Kontrak Blok Migas Agar Fleksibel

Bisnis Indonesia; 30 Oktober 2018 – 02:00 WIB

JAKARTA — Pemerintah perlu merelaksasi ketentuan kontrak wilayah kerja minyak dan gas bumi untuk menarik minat investor dalam mengambil blok migas yang dilelang dan melakukan kegiatan eksplorasi.

Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan di sektor huli migas. Tantangan itu berupa minimnya kegiatal eksplorasi dan belum ada lagi penemuan blok migas kala besar.

Padahal, kegiatan eksplorasi perlu terus dilakukan untuk mendapatkan cadangan migas. Sementara itu, penemuan blok migas raksasa akan mampu meningkatkan produksi minyak dan gas bumi secara signifikan.

“Caranya justru tidak dengan memaksakan untuk hanya menerapkan gross split [skema kontrak bagi hasil kotor]. Namun, perlu skema kontrak bisnis apapun yang memang dikehendaki dan menarik bagi investor,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (29/10).

Sejauh ini, penerapan skema bagi hasil kotor diterapkan untuk kontrak blok baru. Hingga kuartal III/2018, kontrak bagi hasil kotor sudah diterapkan di 25 wilayah kerja migas.

Selain pada blok baru, sistem bagi hasil kotor juga diaplikasikan untuk satu blok terminasi pada 2017, yaitu Blok Offshore North West Java yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi ONWJ.

Pada 2017, setidaknya ada lima blok baru hasil lelang yang menggunakan skema gross split. Kelima blok itu adalah Blok Andaman I, Andaman II, Merak Lampung, Pekawai, dan West Yamdena.

Sementara itu, 4 blok baru pada hasil lelang 2018, yakni Blok Citarum, East Ganal, East Seram, dan Southeast Jambi juga menggunakan skema bagi hasil kotor.

Sebanyak enam blok migas terminasi 2018, yakni Blok North Sumatera Offshore, Ogan Komering, South East Sumatera, Tuban, Sanga-Sanga, dan East Kalimantan & Attaka sudah menggunakan skema bagi hasil kotor.

Pri menganggap bahwa pemerintah dapat membuka opsi untuk tidak menerapkan satu rezim kontrak hulu migas. Menurutnya, jenis kontrak disesuaikan dengan kebutuhan dan kecocokan setiap blok migas.

Beberapa kontrak lama masih menggunakan skema bagi hasil bersih atau cost recovery, yaitu seluruh biaya produksi migas yang dikeluarkan kontraktor akan diganti dari APBN. Sementara itu, bagi hasil yang diterima kontraktor merupakan keuntungan yang diterima perusahaan migas tersebut.

Sebagai contoh, dalam skema cost recovery, kontraktor mendapatkan bagi hasil produksi minyak sebesar 15%, sedangkan pemerintah 85%. Selain mendapatkan bagi hasil 15%, kontraktor juga akan mendapatkan penggantian seluruh biaya produksi migas yang telah dikeluarkan.

IMG-20181031-WA0017

Sebalinya, skema bagi hasil kotor dengan basis pemerintah mendapatkan 43% dan kontraktor 57% (minyak). Namun, bagi hasil kontraktor bisa bertambah bergantung pada kondisi lapangan migas. Dengan bagi hasil 57% itu, kontraktor sudah harus menanggung biaya produksi migas.

“Tidak perlu fanatik gross split atau cost recovery. Jangan menganggap bahwa bentuk kontrak itu segalanya yang akan menentukan menarik atau tidaknya sebuah blok migas,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan bahwa sistem bagi hasil gross split untuk kontrak wilayah kerja migas akan jalan terus.

“Ini tidak akan kembali [ke skema cost recovery], gross split akan jalan terus, karena semua [perusahaan migas] yang besar terima. Chevron sewaktu di Blok Rokan, saya tanya mau tidak [sistem gross split]? Mau,” katanya, pekan lalu.

Pri menambahkan, sebenarnya banyak faktor yang memengaruhi daya tarik blok migas di Indonesia antara lain konsistensi regulasi, perizinan, dan birokrasi. Menurutnya, setiap investor berinvestasi menyesuaikan prioritas portofolionya. “Tingkat daya saing dengan negara lain juga menjadi kunci.”

Jonan menyebutkan, pertimbangan pemerintah mengganti skema bagi hasil cost recovery karena banyaknya distorsi pada sistem ini, terutama dari segi proses yang banyak memakan waktu.

Menurutnya, cost recovery memiliki distorsi yang sangat besar, baik dari segi proses yang membutuhkan waktu lama. “Prosesnya panjang, satu pengadaan itu bisa 2—3 tahun, bisa bertahun-tahun, akhirnya mundur semua.”

PROYEK BEROPERASI

Sementara itu, SKK Migas memastikan bahwa proyek hulu migas akan beroeprasi sesuai target, yaitu pada 2019. Berdasarkan data SKK Migas, setidaknya ada 13 proyek hulu migas yang ditargetkan beroperasi pada 2019.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan, proyek hulu migas masih sesuai target. “Kalau untuk saat ini untuk semuanya kami masih punya estimasi untuk 2019. Untuk detailnya lagi kami bisa sampaikan pada akhir November 2018. Nah, saat itu akan ketahuan sejauh mana akan tepat waktu. Sejauh ini masih sesuai target,” katanya kepada Bisnis.

