Pemerintah Serius Tingkatkan Rasio Elektrifikasi di Papua

INVESTOR DAILY; Rabu, 29 Agustus 2018 | 16:31

JAKARTA– Pengamat energi Komaidi Notonegoro menyatakan, pemerintah telah menunjukkan berbagai upaya keseriusan dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi dan menyebarkan akses penggunaan listrik di Papua dan Papua Barat.

“Sejauh ini pemerintah telah menunjukkan upaya serius,” kata Komaidi ketika dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, keseriusan tersebut juga diperlihatkan antara lain dengan memanfaatkan potensi energi lokal seperti matahari melalui panel surya.

Namun, Komaidi yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Reforminer Institute itu mengingatkan bahwa upaya itu masih belum cukup dan harus terus diperluas.

Mengenai pemakaian Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Papua, ia menilai bahwa pemakaian PLTMG agak sulit jika dianalisa dari aspek bisnis, karena secara ekonomi membangun pembangkit di Papua dinilai agak sulit jika tidak ada intervensi berupa subsidi.

Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno meresmikan gardu listrik dan transmisi 150 kilovolt (kV) sebagai upaya pemerintah dalam rangka mempercepat rasio elektrifikasi di Papua dan Papua Barat.

“Dengan transmisi listrik yang baru semoga Papua bisa mendapatkan listrik yang lebih bagus,” kata Rini Soemarno dalam acara peresmian Gardu Induk & Transmisi 150 kV Holtekamp-Jayapura dan sharing session relawan Papua Terang yang di gelar di Jayapura, Jumat (24/8).

Menurut Rini, dengan gardu induk dan transmisi yang baru maka diharapkan ke depannya tidak akan ada lagi pemadaman dan warga mendapatkan akses kelistrikan yang lebih baik lagi.

Menteri BUMN menuturkan, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, akses terhadap listrik akan membuat rakyat semakin sejahtera, karena dengan listrik memiliki beragam manfaat seperti membuat anak-anak bisa belajar lebih banyak.

“Dengan listrik anak-anak bisa belajar lebih lama dan utamanya, dengan listrik masyarakat bisa memanfaatkannya dengan usaha,” paparnya.

Sementara itu, Direktur Bisnis PLN Regional Maluku dan Papua Ahmad Rofiq menyatakan, pemerintah telah memerintahkan rasio elektrifikasi terutama di Indonesia bagian timur.

Ahmad Rofiq memaparkan, rasio elektrifikasi di wilayah Papua dan Papua Barat secara keseluruhan adalah 53,62%, dengan terdiri atas Papua 44,85%, dan Papua Barat 86,28%.

Sedangkan rasio kelistrikan di wilayah-wilayah tersebut (Papua dan Papua Barat) adalah 59,57% untuk rasio kecamatan berlistrik dan 30,39% untuk rasio desa berlistrik. Selain itu, daya mampunya mencapai 385,41 MW dengan beban puncak 294,24 MW.

“Upaya untuk menjawab itu, PLN menjalankan ekspedisi Papua Terang dengan beragam lembaga pendidikan dan pemda dalam upaya mempercepat infrastruktur kelistrikan di desa-desa yang belum terlistriki di Papua,” ucapnya. (gor)

Subsidi BBM dan Tertib Anggaran
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

www.sindonews.com; Rabu, 29 Agustus 2018

Seperti yang telah disampaikan kepada publik, pemerin tah me mutuskan menambah subsidi BBM jenis solar sebesar Rp1.500 untuk setiap liternya.

Subsidi solar yang sebelumnya ditetapkan sebesar Rp500 per liter, saat ini disesuaikan menjadi Rp2.000 per liter. Penyesuaian tersebut merupakan respons terhadap harga minyak dunia yang saat ini terpantau sekitar USD24 per barel, lebih tinggi dari asumsi APBN 2018. Subsidi solar tersebut di tetap kan berlaku untuk 2018 dan akan dilanjutkan lagi pada tahun anggaran 2019. Ke men – terian Keuangan me nyam paikan bahwa secara prinsip pi haknya telah menyetujui nominal penambahan subsidi solar tersebut. Alokasi penambahan subsidi disampaikan akan tetap menggunakan pos yang sudah ada.

Jika ditinjau dari aspek ang – garan, penyesuaian alokasi ang – garan subsidi solar tersebut merupakan hal yang lazim. Hal yang sama dilakukan peme rin – tah sebelumnya yang juga ter – catat melakukan penyesuaian subsidi BBM ketika harga minyak meningkat. Bahkan di dalam UU APBN untuk tahun ang – garan tertentu, secara khusus pemerintah diberikan ruang un tuk dapat menyesuaikan ke – bijakan pengelolaan subsidi BBM ketika ICP terdeviasi dalam batasan tertentu dari asum – si yang ditetapkan di APBN.

