Implementasi Kebijakan Kontrak Bagi Hasil Gross Split

Rencana pemerintah menerapkan kontrak bagi hasil gross split direalisasikan dengan menerbitkan Permen ESDM No.8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Kontrak bagi hasil gross split merupakan kontrak bagi hasil tanpa pengembalian biaya (cost recovery) kepada Kontraktor. Dalam hal ini seluruh biaya operasi produksi akan dibebankan kepada kontraktor.

Ketiadaan cost recovery dalam kontrak gross split dikompensasi dengan porsi bagi hasil produksi untuk Kontraktor yang lebih besar dibandingkan pada model cost recovery. Model ini dipilih karena dinilai lebih sederhana di dalam implementasinya sehingga rantai birokrasi dalam kegiatan usaha hulu migas yang selama ini cukup panjang, dapat dikurangi.

Berdasarkan perkembangan yang ada, penerapan kontrak bagi hasil gross split ini bukan yang pertama. Sebelumnya model kontrak ini telah diatur dalam Permen ESDM No.38 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional, yang memberikan opsi kepada Kontraktor untuk dapat memilih dan menggunakan tiga jenis kontrak kerja sama, termasuk gross split.

Berdasarkan review, ReforMiner menilai secara teknis pelaksanaan kontrak gross split yang diatur dalam Permen ini tidak sederhana. Untuk menetapkan besaran bagi hasil untuk kedua belah pihak dilakukan melalui sejumlah tahapan. Bagi hasil produksi untuk Kontraktor akan menggunakan base split yang akan disesuaikan dengan komponen variabel dan komponen progresif. Perhitungan komponen varibel dan progresif tersebut akan menjadi acuan tambahan split pada pengembangan lapangan tahap selanjutnya.

Kompleksitas penerapan kontrak gross split tercermin dari komponen variabel dan komponen progresif yang ditetapkan dalam Permen ini relatif banyak. Permen ini menetapkan terdapat 10 komponen variabel dan 2 komponen progresif yang menjadi dasar untuk menentukan tambahan split. Dari masing-masing komponen variabel yang ditetapkan tersebut juga masih dibagi dalam sejumlah kriteria. Untuk komponen variabel kandungan CO2 misalnya, terdapat 6 kriteria yang akan digunakan untuk menentukan perhitungan tambahan split.

ReforMiner menemukan beberapa ketentuan yang diatur dalam Permen ESDM No.8/2017 tidak sejalan dengan prinsip kontrak bagi hasil gross split itu sendiri. Salah satunya adalah ketentuan mengenai kepemilikan aset. Permen ini menetapkan aset (barang dan peralatan yang dibeli Kontraktor untuk kegiatan usaha hulu migas) merupakan milik/kekayaan Negara. Sementara dalam filosofi kontrak gross split kepemilikan aset sepenuhnya menjadi hak Kontraktor karena tidak ada mekanisme pengembalian biaya operasi dari Negara kepada Kontraktor.

ReforMiner memproyeksikan implementasi kontrak bagi hasil gross split belum akan berkorelasi dengan tambahan penerimaan negara dari pengusahaan minyak dan gas. Mencermati ketentuan yang ada di dalamnya, tujuan utama penerapan kontrak gross split
menyederhanakan proses- kemungkinan juga tidak akan mudah untuk dapat dicapai.

ReforMiner melihat permasalahan Permen ESDM No.8/2017 ini sesungguhnya tidak hanya pada aspek substansinya, tetapi juga pada kedudukan Permen itu sendiri. Secara hierarki regulasi kedudukan Permen ESDM No.8/2017 ini tidak lebih tinggi dari Peraturan Menteri di sektor lain. Akibatnya ketentuan dalam Permen ini tidak dapat digunakan untuk mengikat atau memaksa sektor yang lain untuk melaksanakan ketentuan yang ada di dalamnya. Sehingga keberadaan Permen ini pada dasarnya belum dapat menjadi solusi permasalahan jika kegiatan hulu migas mengalami permasalahan lintas sektor seperti masalah perpajakan dan lingkungan hidup.

Freeport Harus Memahami Itikad Pemerintah RI

KOMPAS:22 Februari 2017

JAKARTA, KOMPAS PT Freeport Indonesia seyogianya bisa memahami itikad Pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi soal nasib operasi perusahaan tambang tersebut di Papua. Pemerintah sebenarnya sudah cukup kuat memberikan sinyal bahwa operasi perusahaan itu bakal berlanjut sembari harus ada penyesuaian terhadap aturan yang berlaku.