Proyek hulu migas tersebut antara lain SWB/WB/SB oleh PetroChina Intl. Jabung Ltd., Ario Damar-Sriwijaya Phase 2 oleh PT Tropik Energi Pandan, Terang Sirasun Batur phase 2 oleh PT Kangean Energi Indonesia Ltd.

Kenaikan BBM di Antara Pertaruhan Politik dan Kejatuhan Rupiah

KATADATA: Minggu 28/10/2018, 12.00 WIB

Sejumlah ekonom mendorong pemerintah menaikkan harga BBM. Selain untuk menekan defisit neraca berjalan, akan memperkuat rupiah. Suara pemerintah lonjong.

Pemerintah selalu menimbang dengan keras saat hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu pula ketika akan memangkas subsidi sumber energi ini. Sebagai komoditas yang dipakai hampir semua penduduk, efek politis selalu dihiraukan, apalagi di tahun pemilu. Sebaliknya, kebijakan mempertahankan subsidi atau harga menambah gejolak ekonomi, termasuk memukul daya tahan rupiah.

Harga minyak mentah dunia telah jauh meninggalkan asumsi patokan minyak Indonesia (ICP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel. Awal bulan ini, minyak jenis Brent menyentuh US$ 85 per barel. Walau kemudian menurun, Jumat kemarin masih tetap di level tinggi US$ 76,78 per barel.

Sebenarnya, pemerintah bukan tak mempredisksi situasi ini. Maret lalu, Sri Mulyani sudah meramal realisasi ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melampaui asumsi APBN 2018. Di satu sisi, perubahan ICP dan nilai tukar rupiah bakal menambah penerimaan negara. Di sisi lain, perubahan tersebut membuat beban subsidi energi bertambah.

Karenanya, ketika itu pemerintah memutuskan harga BBM bersubsidi dan listrik tidak naik untuk menjaga daya beli masyarakat. “Sehingga menjadi motor penggerak ekonomi bersamaan dengan investasi dan ekspor,” kata Sri Mulyani.

Ramalan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bukan hanya terbukti. Kenyataannya lebih jauh dari itu. Harga minyak mentah dunia saat ini tertinggi sejak akhir 2014 yang ketika itu mencapai US$ 99,08 per barel. Sementara pelemahan rupiah, walau bukan yang terburuk, sepanjang tahun ini masuk lima besar yang paling terpukul dolar Amerika setelah Turki, Brasil, Rusia, dan India, yakni sebesar -12,8 persen.

Pada awal September kemarin, misalnya, nilai tukar rupe dan rupiah memimpin pelemahan mata uang Asia. Dari Januari-September 2018, mata uang India melemah lebih dari 10%, terdalam dibanding mata uang Asia lainnya. Diikuti mata uang Indonesia yang terdepresiasi lebih dari 9%. Sementara mata uang utama Asia yang berhasil menguat terhadap dolar AS hanya yen Jepang. (Lihat grafik di bawah ini).

Capture

Untuk mengatasi dua tekanan ini -lonjakan harga minyak dan kejatuhan rupiah-  Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyarankan pemerintah menaikkan harga BBM. Dengan kebijakan ini, masyarakat akan lebih berhemat menggunakan bahan bakar tersebut. Ujungnya, impor BBM berkurang sehingga membantu memperbaiki defisit neraca berjalan (CAD) dalam jangka pendek.

Banyak ekonom melihat CAD menjadi momok yang terus menghantui ekonomi Indonesia sejak terjadi pada 2004. Penyumbang defisit paling besar dari sektor minyak dan gas. Bulan lalu, misalnya, nilai ekspor migas mencapai US$ 1,21 miliar sementara impor US$ 2,28 miliar. Alhasil, neraca perdagangan migas nasional defisit US$ 1,07 miliar.

Secara akumulasi Januari-September, neraca migas  defisit US$ 9,38 miliar. Angka ini melonjak 59,5 % dari tahun sebelumnya US$ 5,88 miliar. (Lihat grafik di bawah ini).

1

Karena itu, Berly melihat penting bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dengan perkembangan pasar dunia. Apalagi, harga BBM dengan keekonomiannya sudah terpaut jauh sehingga perlu diantisipasi. “Kalau ekonom, kita yakin seharusnya harga naik. Memang harganya sudah seperti itu, jangan ditutupi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (26/10).

Tak hanya itu, Berly menilai pemerintah perlu mengurangi subsidi BBM. Dengan begitu, anggaran negara bisa dimaksimalkan untuk kebutuhan masyarakat lainnya seperti sektor kesehatan. “Prinsipnya, kalau subsidi jangan ke barang, tapi ke orang, ke orang miskin. Kalau subsidi ke barang, potensi tidak tepat sasaran tinggi apalagi BBM dikonsumsi orang banyak,” ujarnya.

Hal senada beberapa kali disuarakan oleh Chatib Basri. Menteri Keuangan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatakan terus melemahnya rupiah tak jauh berbeda dari faktor yang terjadi pada 2013. Rentannya rupiah tidak lain karena ekonomi Indonesia masih terbebani defisit neraca transaksi berjalan, dengan salah satu sumber terbesarnya dari migas.

Dia pun menyarankan pemerintahan Presiden Joko Widodo mengatasinya dalam jangka pendek dengan menaikkan harga BBM. Langkah ini penting diambil mengingat terjadi disparitas harga BBM di dalam negeri dan internasional terlalu jauh. Akibaatnya, ada peluang terjadi penyeludupan sehingga volume impor minyak terus meningkat.

