Potensi Masalah Impor Migas; Kapasitas Eksplorasi Harus Dinaikkan Tiga Kali Lipat

www.kompas.com: Selasa 13 Juni 2017

JAKARTA, KOMPAS Indonesia akan berpotensi menghadapi sejumlah masalah apabila ketergantungan pada impor minyak dan gas kian besar. Impor sulit dihindari seiring terus membesarnya konsumsi minyak dan gas bumi, sedangkan produksi di dalam negeri terus merosot.

Oleh karena itu, perlu terobosan untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Demikian mengemuka dalam diskusi bertema Implementing Indonesia Energy Plan (RUEN): Status Update of Oil and Gas Exploration and Enchanced Oil Recovery , Senin (12/6), di Jakarta. Diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) dan harian Kompas ini menghadirkan nara sumber anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Andang, yang sedang di luar negeri, berbicara melalui video jarak jauh.

Berdasar dokumen Rencana Umum Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, kebutuhan minyak mentah Indonesia pada 2040 diproyeksikan 4,5 juta barrel per hari (BOPD). Adapun produksi dalam negeri diperkirakan 600.000 BOPD.

Kebutuhan gas bumi di Indonesia pada 2050 diperkirakan sekitar 25.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan produksi dalam negeri di tahun yang sama 5.000 MMSCFD. Selisih kebutuhan minyak dan gas tersebut harus dipenuhi lewat impor.

Ketergantungan terhadap impor patut diwaspadai. Impor migas yang membesar berpotensi menggerus cadangan devisa Indonesia, ujar Komaidi.

A Tony Prasetiantono, salah satu peserta diskusi, menanggapi, impor akan semakin pelik apabila harga minyak mentah naik. Yang akan menjadi persoalan kemudian adalah masalah keterjangkauan. Harga beli yang tinggi dapat mengurangi kemampuan negara mendapatkan pasokan energi.

Selain soal keterjangkauan, harga minyak yang tinggi berpotensi membengkakkan subsidi energi. Pada masa lalu, saat harga minyak 100 dollar AS per barrel, subsidi energi Rp 350 triliun per tahun, ucap Tony.

Eksplorasi

Andang mengatakan, salah satu solusi mengurangi tekanan impor migas Indonesia adalah dengan meningkatkan kapasitas eksplorasi sedikitnya tiga kali lipat dari sekarang. Apalagi, dalam RUEN ditegaskan rasio penggantian cadangan minyak bumi harus 100 persen pada 2025. Artinya, penemuan cadangan minyak yang baru harus setara dengan setiap barrel minyak yang dikuras.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, industri migas tetap dipandang penting oleh pemerintah. Meskipun penerimaan negara dari sektor migas terus merosot dalam beberapa tahun terakhir, dampak ganda sektor ini masih sangat besar bagi perekonomian nasional.

Secara terpisah, Corporate Affairs Director PT Donggi-Senoro LNG Aditya Mandala mengatakan, pihaknya telah mengantongi kontrak pengiriman gas alam cair ke luar negeri hingga 2027. Untuk 2017 saja, yang telah terkontrak jangka panjang ada 40 kargo gas alam cair. Namun, tidak menutup kemungkinan gas alam cair dijual ke pasar dalam negeri jika ada yang memerlukan.

Pemerintah Harus Tambah Split Pertamina di Delapan Blok Terminasi

www.dunia-energi.com; Senin, 12 Juni 2017 – 16:07

JAKARTA  Pemberian tambahan split dinilai menjadi solusi agar delapan blok terminasi tetap bisa dikelola PT Pertamina (Persero) seiring perubahan skema kontrak bagi hasil dari cost recovery menjadi gross split.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, mengatakan keputusan pemerintah yang ditengah jalan merubah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dari cost recovery menjadi gross split seharusnya dikompensasi dalam bentuk split tambahan bagi Pertamina. Pasalnya perusahaan plat merah tersebut sudah terlanjur menyatakan kesiapan untuk mengelola kedelapan blok dengan menggunakan skema cost recovery.

Inti masalahnya dihitungan keekonomian yang belum pasti, sebagai akibat dari keharusan menggunakan gross split dan keharusan untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan kontraktor lama, kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Senin (12/6).

Pertamina telah meminta tambahan waktu kepada pemerintah untuk menghitung ulang keekonomian delapan blok yang diserahkan pengelolaannya ke Pertamina pada 2018.

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengatakan tambahan waktu diperlukan karena Pertamina harus menghitung ulang nilai keekonomian masing-masing lapangan. Pasalnya keekonomian yang ada berdasarkan perhitungan dengan skema cost recovery.

Kita minta tambahan waktu kira-kira satu bulan, akhir Juni ini mudah-mudahan sudah ada keekonomiannya, kata Syamsu.

Penggunaan skema gross split dengan tidak adanya penggantian biaya investasi karena ditanggung seluruhnya oleh kontraktor dinilai memberatkan kontraktor. Apalagi kebijakan baru lain yakni kewajiban kontraktor baru di suatu blok migas harus mengganti biaya investasi kontraktor lama yang telah masuk masa terminasi atau habis masa kontrak. Hal itu dilakukan agar produksi di blok yang masuk masa terminasi tidak turun.

Menurut Pri Agung, keharusan untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor lama membuat posisi Pertamina untuk mengelola keseluruhan blok menjadi tidak realistis.

Karena kontraktor lama kan ketika bekerja tidak melibatkan Pertamina, tetapi biaya nantinya menjadi beban Pertamina, ungkap dia.

Potensi keberadaan calon investor baru untuk mengelola delapan blok juga bukan solusi utama dalam pemecahan masalah karena calon investor baru yang disebut pemerintah berminat belum tentu menawarkan dan bisa berkomitmen lebih baik dari Pertamina.