Saya rasa masih ada ruang titik temu antara pemerintah dan Freeport. Sebaiknya, Freeport harus paham sinyal yang diberikan pemerintah bahwa investasi mereka tetap dibutuhkan, tetapi tetap harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku, kata pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Selasa (21/2), di Jakarta.

Sinyal tersebut, menurut Pri Agung, pengajuan perpanjangan operasi dari semula paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir menjadi lima tahun sebelum kontrak habis. Artinya, Freeport bisa mengajukan perpanjangan pada tahun ini mengingat masa kontrak perusahaan itu habis pada 2021. Selain itu, mereka juga masih diizinkan untuk mengekspor konsentrat dalam jangka lima tahun ke depan atau sampai 2022.

Namun, pemerintah meminta Freeport harus patuh pada ketentuan yang berlaku, termasuk membangun smelter. Pendapat saya ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah dan Freeport masih sama-sama ingin bekerja sama, ujar Pri Agung.

Berusaha maksimal

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dalam pernyataan resminya menyatakan, pemerintah tetap akan berusaha maksimal mendukung semua investasi di Indonesia, baik asing maupun nasional tanpa kecuali. Di sektor tambang, pemerintah tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 sebagai turunan dari UU tersebut.

Dalam undang-undang, pemegang kontrak karya (KK) wajib mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri dalam kurun lima tahun sejak undang-undang itu diterbitkan. Faktanya, pemegang KK yang belum bisa memurnikan mineral, kami tawarkan kepada mereka untuk berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk memperoleh izin ekspor konsentrat, kata Jonan.

Sebelumnya, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2), Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc Richard C Adkerson menyatakan sulit menerima syarat-syarat yang diajukan Pemerintah Indonesia. Syarat tersebut adalah mengharuskan Freeport mengubah status operasi dari KK menjadi IUPK dengan tetap berpedoman pada aturan yang berlaku di Indonesia saat ini. Aturan itu, yang kemudian menjadi keberatan bagi Freeport, adalah divestasi saham Freeport sedikitnya 51 persen dan skema pajak yang sesuai aturan berlaku (prevailing).

Freeport menginginkan perubahan status operasi tidak disertai dengan penghapusan hak-hak mereka yang diatur dalam KK, seperti skema pajak yang tetap sampai kontrak berakhir (nail down) dan tetap boleh mengekspor konsentrat hingga batas akhir kontrak. Dengan aturan yang baru saat ini, pemegang KK tidak bisa mengekspor konsentrat tanpa harus mengubah status operasi menjadi IUPK.

Apabila tidak ada jalan keluar, kami punya hak untuk menuntaskan sengketa lewat arbitrase, ucap Richard.

Menyayangkan

Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyayangkan sikap PT Freeport Indonesia untuk merumahkan tenaga kerja menyusul penolakan perusahaan itu terhadap aturan pemerintah. Luhut menyayangkan tindakan PT Freeport Indonesia untuk merumahkan tenaga kerja perusahaan.

Perusahaan seharusnya mengedepankan negosiasi dengan pemerintah untuk menyelesaikan sengketa dan bukan justru merumahkan tenaga kerja. Itu kampungan. Dia (Freeport) punya tanggung jawab terhadap pegawai. Perusahaan yang profesional tidak boleh begitu (merumahkan karyawan), ujarnya.

Ia mengemukakan, Pemerintah Indonesia tidak boleh didikte oleh kepentingan swasta. Semua aturan pemerintah wajib ditaati. Semua aturan dan ketentuan sudah kami berikan. Tidak mungkin dong pemerintah didikte oleh swasta. Enggak bisa, ujar Luhut.

Luhut menambahkan, konsekuensi yang harus dihadapi Freeport Indonesia jika menempuh arbitrase internasional adalah kekalahan di arbitrase. Berdasarkan kontrak karya, operasi tambang Freeport di Papua berakhir tahun 2021 atau bersamaan dengan 50 tahun kontrak perusahaan tersebut. Dengan demikian, kontrak karya perusahaan tidak akan diperpanjang dan bisa diambil alih oleh Indonesia.

Seperti diberitakan, PT Freeport Indonesia menolak syarat yang diajukan pemerintah dan siap menempuh penyelesaian sengketa di Mahkamah Arbitrase Internasional jika tidak ada jalan keluar.