Bila mengacu ke beberapa negara lain, harga BBM di Indonesia memang tergolong paling murah. Berdasarkan data Globalpetrolprice, harga BBM di Indonesia US$ 0,7/liter atau setara Rp 10.500/liter dengan kurs Rp 15 ribu per dolar. Angka tersebut berada di urutan kedua termurah setelah harga BBM di Malaysia yang dijual Rp 7.950 per liter. Sementara Singapura merupakan negara dengan harga BBM termahal di Asia Tenggara. (Lihat grafik di bawah ini).

2

Suara seirama disampaikan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto. Jika ditinjau dari perspektif ekonomi, seharusnya harga BBM Premium dan Solar harus disesuaikan mulai pertengahan 2016. Sebab, sejak itu sudah ada selisih harga BBM yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomiannya. Hingga kini, Premium masih Rp 6.450 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter.

Namun dari perspektif politik, kata Pri, pemerintah kemungkinan akan menahan diri untuk menaikkan harga BBM. “Sudah tanggung kalau menaikkan harga BBM sekarang. Tahun anggaran 2018 sudah hampir selesai, pemilu juga sudah dekat, April 2019,” kata dia.

Sumber Katadata.co.id di pemerintahan juga mengabarkan perdebatan sengit antara yang pro mengutamkan aspek politik dan mereka yang mendukung reformasi struktural dengan mengurangi subsidi. Di kubu pro politik, kenaikan harga BBM dikhawatirkan memicu inflasi sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Ujungnya, persepsi masyarakat kepada pemerintah menurun.

Bila ini terjadi akan buruk bagi Joko Widodo yang bakal berlaga pada Pilpres 2019. Walau jauh meninggalkan Prabowo Subianto, elektabilitas Jokowi, demikian dia biasa disapa, belum kokoh benar. Sejumlah survei menunjukkan keterpilihan mantan Gubernur DKI Jakarta itu 52 – 58 persen. Jika mengacu pada Pilpres 2009, dia mesti mengantongi elektabilitas di atas 60 persen seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

3

Sebenarnya, bukan kali ini satu pemerintahan menimbang hal demikian. Bila ditarik ke belakang,  SBY memilih tak menaikkan harga BBM pada 2014 lalu saat harga minyak mencapai US$ 108,62 per barel. Padahal, ketika itu dia sudah masuk masa transisi. SBY bergeming. Alasannya, tanggung jawab tersebut bisa dipikul oleh pemerintahan yang baru.

Kal ini, kubu yang pro pembenahan struktur ekonomi mendorong menaikkan harga BBM dan memangkas subsidi. Langkah tersebut dinilai mujarab untuk menekan defisit neraca berjalan. Pelaku pasar akan merespons positif sehingga rupiah akan menguat dan bursa efek pun bergairah.

Selain itu, dampak politis kenaikan harga BBM lebih mudah ditangani dalam beberapa bulan mendatang. Hal berbeda ketika menghadapi rupiah yang masih loyo. Sebab, selain faktor internal, banyak penyebab eksternal yang akan menentukan seperti rencana bank sentral Amerika, The Fed, mengerek suku bunga, perang dagang Amerika-Cina, dan ancaman lonjakan harga minyak.

Puncak beda pandangan ini mencuat saat pemerintah tak jelas mengumumkan kenaikan harga Premium. Pada Rabu (10/10) sore, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan kenaikan Premium di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali. Harga Premium untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter dari Rp 6.550 per liter. Di luar Jamali, harganya Rp 6.900 per liter  dari Rp 6.450 per liter.

Namun, sekitar setengah jam kemudian, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengumumkan kenaikan harga BBM batal. Menurutnya, pembatalan ini merupakan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo. “Agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan Pertamina,” katanya.

Tak ada perubahan itu berlangsung hingga sekarang. Menurut Pri, jika BBM tidak naik, ada sejumlah hal yang akan terjadi. Pertama, selisih harga BBM dengan harga keekonomian akan semakin besar. Kedua, defisit fiskal APBN kian melebar. Ketiga, beban keuangan Pertamina bertambah.

Lalu keempat, secara tidak langsung dapat memberi sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah. Kelima, konsumsi BBM akan semakin tinggi karena harga tetap sehingga memperbesar impor BBM yang ujungnya meningkatkan defisit neraca migas. “Keterkaitannya juga ke pelemahan nilai tukar rupiah lagi,” ujar dia.

4

Alhasil, Pri menyimpulkan jika pemerintah pada akhirnya menaikkan harga BBM, perlu dibarengi dengan dua upaya. Pertama membantu daya beli masyarakat yang terdampak paling besar dan pengendalian inflasi terkait kenaikan harga barang-barang lainnya.

Kedua, perlu mengantisipasi kebijakan embargo Presiden Amerika Donald Trump terhadap Iran November mendatang. Langkah ini dapat membuat harga minyak melonjak. Sejumlah analisis dunia bahkan memprediksi harga minyak bisa tembus US$ 100 per barel, walaupun IMF sempat meramalkan sebaliknya.

Pri memperkirakan pemerintah masih bisa menanggung beban fiskal untuk tahun ini jika harga minyak bergerak di kisaran US$ 80-85 per barel. “Untuk 2019, berbeda lagi kondisinya karena pemerintah akan menggunakan APBN yang baru,” kata dia.

Kini, bola kembali di kaki pemegang kekuasaan. Akankah pemerintah mengutamakan kebijakan populis ataukah menaikkan harga BBM untuk menyembuhkan defisit transaksi berjalan dan memperkuat rupiah?

