lnvestasi Hulu Migas & Krisis Kepercayaan
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

Bisnis Indonesia; Senin 31 Juli 2017

Pertumbuhan ekonomi yang stabil pada rentang 5%-6% per tahun atau lebih memerlukan investasi dan pasokan energi yang dapat diandalkan dan berkelanjutan.

Sektor hulu migas, yang aktifitas utamanya terdiri dari kegiatan eksplorasi, pengembangan dan produksi, memiliki peran penting untuk kedua elemen tersebut, yaitu melalui investasi dan melalui penyediaan energi migas sebagai bahan bakar primer.

Keduanya menggerakkan roda perekonominan dalam arti sesungguhnya. Kontribusi hulu migas nasional ke penerimaan negara saat ini memang tidak lagi signifikan, kurang dari 5% dari keseluruhan total penerimaan negara di APBN. Namun, tidak lalu berarti bahwa sektor ini tidak lagi penting.

Adalah keliru jika menganggap sektor hulu migas tidak lagi penting bagi perekonomian nasional hanya dengan melihat kontribusinya terhadap penerimaan negara yang saat ini rendah.

Besaran nilai investasi hulu migas adalah sangat signifikan secara relatif terhadap besaran nilai investasi nasional total secara keseluruhan.

Pada 2014, saat total nilai investasi nasional diluar sektor hulu migas sekitar Rp541,28 triliun, nilai investasi hulu migas adalah Rp275,4 triliun. Rasia diantara keduanya sekitar 2:1. Pada 2015, saat total nilai investasi nasional adalah Rp574,69 triliun, investasi hulu migas sekitar Rp206,55 triliun atau perbandingan keduanya mendekati 3: 1.

Sementara pada 2016, nilai keduanya sekitar Rp607,25 triliun dan Rp151,2 triliun, yang berarti 4:1 dalam rasionya. Dari angka-angka di atas, kita bisa melihat setidaknya dua hal.

Pertama, besaran investasi di hulu migas jelas tidak bisa dianggap remeh. Nilai investasi yang berputar di sektor hulu migas selalu dalam skala ratusan triliun rupiah, sama dengan skala ratusan triliun rupiah untuk total investasi nasional secara keseluruhan.

Jelas bahwa magnitude investasi hulu migas tidak main-main. Efek berganda yang dihasilkannya dalam perekonomian nasional cukup signifikan. Berdasarkan angka dari SKK Migas dan Bank Indonesia, Produk Domestik Bruto (PDB) hulu migas pada 2016 adalah US$23,7 miliar atau berkontribusi sekitar 3,3% terhadap PDB keseluruhan. Setiap US$1 juta investasi di hulu migas memiliki angka pengganda 1,6 kali lipat, atau menciptakan nilai tambah US$1,6 juta dan menghasilkan tambahan PDB sebesar US$0,7 juta.

Kedua, ada penurunan yang sangat signifikan dalam hal besaran investasi hulu migas selama periode 2014-2016 tersebut. Penurunan pada periode 2014-2015 adalah Rp68,8 trilliun atau turun 25%.

Pada 2015-2016 investasi hulu migas kembali turun Rp5S,4 triliun atau turun 26,8%. Terhadap nilai investasi pada 2014, nilai investasi hulu migas pada 2016 telah turun Rp124,2 triliun atau turun sekitar 45%.

Jika beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo sempat kecewa karena Raja Salman hanya membawa investasi Rp89 triliun, sebenarnya angka itu masih kalah dengan nilai investasi hulu migas yang hilang pada 2015-2016 itu.

Hilangnya investasi yang sebelumnya sudah berputar di Indonesia sebesar itu dalam waktu yang sangat singkat, bukan hanya sekadar mengecewakan tetapi menyedihkan.

Ironis, karena Presiden Joko Widodo kemana-mana dan dalam setiap kesempatan selalu berupaya mendatangkan dan menarik investasi, tetapi malah investasi yang sudah ada di dalam dan di depan mata kita sendiri seperti dibiarkan pergi begitu saja.

