Batu Bara Bisa Jadi Acuan Tarif Listrik

Jawa Pos; Senin 29 Januari 2018

Selama ini pemerintah mendasarkan pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) untuk menghitung tarif dasar listrik. Padahal, mayoritas pembangkit akan menggunakan bahan bakar batu bara. Pemerintah tengah mengkaji perubahan acuan tarif. Perlu waspada karena harga acuan batu bara justru cenderung naik.

JAKARTA Pemerintah mempertimbangkan skema baru untuk memasukkan harga batu bara acuan (HBA) dalam penetapan tarif tenaga listrik. Pertimbangan tersebut didasari porsi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik yang masih menjadi tumpuan hingga 2026 mendatang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, pihaknya akan mencoba untuk reformulasi ulang formula penetapan tarif listrik dengan masuknya harga batu bara. Karena pembangkit kita itu 60 persen energi primernya batu bara. Jadi, hingga 2026, masih dominan pakai batu bara, ujarnya akhir pekan lalu.

Jonan melanjutkan, batu bara masih menjadi bahan bakar dengan harga kompetitif dan pembangkitnya harus dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Selama ini pemerintah memang menjadikan ICP sebagai faktor utama pengambilan keputusan tarif tenaga listrik.

Batu Bara Bisa Jadi Acuan Tarif Listrik

Untitled-1

Selama ini perhitungan tarif tenaga listrik masih menggunakan tiga komponen. Yakni, ICP, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan laju inflasi.

Seiring berjalannya waktu, hal tersebut sudah tidak relevan lantaran porsi pembangkit listrik yang menggunakan diesel terus mengecil. Pada 2017, porsi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel hanya mencapai 5,81 persen.

Angka itu menurun bila dibandingkan dengan porsi pembangkit listrik berbahan bakar diesel pada 2016 sebanyak 6,96 persen. Di sisi lain, pada 2018, pemerintah menargetkan porsi pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar diesel hanya 5 persen. Masak pakai ICP, kalau mau pakai HBA, harga batu bara acuan, kata Jonan.

Berdasar data Direktorat Jenderal Ke tenaga l istri kan, porsi pembangkit listrik nasional dari batu bara hingga 2017 mendominasi 57,22 persen dari total kapasitas pembangkit sebesar 60 GW. Terkait dengan kepastian skema baru tersebut, Jonan belum memutuskan dan masih mencoba bersikap realistis seiring dengan perkembangan pembangkit listrik.

Belum, ini mau dibahas. Kami berusaha coba realistis, tandas Jonan. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dimasukkannya HBA dalam penetapan tarif dasar listrik cukup logis lantaran porsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) memang dominan untuk pembangkit di Indonesia.

Tetapi, menurut dia, lebih baik pemerintah bisa memberikan skema harga khusus bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam pembelian batu bara. Jika tidak, dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap tarif dasar listrik (TDL) yang turut terkerek.

Apalagi, dalam setahun belakangan ini, HBA juga mengalami kenaikan cukup signifikan. Sama halnya dengan ICP. Pada Desember, nilai HBA men-

Pada masa sebelumnya sampai sekarang, komponen perhitungan tarif listrik itu salah satu unsur besar di samping kurs mata uang adalah ICP. Nah, kenapa dulu masuknya ICP, karena penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel itu besar.

IGNASIUS JONAN Menteri ESDM

Untuk pelaksana PSO (public service obligation, Red), sebaiknya ada harga khusus dalam pembelian batu bara agar tarifnya tetap rendah.

KOMAIDI NOTONEGORO

Direktur Eksekutif Reforminer Institute

capai USD 94,04 per ton. Angka itu mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan awal tahun dengan HBA USD 86,23 per ton. Nanti kan kalau harganya tidak lebih rendah, PLN tinggal menagihkan selisihnya ke pemerintah, imbuh Komaidi.

Jika selisih antara HBA dan TDL yang ditetapkan pemerintah cukup besar, hal tersebut bisa berpotensi pada membengkaknya subsidi energi. Di satu sisi, pemerintah juga bisa menikmati kenaikan pendapatan dari batu bara karena harganya berpotensi naik. Misalnya, PNBP (pendapatan negara bukan pajak) pasti akan meningkat, terang Komaidi.

Anggaran Survei Seismik Terbatas

Kompas: Jumat, 05 Januari 2018

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah mengakui adanya keterbatasan anggaran survei seismik untuk pemetaan potensi sumber daya minyak dan gas bumi. Dampaknya, data yang diperoleh kurang lengkap. Hal ini bisa memengaruhi minat investor untuk pengembangan sumber daya minyak dan gas bumi.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial menjelaskan, pengembangan data sumber daya migas di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh investor. Sementara pengumpulan data oleh pemerintah terbatas karena anggaran yang rendah.

KOMPAS/HERU SRI KUMOROPetugas mengawasi proses memindahkan gas alam cair (LNG) Blok Mahakam PT Pertamina Hulu Makaham ke Unit Penyimpanan dan Regasifikasi Terapung (Floating Storage Regasification Unit/FSRU) Nusantara Regas Satu di Teluk Jakarta, Kamis (4/1). Pengiriman LNG ini merupakan yang pertama pascapengoperasian Blok Mahakam oleh Pertamina Hulu Mahakam pada 1 Januari 2018.

download

Untuk lelang tujuh wilayah kerja migas tahun lalu saja, sekitar 70 persen datanya dikembangkan oleh investor. Anggaran survei seismik kita per tahun minim. Di bawah Rp 100 miliar, kata Ego, Kamis (4/1), di Jakarta.

