Revisi UU Migas Harus Pro-Investasi

Koran Sindo, 15 Februari 2019

JAKARTA–Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) harus simpel dan proinvestasi sehingga investor tertarik mencari migas di Indonesia.

Ini penting untuk mendongkrak lifting migas. ”Jangan sampai menyulitkan investor sehingga dia tertarik mencari migas di Indonesia,” kata anggota Komisi VII DPR Kurtubi kepada KORAN SINDO kemarin. Menurut dia, draf revisi UU Migas yang merupakan tupoksi Komisi VII DPR sudah selesai dibahas menjadi RUU Migas yang baru.

Menurut dia, inti revisi UU Migas ialah tata kelola migas ke depan tidak boleh melanggar konstitusi. ”Untuk itu, supaya tidak melanggar konstitusi, maka yang mengelola harus perusahaan negara atau diserahkan kepada Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.

Di sini SKK Migas harus bergabung bersama Pertamina,” ujar dia. Kurtubi menandaskan, sejak Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012, kemudian berganti nama menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak memiliki kekuatan hukum karena hanya bersifat sementara.

Sebab itu, untuk menjalankan UU Migas baru, SKK Migas bersama Pertamina harus dilebur dalam satu wadah, yaitu BUK Migas. Tak berhenti di situ, Badan Pengatur Hilir Minyak (BPH Migas) juga harus dilebur menjadi satu bersama Direktorat Jenderal Migas Kementerian Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) supaya sistem menjadi sederhana.

”Ini keputusan Komisi VII DPR sebagai komisi teknis. Jadi RUU Migas nanti seperti itu. BPH Migas tidak boleh muncul lagi di sistem perminyakan nasional sehingga harus dikembalikan ke Ditjen Migas,” tandas Kurtubi.

Namun, draf revisi yang telah diputuskan di Komisi VII DPR tersebut bertentangan dengan Badan Legislasi DPR. Sejumlah fraksi di Baleg justru memasukkan kembali BPH Migas ke dalam pasal-pasal draf revisi UU Migas. ”Bahkan kewenangan BPH Migas diperluas boleh melakukan impor migas.

Saya 100% tidak setuju. BPH Migas harus dibubarkan dan disatukan dengan Ditjen Migas,” kata Kurtubi. Rencananya, revisi UU Migas baru akan dibahas kembali bersama pemerintah setelah masa pemilu. Pihaknya optimistis RUU Migas dapat disahkan tahun ini.

”Karena ini tahun politik kemungkinan setelah bulan April baru dibahas lagi. Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa disahkan,” ujar Kurtubi. Hal itu berbeda dengan Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto.

Djoko mengatakan, pemerintah tetap berkeinginan SKK Migas dan BPH Migas berjalan secara terpisah seperti sekarang. Pakar Energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai, konsep kelembagaan dari pemerintah pada dasarnya sudah benar. Pasalnya SKK Migas masih diperlukan.

Hanya saja, SKK Migas harus bersifat BUMN khusus yang mendapatkan kuasa pertambangan di hulu berdasarkan aturan UU Migas dan lex specialis baik dalam fungsi maupun kewenangan. ”Termasuk penyederhanaan perizinan di hulu migas dan pengurusan perpajakan,” ujar dia.

Presiden Joko Widodo berkeinginan revisi UU Migas dapat disahkan tahun ini. Meski begitu, pihaknya menyadari jika menyatukan draf revisi DPR dengan pemerintah memang tidak mudah sehingga memerlukan proses panjang.

”Kita inginkan tahun ini, tapi memang itu membutuhkan proses yang panjang,” ungkap Jokowi di Bogor, Jawa Barat, belum lama ini. Pemerintah saat ini tengah menggodok daftar inventaris masalah (DIM) revisi Undang- UndangNo22/ 2001tentangMinyak dan Gas Bumi (Migas).

Inventaris masalah telah diserahkan kembali kepada Kementerian ESDM pada 18 Januari 2019 untuk dibahas lebih lanjut setelah melalui Sekretariat Negara. Kementerian ESDM mempunyai waktu 60 hari untuk membahas kembali daftar inventaris masalah bersama kementerian/ lembaga terkait sebelum dibahas bersama DPR.