Perlu Tertib Anggaran 

Jika dibandingkan pe me rin – tahan sebelumnya, pilihan ke – bijakan penyesuaian subsidi BBM yang diambil pemerintah saat ini relatif berbeda. Sebe – lum nya, penyesuaian kebijakan anggaran termasuk penam bah – an atau pengurangan subsidi BBM tercatat hampir selalu di – lakukan melalui mekanisme APBN Perubahan (APBN-P). Sementara untuk penye – suaian subsidi solar pada tahun ini, pemerintah memutuskan me milih untuk tidak melalui me kanisme APBN-P 2018. Pe – merintah berpendapat bahwa penambahan subsidi solar pada tahun ini dapat dilakukan tanpa harus mengusulkan APBN-P untuk tahun anggaran 2018.

Dilihat dari sudut pandang penyederhanaan proses, pilihan pemerintah tersebut relatif dapat dipahami. Penyusunan dan pembahasan APBN Pe rubahan yang melibatkan DPR memang tidak sederhana. Pem bahasan APBN yang memang merupakan bagian dari ke putusan politik kerap memang sulit terhindar dari politisasi di dalam prosesnya. Akan tetapi, meskipun di dalam prosesnya tidak selalu sederhana, pelaksanaan kebija – kan anggaran harus tetap di la – ku kan sesuai koridor dan keten – tuan regulasi yang ada. Dalam hal ini, UU Keuangan Negara (UU Nomor 17/2003) jelas meng amanatkan bahwa Ke – uangan Negara termasuk di dalamnya pengelolaan subsidi BBM harus dilakukan secara tertib dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 3 ayat (5) UU Keuangan Negara menetap kan bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan penge luaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang ber – sangkutan harus di ma sukkan dalam APBN. Jika mencermati ketentuan ter se but, penam – bahan alokasi ang garan subsidi solar tersebut ten tu harus dimasukkan dalam APBN 2018. Karena di dalam APBN 2018 alokasi anggaran tersebut belum ditetapkan, kemudian diperlukan APBN-P 2018. UU Perbendaharaan Negara (UU Nomor 1/2004) juga melakukan pengaturan yang relatif sama. Pasal 3 ayat (4) UU ini menetapkan bahwa semua pe ngeluaran negara, termasuk sub sidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan program peme rintah pusat, dibiayai dengan APBN.

Dalam ketentuan yang lain, UU Perbendaharaan Ne gara mela – rang setiap pejabat me l akukan tindakan yang ber akibat penge – luaran atas beban APBN jika anggaran untuk mem biayai pe – ngeluaran ter se but tidak ter se – dia atau tidak cu kup tersedia. Jika mencermati ketentuan UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara ter sebut, terdapat benang merah yang sama yaitu bahwa kebi – jakan anggaran harus di la ku – kan secara tertib. Semua bentuk atau jenis pengeluaran negara, termasuk di dalamnya penam – bahan subsidi solar tersebut harus dimasukkan melalui mek anisme APBN. Dalam konteks penganggaran, memang kemudian pemerintah dapat menggeser pos pengeluaran yang satu kepada pos pengeluaran yang lain.

Dalam hal ini pemerintah juga dapat menggunakan tambahan penerimaan yang diperoleh dari kenaikan harga minyak untuk membiayai tambahan pengeluaran subsidi solar tersebut. Kemungkinan yang lain ang – garan subsidi solar yang se – mestinya menjadi pengeluaran negara melalui APBN juga dapat digeser menjadi beban BUMN yang menjadi pelaksana PSO. Mencermati ketentuan re – gu lasi dan perkembangan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, terutama dalam kai – tan nya dengan kebijakan penge lolaan subsidi BBM, pemerintah perlu meningkatkan aspek tertib anggaran.

Pen ingkatan tertib anggaran di per lukan untuk meningkatkan trans paransi, termasuk me misahkan secara tegas mana yang seharusnya menjadi domain administrasi pemerintah dan mana yang menjadi domain administrasi usaha (BUMN). Lebih dari itu semua, pe laksanaan tertib anggaran juga memiliki peran strategis untuk menjaga dan melindungi aparatur negara, khususnya untuk pihak-pihak yang menjadi pelaksana anggaran. Jangan sam pai penambahan subsidi solar yang notabene memiliki tujuan yang baik justru menjadi temuan di kemudian hari hanya karena prosesnya dilakukan melalui mekanisme yang tidak tertib anggaran.

Alarm untuk Pemerintah Atas Kebijakan Wajib Jual Minyak ke Pertamina

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)

KATADATA: Minggu, 26 Agustus 2018

Jika pemerintah tidak hati-hati, alih-alih menghemat devisa, kebijakan itu bisa membuat investasi turun.

Berdasarkan informasi yang berkembang, pemerintah berencana menerapkan kebijakan agar seluruh minyak mentah yang selama ini diekspor dan utamanya adalah bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dapat dibeli Pertamina. Kebijakan ini dapat diinterpretasikan bahwa KKKS wajib menjual minyak mentah bagian mereka kepada Pertamina.

Jika interpretasi itu benar, maka pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengkaji kembali kebijakan tersebut. Terutama mengenai rasio manfaat dan biaya dari kebijakan tersebut.