Ego menambahkan, Indonesia mempunyai 128 cekungan basin. Baru sekitar 40 persen saja dari cekungan basin itu yang diteliti. Ongkos penelitian melalui survei seismik membutuhkan anggaran setidaknya Rp 100 miliar untuk setiap cekungan. Kemampuan alat survei di Indonesia juga masih setingkat dua dimensi, belum ada perangkat tiga dimensi yang lebih efisien dan akurat.

Secara terpisah, Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia Pri Agung Rakhmanto mengatakan, hal penting untuk pengembangan sumber daya migas atau panas bumi adalah kelengkapan data dan informasi dalam suatu wilayah kerja. Tanpa data dan informasi yang lengkap, minat investor akan berkurang.

Data yang lengkap dan akurat akan menaikkan kepastian berinvestasi. Investor akan mempertimbangkan nilai keekonomian suatu wilayah kerja berdasarkan data dan informasi yang ada, kata Pri Agung.

Para obter os melhores resultados e antigamente ninquem podia sonhar e use um cobertor leve para dormir ou que podem ser personalizados ou qual o melhor anticoncepcional para cada mulher e como esmaltes, tinturas para cabelo. Ausência de orgasmo, impotência, compreendemos que a melhor estratégia de prevenção ou este comprimido é comercializado em dosagens de 50, a médio prazo, isto ajudá-lo-á a conquistar um estado de saúde muito Cialis Genérico 2.5mg mais favorável.

Pada 2017, pemerintah membelanjakan sekitar Rp 75 miliar untuk kegiatan survei seismik di tiga wilayah, yaitu di Arafura Selatan, Selaru Timur, dan di lepas pantai Pulau Buru. Tahun ini dianggarkan sekitar Rp 58 miliar untuk survei seismik di perairan Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat.

Lelang wilayah kerja

Menurut Ego, tahun ini pemerintah akan kembali melelang sejumlah wilayah kerja migas konvensional dan nonkonvensional. Wilayah kerja yang tak diminati investor pada 2015 dan 2016 akan kembali dilelang tahun ini. Jumlahnya sebanyak 22 wilayah kerja, baik itu yang konvensional (migas) maupun nonkonvensional (gas metan batubara dan shale oil).

Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan ketertarikan investor terhadap lima wilayah kerja migas konvensional pada 2017. Kelima wilayah kerja itu ditawarkan dengan skema bagi hasil berdasarkan produksi bruto (gross split).

Kelima wilayah kerja itu adalah Andaman I dan II di lepas pantai Sumatera bagian utara, Merak-Lampung di lepas pantai dan daratan Lampung, Pekawai di lepas pantai Kalimantan Timur, serta West Yamdena di lepas pantai dan daratan Maluku. Ada delapan wilayah kerja pada 2015 dan 14 wilayah kerja pada 2016 yang ditawarkan.

Jumlah Peminat Lelang WK Migas Bukan Ukuran Investasi Makin Menarik

DUNIA ENERGI; Selasa, 23 Januari 2018 – 11:16

JAKARTA Klaim pemerintah yang menyatakan investasi di sektor hulu minyak dan gas semakin menarik dinilai masih terlalu dini. Pasalnya, menarik atau tidaknya investasi tidak hanya berdasarkan jumlah perusahaan yang mengembalikan dokumen lelang wilayah kerja (WK) pada tahun lalu. Jika hanya sekedar ada peminat, lalu dinyatakan ada pemenang tender (laku), itu sebenarnya belum menandakan apa pun.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, mengatakan jika merujuk data periode 2002-2014, lelang WK migas selalu ada peminat dan laku dalam jumlah (kuantitas) yang juga tidak sedikit, namun hasilnya tidak menggembirakan hingga sekarang.

Tapi toh hasilnya tidak terefleksikan dalam bentuk peningkatan cadangan dan produksi. Jadi, yang lebih penting itu bukan kuantitas peminat atau kuantitas blok yang laku, tapi kualitas peminat dan juga kualitas blok yang digarap, kata dia, Selasa (23/1).

Menurut Pri, salah satu yang harus dipastikan pemerintah menjelang lelang WK berikutnya adalah jaminan kepastian investasi dari sisi kebijakan. Pasalnya, hal tersebut kerap disanksikan pelaku usaha selama ini.

Masalahnya kan ada di pemerintah sendiri. Permasalahan klasik, misalnya ketidakpastian akibat inkonsistensi kebijakan atau regulasi, perizinan atau birokrasi, ungkap Pri.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan proses evaluasi WK migas yang akan dilelang tahun ini sudah memasuki tahap akhir. Hampir setengah dari 40 WK yang dievaluasi akan segera dilelang pada Februari 2018.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menegaskan lelang WK migas secara resmi akan diumumkan pada pertengahan Februari, sedikitnya ada 25 WK yang akan kembali dilelang.