Akan halnya yang terjadi di tahun ini, kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Hingga akhir Juni 2017, dari rencana investasi huiu migas yang dianggarkan dalam program kerja para kontraktor hulu migas sebesar US$13,8 miliar, yang terealisasi baru US$3,98 miliar atau hanya sekitar 29%.

kita lebih tidak mampu lagi dalam menjaga dan menarik investasi di hulu migas. Jika kita mengasumsikan pola yang sama akan berlanjut di paruh kedua, tahun ini realisasi investasi hulu migas bisa jadi hanya US$8 miliar atau sekitar Rp 108 triliun.

Ini berarti akan turun lagi sekitar Rp43,2 triliun atau 28,6% dari 2016.

MINIM PEMINAT

Gejala dan tanda ke arah itu terlihat sangat jelas. Dari 14 wilayah kerja migas yang dilelang sejak tahun lalu, hanya satu yang diminati investor. Dari investasi yang dibelanjakan kontraktor untuk kegiatan eksplorasi, besaran dan porsinya dari tahun ke tahun selalu sangat kecil dan terus mengecil.

Dari hanya US$1, 1 miliar pada 2014, turun menjadi US$500 juta pada 2015, dan turun lagi menjadi hanya sekitar US$100 juta hingga November 2016 lalu (tidak sampai 1% dari total investasi hulu migas).

Padahal, investasi untuk eksplorasi adalah indikator utama dalam melihat seberapa tertarik para kontraktor migas akan menanamkan investasinya dan hal itu akan menentukan investasi di tahapan selanjutnya.

Jika eksplorasi saja hampir tidak ada, penemuan lapangan migas baru yang signifikan juga tidak akan ada. Tidak akan ada pula investasi lanjutan di kegiatan pengembangan lapangan dan produksi.

Pemberlakuan kontrak bagi hasil sistem Gross Split yang diterapkan sejak awal 2017, menurut saya akan makin memperburuk keadaan. Gross Split sangat lebih tidak menarik untuk mendorong investasi eksplorasi dibandingkan kontrak bagi hasil biasa, karena kontraktor harus menanggung secara penuh risiko investasi selama masa kontrak.

Apalagi, persoalan perizinan yang sangat banyak dengan alur yang sangat panjang juga masih belum tersentuh. Jika pemerintah mengklaim telah menyederhanan perizinan dari 104 perizinan migas hingga hanya menjadi 6 perizinan ( 4 hilir dan 2 hulu), diantaranya melalui Permen ESDM No. 29/2017, hal itu tidaklah konkret.

Dua perizinan hulu migas yang disasar dalam peraturan ini hanyalah perizinan yang sifatnya administratif yang hanya berkaitan dengan penyiapan wilayah kerja migas di lingkup kerja Ditjen Migas saja.

Sementara perizinan hulu migas yang sifatnya lebih operasional, di wilayah kerja migas yang telah dioperasikan untuk aktifitas eksplorasi, pengembangan, dan produksi, jumlahnya masih tetap 341 perizinan dan tersebar di sekitar 19 kementerian/lembaga/instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Saat ini, jumlah itu disinyalir bahkan bertambah menjadi 373 perizinan.

Dengan kondisi seperti itu, saya tidak bisa membayangkan entah berapa triliun rupiah lagi investasi hulu migas yang akan terus menerus hilang. Harga minyak yang rendah bukan (lagi) alasan yang tepat, karena investasi hulu migas di tingkat global sebenarnya telah menunjukkan gejala peningkatan, yang pada tahun ini diproyeksikan naik US$450 miliar.

Peringkat investment grade ekonomi Indonesia tampaknya sama sekali tidak terefleksikan di sektor hulu migas. Menurut saya, sudah saatnya Presiden Joko Widodo perlu melakukan blusukan langsung di sektor hulu migas untuk menarik kembali investasi ratusan triliun rupiah yang terbang dari perekonomian nasional.

