BUMN Khusus Versi Omnibus Law, SKK Migas atau Pertamina?

Dunia Energi: 19 Februari 2020

JAKARTA – DPR dan pemerintah dinilai tidak perlu membentuk badan baru jika Omnibus Law jadi disahkan menjadi Undang-Undang. Dalam salah satu pasal di Omnibus Law Cipta Kerja ada ketentuan untuk membentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN K) sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi menggantikan peran yang selama ini dijalankan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, mengatakan Pertamina dan SKK Migas sama-sama bisa menjadi alternatif untuk ditunjuk sebagai BUMN Khusus tersebut. Hal itu lebih menguntungkan, dan efisien dibanding harus membentuk badan baru.

“Iya (lebih efisien), kalau Pertamina dijadikan super holding migas, lebih sampe.  Badan usaha ini merupakan bagian dari Pertamina. Tapi kalau tidak ada super holding migas, tidak harus ke Pertamina, bisa SKK Migas yang ditransformasikan menjadi BUMN Khusus dengan restrukturisasi tentunya,” kata Pri kepada Dunia Energi, Rabu (19/2).

Menurut Pri, dengan BUMN Khusus sebagai pelaksana, maka kontrak migas menjadi lebih sesuai dengan kelaziman bisnis, yaitu business to business.

“Implikasinya akan membuka ruang perbaikan. Arahnya benar dan positif,” kata dia.

Implikasi yang dimaksud misalnya dari sisi perpajakan dimana untuk bisnis hulu migas dapat diberlakukan kembali prinsip Assume and Discharge.

Selanjutnya, perubahan status ini juga membuka lebih banyak skema kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) yang dapat diterapkan, tidak hanya skema biaya investasi yang dapat dikembalikan atau cost recovery dan bagi hasil kotor atau gross split.

Menurut Pri, perubahan status ini mempermudah pengambulan keputusan, mengingat badan pemerintah dan badan usaha memang berbeda.

“Selain itu juga akan ada fleksibilitas dalam opsi-opsi menangani masalah perizinan,” ujar Pri Agung.

Wisnu Prabawa Taher, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas,  mengatakan SKK Migas  siap menjalankan keputusan pemerintah terkait pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas ke depannya. “SKK Migas akan mengikuti dan menjalankan hasil pembahasan legislasi antara DPR dan pemerintah,” ujar Wisnu.

SKK Migas kata dia akan melakukan upaya terbaik dalam menjalankan peran dan fungsi yang selama ini menjadi tugasnya. Sehingga, sektor hulu migas dapat berkontribusi optimal bagi negara. Saat ini, industri hulu migas menghasilkan penerimaan kotor sekitar US$90 juta per hari.

“SKK Migas yakin dengan Omnibus Law Cipta Kerja, kepastian huku pengusahaan hulu migas semakin jelas, iklim investasi akan semakin kondusif, dan diharapkan nilai investasi hulu migas dapat terus meningkatkan,” kata Wisnu.

Penggantian SKK Migas dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) merupakan bagian dari pasal 41 yang tertulis adanya perubahan dengan penambahan terhadap beberapa ketentuan dalam UU No 22 Tahun 2001 tenang Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 4A (1) Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.

Kemudian pasal 4A (2) Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Lalu pasal 4A (3) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. (4) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi melalui kerja sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

Selanjutnya, (5) Pemerintah Pusat menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang akan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Lalu, pada (6) Kerja sama antara Badan Usaha Milik Negara Khusus dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama.(RI)

Pemerintah Diminta Tak Buru-buru Hentikan Ekspor Gas ke Singapura

Bisnis.tempo.co; Jumat, 14 Februari 2020 22:06 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah diminta terlebih dulu mengkaji lebih dalam keputusan untuk tidak melanjutkan kontrak ekspor gas ke Singapura. Dengan demikian, pemerintah tidak buru-buru dan langsung menyetop pasokan gas ke Negeri Singa itu per 2023.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto melihat pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan ini berdasarkan sejumlah aspek. Menurut dia, pemerintah harus mempertimbangkan kondisi iklim usaha hulu minyak dan gas bumi, khususnya kepastian iklim dalam usaha, sebelum mengeksekusi kebijakan tersebut. Selain itu, pemerintah juga mesti mengkaji kebijakan ini dari sisi aspek penerimaan negara.