Freeport Tempuh Negosiasi

(Kompas, 14 Februari 2017)

Jakarta, Kompas PT Freeport Indonesia tengah berupaya menegosiasi pemerintah terkait perubahan status operasi dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus yang dikabulkan. Sejumlah hal yang masih menjadi keberatan Freeport Indonesia adalah tentang kebijakan fiskal dan perpanjangan operasi.

Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, kendati pemerintah sudah mengabulkan perubahan status operasi dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), pihaknya belum bisa serta-merta mengajukan izin ekspor konsentrat ataupun perpanjangan operasi perusahaan. Sebaba, ada ketentuan yang belum bisa disepakati perusahaan, yakni soal perpajakan.

Bagaimana seandainya di tengah operasi perusahaan yang berjalan, tiba-tiba ada perubahan kebijakan menyangkut perpajakan? Itu tentu cukup menyulitkan. Kami masih mencoba bernegosiasi dengan pemerintah mengenai hal ini, kata Riza, Senin (13/2) di Jakarta.

Riza menambahkan, pihaknya menginginkan agar ketentuan-ketentuan yang ada di dalam KK jugas disepakati dalam IUPK. Ketentuan itu adalah skema perpajakan yang tetap atau tidak berubah sampai batas akhir kontrak (nail down), ekspor konsentrat tetap berjalan, dan perpanjangan operasi perusahaan. Sebelum ada kejelasan mengenai hal itu, keputusan pengajuan izin ekspor dan perpanjangan operasi masih dalam pertimbangan.

Untuk sementaram produksi konsentrat perusahaan hanya dipasok ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, dan belum dapat diekspor. Semoga dalam waktu dekat ada jalan keluar dari masalah in, ujar Riza. Contoh dalam hal ini, ketentuan pembayaran royalti Freeport Indonesia kepada pemerintah seperti yang diatur dalam KK untuk tembaga 3,5 persen, sedangkan emas dan perak masing-masing 1 persen.

Dengan status IUPK, royalti yang dibayarkan naik menjadi 4 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas dan 3,25 persen untuk perak. Ketentuan perpajakan dalam KK tidak berubah hingga masa operasi habis, sedangkan dalam IUPK harus menyesuaikan peraturan dan perundangan yang berlaku (prevailing).

Pada jumat (10/2) pekan lalu, pemerintah mengumumkan perubahan status operasi PT Freeport Indonesia yang semula dari KK menjadi IUPK. Pemerintah menilai semua persyaratan menjadi IUPK sudah dipenuhi. Selain Freeport, PT Amman Mineral Nusa Tengggara (Sebelumnya bernama PT Newmont Nusa Tenggara) juga dikabulkan perubahan operasi dari KK menjadi IUPK.

Dengan perubahan tersebut, KK otomatis gugur. Akan tetapi, yang jelas ketentuan dalam IUPK harus diikuti. Kalau prevailling, ya prevailling, ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot, saat ditanya mengenai ketentuan perpajakan dalam skema IUPK.

Upaya Wajar

Mengenai upaya Freeport menegosiasi pemerintah, menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, wajar. Apalagi, untuk investasi dengan nilai miliaran dollar AS atau trilliunan rupiah, investor tentu membutuhkan kepastian itu menyangkut perpajakan ataupun stabilitas kebijakan.

Perubahan status KK menjadi IUPK menempatkan posisi negara lebih tinggi karena selaku pemberi izin kepada investor. Namun, status tersebut hendaknya tidak membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak kondusif bagi iklim investasi. Perlu kebijaksanaan pemerintah dengan tetap berpegang pada prinsip sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ujar Komaidi.

Masa operasi PT Freeport Indonesia di Papua berakhir pada 2012. Namun, perusahaan itu dapat mengajukan perpanjangan operasi, secepatnya lima tahun sebelum izin operasi berakhir.

Bea Keluar

Pemerintah menerbitkan aturan baru mengenai barang ekspor yang dikenai bea keluar. Kebijakan ini sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan perubahan keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam siaran pers Kementerian Keuangan, bea keluar ekspor barang hasil pengolahan mineral sebesar 0-7,5 persen berdasarkan kemajuan fisik pembangunan smelter. Semakin tinggi kemajuan pembangunan, maka bea keluar semakin rendah, begitu pula sebaliknya.