Terus menurunnya investasi hulu migas bukan hanya sekadar hilangnya angka-angka itu saja tetapi adalah indikasi kuat hilangnya (terjadinya krisis) kepercayaan kepada negara dan pemerintah kita.

Lampu Kuning Industri Hulu Migas RI

(Detik.com, 26 Juli 2017)

Jakarta– Pagi hari tanggal 7 Juli 2017, para petinggi dari 52 perusahaan hulu migas berkumpul di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Ada perwakilan dari Chevron, Exxon, Total, dan sebagainya.

Dalam pertemuan yang berlangsung pukul 10.00 WIB sampai 10.45 WIB itu, Jonan menawarkan 15 Wilayah Kerja (WK/blok) migas yang dilelang tahun ini. Jonan sengaja mengumpulkan bos-bos perusahaan hulu migas itu karena lelang blok migas 2 tahun terakhir gagal total. Pada 2015 dan 2016, tidak satu pun blok migas diminati investor.

Sejurus dengan itu, investasi di sektor hulu migas Indonesia pada 2016 menurun 27% dibanding 2015, dari US$ 15,34 miliar menjadi US$ 11,15 miliar. Dengan kata lain, Indonesia kehilangan investasi sebesar US$ 4,19 miliar atau Rp 55 triliun (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.300) dari hulu migas pada tahun lalu.

Penurunan investasi ini berimplikasi pada kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru. Semakin sedikit perusahaan hulu migas yang mau mencari minyak dan gas bumi di Indonesia.

Di 2013, jumlah wilayah eksplorasi di Indonesia masih 238. Pada 2016 menyusut menjadi 199 wilayah saja, 37 di antaranya sedang dalam proses pengakhiran kontrak. Akibat sepinya eksplorasi, tak ada penemuan cadangan migas baru di Indonesia. Sementara jumlah cadangan minyak yang terbukti terus merosot dari 3,7 miliar barel pada 2013 menjadi 3,3 miliar barel saat ini.

Pekan lalu, ExxonMobil pun memutuskan untuk mengembalikan Blok East Natuna kepada pemerintah Indonesia. Perusahaan migas raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu tak mau berinvestasi lagi di ladang gas terbesar Indonesia yang memiliki cadangan sampai 46 TCF.

Pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat bahwa situasi ini bukan hanya karena jatuhnya harga minyak dunia saja, namun juga akibat iklim investasi yang tidak menarik.

“Keluarnya Exxon dari East Natuna adalah hal yang wajar. Kondisi sektor hulu migas kita sudah lama terpuruk, tapi dalam 1 tahun terakhir lebih buruk, orang mau investasi takut,” kata Pri Agung kepada detikFinance, Rabu (26/7/2017).

Ia menyebut Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang skema gross split sebagai salah satu contoh aturan baru yang menurunkan iklim investasi.

Investor makin tak nyaman karena pemerintah cenderung memaksakan kebijakan, tak mau mendengar masukan. “Seolah-olah pihak lain selalu keliru. Misalnya soal gross split, kalau dikritik tidak mau terima,” ucapnya.

Contoh lainnya, pemerintah cenderung memaksakan kehendak pada Inpex saat membahas pengembangan Blok Masela. “Masela bisa tidak jalan kalau Inpex terus didorong-dorong pemerintah tanpa win-win solution. Investor dipaksa kerja dengan IRR (Internal Rate Return) sekian persen. Padahal ini bisnis berisiko tinggi,” tukas dia.

Kalau pemerintah tak mengubah cara pandang dan sikapnya dalam memperlakukan investor hulu migas, bukan hanya ExxonMobil saja yang akan mengembalikan blok migas.

“Masela juga bisa seperti itu. Pada suatu titik, Inpex akan bersikap. Mereka sekarang masih menunggu,” katanya.

Untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas memang tidak bisa dalam waktu singkat. Tapi pertama-tama pemerintah harus ramah pada investor, mau menerima masukan dan berkomitmen melakukan perbaikan.

“Pemerintah perlu lebih banyak mendengar, jangan melihat dari sudut pandang sendiri yang belum tentu benar. Jangan memaksakan kehendak pada investor. Memang tidak bisa instant perbaikannya, butuh confidenttinggi dari investor,” Pri Agung menyarankan.

Jika tidak ada perbaikan, proyek-proyek migas yang amat strategis seperti Masela, East Natuna, dan IDD bakal jalan di tempat terus, bisa jadi investornya cabut seperti Exxon.

“Kalau cara memperlakukan investor seperti ini, ya investor pergi,” pungkasnya

Revisi Regulasi Cost Recovery dan Pajak Hulu Migas Tidak Menjamin Perbaikan Iklim Investasi

DUNIA ENERGI; Kamis, 20 Juli 2017

JAKARTA  Pemerintah diminta konsisten menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 sebegai revisi dari PP 79 Tahun 2010 tentang cost recovery dan pajak hulu minyak dan gas. Pasalnya, pemberlakukan PP tersebut tidak serta merta akan langsung meningkatkan investasi yang selama ini diharapkan pemerintah.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, mengatakan untuk bisa merasakan manfaat dari regulasi tersebut justru ada di langkah selanjutnya, yakni dari pemerintah dalam implementasi regulasi. Apalagi beleid tersebut berhubungan dengan dua kementerian, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.

Masih akan bergantung pada kebijakan dan keputusan menteri dalam pemberian insentif di eksploitasi dan juga peraturan menkeu sebagai peraturan pelaksananya, kata Pri kepada Dunia Energi, Kamis (20/7).

Namun dia menyambut positif adanya respon dari pemerintah terhadap keluhan para pelaku usaha terhadap kondisi indusri migas tanah air.

PP itu cukup positif di dalam mengakomodasi apa yang selama ini diminta KKKS. Tetapi efeknya masih akan bergantung implementasi selanjutnya, ungkap Pri.

Ada tujuh poin utama yang merupakan insentif terbaru bagi para KKKS dalam PP 27, yakni insentif perpajakan (periode eksplorasi dan eksploitasi migas). Ada beberapa insentif perpajakan yang diberikan, yakni pembebasan bea masuk, sepeti PPN, PPnBM, PPh 22 impor (tidak dipungut) dan PBB (pengurangan 100%). Khusus untuk periode eksploitasi diberikan berdasarkan pertimbangan keekonomian.

Insentif lainnya, biaya atas sharing facilities dikecualikan dari PPh dan tidak dipungut PPN. First Tranche Petroleum (FTP) juga tidak kena pajak. Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat bukan menjadi objek PPh dan PPN.

Prinsip field basis menjadi block basis. Artinya biaya operasi dari suatu field (lapangan) migas bisa di-reimburst (cost recovery) dari lapangan migas lainnya yang sudah berproduksi, selama masih dalam satu block. Selanjutnya adalah nilai depresiasi dapat dipercepat, agar keekonomian investor membaik.

Kepastian penerapan bagi hasil dinamis (sliding scale split). Misalnya, jika harga minyak sangat tinggi, pemerintah akan mendapatkan tambahan bagi hasil. Sebaliknya jika harga minyak rendah, kontraktor yang akan mendapatkan tambahan bagi hasil sehingga lebih fair.

DMO holiday. Biasanya kontraktor wajib menjual minyak bagiannya kepada negara dengan harga 10% dari harga minyak. Tetapi dengan DMO holiday, harga minyak yang dijual kepada negara bisa tetap 100%, jadi pasti lebih menarik bagi kontraktor.

Insentif lainnya adalah kepastian investment credit. Kontraktor akan mendapat tambahan pengembalian biaya modal untuk pengembangan lapangan migas.