Selanjutnya, Agung menilai, pemerintah harus melihat kesiapan penyerapan pasar dalam negeri perlu dan kesiapan infrastruktur untuk memasarkan pasokan gas tersebut. “Aspek-aspek tersebut [perlu] dikaji secara komprehensif untuk mendapatkan optimalnya,” katanya kepada Bisnis, Jumat 14 Februari 2020.

Di samping itu, Agung juga mempersoalkan dampak lanjutan terkait dengan rencana penyetopan ekspor gas tersebut. Agung beranggapan, pemerintah perlu memperhitungkan lebih dalam  nilai tambah dan efek ganda untuk perekonomian dalam negeri setelah pemutusan kontrak ekspor gas itu berlaku.

Tidak hanya itu, Agung juga berharap pemerintah bisa mendalami sektor industri mana yang nantinya bakal menyerap pasokan gas tersebut. “Industri yang menyarap harus yang bernilai tambah tinggi dan efek bergandanya bagi perekonomian nasional besar,” tegas Agung.

Hambatan Perizinan Investasi Terletak di Hulu Migas

Bisnis.com: Senin, 03 Februari 2020  |  19:15 WIB

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 mengamanatkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengevaluasi seluruh perizinan dan memerintahkan kepada kementerian untuk mendelegasikan beberapa kewenangan perizinan kepada BKPM.


Bisnis.com, JAKARTA – Peralihan proses perizinan investasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diproyeksi tidak banyak berdampak untuk investasi ke depan.

Pasalnya, proses perizinan di luar kegiatan hulu migas lebih kepada pengurusan izin usaha.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai perpindahan proses kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak memberikan pengaruh yang besar.

Sementara itu, proses perizinan untuk melakukan kegiatan operasional terletak pada kegiatan usaha hulu migas.

“Selama ini menjadi hambatan adalah perizinan dalam operasi kegiatan hulu migas yang meliputi berbagai sektor dan kementerian atau lembaga, termasuk juga di daerah,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (3/2/2020).

Adapun, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 mengamanatkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengevaluasi seluruh perizinan dan memerintahkan kepada kementerian untuk mendelegasikan beberapa kewenangan perizinan kepada BKPM.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan seluruh kewenangan perizinan Kementerian ESDM di luar hulu migas telah didelegasikan kepada BKPM.

“Hulu migas tidak masuk BKPM, tapi hilirnya masuk. Angkutan, pompa bensin, hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jadi IUP semua masuk ke BKPM, tambang emas, pasir, baru bara, hingga nikel. Tambang masuk semua,” ujar Bahlil, Senin (3/2/2020).

Pengamat: Perubahan SKK Migas menjadi BUMN khusus merupakan keputusan tepat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah berencana meniadakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), dan mengubahnya menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMK).

Hal itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja alias omnibus law, yang di dalamnya juga terkandung perubahan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2001 alias UU Migas. Pergantian SKK Migas dengan BUMNK tertuang dalam penyisipan Pasal 4A dan Pasal 64A pada perubahan UU Migas.

Mengenai hal ini, menurut pengamat energi Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengatakan bahwa rumusan tersebut merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU Migas.

Menurut Redi, yang juga menjadi anggota tim perumus Omnibus Law, kelembagaan usaha hulu migas tidak sejalan dengan putusan MK. Sebab, dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa kelembagaan hulu migas harus dilaksanakan oleh BUMN baik BUMN yang telah ada maupun BUMN Khusus.

“RUU cipta kerja substansi migas melaksanakan putusan MK tersebut,” kata Redi saat dihubungi Kontan.co.id, Jum’at (14/2).