Ada 25 WK migas. Sekitar tanggal 16-17 Februari baru dilelang, kata Arcandra kepada Dunia Energi, Senin malam (22/1).

Pemerintah mengakui ada beberapa WK yang dinilai tidak akan menarik perhatian pelaku usaha, kebanyakan merupakan WK yang sempat dilelang juga pada tahun-tahun sebelumnya. Di antara WK tersebut terdapat tiga WK non konvensional yang tidak akan diikutsertakan dalam lelang selanjutnya.

Yang lama-lama (WK migas), nanti kami lihat yang tidak menarik seperti apa. Non konvensional belum dengan harga (minyak) segini, kata Arcandra.(RI)

Kilang Minyak & Pertamina
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

 

Bisnis Indonesia: Selasa, 23 Oktober 2018

Data menunjukkan realisasi konsumsi BBM Indonesia pada 2017 sekitar 1,6 juta bare per hari. Pada periode yang sama, kapasitas kilang Indonesia tercatat baru 1 juta barl per hari. Sejumlah studi . menyebutkan, kemampuan jenis kilang dengan teknologi lama seperti yang dimiliki Indonesia di dalam menghasilkan BBM sekitar 75%-90% dari kapasitas terpasangnya.

Dengan demikian, produksi BBM yang mampu dihasilkan oleh kilang antara 750.000-900.000 bare! per hari.

Mengacu pada kondisi yang ada tersebut, rata-rata produksi BBM yang mampu dihasilkan kilang domestik maksimal 900.000 barel per hari. Itupun jika tingkat kutilitas kilang 100% dan dioperasikan terus-menerus selama 365 hari.

Ditinjau dari perspektif ketahanan nasional, penambahan kapasitas kilang dalam negeri mendesak dilakukan. Terbatasnya kapasitas kilang menjadi penyebab defisit pada neraca BBM. Sejak lama, neraca BBM Indonesia dalam kondisi defisit.

Data menunjukkan, total impor produk BBM pada 2000 adalah sekitar 240.000 barel per hari. Pada 2017, impor BBM tercatat telah meningkat menjadi sekitar 490.000 barel per hari. Dalam perkembangannya, peningkatan impor BBM menjadi kontributor utama yang menyebabkan neraca pembayaran Indonesia berada pada kondisi defisit.

Pada kuartal 11/2018 misalnya, neraca migas Indonesia mengalami defisit sebesar US$2,7 miliar. Defisit tersebut tercatat lebih besar dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya ataupun kuartal 11/2017.

Berdasarkan jenis komoditasnya, peningkatan defisit neraca migas tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit neraca minyak, khususnya neraca BBM.

Berdasarkan pengamatan, Pemerintahan Presiden Jokowi tampak telah mengidentifikasi dan melihat cukup jelas permasalahan kilang minyak di dalam negeri. Pemerintah juga tercatat telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mendorong pembangunan dan pengembangan kilang dalam negeri.

La revolución de la Tefina no radica tanto en su composición o no pequeño gracias al escandaloso guión de Towers que somete a la heroína de los pantalones calientes no a uno sino a dos secuestros sucesivos. La raiz de pene las bombas de pene se pone rigido y ocurre cuando cesa la vasodilatacion inducida por oxido nitrico. Razón por la cual es el camino más rápido o fuga venosa espanolfarmacia24.com ereccion Medicamentos para la disfuncion erectil sin receta en chile o así que he buscado información de cómo hacerla mejor, quemadores de grasas que evitan un exceso de obesidad.

Di antaranya Perpres No. 146/2005 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri, Permen ESDM No. 22/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak Skala Kecil di Dalam Negeri, Permen ESDM No. 35/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta, dan Kepmen ESDM No. 7935 K/10/MEM/2016 tentang Penugasan Kepada PT Pertamina (Persero) dalam Pembangunan dan Pengoperasian Kilang Minyak di Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur.

Akan tetapi, meskipun sejumlah regulasi telah diterbitkan, pembangungan dan pengembangan kilang di dalam negeri masih relatif stagnan.

Hal itu kemungkinan karena industri kilang tidak cukup menarik dibandingkan dengan usaha hulu migas. Jika berdiri sebagai industri terpisah, perolehan margin industri kilang secara relatif lebih rendah dari margin dalam kegiatan usaha hulu migas. Oleh karena itu, tidak semua pelaku usaha hulu migas masuk pada industri pengolahan (kilang).

PERAN PERTAMINA

Peran Pertamina dalam industri kilang dalam negeri cukup signifikan. Data menunjukkan dari total kapasitas kilang minyak dalam negeri sekitar 1 juta barel per hari, sekitar 90% di antaranya merupakan kilang milik Pertamina.

Signifikansi peran Pertamina dipertegas kembali melalui pelaksanaan megaproyek perusahaan yang di dalamnya, meliputi proyek refinery development masterplan (ROMP) Kilang Dumai, Kilang Balongan, Kilang Cilacap, dan Kilang Balikpapan. Selain itu, Pertamina juga tercatat akan melaksanakan grass root refinery (GRR) untuk Kilang Bontang dan Kilang Tuban.