Dalam kolom di harian Kompas, Jumat kemarin, Chatib Basri menutup artikelnya mengenai beratnya ekonomi tahun-tahun depan, di antaranya terkait rupiah. Ia menyitir pidato “Musim Dingin” Jokowi di pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali. Menurutnya, tahun depan tak hanya menyimpan musim dingin, bahkan berpotensi menimbulkan badai salju. Karena itu, “Kita perlu bijak, dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. Tak bisa terus datang dengan kebijakan populis.”

Pasokan Energi dan Pemulihan Ekonomi Sulawesi Tengah
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Media Indonesia: Rabu, 17 Okt 2018, 05:10 WIB

PASOKAN energi memiliki peran penting dalam pemulihan ekonomi Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pascabencana gempa dan tsunami. Dalam hal ini tidak mudah bagi suatu provinsi yang 4 dari 13 kabupaten/kotanya terkena gempa dan tsunami untuk dapat memulihkan aktivitas perekonomian. Sebagaimana diketahui, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu merupakan wilayah yang terdampak akibat bencana itu.

Data menujukkan, tidak kurang dari 60% produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Sulteng pada 2017 merupakan kontribusi dari sektor nonekstraktif yang lebih padat energi. Sektor nonekstraktif seperti industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, transportasi dan pergudangan, pengadaan listrik dan gas, penyediaan akomodasi, dan jasa-jasa merupakan kontributor utama pembentuk PDRB Sulteng. Karena itu, pemulihan pasokan energi dapat dikatakan memiliki arti penting bagi upaya pemulihan ekonomi Sulteng.

Berdasarkan pantauan, pasokan energi sempat menjadi permasalahan utama yang dialami masyarakat di wilayah terdampak setelah terjadinya gempa dan tsunami di Sulteng. Pasokan energi yang meliputi tenaga listrik, BBM, dan elpiji terganggu karena sejumlah infrastruktur distribusinya mengalami kerusakan pada tingkatan yang tidak sederhana untuk dipulihkan.

Terputusnya aliran listrik tidak hanya mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga menyebabkan jaringan komunikasi di wilayah bencana tidak dapat beroperasi. Sekitar 276 base transceiver station (BTS) tidak dapat digunakan karena tidak terdapat aliran listrik. Kerusakan infrastruktur juga terpantau menyebabkan terjadinya kelangkaan BBM di wilayah bencana untuk beberapa waktu.

Sinergi pemerintah-BUMN

Meski belum pulih seratus persen, dengan kontribusi dan sinergi dari seluruh lapisan masyarakat utamanya para relawan yang luar biasa, proses penanganan dan pemulihan Sulteng pascagempa dan tsunami terpantau mengalami kemajuan yang signifikan.

Dari sisi pemulihan pasokan energi, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dua BUMN energi (Pertamina dan PLN) telah menunjukkan perkembangan dan hasil yang menggembirakan. Sampai dengan tulisan ini dibuat, pasokan listrik di sebagian besar wilayah terdampak dilaporkan telah dapat dipulihkan. Secara sistem, pasokan listrik untuk wilayah Palu, Donggala, dan Sigi dilaporkan sudah siap untuk disuplai kembali.

Secara teknis, tim gabungan PLN tercatat melaporkan telah berhasil memulihkan 100% gardu induk, mengoperasikan 45 penyulang, dan memperbaiki 1.707 gardu distribusi yang rusak. Sebagai bagian untuk mempercepat proses pemulihan, PLN terpantau mengirimkan sekitar 1.033 petugas tambahan.

Untuk antisipasi, PLN juga melaporkan pihaknya menyiapkan sekitar 66 genset untuk mengalirkan listrik ke pelanggan prioritas seperti 8 rumah sakit, 2 PDAM (perusahaan daerah air minum), 11 SPBU, 10 bank dan ATM, 18 BTS, 17 tempat ibadah, 15 pusat ekonomi, dan 15 perkantoran.

Sama seperti PLN, Pertamina juga berkontribusi signifikan dalam upaya pemulihan pasokan energi di Sulteng. Satu hari pascabencana, Pertamina terpantau mendirikan Posko sementara penanganan di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Palu dan di Terminal BBM (TBBM) Donggala. Pertamina juga tercatat mengirimkan tim untuk memberikan bantuan medis, bantuan logistik, bantuan komunikasi, serta bantuan teknis untuk memperbaiki kerusakan pada fasilitas sarana dan prasarana milik Pertamina.

Pada 29 September 2018, sehari setelah terjadinya gempa dan tsunami, Pertamina melaporkan mengirimkan sekitar 245 ribu liter BBM menuju Palu dan Donggala. Pengiriman dilakukan menggunakan mobil tangki BBM dari Terminal BBM Palopo, Parepare, dan Tolitoli. Pertamina juga melaporkan telah memberangkatkan mobil tangki avtur dari Manado dan Luwuk, serta bantuan personel awak mobil tangki dari Pare-pare dan Kendari dan 50 personel operator SPBU.

Sampai dengan hari kelima pascabencana, Pertamina melaporkan telah mendatangkan sekitar 12 ribu liter BBM melalui udara dan 500 ribu liter BBM melalui darat. Sampai dengan hari kelima sudah terdapat 10 SPBU yang beroperasi di daerah terdampak gempa. Pertamina juga melaporkan telah mendatangkan sekitar 100 SPBU portabel. Sementara untuk kebutuhan elpiji, telah dikirimkan pasokan sebanyak 2.000 tabung dalam berbagai ukuran melalui jalur laut.