”Kami baru berkumpul bersama kementerian/lembaga terkait untuk meminta masukan. Se-karang masih da-lam pembahasan,” ujar Kepala Biro Hu kum Kementerian ESDM Hufron Asrofi di Jakarta kemarin.

Menurut dia, masukan dari seluruh pihak terkait diperlukan sebelum nantinya disetujui Presiden dan dibahas bersama DPR. Meski begitu, Hufron tidak menjelaskan secara rinci permasalahan DIM. Namun yang jelas, draf tersebut nantinya akan disandingkan dengan yang sudah digodok oleh Komisi VII DPR.

Terhalang Ekonomi, Program 35.000 Megawatt Mesti Ditata Kembali

Validnews.co, 11 Februari 2019

JAKARTA – Megaproyek Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk membangun pembangkit listrik hingga 35 ribu megawatt dinilai mesti ditata kembali dengan memperhatikan kondisi ekonomi terkini. Pasalnya, kondisi ekonomi Indonesia yang selama beberapa tahun hanya tumbuh di kisaran 5% akan membuat energi listrik menjadi tidak terserap kalaupun megaproyek tersebut sukses terbangun.

Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energi (ReforMiner) Komaidi Notonegoro menjelaskan, rencana penyelesaian pembangunan pembangkit dengan daya 35 ribu megawatt mestinya kembali diundur 2–3 dari revisi yang sudah ada sebelumnya. Tujuannya agar tidak memengaruhi bisnis korporasi yang berpusat pada Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“Nanti enggak keserap produksinya karena pertumbuhan ekonominya di bawah target awal. Jadi memang kalau pertumbuhan ekonominya turun, waktunya akan lebih panjang,” ulasnya kepada Validnews, Senin (11/2).

Pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang terpantau hanya di kisaran 5,04% per tahunnya. Tahun 2018 sendiri menjadi momen pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi, namun masih hanya berada di angka 5,17%.

Mengenai proyek ini sendiri, sebenarnya pemerintah pada awalnya menargetkan dapat membangun pembangkit listrik hingga 35 ribu megawatt sampai tahun 2019. Hanya saja dengan berbagai pertimbangan, pada 2017 kemarin pemerintah memang telah merevisi target pembangunan proyek 35 Megawatt menjadi ke kisaran tahun 2023—2024.

Namun karena pertumbuhan ekonomi mentok, Komaidi menjelaskan, pertumbuhan kebutuhan energi pun menjadi kurang sesuai dengan yang diharapkan. Jika dipaksakan selesai sesuai target, aka ada ekses ke korporasi.

“Tapi bagi negara, enggak ada problem karena dalam jangka panjang pasti akan terserap,” tegas pengamat energi.

Optimisme Komaidi akan mampu terserapnya energi dalam jangka panjang dikarenakan kondisi elektrifikasi yang saat ini belum menyentuh 100%. Ditambah lagi potensi pertambahan penduduk yang cukup besar serta adanya peralihan struktur ekonomi diyakini dapat menjadi pendongkrak pertumbuhan kebutuhan energi nasional.

“Struktur ekonomi juga geser dari yang dulunya ekstraktif, sekarang lebih ke arah industri dan jasa yang tentu butuh support energi, khususnya listrik, lebih kuat lagi,” tukasnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sampai tahun 2018 kemarin tingkat elektrifikasi nasional sebenarnya telah mencapai 98,3%. Sebanyak 95,45% di antaranya merupakan elektrifikasi yang dihasilkan oleh PLN.

Tidak hanya dari serapan, Komaidi melanjutkan, pengentasan proyek 35 ribu megawatt juga mesti diselaraskan antar para pelaksananya, khususnya terkait PLN dengan independent power plant (IPP). Pasalnya, masih terlihat adannya kurang sepemahaman antarkedua belah pihak terkait harga jual beli energi, istimewanya mengenai energi baru dan terbarukan (EBT).

“Masih ada kendala dalam kesepakatan harga beli dan harga jualnya,” ucapnya.

Mengenainya perlu adanya penataan ulang mengenai target penyelesaian program 35 ribu Megawatt turut dicetuskan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Dipandangnya, program ini menjadi kurang relevan saat ini dikarenakan rencananya pembangkit energi sebesar itu dikalkulasikan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% persen dan pertumbuhan listrik di atas 8,5 % per tahun.