Izin Impor Dinilai Berisiko Hambat Produksi Gas

(Tempo,9 Februari 2017)

TEMPO.CO, Jakarta – Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatur impor gas dinilai terlalu terburu-buru. Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto khawatir hal itu bisa menghambat pengembangan lapangan gas nasional. “Risiko gas dalam negeri tidak terserap semakin besar, membuat industri hulu bakal tertekan terus,” ujarnya, Rabu 8 Februari 2017.

Kementerian Energi membuka keran impor gas melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tertanggal 27 Januari lalu. Pemerintah mengizinkan impor selama harga gas alam cair (LNG) tidak lebih dari 11,5 persen dari Indonesia Crude Price (ICP).

Tahun lalu, alokasi gas domestik yang tidak terserap mencapai 17 kargo LNG. Menurut Pri Agung, fenomena ini kerap terjadi saban tahun. Jika tidak kunjung mendapat pembeli, pemerintah terpaksa menjual ke pasar spot dengan harga lebih murah.

Pri Agung memprediksi impor justru akan meningkatkan jumlah kargo gas domestik yang tidak terserap. Dampaknya bukan cuma ke lapangan yang berproduksi, tapi lapangan yang pengembangannya tengah direncanakan. Dalam bisnis gas, kelayakan investasi suatu proyek ditentukan oleh seberapa banyak pembeli yang sudah berkomitmen.

Dia mencontohkan pengembangan proyek Blok Masela yang molor, salah satu alasannya karena pembeli gas. Pemerintah menginginkan gas Masela bisa diolah menjadi LNG sebanyak 7,5 ton per tahun (MTPA) dan dalam bentuk gas pipa sebesar 474 juta standar kaki kubik (mmscfd). Sedangkan kontraktor Masela, Inpex, ingin LNG sebanyak 9,5 MTPA dan gas pipa sebesar 150 mmscfd.

Pri Agung juga menilai impor gas tidak menjamin harga murah. Sebab, di kawasan Asia-Pasifik, harga LNG saat ini sebesar US$ 6 per MMBTU (million metric british thermal unit). Jika ditambah dengan biaya transportasi dan regasifikasi, harga bisa mencapai US$ 8-9 dolar per MMBTU. Angka itu tidak jauh berbeda dari rata-rata harga LNG yang dijual di Tanah Air.

Menurut dia, sebelum memutuskan impor, pemerintah selayaknya menyiapkan infrastruktur yang mendukung penyerapan gas, seperti terminal LNG serta fasilitas regasifikasi terapung (FSRU) ataupun darat. Jika masalahnya adalah harga, Kementerian Energi bisa menuntaskan janjinya untuk membenahi tata niaga gas.

Pemerintah memang berencana menata margin transmisi dan distribusi gas, serta membentuk badan penyangga gas untuk jangka panjang. “Juga menertibkan trader gas yang hanya bermodalkan alokasi. Tadinya sudah mengarah ke situ, kok tiba-tiba shortcut impor?”

Direktur Pengadaan PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso mengatakan, hingga saat ini, perusahaan belum memerlukan impor gas. Berdasarkan perhitungannya, suplai gas untuk pembangkit diperkirakan akan defisit pada 2020.

Meski begitu, Iwan menilai aturan impor tetap diperlukan jika harga gas domestik melonjak. “Kalau gas development cost terlalu tinggi, ya lebih baik (gas) disimpan saja di dalam bumi,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jarman menegaskan bahwa impor LNG dibolehkan maksimal 11,5 persen lebih tinggi dari ICP. Jika di pasar internasional tidak ada LNG dengan harga segitu, Jarman meminta PLN legawa menyerap gas domestik. “Peraturan menteri ini memberi opsi, sehingga bisa memilih harga yang wajar,” ucap Jarman.

Diprediksi Membaik, Minyak Dunia Ditaksir USD50-USD60 per Barel

(Okezone.com, 5 Februari 2017)

JAKARTA – Investasi sektor hulu migas tahun ini diperkirakan akan lebih baik bila dibandingkan dengan 2016 seiring pemangkasan produksi OPEC yang memicu kenaikan harga minyak mentah dunia meski belum atraktif.

Direktur ReforMiners Institute Komaidi Notonegoro memprediksi harga rata-rata minyak dunia berkisar USD50-60 barel hingga akhir 2017. Menurut dia, membaiknya investasi hulu migas ditandai dengan akan dimulainya proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) milik perusahaan Amerika Serikat Chevron Pacific Indonesia dan beberapa proyek hulu migas milik PT Pertamina (Persero).