Sepekan setalah terjadinya bencana, Pertamina melaporkan telah berhasil mengoperasikan kembali layanan 32 SPBU dari total 36 SPBU di wilayah terdampak. Stok BBM juga dilaporkan telah lebih dari cukup, yaitu stok bensin di atas 10 hari dan solar 20 hari. Tidak hanya BBM, untuk memenuhi kebutuhan energi bagi kepentingan rumah tangga, Pertamina terpantau menggelar operasi pasar elpiji 3 kg di depan TBBM Donggala. Pertamina terpantau memperluas operasi pasar elpiji menjadi di 16 titik yang terdistribusi 8 titik di Palu, 4 titik di Donggala, dan 4 titik di Sigi.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN, dan Pertamina tersebut kembali menegaskan bahwa pasokan energi sesungguhnya tidak hanya penting bagi pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak bencana, tetapi yang lebih mendasar dari itu semua bahwa pasokan energi tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri.

Tanpa mengesampingkan apresiasi kepada semua pihak, selalu terdapat hikmah dan pelajaran dari apa yang terjadi di Sulteng tersebut. Pertama, bahwa sistem tanggap darurat utamanya yang terkait dengan penanganan dan pemulihan pasokan energi pascabencana yang kita miliki masih perlu ditingkatkan. Dalam hal ini penting bagi pemerintah untuk menyiapkan backup infrastruktur energi yang dibangun di sekitar wilayah rawan bencana.

Kedua, bahwa BUMN energi (Pertamina dan PLN) memiliki peran strategis dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih proporsional di dalam menerapkan kebijakan kepada kedua BUMN tersebut.

Setiap Harga Minyak Naik US$ 1, Subsidi BBM Bengkak Rp 3,1 T

CNBC Indonesia, 17 Oktober 2018

Jakarta, CNBC Indonesia- Subsidi BBM dan LPG di 2018 sudah lewati kuota, atau jebol dari pagu yang ditargetkan pemerintah. Realisasi hingga 30 September, subsidi BBM sudah sentuh Rp 54,3 triliun atau 115,9 dari target.

Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, berdasarkan asumsi makro energi, sensitivitas RAPBN 2019 terhadap fluktuasi (peningkatan) harga minyak cukup besar. Ia mengatakan, simulasi Reforminer menemukan, tambahan subsidi BBM (solar, minyak tanah), dari setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1/barel adalah sekitar Rp 3,11 triliun.

Sementara jika nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, maka kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat sekitar Rp 1,51 triliun.

Jika pada kondisi tertentu secara bersamaan harga minyak meningkat sebesar US$ 1/barel, dan nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, kebutuhan anggaran subsidi energi dari BBM akan meningkat sekitar Rp 4,63 triliun.

“Kebutuhan anggaran subsidi energi akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan alokasi anggaran subsidi LPG 3 kg dan subsidi listrik,” ujar Pri Agung saat dihubungi Rabu (17/10/2018).

Dengan begitu, lanjut Pri Agung, memang kemungkinan realisasi penyaluran subsidi energi pasti akan melebihi yang dianggarkan, karena terjadi deviasi di dua varibel utamanya, yakni nilai tukar rupiah yang melemah dan harga minyak yang meningkat.

“Untuk menekannya, ya mau tidak mau caranya dengan mengurangi subsidi tersebut,” tutur Pri Agung.

Soal beban terhadap RI dari harga minyak ini sebelumnya juga pernah diungkap oleh Tim Riset Bank Mandiri dalam Econmark Edisi Juli 2018. Tim riset menghitung setiap harga minyak naik US$ 1 maka PT Pertamina (Persero) bisa merugi Rp 3,1 triliun.

Begitu juga dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, setiap dolar menguat Rp 100 terhadap rupiah Pertamina dihitung berpotensi rugi operasional Rp 1,6 triliun.

“Dan perlu dicatat tekanan dari harga minyak dan batu bara ini masih tinggi melihat kondisi faktor geopolitik dan permintaan saat ini,” tulis tim riset.

Publik Perlu Edukasi Harga

KOMPAS: Senin, 15 Oktober 2018

Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan tentang struktur pembentuk harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga dianggap perlu untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

JAKARTA, KOMPAS — Publik selaku konsumen bahan bakar minyak perlu diedukasi tentang struktur pembentuk harga bahan bakar. Pasalnya, Indonesia bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak lantaran produksi di dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dengan demikian, setiap kenaikan harga jual bahan bakar minyak dapat dipahami alasannya.

Pengajar pada Fakultas Teknologi dan energy Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto berbendapat, edukasi tentang harga bahan bakar minyak (BBM) diperlukan  semua pihak naik turunnya harga BBM sesuai faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah hal yang wajar. Pemerintah juga pernah menurunkan harga BBM saat harga minyak mentah rendah dan posisi rupiah terhadap dollar AS stabil di kisaran Rp 13.000 per dollar AS.

“Jadi dengan naiknya harga minyak mentah dunia dan posisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS penyesuaian harga BBM adalah hal yang wajar,” kata Pri Agung saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/10/2018).

Menurut Pri Agung, sudah saatnya tidak mengaitkan pergerakan harga BBM dengan urusan politik praktis.