Dengan asumsi pembelian minyak itu menggunakan harga pasar, potensi penghematan devisa yang dapat diperoleh secara konseptual hanyalah dari selisih harga impor minyak mentah dengan harga eskpor minyak mentah dikali dengan volume minyak mentah yang menjadi bagian kontraktor yang selama ini diekspor. Dalam formula bisa digambarkan sebagai berikut ((harga impor – harga ekspor) x volume ekspor).

Artinya, potensi penghematan devisa yang dapat diperoleh secara konseptual hanyalah dari perbedaan biaya pengadaan pembelian minyak mentah. Dalam hal ini sebagian besar kemungkinan adalah biaya Akan tetapi melihat fakta geografis Indonesia dan lokasi sumber-sumber minyak KKKS yang ada, penghematan biaya transportasi yang diharapkan kemungkinan tidak selalu dapat terjadi. Misalnya, biaya transportasi ketika membeli minyak Singapura atau Malaysia belum tentu lebih mahal daripada yang berasal dari Papua.

Jika benar ada selisih biaya transportasi yang diharapkan, dari sisi manfaat, perkiraan potensi penghematan yang dapat diperoleh kurang lebih dapat mencapai rentang US$ 100 – 500 juta per tahun (rata-rata dengan data 2014 – 2017: sekitar US$ 350 juta). Kebijakan itu kurang lebih dapat mengurangi defisit neraca perdagangan migas dalam kisaran 1% – 10% lebih (rata-rata dengan data 2014-2017: sekitar 5,5%). Potensi penghematan tersebut tergantung harga, volume, dan sumber minyak mentah yang diekspor atau impor, dan kondisi pasar minyak saat itu.

2018_08_26-11_39_35_91e865ba0bf124982a6843681dc5c874

Di sisi lain, jika kebijakan kewajiban tersebut diterapkan, terdapat potensi masalah yang perlu menjadi catatan dan perhatian pemerintah.  Kebijakan ini berpotensi melanggar kontrak kerja sama (Production Sharing Contract/PSC) yang selama ini diberlakukan (dishonored of contract sanctity).

Praktik tidak menghormati kontrak bisnis yang telah disepakati para pihak, dikhawatirkan akan makin memberikan sinyal yang tidak kondusif bagi minat dan masuknya investasi (devisa) di sektor hulu migas. Indonesia dapat dipandang sebagai negara yang tidak konsisten di dalam memegang perjanjian usaha dan juga tidak ramah kepada investasi.

Nilai investasi hulu migas sendiri diketahui sudah menunjukkan tren yang menurun selama beberapa tahun terakhir. Adapun hingga semester I tahun 2018, investasi hulu migas mencapai US$ 3,9 miliar.

2018_08_26-13_08_30_9b14032b516abbdc4ed0a5372b3fabd3

Apabila hingga akhir tahun ini diasumsikan ada penurunan investasi sebesar 10% dari tahun 2017, maka pemerintah kehilangan US$ 930 juta. Itu sudah lebih besar dari potensi penghematan devisa sekitar US$ 100 – 500 juta per tahun.

Alhasil, kebijakan yang lebih tepat mungkin adalah dengan mendorong Pertamina agar dapat sebanyak mungkin membeli minyak mentah yang diproduksikan KKKS di tanah air. Namun, itu sebaiknya dilakukan melalui mekanisme bisnis biasa (Business to Business/b to b) dan tidak perlu dengan menerapkan suatu kebijakan yang dapat menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian baru di industri hulu migas.

Untuk membantu Pertamina dalam hal penghematan biaya pengadaan minyak mentah, pemerintah dapat memberikan harga khusus yang memang menjadi bagian negara bukan kontraktor. Jadi, tujuan penghematan devisa jangan sampai dilakukan melalui kebijakan atau cara-cara yang justru dapat menghambat masuknya investasi yang akan menghasilkan devisa itu sendiri.

RI Tak Bisa Dapat Saham Freeport Gratis, Ini Alasannya

Detik.com, 20 Agustus 2018

Jakarta – Akuisisi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh BUMN PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada yang beranggapan bahwa pemerintah bisa mendapatkan mayoritas sahamnya secara gratis dengan menunggu kontrak karya (KK) PTFI berakhir pada 2021.

Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro menjelaskan masalah-masalah yang membuat langkah tersebut sulit terjadi.

“Itu adalah pendapat yang sesat. Menurut KK, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), yang memiliki PTFI, dan pemerintah Indonesia adalah dua pihak yang berkontrak dan kedudukannya sejajar. Jadi masalahnya tidak semudah yang dibayangkan. Ibaratnya, tidak seperti kos-kosan yang masa huninya habis lalu pemilik kos bisa langsung mengusir si penghuni,” ujar Komaidi dalam keterangan tertulis, (20/8/2018).

Ia menjelaskan kontrak karya Freeport tidak sama dengan yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.

Dalam peralihan sektor minyak dan gas pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah.