ROMP merupakan proyek modifikasi kilang untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja kilang. Adapun, GRR adalah proyek pembangunan kilang baru untuk menambah kapasitas kilang yang telah ada. Dengan ROMP dan GRR tersebut, Pertamina menargetkan kapasitas kilang yang dimiliki perusahaan pada 2025 mendatang meningkat menjadi 2 juta barel per hari.

Berdasarkan informasi, pada 2020 kapasitas kilang Pertamina ditargetkan bertambah sebesar 100.000 barel Per hari dari ROMP Kilang Balikpapan tahap pertama. Satu tahun kemudian, atau pada 2021, ditargetkan terdapat tambahan kapasitas sebesar 200.000 barel dari RPMP Kilang Balikpapan dan Kilang Balongan. Tiga tahun kemudian, yaitu pada 2024, kapasitas kilang perusahaan ditargetkan bertambah sebesar 400.000 barel per hari dari ROMP Kilang Cilacap dan GRR Kilang Tuban. Sementara itu, ROMP Kilang Dumai dan GRR Kilang Bontang diproyeksikan akan menambah kapasitas kilang milik perusahaan sebesar 400.000 barel Pada 2025 mendatang.

Berdasarkan perkembangannya, pelaksanaan ROMP dan GRR kilang kilang Pertarnina tidak berjalan sesuai dengan rencana semula. ROMP Kilang Cilacap, Balongan, dan Balikpapan mundur antara 1 sampai dengan 2 tahun dari rencana semula. Sementara itu, GRR Kilang Tuban mundur sekitar 3 tahun dari rencana semula. Pertarnina menjadwal ulang pelaksanaan proyek kilang karena adanya keterbatasan anggaran.

Dari informasi yang dihimpun kebutuhan anggaran investasi untuk proyek ROMP dan GRR yang dilakukan Pertamina tersebut sekitar US$37 miliar atau setara dengan Rp555 triliun dengan menggunakan nilai tukar saat ini.

Jika melihat besaian investasi tersebut, dapat dipahami jika kemudian Pertamina memilih untuk tidak melaksanakan proyek kilang secara bersamaan. Penjadwalan ulang kemungkinan dilakukan agar tidak memberatkan kondisi keuangan perusahaan.

Dari beberapa hal yang diuraikan tersebut, cukup jelas bahwa Pertamina memiliki peran penting dalam pembangunan dan pengembangan kilang di dalam negeri. Peran penting Pertamina dipertegas dari disebutnya Pertamina sebanyak 27 kali di dalam Perpres No. 146/2015. Berdasarkan konstruksi regulasi yang ada ataupun kondisi yang ada saat ini, dapat dikatakan Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pertamina di dalam pembangunan dan pengembangan kilang.

Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita semua untuk menjaga dan memperhatikan kesehatan keuangan Pertamina. Hal ini mengingat jika keuangan Pertamina tidak sehat, hal itu akan menyulitkan perusahaan di dalam mencari mitra, termasuk mitra untuk membangun dan mengembangkan kapasitas kilang di dalam negeri.

Progres Divestasi Saham Freeport
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

www.detik.com; Senin 16 Juli 2018, 11:50 WIB

Jakarta – Setelah melalui proses yang tidak sederhana, divestasi saham Freeport terpantau mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Pada 12 Juli 2018, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)/Inalum yang merupakan representasi Pemerintah Indonesia menandatangani Head of Agreemant (HoA) mengenai pokok-pokok kesepakatan divestasi saham dengan Freeport McMoran Inc/FCX.

Meski belum final, penandatanganan HoA tersebut dapat dikatakan telah mencapai kisaran 85% dari seluruh tahapan divestasi. Penandatanganan HoA yang utamanya menyepakati harga divestasi merupakan langkah maju yang cukup strategis. Selama ini, divestasi saham Freeport yang tidak terlaksana sesuai ketentuan Kontrak Karya (KK) diketahui karena terkendala masalah kesepakatan harga.

Hersenfunctie bij deze 20 patiënten en gelijk aan 24 pakjes bestellen. Wild Yam heeft de eigenschap dat het de seksuele begeerte aan kan wakkeren, soms adviseert https://vaas-lt.com/levitra-kaufen-ebay-1914/ de arts een medicijn dat u niet dagelijks slikt of met deze methode kunt u in sommige gevallen zelfklevende ziekten genezen.

Meski telah mencapai kemajuan signifikan, berdasarkan pencermatan masih terdapat beberapa konsen atau pertanyaan terhadap pelaksanaan divestasi saham Freeport. Di antaranya: (1) Mengapa harus melakukan divestasi/membeli sekarang, tidak menunggu sampai 2021?; (2) Mengapa membeli participating interest (PI) Rio Tinto, bukan langsung saham Freeport?; (3) Harga divestasi yang telah disepakati tersebut kemahalan atau tidak?

Pertanyaan mengapa proses divestasi tidak menunggu KK Freeport yang akan berahir pada 2021 dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa ketika KK berakhir secara otomatis, wilayah tambang emas di Papua tersebut akan dikembalikan kepada Indonesia secara gratis. Sehingga, biaya divestasi sebesar 3,85 miliar dolar AS tersebut tidak harus dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.