Ia pun menyatakan, pemerintah pun sebenarnya mulai menyadari hal tersebut dengan mengubah target awal penyelesaian proyek dari tahun 2019 menjadi kisaran 2023-2024 pada dua tahun kemarin.

“Jadi memang begitu kondisinya dan memang perlu di-review dan sudah dilakukan. Sah-sah saja pemerintah ubah target,” katanya.

Kondisi program listrik 35.000 MW tersebut ditengarai akan jadi salah satu hal yang dibahas dalam debat capres kedua 17 Februari mendatang. Program listrik 35.000 MW merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan.

Febby merincikan, sebenarnya saat ini sekitar 2 ribu MW dari program tersebut telah beroperasi. Kesuksesan tersebut dikarenakan pembangkit yang telah aktif merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) yang masa konstruksinya kurang dari setahun.

Lebih daripada itu, sebanyak 15 ribu MW pembangkit listrik kini juga tengah dalam konstruksi. Sisa 14 ribu Megawatt ditunda hingga 2021 dan sekitar 2 ribu Megawatt sisanya belum dimulai dibangun.

Namun ia mengingatkan, belum tentu semua pihak mengerti akan kondisi ini. Tugas pemerintah untuk bisa menjelaskan perubahan target program 35 ribu megawatt ini agar tidak dianggap gagal.

“Harusnya pemerintah jelaskan program 35 ribu Megawatt bukan gagal, tapi memang harus disesuaikan karena ada perubahan kondisi,” sarannya.

Harga Tiket Pesawat Naik Bukan Karena Avtur

Kumparan; 12 Februari 2019

Sesaat sebelum berpidato dalam perayaan Hari Ulang Tahun Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ke-50 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat informasi dari Chairul Tanjung (CT).

Salah satu konglomerat terkaya di Indonesia itu mengatakan pada Jokowi, penjualan avtur di dalam negeri dimonopoli Pertamina dan membuat harganya jadi tak efisien. Hal ini dituding sebagai penyebab mahalnya harga tiket pesawat yang menjadi polemik pada awal tahun ini.

“Berkaitan dengan harga tiket pesawat, saya terus terang kaget dan malam hari ini saya baru tahu. Mengenai Pak CT (Chairul Tanjung) mengenai avtur, yang ternyata avtur yang dijual di Soetta (Bandara Soekarno-Hatta) itu dimonopoli oleh Pertamina sendiri,” kata Jokowi sambil tertawa.

Sehingga, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan akan memanggil pihak Pertamina untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Dia pun mengancam akan memasukkan saingan untuk Pertamina bila harga avtur tak turun.

Jokowi menyebut permasalahan itu sangat mengganggu dan berdampak negatif pada industri pariwisata Indonesia.

“Besok pagi saya akan undang Dirut Pertamina, pilihannya hanya satu harganya bisa sama dengan harga internasional atau kalau tidak bisa saya, akan masukkan kompetitor lain sehingga terjadi kompetisi,” ujarnya.

 Benarkah avtur yang menyebabkan harga tiket pesawat melonjak pada akhir 2018 sampai awal 2019 ini?

Dikutip kumparan dari Index Mundi, harga avtur saat ini sedang dalam tren penurunan sejak Oktober 2018. Rata-rata harga avtur dunia yang pada Oktober 2018 berada pada level USD 2,25 per Gallon turun 13,52 persen menjadi USD 1,95 per Gallon pada November 2018.

Harga avtur kembali turun menjadi USD 1,71 per Gallon pada Desember 2018 alias melemah 11,98 persen. Harga avtur baru sedikit menguat pada Januari 2019, yakni menjadi USD 1,79 per Gallon atau meningkat 4,73 persen.

Harga avtur yang dijual Pertamina berpatokan pada Mean of Platts Singapore (MOPS), polanya mengikuti pergerakan harga di pasar global. Pada periode yang sama ketika harga avtur menurun, harga tiket pesawat justru melonjak.

Dalam keterangan tertulis yang dikirim pada 1 Februari 2018 lalu, maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengakui bahwa kenaikan harga tiket tak berkaitan dengan avtur.

