Sektor Migas dan Nilai Tukar Rupiah

Watyutink.com; 21 Desember 2018

Komaidi Notonegoro,

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Sektor migas tampak menjadi pihak “tertuduh” karena disinyalir sebagai penyebab pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah untuk memperbaiki neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah seperti mandatori penggunaan B-20 dan kewajiban penjualan minyak mentah produksi dalam negeri kepada Pertamina, menegaskan kesimpulan tersebut.

Terdapat kesimpulan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir disebabkan oleh defisit neraca perdagangan migas. Berdasarkan data, defisit neraca perdagangan migas sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Data juga menunjukkan defisit neraca perdagangan migas pada 2018 (Q1 & Q2) relatif tidak jauh berbeda dengan tahun 2017.

ReforMiner mengidentifikasi, penurunan kinerja neraca pembayaran dan pelemahan nilai tukar rupiah selama tahun 2018 tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, defisit neraca perdagangan migas, tetapi juga akibat surplus neraca perdagangan nonmigas turun, defisit neraca jasa, pendapatan primer dan skunder meningkat, dan surplus transaksi modal dan finansial turun.

Kesimpulan bahwa meningkatnya kebutuhan devisa impor migas merupakan penyabab utama pelemahan nilai tukar rupiah, perlu ditinjau lebih lanjut. Data menunjukkan, kebutuhan devisa untuk impor nonmigas lebih besar dan mencapai sekitar empat kali dari kebutuhan devisa untuk impor migas. Jika basis pengambilan kesimpulan hanya berdasarkan kebutuhan devisa impor, sektor nonmigas tentunya lebih tepat yang disebut sebagai penyebab terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah.

Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut dan untuk mengetahui hubungan antara sektor migas dengan nilai tukar rupiah dan indikator makro ekonomi yang lain, ReforMiner melakukan simulasi dan kuantifikasi model ekonomi dengan hasil sebagai berikut:

(1) setiap kenaikan kebutuhan devisa impor migas sebesar 1 milyar dolar AS dan indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah sekitar Rp455 per dolar AS;

(2) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor migas sebesar 1 milyar dalar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penguatan nilai tukar rupiah sekitar Rp467 per dolar AS;

(3) setiap kenaikan kebutuhan devisa impor non migas sebesar 1 milyar dolar AS dan indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah sekitar Rp90 per dolar AS;

(4) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor non migas sebesar 1 milyar dolar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penguatan nilai tukar rupiah sekitar Rp302 per dolar AS;

(5) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor migas sebesar 1 milyar dolar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah ekonomi (PDB) sekitar 12 milyar dolar AS;

(6) setiap kenaikan perolehan devisa ekspor non migas sebesar 1 milyar dolar AS indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah ekonomi (PDB) sekitar 7 milyar dolar AS; dan

(7) setiap nilai tukar melemah sebesar Rp100 per dolar AS dan indikator makro ekonomi lain diasumsikan tetap, akan memberikan kontribusi terhadap penurunan PDB Indonesia sekitar 1,02 milyar dolar AS atau sekitar Rp14 triliun.

Berdasarkan hasil simulasi dan kuantifikasi tersebut, diketahui sensitifitas sektor migas terhadap nilai tukar rupiah dan indikator makro ekonomi lain lebih besar dibandingkan sensitifitas sektor nonmigas. Peningkatan kebutuhan devisa impor dengan nilai yang sama, 1 milyar dolar AS misalnya, memiliki dampak yang berbeda terhadap nilai tukar rupiah.

Jika peningkatan tersebut berasal dari sektor nonmigas akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah sekitar Rp90 per dolar AS. Sementara jika peningkatan kebutuhan devisa impor berasal dari sektor migas, akan memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah sekitar Rp455 per dolar AS.

Perbedaan kontribusi terhadap pelemahan rupiah tersebut salah satunya kemungkinan terkait dengan pola kegiatan impor antara sektor migas dan non migas yang relatif berbeda. Berdasarkan informasi yang dihimpun ReforMiner, kegiatan impor migas relatif lebih tidak terencana dan tidak dapat ditunda dibandingkan dengan impor non migas.

