Masa Depan Energi dan Migas
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)

Peran hulu migas sangat diperlukan mendongkrak investasi di Indonesia

KONTAN.CO.ID; Rabu, 04 April 2018 / 16:08 WIB

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Industri hulu migas dan industri penunjangnya memiliki peran penting untuk menggerakkan investasi nasional. Kontribusi sektor hulu migas terhadap investasi dapat lebih ditingkatkan di Indonesia. Realisasi investasi industri hulu migas selama periode 2010-2017 berkisar antara 20-40% terhadap total realisasi investasi nasional (data SKK Migas & BKPM).

Dalam periode yang sama realisasi investasi hulu migas berkisar antara 150-300% terhadap penanaman modal dalam negeri (PMDN) walaupun harga minyak dalam kondisi fluktuasi selama beberapa tahun terakhir. Kontribusi ini termasuk melalui penyerapan tenaga kerja yang masing-masing mencapai 61,5% di sektor pendukung dan 19,3% di sektor pengguna.

Di saat yang sama, selama 10 tahun terakhir, nilai investasi eksplorasi dan penilaian lapangan migas global mengalami pasang surut. Beberapa negara termasuk Brasil dan Meksiko sangat agresif untuk membenahi iklim investasi bagi industri hulu migas. Dalam konteks persaingan investasi global yang semakin ketat, Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami penurunan investasi terbesar di sektor hulu migas.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengakui kecenderungan penurunan produksi migas dari tahun ke tahun dalam dekade terakhir ini. Salah satu masalah mendasar yang membuat investor menahan diri untuk menambah investasi atau tidak menarik investor migas baru adalah realisasi kebijakan yang belum terwujud secara komprehensif. Kebijakan yang dibuat masih bersifat sektoral dan belum mampu memberi peluang untuk mencapai keekonomian dalam operasional industri migas di Indonesia. “Kita tahu di industri hulu migas investasi tersebut berdampak secara luas termasuk melalui rantai suplai domestik yang panjang, papar Komaidi Notonegoro, dalam Media Briefing dengan tema, Mendongkrak Daya Saing Global demi Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional Rabu (4/3)

Kata Komaidi, pembenahan mata rantai birokrasi mulai dari proses eksplorasi, produksi hingga ke distribusi produk untuk konsumsi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan inefisiensi di sektor migas di Indonesia. “Upaya memangkas birokrasi memang mulai dilakukan pemerintah, dengan penyederhanaan perizinan maupun dengan program perizinan satu pintu. Bahkan beragam aturan revisi maupun aturan baru diterbitkan demi menggairahkan industri hulu migas nasional. Namun di sisi lain aturan-aturan tersebut masih belum memberi kejelasan terkait pelaksanaan teknisnya maupun memenuhi ekspektasi pelaku usahaa ujar Komaidi.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional ( RUEN) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 disebutkan hingga 2050 pemenuhan kebutuhan miga sangat mengandalkan impor. Hal ini disebabkan peningkatan kebutuhan energi fosil dalam bentuk konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan gas sangat tidak sebanding dengan kemampuan produksi di dalam negeri. Dengan kebutuhan BBM hingga 4,6 juta barel per hari dan kebutuhan gas di kisaran 25.869 mmscfd maka impor menjadi kebutuhan mutlak. Padahal Indonesia masih memiliki potensi meningkatkan produksi dari ladang migas dalam negeri, asalkan bekerja keras untuk terciptanya konsistensi dalam kebijakan demi iklim investasi migas yang lebih menarik bagi investor nasional maupun global.

Secara teknis produksi minyak nasional membutuhkan peningkatan rasio pengembalian cadangan (reserve return ratio/RRR) dari kisaran 60% ke 100%, penemuan cadangan baru 6,4% setiap 5 tahun dan kegiatan EOR (Enhanced Oil Recovery) dalam kurun waktu 30 tahun mencapai 2,5 miliar barel. (Target RRR)

Sementara upaya untuk meningkatkan produksi gas akan ditempuh dengan menaikkan rasio cadangan hingga 100% dengan peningkatan eksplorasi, mempercepat proyek gas bumi dan mengendalikan impor elpiji.

Tentunya semua itu hanya bisa tercapai bila kegiatan eksplorasi dan produksi migas kembali menggeliat. Karena itu pembenahan kebijakan di sektor industri migas, terutama hulu migas mutlak diperlukan. Aturan pelaksana yang detil, saling menopang satu sama lain dan mampu memberikan nilai keekonomian dalam operasional pelaku usaha harus segera terwujud demi menggairahkan kembali investasi sehingga berkontribusi maksimal bagi pemenuhan kebutuhan energi dan perekonomian nasional, tandas Komaidi.