“Kami memastikan bahwa harga avtur tidak secara langsung mengakibatkan harga tiket pesawat menjadi lebih mahal. Beban biaya operasional penerbangan lainnya seperti leasing pesawat, maintenance dan lain-lain memang menjadi lebih tinggi di tengah meningkatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat,” kata Ketua Umum INACA yang juga Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, IGN Askhara Danadiputra.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga pernah memberi penjelasan terkait harga tiket pesawat yang dikeluhkan masyarakat. Kata Budi Karya, tiket pesawat sebelumnya bisa murah karena maskapai-maskapai perang tarif. Tak ada kaitan dengan avtur.

Perang tarif itu berakhir ketika nyaris semua maskapai penerbangan mengalami kerugian. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), misalnya. Hingga akhir kuartal III 2017, maskapai pelat merah itu mencatatkan kerugian USD 110,2 juta.

Selain Garuda Indonesia, low cost airline yang beroperasi di dalam negeri, PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) juga mengalami kinerja buruk serupa. Di kuartal III 2018, AirAsia menderita kerugian Rp 639,16 miliar, atau membengkak 45 persen year on year (yoy).

Maskapai pun ramai-ramai menaikkan tarif hingga mendekati tarif batas atas. Menurut Budi Karya, tarif pesawat tengah kembali ke level normal setelah dalam beberapa tahun terakhir terjadi perang harga antar maskapai.

“Memang selama ini mereka perang tarif. Begitu harganya normal seolah-olah tinggi. Namun demikian, saya memang ajak mereka untuk secara bijaksana melakukan kenaikan itu secara bertahap,” ungkap Budi Karya, 12 Januari 2019 lalu.

Harga avtur sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah, Pertamina tak bisa sesukanya mengambil untung sebesar-besarnya. Batasannya terdapat dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Avtur yang Disalurkan melalui Depot Pengisian Pesawat Udara yang dibuat Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Dalam aturan ini, harga avtur yang dijual Pertamina di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) harus berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin dengan batas atas sebagai berikut: Mean Of Platts Singapore (MOPS) + Rp 3.581/liter + Margin (10 persen dari harga dasar). Singkatnya, keuntungan Pertamina dari penjualan avtur tak boleh lebih dari 10 persen.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, avtur menyumbang sekitar 20 persen dari harga tiket pesawat Masih ada 80 persen komponen biaya lainnya.

Hampir serupa, menurut data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub yang diperoleh kumparan, biaya avtur saat ini merupakan 24 persen dari seluruh komponen biaya maskapai. Ada berbagai komponen biaya lain seperti pemeliharaan, sewa pesawat, asuransi, catering, dan sebagainya.

“Kalau avtur yang dijadikan fokus utama, saya kira kurang proporsional,” ujarnya kepada kumparan.

Komaidi menambahkan, harga avtur Pertamina sudah cukup kompetitif, bahkan dibandingkan Singapura. “Kalau ada yang bilang mahal, bandingannya apa?” tanyanya.

Ia juga menerangkan, tidak ada regulasi yang melarang swasta untuk masuk ke bisnis avtur. Hanya saja, belum ada swasta yang berani masuk dan bersaing dengan Pertamina.

“Tidak ada larangan. Jadi monopoli ini bukan kemauan Pertamina. Siapa pun boleh masuk,” tegasnya.

Swasta juga bukannya tak pernah mencoba untuk masuk ke bisnis avtur. Pada 2007, Shell Aviation pernah mencoba berjualan avtur di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Tapi pada 2009, Shell Aviation tak lagi berbisnis avtur di Soetta.

Menurut Komaidi, memang tak mudah bagi swasta untuk bersaing dengan Pertamina di bisnis avtur. Pertamina sudah memiliki infrastruktur yang lengkap dan menguasai jalur-jalur distribusi avtur.

“Untuk bisnis avtur butuh modal besar dan harus membangun infrastruktur. Di Jawa dan Sumatera sudah dikuasai Pertamina. Yang masih ada peluang di bandara-bandara Indonesia Timur, tapi pesawat yang ke sana enggak banyak, jadi kurang menguntungkan,” ucapnya.