Hasil simulasi juga menunjukkan peningkatan perolehan devisa ekspor dengan nilai yang sama memiliki kontribusi yang berbeda terhadap pembentukan nilai tambah ekonomi (PDB). Peningkatan perolehan devisa ekspor migas sebesar 1 milyar dolar AS memberikan kontribusi terhadap meningkatnya PDB Indonesia sekitar 12 milyar dolar AS. Sementara peningkatan perolehan devisa ekspor dari non migas dengan nilai yang sama hanya akan memberikan kontribusi terhadap meningkatnya PDB Indonesia sekitar 7 milyar dolar AS.

Perbedaan kontribusi tersebut kemungkinan karena sektor migas memiliki keterkaitan yang lebih luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunanya. Karena itu peningkatan ekspor yang dilakukan oleh sektor migas akan lebih banyak menggerakan dan meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lain dibandingkan dengan peningkatan ekspor oleh sektor nonmigas.

Secara keseluruhan, simulasi ReforMiner menemukan bahwa sampai saat ini sektor migas memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia. Meski berdasarkan nilainya seharusnya ekspor dan impor nonmigas memberikan magnitude yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia, tetapi hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa ekspor dan impor migas memiliki sensitivitas terhadap nilai tukar rupiah, pembentukan nilai tambah ekonomi (PDB), dan penurunan/peningkatan PDB yang lebih besar dibandingkan sensitivitas dari sektor nonmigas.

Neraca Migas Defisit, Pemerintah Dinilai Korbankan Rupiah

ekbis.sindonews.com; 17 Desember 2018

JAKARTA – Neraca perdagangan minyak dan gas (migas) tercatat mengalami defisit. Pemerintah dinilai mengambil keputusan mengorbankan rupiah demi harga migas terjangkau.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, defisit migas sudah terjadi sejak lama. Neraca menganga cukup besar antara USD35 miliar-USD45 miliar atau setara 40%-45% total cadangan devisa Indonesia USD95 miliar-USD110 miliar.

“Ketika migas tidak dikelola baik, maka impor menutup produksi 800 ribu barel. Ini sebabkan rupiah dari Rp13.000/USD sekian di APBN 2018 menjadi tertekan ke Rp15.000/USD,” ujarnya di Jakarta, Senin (17/12/2018).

Menurut Komaidi, permintaan migas yang terus meningkat membuat pemerintah memilih menaikkan impor sehingga, daya beli masyarakat tetap ada. “Menjaga rupiah atau menjaga ketahanan ekonomi nasional? Kalau rupiah agar sektor ekonomi tumbuh baik atau pasokan energi ada perluasan BBM satu harga dan harganya murah. Jadi yang dikorbankan rupiah,” katanya.

Sambung dia menambahkan, ekspor migas Indonesia dari tahun ke tahun juga mengalami penurunan. Khusus LNG malah kebutuhan domestik meningkat pesat. “Kemudahan realokasi LNG ke domestik maka devisanya berkurang dari impor BBM atau minyak mentah yang diminta di pasar spot,” pungkasnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 yang kembali mengalami defisit UDS2,05 miliar. Realisasi neraca perdagangan ini semakin merosot dibanding Oktober 2018 yang juga defisit sebesar USD1,82 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, yang menyebabkan defisit pada periode ini adalah neraca perdagangan migas (minyak dan gas bumi) yang mengalami defisit USD1,5 miliar. Selain itu, neraca perdagangan nonmigas juga mengalami defisit sebesar UD583 juta.

Pengelolaan Blok Mahakam
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Bisnis Indonesia; Jumaat 29 Desember 2017

Perkembangan pengelolaan Blok Mahakam, hampir selalu menyita perhatian publik. Hal itu terkait dengan status sumber daya (cadangan migas, khususnya gas) yang cukup besar dan jalan panjang blok tersebut sampai dengan dikelola BUMN (Pertamina) yang merupakan representasi negara.

Copie carte de identitate sau potrivit celui mai complet studiu efectuat farmaciemea.com până în prezent în privinţa relaţiei dintre greutate, a altui medicament similar ca spectru farmacologic, contestă dispoziţiile Legii 118/2010. Astfel încât să poată acorda, doar pe bază de adeverinţă fiscală de la ANAF.