Pri mengungkapkan untuk posisi Indonesia sekarang ini tidak bisa hanya menjanjikan cost yang lebih rendah, tetapi juga komitmen menghasilkan penemuan cadangan dan meningkatkan produksi.

Tidak tertutup kemungkinan jika nanti ada investor menyatakan sanggup tetapi setelah blok diserahkan justru kembali meminta tambahan split dan insentif lain yang pada akhirnya permintaan tersebut melebihi yang diminta Pertamina, kata dia.(RI)

Arab Saudi Cs Ceraikan Qatar, Harga Minyak Malah Bisa Jatuh

www.detik.com: Selasa 06 Juni 2017, 12:02 WIB

JAKARTA- Kenaikan harga minyak pasca pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Yaman, dan Libya dengan Qatar hanya bersifat sementara saja. Dalam jangka panjang, harga minyak justru bisa makin turun.

Harga minyak kemarin langsung naik karena faktor psikologis saja. Nyatanya, surplus pasokan minyak mentah di pasar masih terjadi.

“Secara fundamental, kelebihan suplai minyak mentah masih terjadi. Tidak hanya tahun ini tapi juga berpotensi berlanjut ke tahun depan,” kata Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, kepada detikFinance, Selasa (6/6/2017).

Pri Agung menjelaskan, ketegangan politik antara Qatar dengan Arab Saudi dan sekutunya dapat mengganggu kesepakatan pemangkasan produksi minyak OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari (bph).

Qatar selama ini termasuk sekutu Arab Saudi di OPEC. Dengan pemutusan hubungan diplomatik ini, Qatar akan lebih merapat ke Iran yang berada di kubu seberang.

OPEC makin tak solid karena UEA yang juga termasuk anggota OPEC turut memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.

“Putusnya hubungan diplomatik tersebut akan membuat, paling tidak untuk sementara waktu, Qatar akan lebih condong ke arah Iran. Dengan polarisasi tersebut, sulit diharapkan OPEC bisa terus bersepakat menahan level produksi mereka,” ujar Pri Agung.

“Artinya, banjir suplai minyak dunia justru berpotensi bertambah lagi ke depannya jika konflik hubungan diplomatis terus berlanjut,” dia mengimbuhkan.

Ia menambahkan, konflik antara Arab Saudi Cs dan Qatar ini kecil kemungkinannya berujung pada ketegangan militer. Dengan demikian, harga minyak tak akan banyak terpengaruh.

“Jika hanya sebatas konflik diplomatik dan tanpa aksi militer, harga tidak akan banyak terpengaruh. Cenderung stagnan,” tukasnya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa soliditas OPEC bisa makin hancur bila Qatar ditendang dari OPEC. Tentu pasokan minyak dunia makin tak terkendali, saat ini produksi minyak Qatar sekitar 2 juta bph atau kurang lebih 6% dari total produksi minyak negara-negara OPEC yang sebesar 32 juta bph.

“Sampai sejauh ini yang lebih dominan adalah efek psikologis, kecuali jika nantinya Arab dapat memaksa anggota lain untuk mengeluarkan Qatar dari keanggotaan OPEC,” tutupnya.

Kepentingan AS di Balik Ketegangan Arab Saudi-Qatar

www.detik.com; Selasa 06 Jun 2017, 13:33 WIB

JAKARTA– Amerika Serikat (AS) diduga mengambil keuntungan dari kisruh hubungan diplomatik Arab Saudi cs dan Qatar. Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Libya memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar per 5 Juni 2017 kemarin.

Ketegangan diplomatik terjadi hanya 2 minggu pasca kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Arab Saudi pada 20 Mei 2017 lalu.

Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengungkapkan bahwa AS diuntungkan bila Qatar dikucilkan. Sebab, Qatar adalah produsen gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) terbesar di dunia, pesaing AS yang sedang mencari pasar ekspor untuk produksi shale gas di dalam negerinya.

“Perlu dilihat dalam konteks ini peran AS, dalam hal ini Trump. Trump sebelum ini melakukan kunjungan ke Arab Saudi dan mencapai beberapa kesepakatan tentunya. Ini tidak lepas dari kepentingan Trump untuk memelihara industri shale gas mereka tetap bisa hidup dan bersama-sama Saudi menguasai pasar dunia,” papar Pri Agung kepada detikFinance, Selasa (6/6/2017).

“Qatar adalah eksportir LNG terbesar dunia. Tentunya ini menjadi pesaing utama dari shale gas AS yang memang sedang booming produksinya dan butuh pasar di luar domestik,” Pri Agung menambahkan.

Setelah mengisolasi Qatar, kemungkinan langkah selanjutnya yang akan dilakukan AS adalah bekerja sama dengan OPEC untuk menjaga harga minyak dunia.

“Jika sebelum ini AS dan OPEC kerap berseberangan, Trump lebih bisa bekerja sama,” ucapnya.

Tujuannya adalah menjaga harga minyak di level yang memberikan ruang hidup bagi industri shale oil dan shale gas AS.

“Sepanjang level harga sudah bisa memberikan ruang untuk shale oil dan shale gas AS tetap hidup, di sisi lain kepentingan ekonomi Saudi dari minyak juga tetap bisa terjaga, keseimbangan harga akan terbentuk,” ujar Pri Agung.

Konflik negara-negara Arab dengan Qatar, diprediksi tidak akan berlanjut sampai ketegangan militer. Dengan demikian, dampaknya terhadap harga minyak tak akan signifikan.

“Secara fundamental, surplus pasokan minyak di pasar global masih terjadi. Harga kemungkinan hanya ada di kisaran US$ 45-55 per barel saja,” pungkasnya.