Ia melanjutkan, kontrak karya PTFI memang akan berakhir pada 2021 mendatang. Namun, Komaidi menjelaskan terdapat perbedaan antara pemerintah dan Freeport di dalam menafsirkan substansi KK tersebut.

Freeport menafsirkan mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara “tidak wajar”.

Berdasarkan pengertian dari FCX tersebut, Komaidi menilai, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai 2041 maka hal itu bisa dijadikan landasakan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Sementara peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase itu tak terjamin 100%.

“Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar US$ 6 miliar. Pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun,” ujarnya.

Selain itu proses panjang arbitrase akan menyebabkan ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi khususnya ke Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua yang cukup besar. Ia menggambarkan, 90% kegiatan ekonomi 300,000 penduduk di Mimika bergantung pada operasional PTFI. Akibat proses arbitrase, PTFI bisa saja mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatannya.

“Akan ada dampak sosio-politik akibat dari berhentinya operasi PTFI akan sangat besar terhadap Papua, dimana 45% GDP provinsi dan 90% GDP Kabupaten Mimika bersumber dari operasional PTFI,” ungkap dia.

Dia menambahkan, jika Indonesia dan FCX menempuh arbitrase dikhawatirkan PTFI akan berhenti melakukan penambangan bawah tanah, atau block caving yang dapat mengakibatkan longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika hal itu terjadi, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk pemulihan operasional tambang. Menurut Komaidi, metode block caving yang sedang dioperasikan saat ini di Grasberg adalah yang terumit dan tersulit di dunia sehingga memerlukan biaya mahal untuk pemulihannya.

Hal senada juga diungkap Geolog dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Iwan Munajat. Ia mengatakan jika peralihan Freeport ke Indonesia tidak baik, bisa mengakibatkan tambang berhenti dan runtuh. Hal iu bisa mengakibatkan kerugiannya besar mencapai US$ 20 hingga 25 miliar untuk membuat kanal-kanal baru.

“Begitu tambang berhenti semua rugi, Indonesia rugi, Freeport rugi, dan saudara-saudara kita di Papua juga rugi,” kata Iwan.

Ia melanjutkan, kepastian investasi perlu dilakukan segera karena transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah yang saat ini dilakukan oleh PTFI membutuhkan investasi besar sekitar US$ 5 miliar hingga 2022. Investasi ini berpotensi terhambat 5-10 tahun apabila terjadi proses arbitrase atau jika tanpa adanya kepastian perpanjangan izin operasi PTFI saat ini, termasuk terganggunya rencana pembangunan smelter yang harus sudah selesai di 2023.

Soal harga divestasi yang dianggap kemalahan, nilai US$ 3,85 miliar dinilai wajar jika dibandingkan dengan valuasi yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Geolog Indonesia (IAGI) pada akhir tahun 2017. Harga yang diperkirakan oleh IAGI adalah US$ 4,5 miliar. Kekayaan tambang Grasberg bernilai US$ 150 miliar, dan laba bersih PTFI diperkirakan akan mencapai lebih dari US$ 2,2 miliar setelah 2022.

Pemerintah Minta Pertamina Beli Minyak Mentah

Tribunnews.com; 20 Agustus 2018

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA – Pemerintah telah memutuskan agar minyak mentah Indonesia yang diproduksi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bisa dijual ke PT Pertamina (Persero). Langkah ini diambil demi mengurangi impor minyak mentah.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar bilang implementasi penjualan minyak mentah dari KKKS belum terlaksana.

Ini lantaran pemerintah masih melakukan evaluasi terutama terkait masalah perpajakan. “Secepatnya, lihat dulu perpajakan dan lain-lain. Lagi kami evaluasi,” kata Arcandra, Senin (20/8).

Menurut Arcandra, jika KKKS menjual minyak mentah kepada Pertamina maka KKKS harus membayar pajak penghasilan (PPh). Jika menjual ke luar negeri justru tidak dikenai pajak.

Makanya Arcandra bilang Kementerian ESDM akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait masalah perpajakan.

“Sekarang itu KKKS kenakan pajak kalau dia jual ke dalam negeri, bagian entitlement dia. Ini yang sedang kami bicarakan dengan Kemenkeu,” ungkap Arcandra.

Selain terhalang masalah pajak, penjualan minyak mentah KKKS ke Pertamina juga terhalang kontrak kerja sama yang telah ditandatangani. Kontrak yang ada pun harus diamandemen.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan SKK Migas masih melakukan pembahasan dengan Kementerian ESDM. “Saat ini masih dibahas dengan Kementerian ESDm dan stakeholder lainnnya. Kalau sudah selesai akan kami update ya,” jelas Wisnu kepada Kontan.co.id, Senin (20/8).

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengatakan penjualan minyak KKKS ke Pertamina memang harus melalui amandemen kontrak. Pasalnya dalam kontrak KKKS telah diberikan kewenangan atau bebas menjual minyak.

Tahap pertama yang harus dilakukan tentu adendum kontrak PSC (production sharing contract). Jika hal tersebut telah dilakukan, teknisnya bisa B to B (business to business) antara Pertamina dan pemilik minyaknya,” jelas Komaidi.