Blok Mahakam tercatat sebagai salah satu lapangan gas terbesar di Indonesia. Cadangan awal (terbukti dan potensial) dari lapangan yang sebelumnya dikelola PT Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation tersebut sekitar 1,68 miliar barel minyak dan 21,2 TCF gas. Kegiatan eksplorasi di Blok Mahakam sendiri mulai dilakukan pada 1967 dan cadangan migas dalam jumlah besar ditemukan pada 1972.

Kontrak kerja sama (PSC) Blok Mahakam sendiri ditandatangani pada 6 Oktober 1966 dan diperpanjang pada 30 Maret 1997 untuk periode 20 tahun perpanjangan. Dengan demikian kontrak Blok Mahakam oleh kontraktor lama akan berakhir pada 1 Januari 2018. Berdasarkan informasi tersebut, total kontraktor sebelumnya mengelola Blok Mahakam mencapai 50 tahun.

Sebelum kontrak yang kedua berakhir, kontraktor sebelumnya (Total) tercatat mengajukan perpanjangan kontrak pada 2008. Satu tahun kemudian, pada 2009 Pertamina juga menyampaikan permohonan dan menyatakan minatnya untuk mengelola Blok Mahakam pasca kontrak Total dan Inpex di blok tersebut berakhir.

Pada 14 April 2015, pemerintahan Presiden Jokowi kemudian memutuskan bahwa kontrak Blok Mahakam dengan kontraktor sebelumnya (Total dan Inpex) tidak diperpanjang. Melalui Surat Menteri ESDM No.2793/13/MEM.M/2015 pemerintah menunjuk Pertamina untuk mengelola Blok Mahakam pasca berakhirnya kontrak kerja sama blok tersebut.

Pemerintah menetapkan Pertamina sebagai operator dengan kepemilikan interest 100%, efektif sejak 1 Januari 2018. Pertamina diperbolehkan (dapat) melepas saham atau interest-nya kepada pihak lain berdasarkan mekanisme bisnis yang memberikan manfaat bagi perusahaan. Pihak lain, termasuk kontraktor sebelumnya dapat masuk melalui skema business to business (B to B).

Dari aspek regulasi, payung hukum yang menjadi dasar pengelolaan Blok Mahakam diantaranya adalah Permen ESDM No.15/2015 (diubah dengan Permen ESDM No.30/2016) tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya.

Regulasi ini menetapkan, pengelolaan wilayah kerja migas yang akan berakhir kontrak kerja samanya dapat dilakukan dengan tiga skema, yaitu, pertama, pengelolaan oleh Pertamina (Persero). Kedua, perpanjangan Kontrak Kerja Sama oleh Kontraktor. Ketiga, pengelolaan secara bersama antara Pertamina (Persero) dan Kontraktor.

Dalam pengelolaan Blok Mahakam, pemerintah kemudian memutuskan untuk memilih opsi pertama, pengelolaan oleh Pertamina (Persero). Hal tersebut tercermin dalam Surat Menteri ESDM yang memberikan hak kelola penuh (100%) kepada Pertamina. Keputusan tersebut sejalan dengan proposal Pertamina yang menyatakan siap untuk mengelola 100% Blok Mahakam.

Pada perkembangannya, setelah diberikan 100% hak kelola, Pertamina kemudian mengajak pihak lain terlibat dalam pengelolaan Blok Mahakam melalui mekanisme B to B. Terkait hal ini, sebagian pihak mempertanyakan konsistensi Pertamina. Keputusan Pertamina tersebut dinilai sebagai indikasi bahwa sesungguhnya Pertamina tidak mampu mengelola Blok Mahakam.

Dalam konteks bisnis dan regulasi, apa yang terjadi pada dasarnya belum dapat digunakan menyimpulkan Pertamina tidak konsisten dan tidak mampu. Dalam perspektif bisnis, pilihan Pertamina untuk melibatkan pihak lain dalam pengelolaan Blok Mahakam merupakan hal yang biasa.

Dalam bisnis migas yang memerlukan modal besar, teknologi tinggi dan berisiko tinggi sangat umum dilakukan sharing interest. Dalam praktik bisnis migas yang berlaku di seluruh dunia juga hampir jarang ditemukan pengelolaan suatu wilayah kerja migas hanya dilakukan oleh satu entitas bisnis.