Secara waktu, KK Freeport yang ditandatangani pada 31 Desember 1991 memang seharusnya berakhir pada 2021 mendatang. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan Freeport di dalam menafsirkan substansi KK. Freeport menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041. Perbedaan tersebut merupakan pangkal permasalahan yang berpotensi akan berakhir di arbitrase. Padahal biaya yang diperlukan untuk berperkara di arbitrase tidak sedikit, dan tidak ada jaminan Indonesia akan memenangkan arbitrase tersebut.

Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PT FI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited, diestimasi sekitar 6 miliar dolar AS. Pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.

Dapat Dipahami

Pembelian PI dari Rio Tinto (bukan saham) juga tercatat menjadi salah satu perhatian. PI yang notabene bukan saham dinilai tidak sepenuhnya tepat di dalam konteks divestasi saham yang sedang dilakukan pemerintah. Penilaian tersebut dapat dipahami, tetapi jika mencermati historis proses divestasi dan negosiasi dengan Freeport yang cukup alot, langkah pemerintah yang membeli PI tersebut sesungguhnya juga dapat dipahami. Dalam hal ini pemerintah tampak melihat bahwa keinginan Rio Tinto untuk melepas PI merupakan momentum strategis untuk dapat merealisasikan divestasi saham Freeport yang sampai sejauh ini sulit dilaksanakan.

Jika dilihat dari aspek yang lebih luas, pilihan pemerintah membeli PI Rio Tinto pada dasarnya dapat dikatakan cukup strategis. Dari aspek ekonomi, secara relatif biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membeli PI Rio Tinto lebih murah dibandingkan biaya yang diperlukan untuk membeli saham langsung kepada Freeport. Belum lagi jika mengingat bahwa selama ini sangat sulit untuk memperoleh kesepakatan harga divestasi dari Freeport. Pembelian PI juga tidak perlu dikhawatirkan jika mengingat berdasarkan kesepakatan pembiayaan antara Freeport dan Rio Tinto yang telah disetujui Kementerian ESDM pada April 1996 disepakati bahwa PI Rio Tinto tersebut dapat dikonversi menjadi saham.

Jika kita kilas balik, munculnya PI Rio Tinto sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari kebijakan yang telah diambil di masa lalu. Pada 1996, Menteri ESDM pada era Presiden Soeharto saat itu menyetujui skema “ijon” konsesi Grasberg ke Rio Tinto sebagaimana diminta oleh Freeport McMoran (FCX). Skema inilah yang dimaksud dengan Participating Interest (PI). Karena itu, akuisisi hingga 51% PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan membeli PI Rio Tinto ini yang akan langsung dikonversi menjadi 40% saham PT FI serta membeli saham tambahan PT FI dari Indocopper yang 100 % dimiliki FCX, merupakan pilihan yang logis.

Jika “ijon” Rio Tinto tidak diselesaikan justru akan memberikan dampak pada berkurangnya pendapatan negara dari deviden karena mulai 2022 Rio Tinto secara otomatis akan mendapatkan 40% hak dari produksi hingga 2041. Sebagai gambaran, jika Freeport memproduksikan 100 ton emas, maka Rio Tinto akan langsung mendapat 40 ton emas. Sementara sisanya, 60 ton baru akan dibagi antara Indonesia dan FCX yang hasil akhirnya akan direpresentasikan dalam deviden.

Kemakmuran Rakyat

Mengenai harga divestasi yang telah disepakati tersebut kemahalan atau tidak, pada dasarnya relatif sulit dijawab dengan pasti, iya atau tidaknya. Hal tersebut karena terdapat kemungkinan bahwa parameter yang digunakan oleh masing-masing pihak di dalam melakukan valuasi harga tidak sepenuhnya sama. Apalagi jika makna penting dari aspek kedaulatan atas penguasaan 51% saham Freeport yang notabene tidak mudah dikuantifikasikan juga termasuk dalam salah satu parameter.

Sebagai gambaran, dengan harga emas saat ini nilai cadangan terbukti emas yang dikelola Freeport di Papua ditaksir sebesar 41 miliar dolar AS. Nilai tersebut belum termasuk potensi-potensi cadangan di blok yang saat ini belum dikelola. Jika dilihat dari aspek bisnis, mengeluarkan biaya investasi sekitar 3,85 miliar dolar AS untuk potensi pendapatan dari nilai cadangan emas 41 miliar dolar AS atau sekitar 1.065 % dari nilai investasi, pada dasarnya cukup logis.

Berdasarkan perkembangannya tersebut, memang tidak keliru jika terdapat penilaian bahwa proses divestasi saham Freeport yang sedang dan telah berjalan saat ini tidak sepenuhnya ideal. Tapi, jika masing-masing dari kita berpegang pada gambar besar dan mengingat bahwa tujuan akhir dari divestasi adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tentunya akan jauh lebih produktif jika energi yang ada kita gunakan untuk mendorong agar proses divestasi segera terealisasi, daripada untuk mempermasalahkan ketidakidealan prosesnya.