Kepastian atas biaya apa saja yang bisa di cost recovery dan tidak boleh di cost recovery. Misalnya, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat (CSR) pada masa eksplorasi dan eksploitasi boleh di cost recovery.

Produksi Sulit Dinaikkan; Usia Sumur Tua dan Harga Minyak Rendah

KOMPAS; 19 Juli 2017

JAKARTA, KOMPAS Kenaikan produksi minyak siap jual atau lifting bakal sulit direalisasikan pemerintah. Penyebabnya adalah harga minyak yang rendah dan kondisi sumur minyak yang tua sehingga produktivitasnya menurun. Target lifting minyak 815.000 barrel per hari belum terpenuhi.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, berkaca pada iklim hulu migas saat ini, desakan DPR agar pemerintah mampu menaikkan lifting minyak sulit dipenuhi. Secara teknis, sulit menaikkan lifting minyak lantaran usia sumur yang tua. Dari sisi bisnis, harga minyak yang rendah tidak bisa menimbulkan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan produksi minyak.

“Dengan dua kondisi tersebut, agak sulit memenuhi permintaan DPR soal menaikkan lifting tersebut,” ujar Komaidi, Selasa (18/7), di Jakarta.

Disinggung soal pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan lifting, menurut Komaidi, hal itu belum tentu ekonomis dengan harga minyak yang masih di bawah 50 dollar AS per barrel. Apalagi, kondisi setiap lapangan minyak berbeda-beda dan memerlukan perlakuan yang tidak sama. Akibatnya, ongkos mahal dari pemanfaatan teknologi tidak terkompensasi dengan harga minyak sekarang.

Sejumlah anggota Komisi VII DPR melontarkan desakan kepada pemerintah untuk menaikkan lifting minyak setidaknya sampai akhir tahun ini. Dalam patokan APBN 2017, lifting minyak ditetapkan 815.000 barrel per hari. Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi lifting minyak sampai akhir Juni 2017 adalah 802.000 barrel per hari.

Anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Fadel Muhammad, mengatakan, jika pemerintah tidak mampu menaikkan lifting minyak, pemerintah sebaiknya mendorong BUMN migas untuk mengakuisisi perusahaan minyak luar negeri. Dengan demikian, produksi minyak dari perusahaan yang diakuisisi bisa dibawa ke Indonesia.

“Kondisi sekarang ini seolah-olah tak ada harapan untuk menaikkan produksi minyak seperti pada masa lalu. Akibatnya, Indonesia akan terus menjadi pengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Padahal, pembangunan kilang dalam negeri kemajuannya sangat lamban,” kata Fadel.

Print

Bara K Hasibuan dari Partai Amanat Nasional menambahkan, salah satu cara untuk menaikkan produksi adalah mau tidak mau dengan meningkatkan investasi melalui eksplorasi untuk menemukan cadangan baru. Namun, ia memaklumi jika iklim investasi hulu migas saat ini sedang lesu akibat anjloknya harga minyak. Untuk menarik minat investasi, pemerintah harus memberikan kemudahan berbisnis.

Terkait investasi hulu migas Indonesia, berdasarkan data SKK Migas, target tahun ini 13,8 miliar dollar AS, sedangkan realisasi semester I-2017 baru 3,98 miliar dollar AS.

Kerja sama Pertamina

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menandatangani kerja sama dengan Repsol, perusahaan migas asal Spanyol. Kerja sama tersebut meliputi pengembangan teknologi hulu migas berbasis digital, penelitian dan pengembangan metode produksi minyak tingkat lanjut (EOR), penelitian biofuel generasi kedua, serta sejumlah riset dan pengembangan lain.

“Studi ini memperkuat komitmen Pertamina mempercepat program EOR untuk meningkatkan cadangan dan produksi minyak lebih cepat,” ujar Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dalam siaran pers.