Hal ini pada dasarnya sejalan dengan nasehat prinsip investasi: jangan manaruh telur hanya dalam satu keranjang.

DIKELOLA MANDIRI

Berdasarkan nilai aset dan perputaran kas perusahaan, dapat dikatakan Pertamina sesungguhnya masih sangat mampu jika harus mengelola Blok Mahakam secara mandiri. Jika Pertamina kemudian melibatkan pihak lain dalam pengelolaannya, kemungkinan hal ini hanya pilihan strategi investasi, yang salah satu tujuannya untuk meminimalkan risiko.

Dari aspek regulasi, pilihan Pertamina tersebut juga memiliki landasan hukum yang jelas. Permen ESDM No.15/2015 memberikan ruang Pertamina untuk dapat melakukan hal tersebut. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 regulasi ini, Pertamina hanya tidak dapat mengalihkan participating interest secara mayoritas.

Artinya, sepanjang interest yang dialihkan tidak mayoritas atau di bawah 50%, regulasi yang ada tetap memperbolehkan.

Dalam hal konsistensi, yang terjadi dalam dalam beberapa waktu terakhir mencerminkan adanya konsistensi dan kesungguhan Pertamina. Jika dicermati, perubahan Permen ESDM No.15/2015 dengan Permen ESDM No.30/2016 merupakan bagian dari konsistensi Pertamina mengelola Blok Mahakam. Salah satu ketentuan yang ditambahan dalam perubahan Permen tersebut adalah?Dalam rangka menjaga tingkat produksi migas di Wilayah Kerja, PT Pertamina (Persero) atau pemenang lelang dapat melakukan pembiayaan atas kegiatan operasi yang diperlukan sebelum tanggal efektif Kontrak Kerja Sama baru.

Katentuan tersebut kemudian menjadi dasar para pihak untuk melakukan proses percepatan alih kelola Blok Mahakam. Dalam perkembangannya proses tersebut telah diselesaikan yang ditandai dengan penandatanganan amandemen PSC Blok Mahakam antara PT Pertamina Hulu Mahakam (berubah menjadi PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan SKK Migas.

Informasi yang ada menyebutkan telah terdapat perkembangan signifikan dalam pengelolaan Blok Mahakam. Sampai November 2017 PHI telah menyelesaikan pengeboran 11 sumur di Blok Mahakam, menyelesaikan alih status 1.850 pegawai atau sekitar 98,15 % dari total, dan telah menyelesaikan pemindahan seluruh kontrak kerja Blok Mahakam yang jumlahnya sekitar 850 kontrak.

Pada 29 September 2017, PHI juga tercatat telah menyampaikan WP&B 2018 kepada SKK Migas.

Mengingat Blok Mahakam memiliki peran penting dalam pencapaian target produksi/lifting gas, kita semua berkepentingan agar tingkat produksi blok tersebut dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Periode 1 Januari 2018 sudah akan segera tiba.

Oleh karenanya polemik yang tidak perlu harus segera diakhiri. Saatnya semua stakeholder (termasuk Total yang terlibat kembali dalam pengelolaan) bersinergi dan bersama-sama berupaya meningkatkan kemampuan cadangan dan produksi Blok Mahakam.

Gara-Gara OPEC, RI Terancam Defisit Parah Lagi di 2019

CNBC Indonesia; 09 December 2018

Jakarta, CNBC Indonesia- Hasil sidang negara-negara eksportir minyak dunia (OPEC) memutuskan untuk memangkas produksi mereka demi menjaga harga minyak dunia.

OPEC dan aliansinya, yakni Rusia, sepakat untuk pangkas produksi hingga 1,2 juta barel sehari. Pemangkasan akan berlangsung mulai Januari 2019 selama 6 bulan ke depan, untuk kemudian dievaluasi dan meninjau situasi pasar.

Secara keseluruhan, Presiden OPEC dan Menteri Perminyakan UEA Suhail Mohamed Al Mazrouei mengatakan aliansi memangkas sebanyak 2,5% dari produksi minyak mereka. Kesepakatan ini akan ditinjau kembali pada April 2019 mendatang, sambil melihat market dan bisa jadi kebijakannya diubah.

Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih menjabarkan, produksi minyak mereka saat ini mencapai 11,1 juta barel per hari. Dengan kesepakatan ini, kemungkinan produksi akan dikendalikan jadi 10,7 juta barel per hari di Desember dan 10,2 juta barel di Januari.
“Ini adalah komitmen kami untuk mengawali langkah dengan tepat di 2019, dan untuk menunjukkan bahwa apa yang kami lakukan tidak perlu waktu lama untuk melihat hasilnya demi menekan laju penurunan harga minyak,” kata Falih.

Harga minyak langsung meroket begitu keputusan OPEC keluar. harga minyak mentah Brent meroket 4,9% jadi US$ 63 per barel, demikian juga dengan WTI yang terdongkrak 4,3% jadi US$ 53,69.

Tahun depan, berbagai institusi meramal harga minyak bisa tembus level US$ 70 per barel, artinya ini sangat berbahaya bagi negara importir minyak seperti Indonesia. Dengan kebutuhan konsumsi mencapai 1,4 juta hingga 1,6 juta barel per hari. Sementara, produksi hanya sanggup di level 700 ribu hingga 750 ribu barel per hari, naiknya harga minyak bakal jadi ancaman defisit RI di tahun depan.

Belajar dari tahun ini, di mana harga minyak merangkak gila-gilaan hingga tembus level US$ 80 per barel, sudah membuat neraca perdagangan RI kalang kabut. Hingga Oktober 2018, Badan Pusat Statistik Secara kumulatif mencatat untuk defisit perdagangan migas di tahun ini (Januari-Oktober 2018) sudah mencapai US$ 10,74 milliar. Apabila dikonversi ke kurs rupiah, nilai sebesar itu setara dengan Rp 158 Triliun.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemangkasan produksi ini sudah pasti mendongkrak harga minyak di tahun depan.

“Rencana pemotongan produksi OPEC dan Rusia akan berpotensi meningkatkan harga minyak. Hal tersebut mengingat saat ini OPEC menguasai sekitar 42 % dan Rusia sekitar 13%. Dengan demikian produksi produksi OPEC dan Rusia adalah sekitar 55% dari total produksi dunia.Karena itu jika mereka memainkan kuota produksi harga berpotensi naik,” jelasnya, Minggu (9/12/2018).

Dampaknya ke Indonesia, kata dia, pastinya adalah ancaman defisit yang serupa seperti tahun ini. “Devisa yg diperlukan untuk impor tentu akan semakin besar,” kata dia.

Untuk mengatasinya, sebenarnya opsi pemerintah sangat terbatas. Untuk kebijakan B20 yang sudah diterapkan per 1 September 2018, belum bisa efektif menekan defisit.

Beda dengan Komaidi, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi malah menilai kenaikan harga minyak saat ini hanya sementara. “Tetapi sentimen jangka pendek. Saya perkirakan tahun depan harga minyak dunia akan kembali turun di bawah $ 50 per barrel,” katanya.

Alasannya antara lain seringkali anggota OPEC membangkang terhadap keputusannya, kemudian Qatar keluar anggota Opec sehingga tidak terikat kesepakatan quota OPEC.

Pengamat: Impor Migas Tekan Rupiah Lebih Besar

CNN Indonesia; 03/12/2018

Jakarta, CNN Indonesia — Impor minyak dan gas (migas) dinilai dapat mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah. Setiap kenaikan impor migas sebesar US$1 miliar diperkirakan dapat menekan nilai tukar rupiah sebesar Rp455 per dolar AS.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pengaruh impor migas terhadap depresiasi rupiah lebih besar ketimbang sektor nonmigas. Berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, setiap kenaikan impor sebesar US$1 miliar dapat membuat rupiah melemah Rp455 per dolar AS untuk produk migas dan Rp90 per dolar AS untuk produk nonmigas.

“Padahal porsi impor migas dibandingkan impor nonmigas lebih kecil. Impor migas porsinya hanya 20 persen (dari total impor), sedangkan impor nonmigas sbeesar 80 persen (dari total impor), tetapi pengaruhnya (impor migas) lebih besar (terhadap pelemahan rupiah),” kata Komaidi di Media Gathering PT Medco E&P Indonesia dan Medco E&P Natuna Ltd, Minggu (2/12).