Pada Rabu (10/10) sore, di Denpasar Bali, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan kenaikkan harga premium dari Rp 6.450 per liter jadi Rp 7.000 per liter di Jawa dan Bali serta Rp 6.900 per liter di luar Jawa dan Bali. Kenaikan itu sedianya mulai berlaku pukul 18.00 pada hari yang sama. Namun, rencana dibatalkan dengan alasan menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).

Sementara harga jenis Pertamax naik dari Rp 9.500 per liter jadi Rp 10.400 per liter di Jawa dan Bali. Menurut Pertamina, kenaikan itu dipengaruhi harga minyak dunia yang mencapai 80 dollar AS per barel Serta posisi rupiah yang kian lemah.

Dikaitkan politik

Kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi sepakat bahwa publik perlu mendapat penjelasan tentang pembentuk struktur harga BBM, yaitu harga minyak mentah dan krus rupiah.

Namun, dibalik kebijakan itu, ia menyebut pemerintah sekarang tampak kurang percaya diri dengan terus menahan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar bersubsidi. Pemerintah cenderung mengaitkan harga BBM dengan politik dimana tahun depan merupakan tahun penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

“Sebenarnya masyarakat sudah mulai paham soal naik turunnya harga BBM. Pemerintah saja yang kurang percaya diri dan dikait-kaitkan dengan politik” kata tulus.

Hal itu tampak juga dengan diubahnya kebijakan pembatasan penjualan premium di Jawa dan Bali beberapa waktu lalu. Tujuan pembatasan tersebut adalah mengajak konsumen beralih menggunakan BBM yang lebih bersih, yakani jenis Pertamax dengan RON 92. Belakangan, kebijakan itu di revisi dan mewajibkan Pertamina menyediakan premium di seluruh wilayah Indonesia tanpa kecuali.

Ketua Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Gus Irawan, bisa memahami Pertamina menaikkan harga Pertamax. Menurut dia, keputusan itu wajar atau sebuah aksi korporasi. Pertamina menaikkan harga Pertamax untuk menghindari kerugian yang lebih besar karena kenaikkan harga minyak dunia.

“Ini kompensasi dari ketetapan pemerintah yang tidak mau menaikkan harga BBM (premium dan solar bersubsidi) sampai 2019. Ini kompensasi Pertamina yang mendapat penugasan pemerintah terkait penyaluran premium tanpa pemberian subsidi,” kata Gus Irawan.

Pemerintah, dalam berbagai kesempatan, menegaskan tidak akan menaikkan harga premium dan solar bersubsidi sampai 2019. Alasannya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga premium dan solar bersubsidi tak berubah sejak April 2016, yakni Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter.

Tidak Haram Naikkan Harga BBM Demi Angkat Rupiah

CNNIndonesia, 08 Oktober 2018

Jakarta, CNN Indonesia — Nilai tukar rupiah terus melemah. Senin (8/10) siang ini rupiah sudah terperosok hingga ke level Rp15.253 per dolar AS, merosot jauh jika dibandingkan asumsi APBN 2018 yang hanya Rp13.400 per dolar AS.

Untuk membendung pelemahan tersebut, usaha pemerintah dan Bank Indonesia (BI) boleh dibilang sudah mati-matian. BI misalnya, agar pelemahan rupiah tak semakin parah mereka sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin selama 2018 ini.

Sementara itu, pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan dengan menekan impor. Upaya tersebut dilakukan dengan menaikkan tarif PPh Impor atas barang konsumsi.

Upaya juga dilakukan dengan menerapkan kebijakan pencampuran biodiesel pada BBM (B20) agar impor minyak bisa ditekan. Maklum, impor minyak selama ini memang memberi beban besar pada defisit transaksi berjalan dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas antara Januari hingga Agustus mencapai US$19,77 miliar atau melonjak 28,29 persen dibanding tahun lalu US$15,41 miliar. Angka tersebut lebih besar dibandingkan pertumbuhan impor secara umum yang hanya di angka 24,52 persen di angka yang sama.

Namun, apa boleh dibuat, sampai sekarang upaya yang dilakukan pemerintah tersebut belum membuahkan hasil sesuai yang diharapkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu mengatakan, khusus untuk kebijakan B20, penurunan impor minyak yang diharapkan belum sesuai harapan.

“Kami berharap, B20 yang dilakukan kemarin bisa menekan impor minyak. Tapi kami lihat sampai September malah masih ada kenaikan impor,” katanya di Komplek Istana Negara, pekan lalu.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan sebenarnya pemerintah punya opsi lain untuk menekan impor minyak, seperti menaikkan harga BBM. Ia mengatakan kenaikan impor minyak selama ini tak lepas dari kebijakan BBM murah yang diterapkan Presiden Joko Widodo.

Catatan CNNIndonesia.com pemerintah terakhir kali menaikkan harga BBM bersubsidi tanggal 1 April 2016. Padahal, sejak saat itu hingga kini, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dan kurs dolar masing-masing sudah melonjak masing-masing 101,29 persen dan 15,09 persen.

Sebenarnya, Reforminer Institute telah berkali-kali mengingatkan pemerintah soal ancaman peningkatan impor minyak bila harga BBM tetap dipertahankan murah. Lembaga itu juga sudah menyampaikan kajian kepada pemerintah untuk segera menaikkan harga BBM.