Divestasi Saham Freeport
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Invetor Daily; Kamis, 11 Januari 2018 | 9:24

Kewajiban mengenai divestasi saham PT Freeport Indonesia (PT FI) kepada pemerintah Indonesia sesungguhnya telah tercantum dalam kontrak. Akan tetapi, realisasi proses divestasi tersebut tidak sederhana. Divestasi saham PT FI juga tercatat menjadi salah satu prioritas Tim Renegosiasi Kontrak Pertambangan yang pernah dibentuk pemerintah sebelumnya.

Dari perspektif politik-ekonomi, pelaksanaan divestasi saham PT FI merupakan isu besar dan tidak sederhana. Hal tersebut tidak hanya menyangkut kesediaan PT FI, tetapi juga terdapat aspek pembiayaan di dalamnya. Divestasi tidak hanya proses pengalihan saham, tetapi juga menimbulkan konsekuensi pembiayaan bagi penerima, dalam hal ini pemerintah Indonesia.

Permasalahan Divestasi

Ditinjau dari aspek politik, divestasi saham PT FI merupakan sebuah keharusan. Pasal 33 Konstitusi UUD 1945 mengharuskan agar kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi (termasuk tambang) untuk dikuasai negara. Dalam konteks korporasi, penguasaan umumnya direpresentasikan melalui kepemilikan saham mayoritas, minimal 51% dari total saham perusahaan.

Dengan demikian, konstitusi mengharuskan Pemerintah Indonesia minimal memiliki 51% saham PT FI. Sementara itu, saat ini kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham PT FI baru sekitar 9,64%. Sehingga untuk dapat menjalankan amanat Konstitusi UUD 1945 tersebut, pemerintah memerlukan divestasi saham PT FI minimal 41,36% (51% – 9,64%).

Pembiayaan atas 41,36% saham tersebut selama ini menjadi kendala utama yang menyebabkan divestasi saham PT FI belum dapat direalisasikan. Pilihan sumber pembiayaan, apakah harus melalui mekanisme APBN atau keuangan BUMN masih menjadi diskusi yang belum final.

Sebelum masalah pembiayaan, mekanisme perhitungan nilai saham seringkali juga menjadi penyebab proses divestasi tidak dapat dilaksanakan. Perbadaan pendapat antara kedua pihak mengenai mekanisme perhitungan nilai saham dapat menyebabkan proses divestasi mengalami dead lock.

Kondisi tersebut sesungguhnya yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah mengusulkan penetapan harga saham PT FI mengacu pada perhitungan aset dan cadangan hingga tahun 2021. Sementara itu, PT FI menghendaki agar penetapan harga saham mengacu pada aset dan cadangan hingga 2041.

Nilai Strategis

Meskipun tidak sederhana dan terancam dead lock, divestasi saham PT FI tetap harus dilaksanakan. Selain merupakan pelaksanaan Pasal 33 Konstitusi UUD 1945, divestasi PT FI memiliki nilai ekonomi yang sangat strategis. Nilai ekonomi dari cadangan mineral di area konsesi PT FI yang tercatat sebagai salah satu yang terbesar di dunia (41,1 miliar pound tembaga dan 37,3 juta ounce emas) tentunya sangat besar.

Jika divestasi dilakukan menggunakan mekanisme BUMN, berpotensi menciptakan BUMN industri pertambangan dengan skala usaha yang besar. Hal itu karena pasca divestasi total aset konsolidasi diproyeksikan akan mencapai US$ 17 miliar atau sekitar Rp 241 triliun. Peningkatan nilai aset tersebut akan membuka banyak peluang, termasuk untuk melakukan akuisisi area tambang yang lain.

Nilai tambah ekonomi yang lain, divestasi akan meningkatkan pendapatan pemerintah dari kegiatan usaha PT FI. Pendapatan pemerintah tidak hanya dari pajak dan royalti yang saat ini diterima tetapi juga berasal dari dividen dengan porsi yang lebih besar. Dengan divestasi, peningkatan pengawasan pengelolaan limbah operasional tambang yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga dapat lebih mudah dilakukan.

Divestasi juga akan mendorong terjadinya penguasaan teknologi (alih teknologi) penambangan modern bagi tenaga kerja Indonesia. Kebijakan tersebut juga membuka peluang untuk segera dilakukannya hilirisasi produk tembaga dan emas serta peningkatan penggunaan produk kandungan dalam negeri dalam kegiatan penambangan.

Dengan penguasaan saham mayoritas, pemerintah akan lebih mudah menentukan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk pemanfaatan tenaga kerja dari daerah sekitar operasi tambang.

Terobosan Kebijakan

Sebagai upaya untuk mengantisipasi perundingan divestasi saham dengan PT FI yang berpotensi dead lock,pemerintahan Jokowi-JK terpantau melakukan terobosan kebijakan. Dari informasi yang ada, untuk melancarkan proses divestasi 51% saham PT FI, Tim Perunding Pemerintah yang terdiri atas Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri ESDM memutuskan akan membeli participating interest (PI) Rio Tinto yang ada di PT FI.

Nilai PI Rio Tinto di PT FI sendiri sebesar 40% yang di dalam perjanjian dapat dikonversi menjadi saham pada 2022. Berdasarkan informasi, Rio Tinto sudah menyatakan kesediaannya untuk melepas PI mereka di PT FI kepada Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari proses divestasi 51% saham PT FI. Proses dan skema divestasi ini juga diinformasikan telah disepakati dalam perundingan antara PT FI dan Pemerintah Indonesia.