Sementara untuk di luar negeri, proyek pengembangan hulu migas mulai membaik di Amerika Serikat dan Eropa Timur. Kondisinya memang belum atraktif, tapi dari indikatornya memang akan lebih baik dari tahun kemarin. Proyek-proyek di Amerika dan Eropa Timur sudah mulai banyak yang dikerjakan baik proyek lama maupun baru, kata Komaidi.

Dia mengatakan, naiknya harga minyak dunia dan membaiknya investasi di sektor hulu migas akan membuat dana bagi hasil migas juga akan ikut naik. Meski begitu kenaikan DBH migas tidak setinggi di saat harga minyak mencapai level USD100 barel. Komaidi melanjutkan, terdapat dua variabel yang memengaruhi DBH migas, yaitu harga minyak dan volume produksi.

Jika kombinasi ini menurun semua, DBH migas juga akan relatif kecil. Tapi kalau harga minyak naik, tahun ini akan lebih baik daripada tahun lalu, ujarnya. Proyeksi akan naiknya harga minyak mentah dunia pada 2017 ini tentu merupakan kabar gembira bagi daerah, terutama terkait besaran DBH dan potensi investasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah daerah penghasil minyak dan gas bumi di Indonesia sangat merasakan dampak rendahnya harga minyak dunia. Turunnya pendapatan negara membuat pendapatan daerah dari DBH migas juga menurun. Kami sangat terpukul dengan penurunan harga minyak. Beberapa tahun terakhir dana bagi hasil migas Bojonegoro dari Blok Cepu terus berkurang, ujar Bupati Bojonegoro Suyoto.

Produksi minyak Blok Cepu mengalami puncak produksi hingga mencapai 205.000 barel per hari. Namun kenaikan produksi belum tentu meningkatkan DBH migas karena dibayangi dengan turunnya harga minyak mentah dunia. Pada 2015, realisasi DBH bagi Bojonegoro hanya Rp600 miliar dari target Rp2,5 triliun.

Sementara pada 2016, perolehan DBH Bojonegoro hanya Rp600 miliar-700miliardari targetRp1,4triliun. Menurut Suyoto, dengan kondisi ini, daerah tak bisa lagi mengandalkan DBH migas untuk APBD. Itu lantaran DBH sangat dipengaruhi fluktuasi harga minyak mentah dunia.

Daerah harus punya alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan, ujarnya. Dia mengatakan, manfaat prioritas dari DBH migas harus direalisasi terlebih dahulu guna menghindari mental pesta pora daerah penerima. DBH migas Bojonegoro diprioritaskan untuk pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur daerah, dan investasi sektor keuangan.

Pengembangan SDM contohnya meningkatkan program beasiswa, membangun infrastruktur yang relevan, dan memberdayakan perdesaan mandiri. Kalau tidak diprioritaskan begitu, kita akan bermental korup dan boros. Kalau mental seperti ini dipelihara berbahaya karena begitu harga minyak jatuh, kita kandas, tegasnya.

DBH migas Bojonegoro dibagi berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing contract /PSC). Pemerintah mendapatkan 85% dan kontraktor mendapatkan 15%. Daerah mendapat DBH 6% dari 85% hasil PSC.

Suyoto berharap, pada 2017 ini investasi hulu migas lebih bergairah karena harga minyak lebih baik seiring pemangkasan produksi oleh negara-negara anggota OPEC. Terlebih harga minyak rata-rata diprediksi USD50-60 per barel. (Nanang Wijayanto/Koran Sindo

Dana Bagi Hasil Migas Tahun Ini Diprediksi Naik

(Sindonews.com,31 Januari 2017)

JAKARTA – Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro meyakini investasi sektor hulu migas tahun ini akan lebih baik daripada tahun 2017. Optimisme ini disebabkan kenaikan harga minyak dunia seiring pemangkasan produksi OPEC meski belum atraktif. Pihaknya memprediksi harga rata-rata minyak dunia berkisar antara USD55-60 barel hingga akhir tahun 2017.

Menurutnya membaiknya investasi hulu migas ditandai dengan akan dimulainya proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) milik perusahaan Amerika Serikat Chevron Pasific Indonesia dan beberapa proyek hulu migas mili PT Pertamina (Persero). Sementara untuk di luar negeri, proyek pengembangan hulu migas sudah mulai membaik di Amerika Serikat dan Eropa Timur.