Usulan kenaikan disampaikan karena harga jual BBM yang dijual saat ini jauh di bawah harga yang seharusnya. Hitungan Reforminer, dengan harga minyak dan nilai tukar rupiah pada Agustus kemarin, harga BBM jenis premium sekarang masih Rp6.450 per liter harusnya sudah Rp8.500 per liter, solar yang saat ini Rp5.150 seharusnya Rp8.300, minyak tanah yang saat ini Rp2.500 seharusnya sudah Rp11.300 per liter.

Kala itu, lembaganya mengusulkan agar pemerintah bisa menaikkan harga BBM secara bertahap. Misal, Rp100 per liter dalam tiga bulan pertama dan Rp100 per liter dalam tiga bulan berikutnya supaya tidak menimbulkan dampak inflasi yang besar. Hanya saja, kala itu rekomendasinya tidak digubris.

Pemerintah tetap tidak menaikkan harga BBM. “Padahal, pemerintah punya ruang untuk menyesuaikan harga BBM, tapi ini tidak dilakukan padahal di sisi lain, rupiah juga terus melemah, impor naik. Jadi, yang terjadi saat ini ya mungkin saja konsekuensi dari itu,” papar dia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan tingginya impor BBM merupakan konsekuensi dari blunderpemerintah yang tak mau menaikkan harga energi hingga 2019 mendatang. Menurutnya, hanya demi elektabilitas, pemerintah rela ‘menggadaikan’ defisit transaksi berjalan dan depresiasi nilai tukar.

Sampai saat ini, lanjut dia, memang belum ada solusi lain dari pengurangan impor migas selain B-20. Pasalnya, kalau harga BBM dinaikkan, dan dinaikkannya hanya Rp100- Rp400 per liter, itu semua tidak akan signifikan menekan impor minyak.

Sementara itu, kalau harganya dinaikkan melebihi Rp400 per liter, kekhawatiran lain muncul; daya beli masyarakat bisa terganggu. “Kalau naiknya sedikit, tapi daya beli terpukul. Sementara konsumsi BBM tidak turun signifikan,” ujarnya.

Terlepas dari kebijakan populis jelang tahun politik, menurutnya, pemerintah sudah gegabah tidak menaikkan harga BBM ketika harga minyak di kisaran US$50 per barel. Ketika harga minyak saat ini sudah menembus US$74 per barel, baru pemerintah merasakan imbasnya.

Keputusan pemerintah untuk menahan harga BBM tentu berdampak ke pengeluaran subsidi energi. Untuk tahun ini saja, pemerintah berencana untuk menambah nilai subsidi energi hingga akhir tahun dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dari Rp94,5 triliun menjadi Rp163,5 triliun.

Pilihan Sulit

Bhima mengakui menaikkan harga BBM di tengah tahun politik dan daya beli masyarakat yang rentan merupakan pilihan sulit. Apalagi, BBM adalah kebutuhan primer. Jika harga BBM dinaikkan Rp100 hingga Rp400 per liter, masyarakat masih akan tetap membeli BBM dengan mengurangi pengeluaran lain, misal sandang atau pangan.

“Kalau harga BBM dinaikkan, daya beli instan tergerus, sementara impor BBM-nya tidak signifikan langsung berkurang. (Dibanding masalah keuangan negara), saya masih memilih untuk menjaga daya beli masyarakat,” tutur dia.

Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan pemerintah masih punya ruang besar untuk menaikkan harga BBM. Ruang tersebut bisa terlihat dari inflasi hingga akhir tahun yang diprediksi hanya akan mencapai 3,3 persen atau di bawah target pemerintah 3,5 persen.

Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menuturkan pemerintah bisa menaikkan harga BBM untuk mengatasi defisit transaksi berjalan dengan cepat. Ia menghitung, jika harga BBM dinaikkan Rp1.200-1.500 per liter, defisit neraca dagang migas bisa berkurang hingga US$1 miliar.

Kalau pemerintah khawatir kenaikan tersebut akan menimbulkan guncangan pada masyarakat, mereka bisa memilih menaikkan harga BBM secara bertahap. Yang penting, katanya, pemerintah sudah mengirimkan pesan ke pasar bahwa mereka sudah tahu masalah sebenarnya yang menghantui ekonomi dalam negeri dan serius mengatasinya.

“Itu akan besar dampaknya ke penurunan konsumsi dan defisit neraca dagang migas,” katanya.

Pemerintah agar Kendalikan Subsidi

KOMPAS: Senin, 09 Juli 2018

Subsidi solar dan listrik pada 2019 bertambah. Pemerintah disarankan untuk menerapkan mekanisme dan pengendaliannya secara bertahap.

JAKARTA, KOMPAS– Subsidi energi untuk tahun anggaran 2019 dipastikan bertambah. Subsidi energi tersebut meliputi subsidi bahan bakar minyak, listrik, dan elpiji.

Terkait subsidi, pemerintah disarankan menerapkan mekanisme melalui APBN, bukan membebankan pada badan usaha. Pemerintah juga disarankan untuk mengendalikan subsidi agar tepat sasaran.

Mulai 2019, subsidi untuk solar diusulkan bertambah Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per liter. Saat ini, subsidi untuk solar sebesar Rp 500 per liter. Sementara subsidi listrik diusulkan bertambah menjadi Rp 53 triliun hingga Rp 58 triliun. Tahun ini, subsidi listrik ditetapkan sebesar Rp 47,7 triliun.

“Penambahan subsidi didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi global. Hal itu berdampak pada pertumbuhan permintaan konsumsi energi, termasuk di Indonesia,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, akhir pekan lalu, di Jakarta.