Ia menyarankan agar Pertamina tak perlu takut jika Jokowi memasukkan kompetitor baru. Toh Pertamina sudah mengambil margin keuntungan wajar sesuai aturan Kementerian ESDM, bukan setinggi langit, tak perlu turunkan harga.

Hanya saja ia menggarisbawahi, pemerintah harus menciptakan kesetaraan atau level of playing field yang adil bagi Pertamina dan swasta di bisnis avtur. Ketika Pertamina diwajibkan menyalurkan avtur sampai ke bandara di daerah-daerah pelosok yang tidak menguntungkan, swasta juga harus dibebani kewajiban serupa.

“Pertamina sudah mengambil margin secara normal. Sekarang diminta turun, masukkan saja kompetitor. Tapi swasta juga harus handle A-Z seperti Pertamina. Jangan cuma jualan di bandara yang basah saja,” tutup Komaidi.

 

 

Konsumsi BBM Premium Diperkirakan Bakal Tetap Tinggi

Tempo.co; 11 Fabruari 2019

TEMPO.CO, Jakarta – Konsumsi bahan bakar minyak atau BBM jenis Premium diperkirakan bakal tetap tinggi meskipun harga sejumlah BBM nonpenugasan diturunkan. Pasalnya, selisih harga antara BBM Premium dan BBM nonpenugasan masih cukup besar.

Pengajar dari Fakultas Ilmu Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menyebutkan, selisih harga antara Premium dan BBM umum masih cenderung jauh sehingga potensi konsumen Premium untuk beralih ke BBM umum masih minim. “Kalau harganya masih di atas Rp8.000 per liter, permintaan untuk konsumsi Premium masih tinggi,” kata Pri Agung, Ahad, 10 Februari 2018.

Oleh karena itu, Pri memperkirakan konsumen masih akan sulit berpindah dari Premium dengan kandungan oktan (research octane number/RON) 88.

Sebelumnya Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, saat ini harga jual Premium untuk wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali) diselaraskan dengan di luar Jamali.

Sehingga, harga Premium di Jamali turun Rp 100 dari sebelumnya Rp 6.550 per liter menjadi Rp 6.450 per liter. “Pertamina juga telah menurunkan harganya menyesuaikan harga dengan harga di Jawa, Bali,” katanya.

Untuk diketahui, per 10 Februari dini hari harga BBM non subsidi atau BBM umum turun. Penurunan harga ini seiring dengan dikeluarkannya formula harga jual eceran untuk BBM umum yang diatur dalam Keputusan Menteri nomor 19 tahun 2019.

Dalam hal ini penetapan harga jual eceran Jenis BBM Umum oleh badan usaha tersebut mengacu pada ketentuan batas bawah dengan perhitungan margin sebesar 5 persen dari harga dasar dan batas atas dengan perhitungan margin sebesar 10 persen dari harga dasar.

Djoko mengatakan dengan dikeluarkannya beleid tersebut, Pemerintah melindungi masyarakat atau konsumen sehingga pengusaha tidak mengambil keuntungan yang besar dari penjualan BBM.

“Jadi praktik usaha juga lebih fair, itu tujuan kami. Kenapa ada batas bawah dan batas atas? Biar BU (badan usaha) menjual jenis BBM umum ini gak membanding-bandingkan harga dan ada persaingan usaha,” kata Djoko.

Peran Pertamina EP dalam Produksi Migas
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Jalan Panjang RUU Migas, Mau Jadi Apa SKK Migas?

CNBC Indonesia; Kamis,  31 January 2019 10:42

Jakarta, CNBC Indonesia- Setelah delapan tahun tak ada kabarnya, kini Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) telah menjadi fokus pemerintah untuk segera diselesaikan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto menuturkan pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) terkait RUU migas yang nantinya akan dibahas dengan DPR.

Salah satu isu strategis yang dibahas di RUU ini dan masuk dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah adalah soal status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Status lembaga ini memang jadi polemik, apalagi sejak BP Migas dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2012 lalu.

Djoko menuturkan pada intinya konsep pemerintah ingin kepemilikan negara jadi lebih kuat karena dapat mengontrol aset-aset migas di Indonesia. Sebab, dalam usulan DIM RUU migas dari pemerintah, SKK Migas diperbolehkan memiliki hak partisipasi (participating interest/PI) atas aset-aset hulu migas di Indonesia.

