Masihkah Industri Hulu Migas Berperan Penting untuk Pembangunan?

Kompas.com – 28/08/2017, 11:21 WIB

KOMPAS.com  Reforminer Institute mencatat, pada periode 1979-1984 industri migas menyumbangkan penerimaan negari sebesar 62,88 persen. Namun, kini porsi penerimaan negara dari industri tersebut hanya 4,7 persen. Lalu, masihkah industri ini memiliki peran besar bagi pembangungan nasional?

Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, industri hulu migas masih jadi salah satu penopang pembangunan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Republik yang stabil pada rentang 5-6 persen per tahun membutuhkan pasokan energi yang dapat diandalkan dan berkelanjutan.

Produksi dan cadangan migas yang cukup diperlukan untuk menjamin ketersediaan energi nasional dan mengurangi ketergantungan energi nasional dari impor, ujar Rakhmanto saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/7/2017).

Selain menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, industri hulu migas nasional kini berperan pula sebagai pendorong kegiatan perekonomian nasional.

Manajer Pemberdayaan Nasional Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Bayu Murbandono membenarkan hal itu. Menurut dia, keadaan tersebut bisa terjadi karena aktivitas di sektor migas memberikan multiplier effect atau efek berganda pada industri lain.

Industri ini membutuhkan banyak tenaga kerja mulai dari level buruh sampai tenaga ahli. Industri ini juga membutuhkan pengadaan barang dan jasa yang melibatkan sektor lain, kata Bayu pada Kamis (8/6/2017).

Hasil studi SKK migas bersama Universitas Indonesia pada 2015 mendapati fakta, setiap investasi 1 juta dollar AS mampu menciptakan nilai tambah 1,6 juta dollar AS. Lalu, meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) 0,7 juta dollar AS dan membuka lapangan kerja baru sebanyak 100 orang.

Hal itu terjadi karena SKK Migas mengeluarkan Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur pengelolaan rantai suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) di hulu migas. Dalam PTK ini, KKS wajib melibatkan perusahaan dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa.

Maka dari itu, jangan heran kalau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas pada 2015 mencapai 68 persen atau senilai 7,9 juta dollar AS. Capaian itu lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yakni 54 persen.

Tak ada naik BBM di 2018, ini tanggapan pengamat

www.kontan.co.id; Senin, 21 Agustus 2017 21:15 WIB

KONTAN.CO.ID – Asumsi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tahun depan dinilai masuk akal. Sebab, harga minyak mentah tahun depan diperkirakan tidak akan bergerak jauh dari saat ini.

Peneliti dan Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto memperkirakan, harga minyak mentah 2018, kemungkinan masih akan bergerak stagnan di kisaran US$ 45-US$ 50 per barel. Kisaran itu masih sesuai dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok pemerintah dalam Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel.

“Jadi, asumsi pemerintah saat ini (bahwa tidak ada kenaikan harga BBM tahun depan) sebenarnya cukup masuk akal,” kata Pri Agung kepada KONTAN, Senin (21/8).

Meski demikian, pemerintah perlu memperhatikan aspek keuangan PT Pertamina. Sebab, di level harga BBM saat ini saja perusahaan pelat merah tersebut telah menalangi selisih harga yang seharusnya telah disesuaikan sejak beberapa bulan lalu.

Dalam RAPBN 2018, pemerintah mematok asumsi ICP sebesar US$ 48 per barel. Dengan asumsi ICP tahun depan yang sama dengan tahun ini, pemerintah menargetkan anggaran subsidi energi 2018 sebesar Rp 103,4 triliun. Jumlah itu terdiri dari subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram (kg) sebesar Rp 51,1 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 52,2 triliun.

“Subsidi energi tahun depan dengan asumsi tidak ada kenaikan BBM, tidak ada kenaikan elpiji, dan kenaikan listrik,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2018 di kantornya, Jakarta, Senin (21/8).

Aneh, RI Mau Impor LNG dari Singapura yang Tak Punya Ladang Gas

www.detik.com: Rabu 23 Aug 2017, 09:48 WIB

Jakarta– Perusahaan asal Singapura, Keppel Offshore and Marine, pekan lalu datang ke Kantor Kemenko Kemaritiman untuk menawarkan pasokan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) kepada pemerintah Indonesia.

LNG tersebut rencananya untuk bahan bakar pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas di beberapa wilayah Indonesia. Harga gas dari Singapura diklaim cukup kompetitif sehingga dipertimbangkan oleh pemerintah.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, heran dengan rencana tersebut. Ini aneh karena Singapura adalah negara yang sama sekali tidak punya cadangan minyak dan gas bumi.