Sebagai informasi, pada November 2012, MK memutuskan untuk membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan hulu migas alias BP Migas. Lalu, untuk menggantikan BP Migas, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Dalam beleid tersebut, penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan oleh SKK Migas. Hanya saja, hal itu bersifat sementara, hingga diterbitkannya UU Migas yang baru, menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2001.

Lazim dalam Bisnis

Mengenai hal ini, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat bahwa perubahan dari SKK Migas menjadi BUMNK sudah tepat. Menurutnya, perubahan SKK Migas yang hanya bersifat sementara bisa lebih memberikan kepastian hukum dan berusaha.

Fahmy bilang, perubahan ini memang seharusnya dilakukan dalam mekanisme revisi undang-undang. Namun, lantaran revisi UU Migas sudah mangkrak selama delapan tahun, maka revisi tersebut lebih ideal tercantum dalam omnibus law.

“Perubahannya seperti apa? Menurut saya menjadi entitas bisnis. Kalau bentuknya seperti masih sekarang, nanti hanya berganti baju saja. Maka dia harus diubah menjadi BUMN Khusus,” sebut Fahmy.

Senada, pengamat migas Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai penugasan dan penetapan BUMNK ini diperlukan sebagai bentuk kepastian hukum yang lebih kuat. Menurutnya, perubahan ini akan menjadikan pelaksanaan kontrak migas menjadi lebih sesuai dengan kelaziman bisnis, yaitu berdasarkan Business to Business.

“Implikasinya akan membuka ruang perbaikan. Untuk masalah perlakuan perpajakan dapat diberlakukannya prinsip assume and discharge kembali,” kata Pri.

Selain itu, Pri menilai BUMNK ini dapat membuka lebih banyak skema kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) yang dapat diterapkan. Tidak sekadar skema biaya investasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) serta bagi hasil kotor (gross split).

Dengan perubahan ini, sambung Pri, pengambilan keputusan juga dinilai dapat lebih mudah. “Karena nature badan pemerintah dan badan usaha itu berbeda. Hingga ke fleksibilitas dalam opsi-opsi menangani masalah perizinan. Jadi, arahanya sudah benar dan positif,” terang Pri.

Mengenai bentuk BUMNK apakah berisfat mandiri atau dilebur ke dalam holding migas BUMN, yakni PT Pertamina (Persero), Pri berpandangan bahwa hal tersebut tergantung dari arah kebijakan pemerintah terkait holding di BUMN.

Apabila nantinya bentuk Pertamina menjadi super holding migas, kata Pri, maka BUMNK ini bisa menjadi bagian dari Pertamina. “Tapi kalau tidak ada super holding migas, tidak harus ke Pertamina. Bisa merupakan SKK migas yang ditransformasikan menjadi BUMNK, tentunya dengan restrukturisasi,” jelas Pri.

 

Mengkaji Opsi Distribusi Tertutup LPG 3 Kg

Investor Daily; Senin, 10 Februari 2020 | 12:30 WIB

Diskusi mengenai opsi mekanisme penyaluran atau distribusi tertutup LPG 3 kg dalam beberapa waktu terakhir terus menguat. Hal tersebut salah satunya karena dalam beberapa tahun terakhir, besaran subsidi LPG menjadi komponen signifikan dalam anggaran subsidi energi di APBN. Untuk tahun 2020, alokasi subsidi LPG 3 kg ditetapkan sebesar Rp 49,39 triliun, setara 39,40% dari total subsidi energi pada tahun yang sama.

Peningkatan nilai subsidi LPG ditentukan atau dipengaruhi oleh sejumlah variabel seperti volume LPG subsidi, harga bahan baku –CP Aramco–, dan nilai tukar rupiah. Volume LPG subsidi tercatat meningkat signifikan dari sekitar 64 ribu metrik ton (MT) pada 2007 menjadi 7 juta metrik ton (MT) pada APBN 2020. Peningkatan tersebut menjadi salah satu penyebab nilai subsidi LPG yang pada 2007 hanya sekitar Rp 210 miliar, meningkat menjadi Rp 49,39 triliun pada APBN 2020.