Implementasi PP 27

Dalam rangka menarik minat investor migas untuk berinvestasi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas, pada 19 Juni 2017.

Walaupun beberapa pasal pada PP 27/2017 jelas memberikan insentif dan fasilitas pajak untuk membantu keekonomian investasi hulu migas, saat ini diperlukan aturan turunan dan perluasan aturan perpajakan hingga dapat diakses di industri hulu migas

Industri hulu migas sepatutnya untuk dimasukan kedalam kategori industri pionir yang membawa teknologi industri hulu migas terkini ke Indonesia. Seiring dengan dibutuhkannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hulu migas yang ada di perairan laut dalam, kawasan frontier (umumnya di kawasan Indonesia bagian Timur) atau yang membutuhkan teknologi baru seperti EOR, industri hulu migas jelas merupakan salah satu industri pionir membawa teknologi terkini yang berdampak positif bagi Indonesia.

Jumlah investasi oleh pelaku industri hulu migas yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) dapat ditingkatkan lebih tinggi dengan iklim fiskal yang lebih kondusif termasuk dibukanya akses bagi pelaku industri hulu migas atas insentif pajak seperti tax allowance (keringanan pajak) dan tax holiday (libur pajak).

“Hal ini berarti adanya perbedaan aksesibilitas atas insentif dan fasilitas pajak. Selain itu aturan tersebut juga masih sulit untuk diterapkan tanpa adanya aturan implementasi seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK), ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo.

Pemerintah Diminta Tidak Mudah Mengubah Kebijakan Sektor Migas

DUNIA ENERGI; Selasa, 03 April 2018 – 15:14 WIB

JAKARTA Revisi kebijakan untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas akan menjadi sia-sia, jika tidak ada komitmen dalam implementasi dari sistem yang telah dibuat sebelumnya.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan pemerintah jangan sampai terjebak dalam kondisi terlalu mudah mengubah kebijakan sebagai jalan pintas terhadap suatu masalah. Konsistensi dalam menjalankan kebijakan yang telah ada lebih baik dibanding terus melakukan perubahan tanpa ada implementasi yang jelas.

Kepastian dalam berusaha tentu menjadi dipertanyakan jika hanya dalam waktu singkat terjadi revisi regulasi atau kebijakan. Beberapa kebijakan baru seperti terkait audit cost recovery, tidak akan berdampak signifikan jika implementasinya tidak optimal.

Berdampak jadi bagus (investasi)? Tidak, biasa saja karena hal semacam ini (penerbitan berbagai aturan) sudah lama terjadi, kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa (3/4).

Menurut Pri Agung, dari sisi efisiensi waktu tentu bisa dinilai positif karena tidak perlu lagi pemeriksaan dilakukan lembaga untuk satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Namun tetap masih harus dinantikan efektivitasnya.

Tergantung implementasi aturannya nanti. Kalau mau lebih cepat mestinya konsisten dengan sistem kontrak yang dianut saja, ungkap dia.

Pri menambahkan, kondisi otak-atik kebijakan dan regulasi yang menimbulkan ketidakpastian dalam berbisnis berakar dari kesalahan penerapan cost recovery pada masa lalu, dimana cost recovery dipandang sebagai bagian dari keuangan negara sehingga institusi pemerintah ikut serta secara langsung di dalam penentuan dan penetapannya. Padahal cost recovery itu adalah hal bisnis, ditentukan di ranah bisnis antara KKKS dengan pihak wakil negara yang berkontrak.

Dalam hal ini mestinya ya SKK Migas saja sebagai wakil dari negara. Tapi, karena sudah salah kaprah sedemikian lama, akibat UU Migas 22/2001, yang berkontrak jadinya badan pemerintah dan secara tidak langsung cost recovery dianggap sebagai bagian dari keuangan negara, kata dia.

Ujung dari salah kaprah itu kemudian berlanjut dengan kemudian muncul aturan-aturan yang demikian itu, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) 79/2010 itu.

Sehingga saya menilai kondisi maju mundur jalan di tempat hanya berkutat di masalah yang sama terus saja aturan bergonta ganti, tetap saja sanctity of contract cenderung tidak dihormati, imbasnya ke ketidakpastian, dalam kasus ini ketidakpastian fiskal,ungkap Pri Agung.

Menurut Pri, yang harus diperbaiki seharusnya pada sistem pada saat implementasi, bukan justru terus merevisi kebijakan. Belum lagi jika saat implementasi berbelit itu akan menjadi permasalahan tersendiri.

Dari dulu kan harusnya seperti itu, bukan sistem yang kemudian diintervensi dengan berbagai aturan. Seringkali dikatakan insentif, tapi implementasinya berbelit jadinya tidak efektif juga, tandas Pri.(RI)