“Agak lucu Singapura ekspor gas ke kita, mereka kan enggak punya sumber gas sama sekali,” kata Komaidi kepada detikFinance, Rabu (23/8/2017).

Apalagi, Indonesia adalah negara eksportir gas. Sampai saat ini pun Indonesia masih mengekspor gas ke Singapura.

“Enggak logis juga, mereka (Singapura) kan selama ini beli dari kita. Jangan-jangan gas kita sendiri mau dijual lagi ke sini,” ujarnya.

Memang ada perkiraan bahwa Indonesia sudah membutuhkan gas impor sekitar tahun 2019-2020 karena adanya peningkatan kebutuhan di dalam negeri, terutama untuk kelistrikan.

Tapi, sebaiknya Indonesia membeli langsung dari negara produsen gas, bukan dari Singapura yang hanya perantara saja. Tentu harganya bisa lebih efisien.

“Harusnya beli langsung ke produsen. Rencana ini perlu dikaji ulang untuk kepentingan jangka panjang,” tutupnya.

Target Lifting Minyak Bumi Tahun Depan Semakin Rendah

KATADATA: Jum’at 18/8/2017, 17.41 WIB

Para investor ini menilai sebagian regulasi ini bukan memfasilitasi, melainkan menghambat. Salah satu yang dikeluhkan adalah peraturan menteri mengenai Gross Split, ujar Komaidi.

Pemerintah telah menetapkan target capaian produksi siap jual (lifting) minyak bumi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 sebesar 800 ribu barel per hari (bph). Target tersebut lebih rendah dari tahun ini.

Adapun tahun ini, target lifting dalam APBN dan APBNP 2017 dipatok 815 ribu bph. Sementara itu, sejak awal Januari hingga akhir Juni lalu, capaiannya masih 802 ribu bph.

Di sisi lain, target lifting gas dalam RAPBN 2018 lebih tinggi dari tahun ini. Tahun depan, pemerintah mematok target lifting gas 1,2 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Sedangkan tahun ini 1,15 juta bsmph.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan target lifting minyak yang lebih rendah dan gas yang lebih tinggi ini memang menjadi salah satu fenomena yang wajar. Apalagi temuan cadangan baru sangat minim. Secara relatif cadangan gas Indonesia saat ini lebih besar dibandingkan minyak, kata dia kepada Katadata, Jumat (18/10).

Untuk meningkatkan lifting minyak itu, salah satu kuncinya adalah eksplorasi. Namun, eksplorasi juga tidak mudah karena butuh perangkat regulasi dan kebijakan pemerintah yang berpihak pada iklim investasi.

rapbn-2018-target-lifting-minyak-makin-turun-by-katadata

Namun, menurut Komaidi, beberapa regulasi yang ada di Indonesia masih banyak dikeluhkan oleh kontraktor migas. Para investor ini menilai sebagian regulasi ini bukan memfasilitasi, melainkan menghambat. Salah satu yang dikeluhkan adalah peraturan menteri mengenai Gross Split, ujar dia.

Sejak awal Januari hingga akhir Juni, investasi hulu migas mencapai US$ 3,98 miliar, dengan rincian US$ 3,96 untuk blok eksploitasi, sisanya eksplorasi. Sedangkan target dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) tahun ini adalah US$ 13,80 miliar.

Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, capaian tersebut juga masih rendah. Sepanjang semester I tahun 2016, realisasi hulu migas mencapai US$ 5,65 miliar. Rinciannya investasi di blok eksploitasi sebesar US$ 5,51 miliar, sisanya blok eksplorasi.

Pengembangan Memerlukan Dukungan

KOMPAS; 14 Agustus 2017

JAKARTA, KOMPAS  Pengembangan energi terbarukan di Indonesia perlu keberpihakan pemerintah lewat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan secara ekonomis. Tanpa terobosan, target porsi energi terbarukan 23 persen di 2025 dalam bauran energi nasional terbilang sulit diwujudkan. Faktor murahnya harga minyak dunia turut menjadi penghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor keekonomian bisnis tersebut. Sementara itu, faktor keekonomian sangat bergantung pada kebijakan yang dibuat pemerintah. Menurut dia, pengembangan energi terbarukan di Indonesia saat ini belum bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

Masalahnya cukup mendasar, yaitu keekonomian pengembangan energi terbarukan itu sendiri. Turunannya adalah dibutuhkan insentif tertentu dan dukungan kuat pemerintah lewat kebijakan. Tanpa itu, pengembangan energi terbarukan akan jalan di tempat, kata Komaidi, Minggu (13/8), di Jakarta.