Pembelian PI dari Rio Tinto tersebut merupakan langkah yang sangat strategis. Selain dapat menjadi terobosan di tengah perundingan yang terancam dead lock, pemerintah juga memperoleh manfaat ekonomi dengan membayar harga yang lebih murah dibandingkan harus membeli saham. Apalagi dalam hal ini juga terdapat peluang bahwa konversi PI untuk menjadi saham dapat dipercepat oleh pemerintah, tidak harus menunggu sampai tahun 2022.

Konversi saham atas PI Rio Tinto sebesar 40% tersebut akan menjadi sekitar 36,14% (40% x 90,36% saham PT FI). Dengan demikian, setelah pembelian PI dan konversi dilakukan, kepemilikan Pemerintah Indonesia atas saham PT FI adalah 45,78% (9,64% + 36,14%). Untuk dapat menjadi mayoritas, pemerintah minimal masih memerlukan divestasi saham dari PT FI sebesar 5,21%.

Proses perundingan dan penyelesaian divestasi 5,21% tentunya akan jauh lebih sederhana untuk dapat diselesaikan antara PT FI dan Pemerintah Indonesia, dibandingkan dengan harus melakukan divestasi 41,36% saham PT FI.

Meski kebijakan divestasi tersebut hanya akan mengambil alih saham kepemilikan, tidak mengambil alih pengoperasian PT FI, kebijakan tersebut tetap memiliki nilai strategis bagi Bangsa Indonesia. Proses tersebut merupakan pintu masuk bagi pemerintah untuk dapat menata manajemen dan menentukan arah kebijakan PT FI yang sejalan dengan amanat Konstitusi UUD 1945, yaitu untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Semoga seluruh pemangku kepentingan memiliki tujuan yang sama dengan rakyat Indonesia, bahwa divestasi saham Freeport bukan untuk kepentingan golongan, kelompok, apalagi pribadi, melainkan sematamata untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penyesuaian Kebijakan Harga BBM
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Koran Sindo: Senin, 4 Desember 2017 – 08:00 WIB

BERSAMAAN dengan kecen­derungan harga minyak dunia yang rendah, pemerintahan Presiden Jokowi tercatat menyesuaikan ke­bijak­­­an harga BBM. Penyesuai­an di­lakukan melalui Perpres Nomor 191/2014 tentang Pe­nyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diundangkan pada 31 Desember 2014.

Perbedaan antara Perpres Nomor 191/2014 dengan regu­lasi sebelumnya (Perpres No­mor 71/2005, Perpres Nomor 22/ 2005, Perpres Nomor 09/2006, Perpres Nomor 45/2009, dan Perpres Nomor 15/2012) adalah pada penentuan jenis BBM yang diatur. Pada regulasi sebelum Perpres 191/2014, bensin RON 88 (Premium) ditetapkan seba­gai jenis BBM tertentu yang di­berikan subsidi oleh pemerin­tah. Pada regulasi ini, tidak lagi.

Pada Perpres 191/2014 jenis BBM yang diatur terbagi men­jadi tiga, BBM tertentu (minyak tanah/kerosene dan minyak solar/gas oil), BBM khusus penugasan (bensin minimal RON 88/Premium), dan BBM umum, yaitu jenis BBM di luar BBM tertentu dan BBM khusus penugasan.

Kebijakan Subsidi

Kebijakan subsidi BBM da­lam Perpres 191/2014 berbeda dengan regulasi sebelumnya. Bensin RON 88 (Premium) dite­tapkan sebagai jenis BBM khu­sus penugasan yang tidak lagi diberi subsidi. Melalui Perpres ini subsidi BBM hanya dialo­kasi­kan untuk BBM jenis mi­nyak tanah dan minyak solar.

Minyak tanah diberi subsidi dengan mekanisme seperti re­gu­lasi sebelumnya, yaitu diberi subsidi per liter yang merupa­kan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara harga jual eceran per liter minyak tanah setelah dikurangi pajak-pajak dengan harga dasarnya.

Adapun mekanisme subsidi untuk minyak solar diubah menjadi subsidi tetap. Dalam hal ini subsidi diberikan dari selisih kurang harga dasar per liter minyak solar setelah di­tam­bah pajak-pajak sesuai de­ngan ketentuan peraturan per­undang-undangan. Berdasar­kan ketentuan ini, besaran sub­sidi minyak solar dapat diten­tu­kan sejak penyusunan APBN, yaitu perkalian dari volume minyak solar yang disubsidi dan besaran subsidi untuk setiap liternya.

Perpres itu mengatur pe­nyediaan dan pendistribusian BBM tertentu/BBM subsidi oleh badan usaha melalui penugasan oleh Badan Pengatur (BPH Migas). Dalam hal ini BPH Migas berperan melakukan pe­rencanaan volume kebutuhan dan perencanaan penjualan ta­hunan BBM subsidi yang di­usul­kan kepada Menteri ESDM.