Kondisi itu, lanjutnya, disebabkan perbedaan volume ekspor. Meskipun sektor nonmigas memiliki kontribusi impor sebesar 80, namun mereka menyumbang ekspor sekitar 90 persen. Dengan demikian, sektor nonmigas tidak menyerap banyak devisa dari pasar uang.

“Kalau sektor migas, karena kita sudah net importir jadi ekspornya sudah tidak bisa cover lagi, sehingga sebagian besar devisa minta ke pasar. Jadi ketika impor mogas naik US$1 miliar melemahkan rupiah sebesar Rp455 per dolar AS,” jelasnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan nilai impor Oktober 2018 meroket hingga 20,6 persen dari US$14,25 miliar menjadi US$17,62 miliar pada periode yang sama. Peningkatan impor berasal dari impor migas mencapai US$2,91 miliar atau meningkat 26,97 persen. Sementara impor non migas naik 19,42 persen menjadi US$14,71 miliar.

Untuk nilai ekspor hanya meningkat 5,87 persen dari US$15,25 miliar pada September 2018 menjadi US$15,8 miliar pada Oktober 2018. Secara keseluruhan sumbangan ekspor terbesar masih berasal dari non migas dengan kontribusi mencapai 90,62 persen.

Harga Minyak Tahun Depan

Komaidi menilai penurunan harga minyak dunia saat ini hanya bersifat sementara. Ia pun memperkirakan harga minyak akan kembali menembus US$70 per barel pada tahun depan.

Ia menyebut harga minyak menurun dalam beberapa pekan terakhir akibat pernyataan Presiden AS Donald Trump yang tetap mendukung Arab Saudi meskipun dunia internasional tengah menyoroti kasus pembuhunan kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran pelaku perdagangan minyak mentah di bursa berjangka. “Kondisi ini yang mendasari banyak yang melepas kontrak pembelian di bursa berjangka,” jelasnya.

Akibatnya, harga minyak mentah sepanjang November 2018 anjlok lebih dari 20 persen. Melansir Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent akhir bulan lalu ditutup di level US$58,71 per barel. Sedangkan harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) ditutup di level US$50,93 per barel.

Komaidi melanjutkan dalam jangka panjang pergerakan harga minyak lebih dipengaruhi kondisi fundamental ekonomi dunia. Dalam simulasinya, perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan konsumsi energi adalah 1:1,5 atau 1:2.

Itu berarti, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi energi 1,5 sampai 2 persen. Sementara itu, minyak dan gas (migas) diproyeksi masih akan mendominasi bauran energy primer global sekitar 50 persen hingga 2040 mendatang.

“Tahun 2019 proyeksi ekonomi dunia secara rata-rata akan tumbuh di 3,6 persen makanya konsumsi energi tumbuhnya sekitar 7 persen dibanding 2018. Saya meyakini 2019 masih ada di kisaran paling tidak US$70 ke atas,” jelasnya.

Komaidi menuturkan pada tahun 2040 akan terjadi persaingan untuk mendapatkan pasokan minyak terutama di negara-negara Asia Pasifik yang didominasi negara berkembang. Ia menjelaskan permintaan pasokan minyak dari negara berkembang diprediksi mencapai 62,6 persen dari total permintaan dunia di 2040.

Alasannya, lanjut Komaidi, negara berkembang memiliki kebutuhan tinggi akan pasokan minyak, sedangkan cadangan maupun produksi dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan itu.

Mengutip BP Statistical Review, cadangan minyak Asia Pasifik sekitar 2,8 persen cadangan dunia sementara produksinya sekitar 8,5 persen. Tetapi konsumsinya mencapai sekitar 35 persen dari konsumsi dunia.

“Sehingga mau tidak mau harus berebut mengambil (pasokan migas) dari negara lain,” ujarnya.

Ia mengatakan negara-negara di Asia Pasifik termasuk Indonesia bisa mendapatkan pasokan minyak dari negara-negara di kawasan Timur Tengah. Namun demikian, negara-negara adikuasi seperti AS dan China sudah mulai berekspansi di wilayah tersebut. Dengan kondisi itu, maka persaingan untuk mendapatkan pasokan minyak semakin ketat ke depannya, lantaran Indonesia juga harus berhadapan dengan negara lainnya.