Target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 setara dengan pembangkit listrik 45.000 megawatt dari energi terbarukan. Sementara itu, capaian porsi energi terbarukan saat ini baru berkisar 7-8 persen. Artinya, dalam kurun 8 tahun ke depan harus ada peningkatan porsi energi terbarukan sebesar tiga kali lipat dari sekarang. Jadi, memang diperlukan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pengembangan energi terbarukan, ujar Komaidi.

Menurut Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, selain masalah kebijakan atau insentif, pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan kurang ekonomis lantaran skalanya kecil. Ia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di Uni Emirat Arab (UEA) yang kapasitasnya mencapai ribuan megawatt. Dengan pengembangan sebesar itu, harga jualnya bisa murah dan ekonomis bagi pengembang.

Di Indonesia belum bisa sebesar itu. Paling hanya sekitar puluhan megawatt dan letaknya pun tersebar. Akibatnya adalah kurang ekonomis bagi pengembang karena biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan penjualan tenaga listriknya tidak menguntungkan. Di UEA harga jualnya bisa hanya 3 sen dollar AS per kilowatt jam. Angka itu belum memungkinkan diterapkan di Indonesia, ucap Fabby.

Bahan bakar nabati

Nasib serupa dialami bahan bakar nabati, terutama jenis bioetanol. Kebijakan pemerintah lewat kewajiban pencampuran pada bahan bakar minyak sebanyak 2 persen tidak berjalan. Bahkan, peraturan menteri mengenai bioetanol, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dinyatakan dilonggarkan.

Penyebabnya adalah biaya pengembangan bioetanol lebih mahal daripada bahan bakar minyak jenis premium. Apabila bioetanol dicampurkan ke dalam premium, harga jual premium akan membengkak.

Biaya Manfaat Kebijakan Gross Split
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Anggaran subsidi energi terlalu mepet

www.kontan.co.id: Minggu, 30 Juli 2017 / 14:23 WIB

JAKARTA. Anggaran subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 diperkirakan cukup terbatas. Apalagi pemerintah telah memastikan tidak adanya perubahan harga energi hingga September dan akhir tahun ini.

Dalam APBN-P 2017, pagu anggaran subsidi energi dipatok hanya sebesar Rp 89,86 triliun, yang terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji tiga kilo gram (kg) Rp 44,49 triliun serta subsidi listrik sebesar Rp 45,38 triliun.

Jumlah ini turun dari usulan awal pemerintah dalam nota keuangan Rancangan APBN-P 2017 sebesar Rp 103,1 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM dan elpiji tiga kg Rp 51,11 triliun serta subsidi listrik Rp 51,99 triliun.

Penurunan tersebut sejalan dengan penurunan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 48 per barel dari usulan awal US$ 50 per barel. Namun, pagu anggaran final itu lebih rendah dari kesepakatan antara pantia kerja (panja) belanja sebelumnya yang sebesar Rp 101,19 triliun.

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebelumnya memastikan bahwa hingga 30 September nanti, tidak akan ada kenaikan harga BBM dan elpiji tiga kg. Jonan juga memastikan, tidak ada kenaikan tarif listrik hingga akhir tahun 2017.

Peneliti dan Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan, anggaran subsidi energi tersebut mepet dan berpotensi membengkak walaupun tidak terlalu besar. Ia memperkirakan, pembengkakan anggaran itu masih kurang dari Rp 5 triliun.

Pri Agung mengatakan, jika asumsi ICP sesuai perkiraan pemerintah atau akan stabil di kisaran US$ 45-US$ 50 per barel, maka asumsi kebijakan lain yang digunakan pemerintah dalam menyusun anggaran itu perlu menjadi perhatian.

“Khususnya tentang tarif listrik untuk golongan 900 volt ampere (VA). Apakah akan ada pengurangan jumlah pelanggan lagi di golongan ini yang menerima subsidi atau tidak?” kata Pri Agung kepada KONTAN, Jumat (28/7) lalu.

Tak hanya itu, potensi pembengkakan anggaran juga bisa terjadi pada subsidi elpiji 3 kg. Sebab, pemerintah masih menerapkan kebijakan distribusi elpiji 3 kg secara terbuka.

Di sisi lain, ia mengaku memahami pemerintah yang harus menyeimbangkan postur APBN secara keseluruhan. Sebab, pemerintah ingin menjaga defisit anggaran yang berpotensi muncul dari anggaran lain.

Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani memastikan, anggaran subsidi energi tersebut tetap memperhitungkan kebijakan pemerintah. Misalnya, untuk kebijakan tarif listrik.

“Bahwa yang (golongan) 450 volt ampere tetap dikasih (subsidi) dan 900 volt ampere yang dinilai miskin tetap dikasih subsidi dengan penambahan 2,4 juta pelanggan,” kata Askolani beberapa waktu lalu.