Selain cara tersebut, KKKS juga bisa menjual minyak mentah produksinya melalui SKK Migas. “Atau bisa antara Pertamina dan SKK Migas jika KKKS mempercayakan penjualannya kepada SKK Migas,” kata Komaidi. (*)
Editor: Ahmad Bayasut

Strategi Ketahanan Energi

Kontan, 20 Agustus 2018

Saya kira agak rumit jika kita berbicara mengenai sisi historis dari kepemilikan kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI). Namun, secara substansi, dilihat dari aspek makro, ada hal positif yang mendasar apabila pemerintah atau PT Pertamina bisa menguasai kilang tersebut. Kilang TPPI merupakan kilang modern yang pernah ada di Indonesia sehingga bisa digunakan untuk produksi kebutuhan bahan bakar minyak.

Jika kita melihat hanya dari sisi bisnis, bisa jadi penguasaan terhadap TPPI ini adalah hal yang normal, biasa-biasa saja. Namun, ada hal penting yang harus digarisbawahi, bahwa apa yang ada di TPPI menjadi salah satu komoditas strategis. Ini merupakan bagian dari ketahanan energi, yang memang harus dikendalikan oleh negara.

Karenanya, Pertamina layak memiliki kendali di sana. Hal ini mengingat Pertamina merupakan tangan kanan negara yang salah satu tugasnya adalah menyediakan ketahanan energi nasional.

Jika nantinya TPPI berhasil dikuasai, kita memiliki peluang lebih besar untuk tidak terlalu bergantung pada impor produk. Kalau pun impor, paling tidak tinggal bahan mentahnya saja. Sekali lagi, secara teoritis demikian, karena kapasitas TPPI yang cukup besar.

Poin pentingnya, untuk soal yang strategis, jangan hanya pandang dari sisi bisnisnya, melainkan bagaimana ketahanan energi itu bisa terbentuk. Karena jika kita berbicara bisnis kilang, marginnya memang tidak sebesar di hulu.

Tapi kalau soal ketahanan energi nasional, itu maknanya lebih besar dibandingkan profit atau hitung-hitungan bisnis. Kita lihat dampak ke depannya, bagaimana ini bisa menggulirkan multiplier effect.

Jika ketahanan energi terbentuk, salah satunya melalui ketersediaan BBM, maka aktivitas masyarakat juga semakin lancar. Kegiatan produksi serta distribusi barang dan jasa bisa lebih lancar. Singkatnya, lebih ke arah sana, yakni bagaimana melihat secara holistik makro ekonomi, bukan mikro dari sisi bisnis kilang tersebut.•

Komaidi Notonegoro
Pengamat Energi Reforminer Institute

BUMN dan ketahanan energi nasional
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Kontan; Selasa, 14 Agustus 2018 / 14:46 WIB

Sejauh ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berada di barisan terdepan dalam upaya mewujudkan ketahanan energi nasional. Upaya memperluas akses masyarakat terhadap energi listrik dilaksanakan oleh PLN. Sedangkan Pertamina mengemban tugas menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bumi, termasuk elpiji, di seluruh Indonesia dengan satu harga.

Berdasarkan regulasi yang menjadi dasar pembentukannya, sejak awal salah satu tugas Pertamina adalah menciptakan ketahanan nasional, khususnya ketahanan energi. Tugas itu tercantum dalam ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Pasal 5 UU tersebut menetapkan tujuan perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan negara dan menciptakan ketahanan nasional.

Dalam perkembangannya, BUMN Migas tersebut tidak hanya menjalankan fungsi sebagai korporasi, tetapi melaksanakan tugas yang lebih luas, sebagai agen pembangunan. Sebagian besar infrastruktur dasar strategis nasional, baik yang terkait dengan sektor energi maupun tidak, tercatat dibangun dari hasil pengusahaan migas, utamanya oleh Pertamina.

Pada periode awal pelaksanaan pembangunan, kontribusi sektor minyak dan gas terhadap penerimaan APBN dan ekspor Indonesia sangat signifikan. Pada Pelita III, penerimaan dari sektor migas tercatat sekitar 62,88% dari total penerimaan negara dan hibah. Sementara, nilai ekspor migas pada periode yang sama sekitar 82% dari total ekspor Indonesia.

Kontribusi sektor migas khususnya minyak terhadap penerimaan APBN yang sangat signifikan pada periode awal pelaksanaan pembangunan disebabkan neraca minyak Indonesia saat itu dalam kondisi yang surplus. Berdasarkan data, selama Pelita III, rata-rata produksi minyak Indonesia sekitar 1,5 juta barel per hari. Sedangkan, konsumsi minyak Indonesia rata-rata sekitar 400.000 barel per hari.