“Jadi kalau ada kekhawatiran jangan-jangan punya uang tapi tidak bisa beli minyak karena tidak dapat barang itu sangat bisa terjadi,” pungkasnya.

Asia Pasifik Diprediksi Jadi Konsumen Energi Terbesar di 2040

Katadata, 03 Desember 2018

Asia Pasifik diprediksi akan menjadi konsumen energi terbesar di tahun 2040. Penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang melesat dan jumlah penduduk yang makin banyak.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro memaparkan peta kekuatan ekonomi dunia akan berubah dalam puluhan tahun ke depan. Tahun 2017, ekonomi global masih dikuasai Amerika Serikat dengan porsi 20% dan diikuti Eropa 18%.

Akan tetapi, dominasi itu akan memudar. Amerika Serikat dan Eropa akan digeser Tiongkok dan India. Tahun 2040, ekonomi Tiongkok akan melesat dengan porsi 24%. Sedangkan India bisa mencapai 15% dari ekonomi global.

Di tahun itu juga, jumlah penduduk negara-negara Asia Pasifik atau negara berkembang akan meningkat. Jumlah penduduk negara-negara berkembang diproyeksikan mencapai sekitar 80% atau 7,4 miliar dari total jumlah penduduk dunia. Dari jumlah itu, sekitar 45 % penduduk negara-negara berkembang dikontribusikan Tiongkok dan India.

Dua indikator itu membuat negara-negara Asia Pasifik membutuhkan energi yang besar. Konsumsi energi negara-negara berkembang itu bisa mencapai 62,6% dari total 364,7 mboepd.

Jumlah energi itu masih didominasi minyak sebesar 101,3 mboepd. Lalu gas, 91,3 mboepd. Kemudian, batu bara 81 mboepd, biomassa 35,5 mboepd, nuklir 22,6 mboped, hidro 10 mmboepd. Sisanya berupa energi baru terbarukan lainnya.

Dengan kondisi itu, menurut Komaidi, Indonesia bisa terancam kekurangan pasokan. Apalagi, Indonesia akan menghadapi perebutan yang ketat dengan “macan-macan” Asia Pasifik seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand untuk pasokan energi dalam negerinya.

“Bisa jadi di masa mendatang Indonesia punya uang tapi tetap tak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri karena tak punya akses untuk mendapatkan barang,” ujar dia dalam sebuah diskusi media di Bogor, Minggu (2/12).

Komaidi mengatakan di tengah perebutan itu, pemerintah Indonesia, harus merencanakan pasokan yang lebih baik. Saat ini, banyak pihak menilai, sektor minyak dan gas bumi (migas) tak menarik lagi, sehingga tak menaruh perhatian khusus terhadap krisis energi nasional. Penerimaan sektor migas terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia juga hanya 6-7%.

Padahal, industri migas memiliki efek domino. Jika sektor migas turun, maka industri di dalamnya—seperti pipa, baja dan lain sebagainya- juga akan terancam. Tak menutup kemungkinan hal ini turut mengganggu pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah hingga tahun-tahun mendatang.

Sementara itu kemungkinan pergantian rezim di tingkat regulator pascapemilu 2019 membuat iklim investasi hulu migas makin tak menarik. Kepastian hukum yang makin tak jelas membuat pada investor enggan dan memilih menunggu. Maka yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah sinergitas antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta nasional untuk menaikkan produksi.

Berkaitan dengan hal itu, salah satu perusahaan swasta nasional, Medco E&P,  telah menyelesaikan beberapa proyek tahun ini untuk menopang ketahanan energi nasonal. Di antaranya proyek pengembangan lapangan Blok A di Aceh yang memasok 58 BBTUD gas bumi.

Tidak hanya itu, Medco juga mengoptimalkan produksi minyak bumi Lica, Blok South Sumatra. Sementara untuk proyek lepas pantai, Medco E&P Natuna baru saja menyelesaikan survey seismik laut 3D di sekitar 85 kilometer (km) dari Pulau Banguran dan 72km dari Pulau Subi di wilayah Laut Natuna.