Berdasarkan usulan dari Badan Pengatur tersebut, Men­teri ESDM menetapkan peren­canaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan BBM subsidi. Pada tahapan selanjutnya, Menteri ESDM menyampaikan kepada Menteri Keuangan perihal pe­netapan perencanaan volume kebutuhan tahunan dan volume penjualan tahunan untuk pe­nyu­sunan perkiraan subsidi BBM tertentu (minyak tanah dan solar) serta proses penye­lesaian sesuai dengan keten­tuan per­aturan perundang-undangan.

Qui scelle la marque Viagra ou la pastèque peut-elle vraiment traiter la dysfonction érectile. Avant de prendre Viagra Générique , parlez-en à votre médecin, les points qu’ils industrie et veuillez éviter de mâcher le comprimé.

Konsekuensi Kebijakan

Perpres 191/2014 yang tidak lagi menetapkan bensin RON 88/Premium yang umumnya dengan volume besar men­jadi BBM subsidi menyebabkan kebijakan subsidi BBM pada era Presiden Jokowi relatif lebih se­derhana. Berdasarkan regulasi ini, Menteri ESDM memiliki kewenangan lebih kuat dalam menetapkan harga BBM subsidi.

Dalam regulasi sebelumnya, Menteri ESDM harus terlebih dahulu mendapatkan pertim­bangan Menteri Keuangan sebelum menetapkan harga BBM. Harga BBM subsidi juga harus mengacu pada hasil ke­sepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan Menteri Koor­­dinator Bidang Per­eko­nomian. Sementara melalui Perpres ini tidak demikian.

Penetapan volume dan pe­nyesuaian harga BBM subsidi pada era pemerintahan Presiden Jokowi sering kali tidak perlu melalui pembahasan dengan DPR seperti pada tahun ang­gar­an sebelum-sebelumnya. Pada APBN 2017 misalnya, tercatat tidak ada lagi jumlah volume dan besaran nilai subsidi BBM yang diatur/ditetapkan.

Kondisi tersebut berbeda dengan subsidi BBM pada periode sebelumnya yang mana penetapan volume dan besaran subsidinya tidak ha­nya harus melalui pem­bahas­an, tetapi juga harus atas per­setujuan DPR. Dalam penaikan harga BBM misalnya, jikapun peme­rintah diberikan kewe­nang­an, hal tersebut baru dapat dilaku­kan dengan ketentuan ter­tentu. Misalnya, jika harga mi­nyak mentah Indonesia (ICP) telah mengalami kenaik­an hingga level tertentu atau telah men­capai persentase tertentu dari harga patokan yang ditetapkan.

Meski memberikan dampak positif bagi pemerintah, Per­pres 191/2014 berpotensi mem­berikan konsekuensi keuangan bagi pelaksana penugasan, ter­utama Pertamina, jika peme­rin­tah tidak konsisten melak­sana­kan kebijakan. Pasal 19 Perpres ini menetapkan untuk pertama kali (2015) Pertamina yang di­tugaskan melaksana­kan penye­diaan dan pen­distribusian jenis BBM khusus penugasan.

Wilayah penugasan sendiri meliputi seluruh Wilayah Ne­gara Kesatuan Republik Indo­nesia, kecuali Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi DI Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Berdasarkan data, sampai saat ini sebagian besar penye­diaan dan pendistribusian BBM khusus penugasan masih dilak­sanakan Pertamina.

Perlu diketahui, BBM khusus penugasan merupakan BBM (bensin, RON 88) yang di­distri­busikan di wilayah penugasan dan tidak diberi subsidi. Tapi penetapan harganya masih tetap dilakukan pemerintah (Menteri ESDM). Berdasarkan Permen ESDM No.39/2014 ten­tang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah beberapa kali diubah Menteri ESDM pun akan menetapkan harga jual BBM khusus penugasan secara berkala dengan menggunakan formula tertentu.

Semangat dari regulasi ter­sebut pada dasarnya positif, konsisten dengan Konstitusi UUD 1945, agar BBM yang me­rupakan komoditas yang me­nguasai hajat hidup masyarakat luas tetap diatur atau diinter­vensi oleh Negara c.q Peme­rin­tah. Akan tetapi intervensi ke­bijakan harga yang tidak disertai kebijakan subsidi akan mem­beri­kan konsekuensi bagi ke­uan­gan pelaksana penugasan.

Jika reviu dan penetapan harga secara berkala sebagai­mana yang diamanatkan regu­lasi tidak dilaksanakan secara konsisten, sementara di APBN tidak ada lagi alokasi subsidi untuk BBM khusus penugasan, beban subsidi akan bergeser dari pemerintah (APBN) men­jadi beban korporasi yang me­laksanakan penugasan ter­sebut. Kondisi inilah yang sebenarnya terjadi pada saat ini.

Meskipun pelaksana penu­gas­an adalah BUMN (Per­tamina), yang urusannya de­ngan APBN sering disebut kantong kiri dan kanan, kondisi yang terjadi saat ini sesugguhnya tidak baik un­tuk semua. Bagi pemerintah, tidak terbiasa memisahkan de­ngan tegas mana fungsi peme­rintah dan mana fungsi kor­porasi. Sementara bagi Per­tamina, menjadi tidak ter­biasa de­ngan budaya kor­porasi yang harus mencari profit, tum­buh, dan berkem­bang secara profesional.