Ia menjelaskan diberikannya PI untuk SKK Migas agar badan kegiatan hulu migas tersebut dapat menjalankan fungsi kontrol, terutama dari segi keuangan agar pengelolaan proyek di blok migas efisien.

“Misalnya begini, SKK Migas punya ahli pemboran, karena dia punya PI di situ, maka dia punya hak menentukan, oh teknologi cementing-nya di sini. Selain itu, misalnya SKK Migas punya kemampuan budgeting, dia bisa kontrol juga kan? Kalau cost besar-besar, kan rugi, begitu,” tutur Djoko, di Jakarta, Selasa (30/1/2019).

Lebih lanjut, ia menjelaskan, tujuannya adalah hal positif, dan dimungkinkan bisa membantu memberi kinerja baik untuk proyek-proyek hulu migas strategis, misalnya di Blok Rokan.

Kendati demikian, lanjut Djoko, SKK Migas tidak diwajibkan untuk ikut memiliki PI di setiap blok. Tergantung di mana blok yang diinginkan, atau yang strategis saja.

Djoko juga menuturkan, pemerintah inginnya agar SKK Migas dan BPH Migas berjalan terpisah seperti yang sekarang ini dilakukan.

“Hanya fungsinya ditambah, jadi bisa mengelola dana (managing fund),” tutur Djoko.

Nantinya, SKK Migas dapat berperan sebagai institusi yang mengumpulkan dan mengelola dana, yang didapat bisa didapatkan dari bonus tanda tangan, penerimaan, atau dana Abandonment and Site Restoration (ASR). Adapun, dana tersebut bisa digunakan salah satunya untuk menunjang kegiatan hulu migas seperti pembiayaan kegiatan eksplorasi.

Apakah ini artinya SKK Migas akan jadi seperti BUMN?

Djoko tidak menjawab pasti soal ini, namun mengarah ke sana. Ia menjelaskan SKK Migas menjadi BUMN sesuai dengan amanat putusan MK pada 2012.

Pendiri Reforminer Institute sekaligus pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, langkah tersebut justru merupakan langkah penguatan bagi SKK Migas. Sehingga, menurutnya dalam hal ini, konsep pemerintah sudah benar.

“Sesuai putusan MK, bentuk badan yang mengelola usaha hulu kan memang harus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi, dalam hal ini konsep dari pemerintah sudah betul, termasuk dalam hal ini kewenangan untuk mengelola dana dan memiliki hak partisipasi (PI),” ujar Pri saat dihubungi Rabu (30/1/2019).

Lebih lanjut, ia mengatakan, hanya saja, BUMN yang dimaksud haruslah yang bersifat khusus dan mendapatkan kuasa pertambangan di hulu berdasarkan pengaturan UU Migas dan lex specialis. Baik dalam fungsi maupun kewenangan, termasuk kekhususan untuk penyederhanaan perizinan hulu dan pengurusan perpajakan menjadi satu atap.

Lalu, bagaimana nasib holding migas?

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan dilihat dari putusan MK No 36/PUU-X/2012 ditulis bahwa dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha migas pada sektor hulu.

BUMN itulah yang akan melakukan Kontrak Kerja Sama dengan BUMD, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau BUT.

Artinya, jika SKK menjadi BUMN, maka, jelasnya, akan berbenturan dengan tugas Pertamina dan Holding Migas yang sudah dibentuk juga oleh pemerintah sebelumnya.

Akan tetapi, berbeda dengan Redi, menurut Pri Agung, holding migas masih tetap bisa berjalan dan tidak berbenturan jika dengan konsep BUMN khusus versi pemerintah tersebut. Namun, akan menjadi rancu fungsinya jika mengacu pada badan usaha khusus yang dimaksud dalam rancangan RUU Migas versi DPR.

“Tapi kalau BUK yang ada dalam draft RUU Migas versi DPR, itu masih dan bakal ada komplikasi dan kerancuan dengan holding migas yang ada sekarang. Jadi, jangan dirancukan antara BUK dengan BUMN khusus ya,” pungkasnya.