Pemerintah Diminta Hati-hati Pangkas Anggaran Subsidi Energi

CNN Indonesia: A�Minggu, 16/07/2017 18:37 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah diminta berhati-hati dalam memasang target anggaran subsidi untuk sektor energi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (R-APBNP) 2017 yang kembali dipangkas sekitar Rp1,9 triliun menjadi Rp101,2 triliun.

Pemangkasan anggaran subsidi tersebut karena dilatarbelakangi turunnya proyeksi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Palm Oils/ICP) dari US$50 menjadi US$48 per barel.

Pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, asumsi pemerintah tersebut harus diperhatikan dengan seksama. Pasalnya, Pri Agung melihat ICP sampai akhir tahun tak akan berubah banyak bahkan cenderung stagnan di kisaran US$45-50 per barel.

“Sebenarnya, terlalu berisiko kalau dikurangi lagi anggaran subsidinya. Apalagi, dengan asumsi bahwa harga minyak akan turun. Justru terlihat akan stagnan, tidak banyak berubah,” ujar Pri Agung kepada CNNIndonesia.com, Minggu (16/7).

Kendati begitu, pemangkasan anggaran subsidi energi yang baru saja dilakukan dirasa tak cukup besar bebannya kepada masyarakat.

Dengan catatan, pemerintah tidak sampai menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas elpiji tiga kilogram (kg) di sisa tiga bulan terakhir atau setelah menahan harga BBM dan elpiji melon di rentang Juli-September mendatang.

“Implikasinya (pengurangan anggaran) belum akan berdampak tapi bisa berdampak kalau ada kenaikan harga walau potensi kenaikan itu ada,” imbuh dia.

Oleh karena itu, ia menuturkan, pemerintah perlu memperhitungkan dengan matang target anggaran subsidi energi tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga diminta mengantisipasi pembengkakan belanja di pos lain yang selanjutnya berimplikasi pada pelebaran defisit anggaran dan penambahan utang pada APBN 2017.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah mengoreksi anggaran subsidi energi di R-APBNP 2017 menjadi Rp101,2 triliun dari sebelumnya Rp103,1 triliun.

Padahal, pekan sebelumnya, pemerintah menyampaikan kepada Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) bahwa anggaran subsidi energi akan ditambahkan sebesar Rp25,8 triliun dari Rp77,3 triliun pada APBN 2017.

Dengan koreksi tersebut, anggaran subsidi listrik turun Rp1 triliun dari semula Rp52 triliun menjadi Rp51 triliun, subsidi BBM turun Rp400 miliar dari semula Rp10,6 triliun menjadi Rp10,2 triliun, serta subsidi gas elpiji turun Rp500 miliar dari Rp40,51 triliun menjadi Rp40 triliun.

“Berdasarkan kalkulasi, tahun ini, tidak ada kenaikan harga gas elpiji dan volume solar turun 16 juta kiloliter (kl) menjadi 15,5 juta kl. Jadi, dengan perubahan Rp1,9 triliun, maka defisit anggaran tidak mengalami perubahan, tetap pada outlook 2,67 persen,” terang Sri Mulyani.

Impor Minyak Berpotensi Membengkak, Target RUEN Terancam

KATADATA; Rabu 12/7/2017, 11.01 WIB

“Saat ini dengan adanya beberapa kebijakan seperti gross split tampak menjadi disinsentif. Indikasinya industri tidak merespon dengan baik,” kata Komaidi.

Target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo terancam meleset. Penyebabnya adalah impor minyak mentah yang berpotensi membengkak karena menurunnya produksi dalam negeri.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan menurunnya produksi minyak dalam negeri ini akibat rendahnya investasi sehingga kegiatan di sektor hulu menjadi minim. Sejak awal Januari hingga akhir Juni, investasi sektor hulu hanya US$ 3,98 miliar, lebih rendah dibanding tahun lalu di periode yang sama yakni US$ 5,65 miliar.