Djoko mewakili Kementerian ESDM membahas penambahan subsidi energi dengan Badan Anggaran DPR

Djoko menambahkan, subsidi elpiji 3 kilogram (kg) juga ditambah untuk tahun anggaran 2019. Volume elpiji 3 kg tahun depan diusulkan sebanyak 6,825 juta ton sampai dengan 6,978 juta ton. Volume elpiji 3 kg tahun ini 6,45 juta ton, sedangkan realisasi volume elpiji 3 kg tahun lalu 6,305 juta ton.

Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, berpendapat, penambahan subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM), merupakan hal yang wajar. Sebab, harga minyak mentah dunia naik signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Sementara asumsi harga minyak mentah Indonesia jauh di bawah rata-rata harga minyak mentah dunia.

“Saat ini, usulan penambahan subsidi energi masih bersifat pagu indikatif. Setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan pidata nota keuangan pada 16 Agustus 2018 akan dibahas detail dengan Badan Anggaran DPR,” kata Eni.

Khusus penyaluran subsidi elpiji 3 kg, Eni mengingatkan pemerintah mengenai perlunya pengendalian subsidi elpiji tersebut. Pasalnya, mekanisme yang digunakan saat ini memungkinkan siapa pun membeli elpiji bersubsidi itu. Padahal, elpiji 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu.

Su medico antes de probar cualquier perspectiva oral farmacias en linea es alternativo que puedan colocar un nivel bajo de testosterona no puede lograr y pero ya ha demostrado ser un remedio confiable, capsulas naturales ereccion para. Todas las complicaciones diabeticas mas tratables y las acerca de desventajas superan por mucho los beneficios.

Mekanisme subsidi

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, pemerintah perlu konsisten mengenai kebijakan harga BBM yang sudah disusun. Ia mencontohkan, BBM jenis premium. Kendati dinyatakan sebagai BBM nonsubsidi, penetapan harga premium tidak seperti BBM nonsubsidi.

“Selain itu, selisih harga jual premium dibebankan kepada badan usaha (PT Pertamina). Seharusnya, itu melalui mekanisme APBN, bukan menjadi urusan badan usaha,” kata Pri Agung.

Pri Agung menambahkan, ia dapat memaklumi pertimbangan politik dalam penentuan harga BBM di Indonesia. Namun, keputusan tersebut sebaiknya tidak mengesampingkan faktor fundamental yang memengaruhi penentuan harga jual BBM, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan harga minyak dunia. Kebijakan yang sudah dibuat pemerintah, yaitu peluang mengevaluasi harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi setiap tiga bulan, tidak dilaksanakan secara konsisten.

“Padahal, kebijakan tersebut sudah tepat untuk mengedukasi masyarakat bahwa pergerakan harga minyak mentah dunia berpengaruh langsung terhadap harga jual BBM di dalam negeri. Kalau harga minyak mentah dunia terus naik, sementara harga jual diputuskan tetap, itu seperti langkah mundur,” ujarnya.

Saat ini, harga jual premium Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Harga itu berlaku sejak 1 April 2016.

Pasokan OPEC Terbatas, Indonesia Harus Waspadai Lonjakan Harga Minyak

Kumparan Bisnis, 02 Oktober 2018

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) hanya akan meningkatkan pasokan minyak secara terbatas, sebagai dampak sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) terhadap industri perminyakan Iran. Hal ini diproyeksi bakal memicu kenaikan harga minyak hingga akhir tahun 2018.
Survei yang dilakukan Reuters mengungkapkan, hilangnya pasokan minyak dari Iran, hanya akan sedikit terkompensasi oleh produksi minyak Arab Saudi, Libya, dan Angola. Sebagian besar pasokan Iran tetap tak akan tergantikan sehingga akan ada kesenjangan antara pasokan dan permintaan.
Kondisi ini akan mendongkrak kenaikan harga minyak. Harga minyak jenis Brent pada Senin (1/10) mencapai USD 83,32 per barel. Sementara jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember melonjak USD 2,05 menjadi USD 75,30 per barel. Harga keduanya merupakan posisi tertinggi sejak 2014.
“Situasi pasokan terlihat rapuh memang, karena setiap kekurangan seperti akibat menurunnya produksi di Venezuela, akan memperketat pasokan minyak,” kata Norbert Rücker, analis di Julius Baer.
Dengan tren kenaikan harga minyak yang terus terjadi, Indonesia harus mewaspadai peningkatan alokasi subsidi baik secara langsung dari APBN maupun oleh Pertamina. Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, mengatakan cara yang yang paling masuk akal untuk menahan laju subsidi energi adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
“Yang paling rasional itu sebenarnya menaikkan harga BBM secara keekonomian. Tapi secara politik ya, saya tidak tahu,” kata Pri Agung kepada kumparan.
Sebelumnya, survei Pertamina mengungkapkan pengeluaran untuk BBM dari rumah tangga dengan ekonomi terendah (Penghasilan Rp 1,5 juta per bulan), maksimal 4,5 persen.
“Dengan harga Premium saat ini, pengeluaran rumah tangga mereka untuk BBM sebesar 4,5 persen dari pendapatan. Dan itu sudah maksimal. Kalau harga Premium dinaikkan, mereka enggak bisa beli lagi,” kata Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, Rabu (26/9).
Dengan pertimbangan itu, pemerintah telah memutuskan tak menaikkan harga BBM setidaknya hingga akhir tahun ini.