Berdasarkan kondisi neraca minyak itu, terdapat kelebihan produksi minyak sekitar 1,1 juta barel per hari atau 401 juta barel per tahun yang saat itu dapat diekspor Indonesia. Hasil ekspor minyak tersebut sebagian digunakan untuk membangun infrastruktur dasar seperti sekolah, rumah sakit, jalan raya, pembangkit listrik, bandara, dan saluran irigasi. Kehadiran industri strategis seperti industri baja, industri pupuk dan petrokimia, industri semen, dan industri pesawat terbang juga tidak dapat dilepaskan dari peran sektor minyak dan gas.

Harmonisasi peran

Data yang ada menunjukkan kondisi neraca migas Indonesia saat ini jauh berbeda dengan kondisi pada periode awal pelaksanaan pembangunan. Jika pada saat itu Indonesia memiliki kelebihan produksi rata-rata sekitar 1,1 juta barel per hari (bph) yang dapat diekspor, kini Indonesia harus impor minyak mentah sekitar 1,1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Pada tahun 2017, realisasi produksi minyak Indonesia dilaporkan sekitar 800.000 bph. Sementara, pada saat yang sama konsumsi minyak Indonesia dilaporkan telah mencapai 1,65 juta bph. Produksi minyak sebesar 800.000 bph itupun tidak seluruhnya menjadi bagian pemerintah. Sebagian produksi merupakan hak pihak lain untuk pengembalian biaya operasi produksi (cost recovery) dan bagi hasil. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor sekitar 1,1 juta bph untuk memenuhi defisit kebutuhan minyak lokal.

Meskipun kondisi sektor migas telah banyak berubah, peran Pertamina sebagai agen pembangunan relatif masih lebih tinggi dibandingkan peran perusahaan yang harus mengejar profit dan ekspansi agar bisa tumbuh lebih cepat. Kendati berdasarkan UU Nomor 22/2001, Pertamina tidak lagi diberikan keistimewaan di sektor hulu, namun di sektor hilir Pertamina masih tetap harus menjalankan penugasan. Seperti menjaga stok BBM nasional, kebijakan BBM satu harga, pelaksana PSO, dan penugasan lain.

Tidak ada yang salah dengan peran tersebut dalam konteks menciptakan keadilan sosial, ketahanan energi dan membuka akses energi di seluruh Indonesia. Namun perlu harmonisasi dan reaktualisasi secara berkelanjutan antara peran penugasan dan peningkatan kinerja Pertamina.

Dalam tingkatan tertentu, sejumlah penugasan tersebut menuntut manajemen puncak Pertamina harus bekerja secara lebih inovatif dan efisien.

Sebagai gambaran, dengan konsumsi BBM Indonesia yang saat ini sekitar 80 juta kilo liter per tahun dan dengan asumsi biaya pengadaan BBM sebesar Rp 8.000 per liter, Pertamina memerlukan dana sekitar Rp 40 triliun. Itu merupakan nilai uang yang diperlukan untuk sekedar menjaga stok BBM selama 23 hari yang ditugaskan pemerintah.

Jika ditambahkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk menutup selisih harga solar dan premium yang juga tidak disesuaikan, biaya yang harus ditanggung Pertamina atas sejumlah penugasan tersebut semakin besar lagi.

Untunglah, pemerintah secara cepat tanggap memberikan solusi seperti menambah subsidi solar dari Rp 500 menjadi Rp 2.000 per liter, menyerahkan pengelolaan Blok Rokan, Riau mulai 2021, yang selama ini dikelola Chevron Pacific Indonesia. Sebelumnya, pemerintah memberikan konsesi Blok Mahakam, Kaltim. Bahkan Pemerintah total telah menyerahkan 12 blok terminasi ke Pertamina.

Mencermati kondisi neraca energi (khususnya minyak) di dalam negeri tersebut, pemerintah perlu merevitalisasi kebijakan menempatkan BUMN sebagai agen pembangunan. Sebagai badan usaha, Pertamina memerlukan ruang yang cukup untuk dapat berkembang dengan baik tanpa mengabaikan peran agen pembangunan tersebut.

Pada kondisi struktur ekonomi Indonesia yang semakin padat energi seperti saat ini, dalam jangka menengah panjang akan jauh lebih bijak jika BUMN ditempatkan sebagai lumbung dan penyedia energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tentu saja, melihat kondisi sosial-ekonomi dan geografis Indonesia saat ini, peran yang dimainkan Pertamina dalam menyediakan BBM satu harga tetaplah penting.

Artinya, jika revitalisasi kebijakan di bidang migas yang ada saat ini tidak dilakukan, biaya yang kemungkinan harus dibayar RI di masa mendatang akan semakin besar. Pada satu sisi, laju perkembangan bisnis Pertamina menjadi kurang cepat.

Sementara di sisi yang lain, konsumsi migas domestik yang terus meningkat akan mendorong kebutuhan impor semakin besar. Dampaknya, peningkatan impor migas minimal akan berdampak negatif terhadap stabilitas nilai tukur rupiah dan akan menurunkan daya saing produksi barang dan jasa Indonesia.

Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi secara aktual dan terus menerus antara peran Pertamina sebagai agen pembangunan dan misi Pertamina menuju perusahaan global. Pemerintah dan stakeholders lainnya tentu sangat memahami kondisi tersebut. Selamat berjuang Pertamina!.

Target Investasi Migas, Kelistrikan, & Pertambangan pada Tahun Ini Sulit Tercapai

BISNIS INDONESIA; Minggu 12 Agustus 2018

Bisnis.com, JAKARTA — Target investasi sektor energi dan sumber daya mineral pada tahun ini  yang mencapai US$37,2 miliar diproyeksi sulit tercapai seiring realisasi pada semester I baru tercatat US$9,48 miliar dari nilai keseluruhan.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan bahwa tren investasi tahun ini cukup berat, akibat beberapa masalah lama belum dituntaskan. Jika di Kementerian ESDM setidaknya lebih dari 186 beleid sudah dihapus,  tidak dengan kebijakan di kementerian lain.

Menurutnya, investasi di sektor ESDM memiliki keterkaitan dengan 16 kementerian dan lembaga lainnya. Semangat pemangkasan regulasi yang menghambat, perlu diselaraskan.

“Kalau melihat jawaban pemerintah, dan wajar jika kita ikut optimistis. Akan tetapi, tren tahun ini memang berat, meski faktor penentu sepertinya mempermudah [investasi] masuk, tapi kendala lama masih ada,” tuturnya ketika dihubungi, Minggu (12/8/2018).

Hingga semester I/2018 investasi migas tercatat US$5,11 miliar, sektor kelistrikan US$2,83 miliar, sektor mineral batu bara senilai US$0,79 miliar, serta investasi EBTKE senilai US$ 0,75 miliar.

Padahal, target investasi sektor ESDM pada tahun ini dipatok US$37,2 miliar yang terbagi dari investasi migas US$16,8 miliar, ketenagalistrikan senilai US$12,2 miliar, minerba senilai US$6,2 miliar, serta EBTKE senilai US$2 miliar.

Untuk sektor migas, memang tampak ada kenaikan harga minyak dunia, ditambah dengan meningkatnya kepercayaan kontraktor. Hanya saja, menurut Komaidi, urusan klasik yang menghambat membuat laju investasi migas tersendat.

Sama halnya dengan sektor minerba, meski faktor penentunya berbeda. Dia mengatakan khusus untuk mineral, PT Freeport Indonesia memiliki kontribusi besar, tetapi karena adanya punya pekerjaan rumah dengan pemerintah, fokus mereka tidak pada investasi.

“Kalau batu bara, kebijakan DMO, dari satu sisi bagus, bisa akomodasikan listrik pemerintah, di sisi lain bisa menghambat,” katanya.

Dari empat sektor, investasi kelistrikan dianggap paling sulit tercapai. Pasalnya, melihat realisasi pertumbuhan ekonomi yang di bawah target pemerintah, sehingga hitung-tungan kebutuhan listrik ikut turun.

Kendati demikian Komaidi melihat sektor EBTKE cukup moncer tahun ini. Lambat laun, tren investasi energi terbarukan semakin terdorong, dengan dukungan potensi sumber daya ataupun kebutuhan energi yang lebih ramah lingkungan.

Pekan lalu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyebut melihat realisasi investasi sektor ESDM secara komprehensif baru terlihat pada akhir tahun.

Menurutnya, dengan siklus hulu hilir tahunan, sulit melihat realisasi investasi per bulan. “Nanti kita lihat akhir tahu. Berusaha kami capai [targetnya],” katanya.

Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan untuk kegiatan di hulu migas memang belum banyak yang berjalan. Untuk melihat aktivitas investasi di hulu migas, akan lebih tampak pada semester II/2018.

“Diharapkan semester II akan meningkat, nanti realisasinya pada kuartal IV/2018. Itu sejalan dengan realisasi pembayaran,” katanya.

Terpisah, Direktur Hulu PT Pertamina Syamsu Alam optimistis target semester II/2018 akan tercapai. Sepanjang Januari – Juni 2018, produksi minyak Pertamina sebanyak 385 Mbopd, gas sebesar 3.067 mmscfd dan kalkulasi migas sebesar 914 mboepd.

“Kita terus berusaha mencapai target,” tuturnya lewat pesan singkat.

Kebijakan DMO Batu Bara dan Keuangan PLN
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Investor Daily: Rabu, 15 Agustus 2018 | 9:27

Pemerintah terpantau sedang mengkaji rencana pencabutan kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara untuk pembangkit listrik. Dari informasi yang terhimpun, rencana pencabutan tersebut untuk meningkatkan kinerja ekspor dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pemerintah tercatat telah mengundang pihak-pihak terkait seperti PLN, Asosiasi Pengusaha Batubara, dan Kadin.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya pada Maret 2018, melalui Kepmen ESDM No 1395 K/30/MEM/2018, pemerintah menetapkan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum maksimal US$ 70 per metrik ton free on board (FOB) vessel. Kepmen ini menetapkan bahwa harga tersebut berlaku untuk tahun 2018 dan 2019, serta ditetapkan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2018.

