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia terus mengalami penurunan, sehingga memungkinkan terjadinya penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun, kebijakan ini pun memiliki plus dan minusnya tersendiri. Sebagai catatan, harga minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent sama-sama berada di kisaran US$ 20 per barel pada saat ini.

Pengamat minyak dan gas (migas) Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai, di atas kertas penurunan harga minyak global dapat dimanfaatkan untuk penerapan kebijakan-kebijakan di sektor energi yang memberi dampak luas bagi masyarakat.

Kebijakan tersebut bukan hanya penurunan harga BBM, melainkan juga memperbanyak stok BBM dalam jangka pendek.

Kemudian, jika kondisinya mendukung, dalam jangka pendek hingga menengah pemerintah juga bisa mulai mengkaji kemungkinan menerapkan harga BBM tanpa subsidi. Dengan kata lain, Indonesia bisa keluar dari belenggu subsidi harga BBM.

“Tapi ini dengan catatan seluruh stakeholder konsisten dalam menerapkan kebijakan lanjutan seperti evaluasi dan penyesuaian harga BBM secara berkala,” ungkap dia, Senin (23/3).

Hanya saja, karena kurs rupiah juga terdepresiasi dihadapan dolar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini, maka kebijakan penyesuaian harga BBM tidak bisa dilakukan dengan mudah dan perlu kajian yang lebih komprehensif.

Sekadar informasi, berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah pada penutupan perdagangan hari ini (23/3) anjlok 3,85% ke level Rp 16.575 per dollar AS.

Pri menyebut, bisa saja dampak penurunan harga jual BBM akan terganggu atau bahkan tidak terasa karena pelemahan rupiah yang cukup signifikan. “Belum tentu bagi operator BBM kebijakan seperti itu dapat dijalankan,” tambah dia.

Tantangan lain muncul dari penyebaran virus Corona di Indonesia. Pri menganggap, penurunan harga BBM kelak belum tentu bermakna karena Indonesia berada dalam kondisi tanggap darurat Covid-19. Akibatnya, mobilitas masyarakat dan pergerakan roda ekonomi berkurang sehingga mempengaruhi permintaan terhadap BBM.

Maka dari itu, upaya penanganan virus Corona di Indonesia menjadi sangat krusial. “Penanganan Covid-10 jauh lebih penting dan akan menjadi penentu atas kondisi perekonomian nasional ketimbang efektif tidaknya kebijakan ekonomi-energi nasional itu sendiri,” papar dia.

Pri lantas berpendapat, penurunan harga BBM yang menjadi bagian stimulus ekonomi hanya dapat berdampak positif ketika wabah Corona berakhir dan aktivitas perekonomian masyarakat kembali normal.

Harga Gas Industri Turun: Pemerintah Harus Siap Berkorban

Bisnis.com,18 Maret 2020

JAKARTA – Rencana pemerintah menurunkan harga gas industri mengikuti Peraturan Presiden No. 40/2016 untuk lebih dari 843 industri akan disertai risiko terpangkasnya pendapatan negara dari hulu migas.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 terkait dengan harga gas industri, pemerintah harus lebih banyak berkorban agar bisa terlaksana dengan baik.

Menurutnya, dengan kondisi yang ada saat, pemerintah sudah bisa menjalankan kebijakan tersebut. “Perpres tersebut bisa dilakukan jika pemerintah berkorban untuk tidak mengambil bagian penerimaan negara dari pengusahaan gas,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (18/3/2020).

Sementara itu, terkait dengan dimasukannya sektor listrik sebagai penerima insentif harga gas US$6 per Mmbtu, Komaidi menilai pemerintah memiliki potensi untuk mendapatkan kompensasi dari kehilangan penerimaan negara bukan pajak dari sektor migas.

Kendati demikian, masih perlu perhitungan lebih lanjut untuk bisa menentukan apakah besarannya akan setara dengan pendapatan negara yang akan dikorbankan tersebut.

“Dengan harga gas lebih murah harusnya memang biaya produksi listrik lebih rendah. Namun apakah besarannya setara dengan pendapatan negara yang dikorbankan dari pengusahaan gas atau tidak, itu yang perlu dihitung oleh pemerintah,” jelasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan untuk menetapkan harga gas industri US$6 per Mmbtu tersebut harus ditanggung pemerintah di sektor hulu dan sektor antara.

Menurut dia, biaya yang ditanggung oleh pemerintah adalah melepas pendapatan pemerintah dari sektor hulu sebesar US$2,2 per MMBtu, yang akan menurunkan PNBP dalam jumlah yang besar.

Penurunan PNBP juga akan menurunkan pendapatan pemerintah daerah dari pendapatan bagi hasil, yang besarannya diperhitungkan berdasarkan PNBP.

Dia menambahkan, biaya yang akan ditanggung oleh  sektor hulu adalah pemangkasan harga jual, yang akan menjadi potential lost hingga mengurangi margin yang sudah ditargetkan pada saat penyusunan POD saat awal investasi di hulu migas.

“Dampaknya, pemangkasan harga jual itu akan menjadikan investasi di sektor Hulu Migas menjadi tidak kondusif lagi,” ujarnya.

Di sisi lain, biaya yang ditanggung di sektor midterm adalah penurunan biaya transmisi dan biaya distribusi serta biaya pemeliharaan, yang berpotensi menjadikan  tidak hanya merugi, tetapi juga menghambat PGN dalam pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu ke hilir

Sementara manfaat penetapan harga US$6 per MMbtu belum tentu menaikkan daya saing industri.“Alasannya, beberapa variabel biaya lain, termasuk pajak, masih membebani industri, selain efisiensi dan produktivitas industri masih tergolong rendah,” ungkapnya.