Distribusi Tertutup

Terkait dengan besaran subsidi LPG yang terus meningkat tersebut, pemerintah merencanakan untuk mengubah meknisme distribusi LPG 3 kg yang saat ini menggunakan mekanisme distribusi terbuka menjadi distribusi tertutup. Dalam hal ini, pesan yang dapat dibaca dari rencana kebijakan pemerintah tersebut adalah setelah diimplementasikan hanya masyarakat golongan tertentu atau penerima manfaat subsidi yang dapat mengakses LPG 3 kg.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, wacana mengenai penerapan distribusi LPG dengan mekanisme tertutup bukan ide yang baru. Selama kurun 2009-2012 pemerintah melalui KESDM terpantau telah melakukan uji coba distribusi tertutup di beberapa kota. Pada 2016 pemerintah kemudian terpantau melakukan pilot project distribusi LPG 3 kg tepat sasaran di Kota Tarakan.

Pada 2018, Tim Nasinal Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terpantau merencanakan uji coba penyaluran LPG 3 kg tepat sasaran. Pada awal 2019, TNP2K terpantau melakukan uji coba penyaluran LPG 3 kg tepat sasaran dengan biometric dan e-voucher. Kemudian pada akhir 2019, TNP2K terpantau merencanakan uji coba penyaluran LPG 3 kg dengan mekanisme nontunai.

Dari pencermatan yang dilakukan, terdapat sejumlah kendala yang ditemukan dari beberapa opsi mekanisme distribusi LPG 3 kg tertutup atau tepat sasaran. Di antara kendala yang ditemukan adalah (1) proses transaksi di lapangan akan dipengaruhi oleh kualitas sinyal HP (internet), jika sinyal tidak bagus transaksi akan terganggu; (2) terdapat tantangan besar dalam perubahan perilaku masyarakat, salah satu contohnya jika menggunakan e-voucher mengharuskan masyarakat menghafal PIN; (3) sebagian besar penjual LPG belum siap melayani sesuai dengan SOP; (4) masih memerlukan peningkatan sosialisasi dan edukasi; dan (5) masih diperlukan peningkatan kualitas aplikasi untuk mendukung kelancaran pelaksanaan program secara nasional.

Kebijakan Subsidi Langsung

Kebijakan distribusi tertutup dapat dikatakan masih merupakan bagian dari subsidi produk, tetapi dengan mekanisme yang diperbaiki. Sejumlah negara maju umumnya memberikan subsidi kepada penerima manfaat atau mereka yang berhak menerima subsidi secara langsung, bukan melalui subsidi produk. Konsep subsidi tersebut seringkali terintegrasi pada satu program seperti program jaminan sosial atau social security. Sementara untuk Indonesia, sebagian besar subsidi diberikan dalam bentuk subsidi harga produk.

Pada satu sisi, dibandingkan dengan subsidi langsung, subsidi harga produk memang relatif lebih menguntungkan karena tidak memerlukan data detail mengenai siapa saja penerima manfaat dari subsidi tersebut. Pemerintah cukup menggunakan data pada level makro untuk kemudian digunakan sebagai basis di dalam menetapkan kuota dan nilai subsidi atas produk tertentu yang ditetapkan sebagai produk subsidi.

Akan tetapi, model kebijakan subsidi melalui harga produk meskipun telah melalui distribusi tertutup umumnya masih menghadapi sejumlah kendala. Dengan basis data yang tidak detail, alokasi subsidi juga berpotensi dinikmati oleh masyarakat yang semestinya bukan penerima manfaat. Dalam konsep ekonomi ketika terdapat satu produk dengan dua harga yang berbeda maka konsumen akan cenderung memilih harga yang lebih murah.