Salah satu pemicunya rendahnya investasi migas ini menurut Komaidi adalah regulasi yang dibuat pemerintah. “Saat ini dengan adanya beberapa kebijakan seperti gross split tampak menjadi disinsentif. Indikasinya industri tidak merespon dengan baik,” kata dia kepada Katadata, Selasa (11/7).

Untuk itu perlu adanya dukungan dari pemerintah agar investasi hulu migas bisa bergairah kembali. Caranya bisa dengan memberi kemudahan investasi di sektor migas.

Jika kondisi ini dibiarkan Komaidi tidak yakin target-target di dalam RUEN bisa tercapai. “Dampaknya ada dua kemungkinan, start impor bisa lebih cepat atau lebih besar dari target di RUEN,” kata dia kepada Katadata, Selasa (11/7).

Padahal dalam dokumen RUEN, impor minyak mentah diprediksi terus meningkat hingga mencapai 4,6 juta barel per hari (bph) pada 2050. Sebaliknya produksinya semakin turun dan jika tidak ada penambahan produksi, eksplorasi atau kegiatan pengurasan sumur (Enhanced Oil Recovery/EOR) tersisa di bawah 200.000 bph di 2050. Hingga semester I tahun 2017, produksi minyak 808.800 bph.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan pemerintah harus melakukan usaha yang ekstra untuk menarik minat investor melakukan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi ini penting penting supaya produksi tidak turun.

aktivitas-eksplorasi-survei-seismik-2d-2005-2010-by-katadata

http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/08/05/aktivitas-eksplorasi-survei-seismik-2d-2005-2010

Pemerintah dapat membantu investor dengan mempermudah perizinan. Jika produksi meningkat, ketergantungan impor migas akan semakin berkurang. “Harus ada usaha keras menarik investor. Bukan tidak mungkin, kami harus bisa all out soal itu,” kata Marjolijn kepada Katadata, Selasa (11/7).

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengusulkan delapan cara agar produksi migas tidak turun dan dapat sesuai dengan kebijakan RUEN. Pertama, menerapkan keterbukaan data migas dan tidak menjadikan data migas sebagai obyek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kedua, melakukan riset dasar eksplorasi migas dalam rangka meningkatkan cadangan migas antara lain riset migas non-konvensional, riset sistem petroleum pra-tersier, riset sistem petroleum gunung api, dan riset gas biogenik. Ketiga, menyiapkan wilayah kerja migas konvensional minimal sembilan blok migas per tahun dan penandatangan blok migas konvensional minimal enam blok per tahun.

Keempat, melakukan survei umum migas minimal tiga wilayah per tahun. Kelima, mengoptimalkan produksi lapangan migas antara lain dengan memberlakukan kontrak bagi hasil khusus untuk kegiatan pengurasan sumur (Enhanced Oil Recovery/EOR) dan segera memutuskan status kontrak yang akan berakhir pada lapangan-lapangan yang mempunyai potensi EOR.

Keenam, mempercepat penyelesaian proyek gas bumi, antara lain Blok Sengkang, Blok Matindok, Proyek IDD, Lapangan MDA-MBH, Blok A, Lapangan Jangkrik, Lapangan Jambaran Tiung Biru, Proyek Tangguh Train-3, Lapangan Abadi (Masela), dan Blok East Natuna. Dari beberapa lapangan tersebut sudah ada beberapa yang onstream seperti Jangkrik dan Matindok.

Ketujuh, meningkatkan rasio pemulihan cadangan migas hingga mencapai 100% pada tahun 2025, dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi secara masif menjadi tiga kali lipat. Terakhir, meningkatkan keterlibatan negara dalam pendanaan kegiatan eksplorasi melalui mekanisme pendanaan dari sebagian pendapatan negara dari migas (petroleum fund) yang merupakan bagian dari premi pengurasan (depletion premium) atau dari sumber pendanaan lainnya.