Adapun penurunan harga gas untuk PLN akan mengurangi kompensasi dan subsidi listrik dinilai masih perlu perhitungan yang lebih dalam. Pasalnya, proporsi gas dalam bauran energi pembangkit listrik hanya 15 persen, sedangkan proporsi terbesar masih didominasi oleh batu bara sebesar 57 persen.

“Pada saat Pemerintah menetapkan DMO harga batubara US$ 70 per metric ton saat harga batu bara dunia mencapai US$ 100 per metric ton, juga tidak menurunkan kompensasi dan subsidi listrik,” jelasnya.

Transisi Tidak Mulus, Wajar Produksi Blok Rokan Melorot

Bisnis.com; 11 Maret 2020

JAKARTA – Proses transisi Blok Rokan yang tidak mulus antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Chevron Pasific Indonesia berpotensi adanya penurunan produksi ke depannya.

Pri Agung Rakhmanto, Staf Pengajar Universitas Trisakti menilai bahwa joint drilling agreement (JDA) yang ditawarkan Pertamina akan sulit tercapai.

Pasalnya, kontrak production sharing contract (PSC) yang ada saat ini pada dasarnya tidak mengatur untuk memuluskan proses transisi.

Menurutnya, kedua belah pihak pastinya mengacu kepada kontrak yang ada tersebut, sehingga akan menjadi hal yang wajar jika tidak ditemukannya kesepakatan

“Penurunan produksi, karena turunnya investasi dan transisi yang tidak mulus,mungkin malah dapat dikatakan sebagai suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari,” katanya kepada Bisnis, Selasa (10/3/2020).

Dia menambahkan, peraturan pemerintah yang diterbitkan terkait dengan transisi dan masa kontrak suatu blok yang telah habis pada praktiknya tidak mudah untuk diimplementasikan karena masing-masing pihak mengacu pada klausul kontak yang ada. Adapun beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri ESDM No. 24 Tahun 2018 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

“Ketika Permen itu coba diterapkan dengan pendekatan business to business, belum tentu dapat berjalan kalau tidak tercapai kesepakatan B to B nya,” jelasnya.

Pri Agung menyarankan agar investasi pada periode transisi tidak bisa sekadar pengemvalian investasi yang terkait dengan biaya yang dikeluarkan. Namun pemerintah seharusnya memberikan tawarkan imbal hasil dan kesempatan investasi untuk portofolio yang lain.

“Tren penurunan investasi dan produksi kan sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini. Karakteristik lapangan migas, kalau sudah terlanjur drop produksinya, menaikkannya lagi secara teknis sering kali tidak mudah, apalagi kalau untuk kembali ke level semula,” ungkapnya.

Sebelumnya, Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H. Samsu mengatakan bahwa kesepakatan untuk joint drilling agreement dengan PT Chevron Pasific Indonesia guna menahan decline rate tak kunjung menemukan jalan tengah.

Dengan demikian, Dharmawan memproyeksikan produksi Blok Rokan akan berada pada level 140.000 barel per hari (Bpod).

“Saya tidak bisa komentar terkait itu lebih dalam. Karena itu kan ada beberapa diskusi yang sifatnya sangat internal, tapi yang bisa saya share adalah kita sudah menawarkan joint drilling agreement [JDA],” katanya di Jakarta, Senin (9/3/2020).

Dharmawan mengungkapkan bahwa, setelah blok tersebut diambil alih, nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan Blok Mahakam. Pasalnya, produksi Blok Rokan nantinya dipercaya akan terus menurun jikalau pengeboran tak juga kunjung dilakukan.

Kendati JDA dengan Chevron tersebut ditolak, Dharmawan belum dapat memastikan apakah pengeboran tersebut bisa dilakukan pada tahun ini atau tidak. Kendati demikian, Pertamina terus menyiapkan diri untuk opsi lainnya jikalau pengeboran tersebut baru bisa dilakukan pada 2021.

Tugas Berat Pertamina, Produksi 800 Ribu Barel Sedang Konsumsi 1,6 Juta Barel

Koran sindo; Kamis, 27 Februari 2020 – 22:03 WIB

SEMARANG – Direktur Eksekutif Reforminer Institue, Komaidi Notonegoro menyatakan, PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memegang peranan yang cukup besar dalam keberlangsungan energi di Indonesia mulai dari sektor hulu hingga hilir.

“Bisnis Energi Pertamina yang cukup besar pengaruhnya terutama bagi Indonesia ada di bidang hilir. Sebagai latar belakang, saat ini kondisi produksi dan konsumsi migas di Asia Pasifik berbanding cukup jauh. Produksi migas di Asia Pasifik saat ini mengambil porsi hanya 30% sedangkan konsumsinya 60%,” ungkap Komaidi saat berbicara di acara Nongkrong Bareng Pertamina” bersama awak media Jateng di Semarang, Kamis (27/2/2020).

Hal tersebut saat ini juga terjadi di Indonesia. Dia menyebutkan, saat ini produksi minyak di Indonesia hanya berkisar di angka 800 ribu barel sedangkan konsumsi berada di angka 1,6 juta barel. “Sehingga, pemenuhan kebutuhan minyak di Indonesia saat ini adalah melalui impor,” ujarnya.