Kepmen ESDM No 1395 K/30/ MEM/2018 merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk tidak menyesuaikan tarif listrik sampai dengan tahun 2019. Dengan kondisi bahwa batu bara merupakan porsi terbesar dalam bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia, kebijakan DMO batu bara untuk penyediaan tenaga listrik tersebut diharapkan dapat meminimalkan risiko keuangan PLN.

Biaya dan Manfaat Kebijakan DMO

Dengan porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik yang signifikan, kebijakan DMO batu bara memiliki peran penting dan menjadi penentu kinerja keuangan PLN. Berdasarkan data, selama tahun 2017 realisasi produksi listrik dari pembangkit listrik yang menggunakan batu bara (PLTU) tercatat sekitar 58,30% dari total produksi listrik nasional. Dengan porsi PLTU dalam proyek pembangkit 35.000 MW sekitar 55%, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik pada tahun-tahun mendatang akan semakin meningkat.

Berdasarkan informasi yang terhimpun, total volume kontrak pembelian batu bara untuk pembangkit oleh PLN pada 2018 adalah sekitar 93,28 juta matrik ton. Karena itu, jika mengacu pada ketentuan Kepmen ESDM No 1395 K/30/MEM/2018 dan nilai tukar rupiah saat ini, maka total biaya pengadaan batu bara yang harus dikeluarkan PLN tahun 2018 adalah sekitar Rp 94,67 triliun.

Jika tidak terdapat kebijakan DMO atau harus mengacu pada harga pasar, biaya pengadaan batu bara yang harus dikeluarkan oleh PLN akan lebih besar lagi. Mengacu pada ketentuan Kepmen ESDM No 917 K/30/MEM/2018 yang menetapkan bahwa harga batubara acuan (HBA) untuk periode Agustus 2018 sebesar US$ 107,83 per metrik ton misalnya, biaya pengadaan batu bara yang harus dikeluarkan PLN dengan volume tersebut akan meningkat menjadi sekitar Rp 145,84 triliun.

Dengan demikian, kebijakan DMO tersebut dapat dikatakan memberikan penghematan biaya pengadaan batu bara PLN sekitar US$ 37,83 atau Rp 548.535 per metrik ton. Berdasarkan total volume kontrak batu bara tersebut, penghematan biaya pengadaan batu bara yang dapat diperoleh PLN selama 2018 dari kebijakan DMO adalah sekitar Rp 51,16 triliun. Karena itu, jika diasumsikan kebijakan DMO batu bara untuk listrik dicabut dan efektif berlaku sejak September 2018, maka PLN harus menambah alokasi anggaran untuk biaya pengadaan batu bara paling tidak sekitar Rp 17,05 triliun sampai dengan akhir tahun.

Dari sisi tujuan sebagaimana disampaikan pemerintah tersebut, jika pencabutan kebijakan DMO batu bara untuk listrik dimaksudkan untuk memperbaiki defisit neraca berjalan, kiranya perlu ditinjau kembali tingkat efektivitasnya. Dari sisi hitungan di atas kertas, jika alokasi batu bara untuk PLN tersebut seluruhnya diekspor maka akan terdapat tambahan devisa sekitar US$ 10,05 miliar atau sekitar 8% dari total cadangan devisa Indonesia.

Jika kebijakan diberlakukan sejak September 2018, maka devisa yang akan diperoleh sampai dengan akhir tahun adalah sekitar US$ 3,35 miliar atau sekitar 2,79% dari total cadangan devisa Indonesia. Hitungan devisa tersebut dapat diperoleh jika seluruh batu bara yang sebelumnya dialokasikan untuk PLN kemudian diekspor dan/atau PLN membayar transaksi batu bara tersebut dengan menggunakan mata uang asing (devisa). Akan tetapi, dalam realisasinya hampir dapat dipastikan kondisinya tidak seperti sekenario tersebut.

Kebijakan alokasi batu bara untuk PLN kemungkinan akan relatif lebih sulit direvisi. Dalam hal ini yang masih memungkinkan untuk dapat direvisi oleh pemerintah adalah mengenai besaran harganya. Akan tetapi, jika PLN di dalam transaksinya tetap menggunakan mata uang rupiah, tujuan memperbaiki defisit neraca berjalan tersebut tetap tidak akan tercapai meskipun harga batu bara untuk PLN disesuaikan dengan harga pasar.

Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pemerintah perlu lebih cermat dalam melakukan evaluasi terhadap kebijakan DMO batu bara untuk listrik. Dalam kondisi pemerintah yang telah menetapkan tarif listrik yang tidak naik sampai dengan tahun 2019, pencabutan kebijakan DMO batu bara secara otomatis akan menjadi beban bagi keuangan PLN. Jika konsumsi batu bara PLN dan nilai tukar rupiah diasumsikan sama seperti saat ini, tambahan biaya yang harus dikeluarkan PLN dari pencabutan kebijakan DMO batu bara kemungkinan tidak kurang dari Rp 50 triliun untuk setiap tahunnya.