Karena itu, ketika subsidi LPG dilakukan melalui subsidi harga produk dan dengan distribusi terbuka, masalah penyimpangan dapat dikatakan sudah hampir pasti terjadi. Peluang masyarakat yang sudah berdaya tetapi ikut mengakses LPG 3 kg cukup besar. Potensi penyimpangan kemudian akan ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesadaran masyarakat yang sudah berdaya beli untuk tidak ikut serta mengakses dan menikmati LPG 3 kg.

Indikasi adanya penyimpangan cukup kuat jika mengacu pada hasil studi TNP2K. Studi TNP2K menyebutkan pemerintah berpotensi menghemat anggaran subsidi sekitar Rp 40,4 triliun jika subsidi LPG tepat sasaran dan hanya dialokasikan untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Besaran penghematan akan turun menjadi sekitar Rp 29 triliun jika subsidi LPG selain dialokasikan untuk KPM juga dialokasikan untuk UMKM, Petani, dan Nelayan.

Mencermati kondisi yang ada tersebut, kiranya sudah saatnya pemerintah mengubah kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dari subsidi terhadap harga produk menjadi subsidi terhadap penerima manfaat. Kebijakan subsidi terhadap harga produk berpotensi menimbulkan permasalahan yang umumnya hanya masalah waktu dan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kapasitas fiskal mampu memberikan toleransi terhadap permasalahan yang ada tersebut.

Pada tahap awal, perubahan mekanisme subsidi dari subsidi produk menjadi subsidi langsung kepada penerima manfaat memang tidak sederhana. Untuk dapat melakukan hal tersebut pemerintah wajib menyediakan basis data yang lebih detail dan tepat terhadap siapa saja yang berhak menerima manfaat subsidi. Sementara itu, sampai saat ini masalah data dan pencatatan seringkali menjadi masalah utama bagi bangsa kita ini. Tidak hanya mengenai soal data yang berbeda antarinstansi, tetapi definisi dan kriteria mengenai siapa saja yang berhak menerima manfaat subsidi seringkali juga tidak sama antara instansi yang satu dangan yang lainnya.

Meskipun tidak mudah dan harus dilakukan dengan kerja keras oleh seluruh stakeholder, perubahan kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dapat dikatakan sebagai keniscayaan. Pilihan mekanisme distribusi tertutup jika menggunakan kebijakan subsidi terhadap harga produk masih akan menyisakan sejumlah masalah. Karena itu, pilihan terhadap mekanisme subsidi langsung pada dasarnya merupakan keharusan. Jika tidak, kita semua hanya akan berputar-putar, sulit menemukan solusi, dan terperangkap pada permasalahan yang sama dari waktu ke waktu.

Hambatan Perizinan Investasi Terletak di Hulu Migas

Bisnis.com, 3 Februari 2020

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 mengamanatkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengevaluasi seluruh perizinan dan memerintahkan kepada kementerian untuk mendelegasikan beberapa kewenangan perizinan kepada BKPM.

JAKARTA – Peralihan proses perizinan investasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diproyeksi tidak banyak berdampak untuk investasi ke depan.

Pasalnya, proses perizinan di luar kegiatan hulu migas lebih kepada pengurusan izin usaha.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai perpindahan proses kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak memberikan pengaruh yang besar.

Sementara itu, proses perizinan untuk melakukan kegiatan operasional terletak pada kegiatan usaha hulu migas.

“Selama ini menjadi hambatan adalah perizinan dalam operasi kegiatan hulu migas yang meliputi berbagai sektor dan kementerian atau lembaga, termasuk juga di daerah,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (3/2/2020).

Adapun, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 mengamanatkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mengevaluasi seluruh perizinan dan memerintahkan kepada kementerian untuk mendelegasikan beberapa kewenangan perizinan kepada BKPM.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan seluruh kewenangan perizinan Kementerian ESDM di luar hulu migas telah didelegasikan kepada BKPM.

“Hulu migas tidak masuk BKPM, tapi hilirnya masuk. Angkutan, pompa bensin, hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jadi IUP semua masuk ke BKPM, tambang emas, pasir, baru bara, hingga nikel. Tambang masuk semua,” ujar Bahlil, Senin (3/2/2020).