Kondisinya memang belum atraktif tapi kalau dilihat memang akan lebih baik dari tahun kemarin. Proyek-proyek di Amerika dan Eropa Timur mulai sudah banyak yang dikerjakan, baik proyek lama maupun baru, kata dia kepada SINDO di Jakarta, Selasa (31/1/2017).

Dia mengatakan dengan naiknya harga minyak dunia dan membaiknya investasi di sektor hulu migas, dipastikan dana bagi hasil migas juga akan ikut naik. Meski begitu kenaikan DBH migas tidak setinggi di saat harga minyak mencapai level USD100 barel.

Dia melanjutkan, terdapat dua variabel yang mempengaruhi DBH migas, yaitu harga minyak dan volume produksi. Jika kombinasi ini menurun semua maka DBH migas juga akan relatif kecil. Tapi kalau harga minyak naik maka tahun ini akan lebih baik dibanding tahun lalu.

Harga Listrik EBT Harusnya Peroleh Subsidi

(Beritasatu.com,31 Februari 2017)

Jakarta – Harga listrik yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) seharusnya mendapatkan subsidi dari pemerintah, dan bukan ditekan agar menjadi murah. Hal ini mengingat listrik EBT lebih ramah lingkungan dan porsi EBT dibandingkan sumber energi lain dalam pembangkit listrik sangatlah kecil.

Kalau mauvmengurangi subsidi, harusnya pada energi yang porsinya besar namun membuat PLN tidak efisien, seperti solar. Kalau EBT yang dikurangi, selain porsinya kecil, juga kontraproduktif, kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Selasa (31/1).

Hal ini dikemukakan Komaidi menanggapi rencana Menteri ESDM Ignasius Jonan menekan harga listrik dengan mengurangi subsidi EBT, terungkap pada Sidang ke-20 Dewan Energi Nasional (DEN). Seperti disampaikan anggota DEN Tumiran, Jonan akan mengeluarkan aturan baru soal harga EBT di setiap daerah. Tarif EBT, dipatok tak boleh lebih dari 85 persen Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah.

Komaidi menambahkan, porsi EBT sampai saat ini, secara total hanya sekitar 14 persen terhadap keseluruhan energi pembangkit listrik. EBT dimaksud, sudah termasuk tenaga angin, air, matahari, dan panas bumi. Terbanyak adalah air, yakni sekitar delapan persen. Hal ini bisa dimengerti, karena PLN memang sudah cukup lama membangun PLTA. Sedangkan panas bumi sekitar empat persen, dan sisanya adalah EBT lain.

Itulah sebabnya, lanjut dia, pengurangan subsidi EBT secara maksimal pun tidak akan berdampak bagi keuangan negara. Namun sebaliknya, pengurangan subsidi sekecil apapun akan berdampak sangat siginifikan terhadap perkembangan EBT itu sendiri.

Tujuan pemberian subsidi adalah untuk merangsang pertumbuhan EBT. Yang perlu dipahami, dalam kondisi subsidi saat ini saja perkembangan EBT lambat, apalagi kalau dikurangi. Jadi strategi seperti itu saya rasa harus dikonstruksikan ulang. Pemerintah jangan hanya berpikir jangka pendek, namun juga jangka panjang, lanjutnya.

Sebaliknya, jika pemangkasan subsidi dilakukan terhadap solar, menurut Komaidi, dampak positifnya sangat luar biasa. Komaidi mencontohkan, dalam kondisi infrastruktur belum matang saja, harga jual listrik yang dihasilkan panas bumi adalah Rp1.200 per kWh. Harga itu, jauh lebih murah dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan pembangkit bertenaga solar, yang berada pada kisaran Rp3.400-4.000 per kWh. Jadi bisa dibayangkan, jika subsidi solar yang dipangkas dan dipakai untuk mendorong pertumbuhan EBT, maka akan terjadi penghematan luar biasa, baik bagi APBN maupun harga jual listrik, jelas Komaidi.

Dalam konteks itu Komaidi mengingatkan, bahwa stigma EBT mahal adalah sama sekali keliru. EBT saat ini dianggap mahal, karena memang infrastruktur belum berkembang dan kapasitas produksi belum banyak. Cabang produksi apapun, jika dalam kondisi seperti EBT saat ini tentu akan mahal pada tahap awal. Untuk membuat mereka murah, imbuh Komaidi, tentu harus ditumbuhkan terlebih dahulu.

Untuk itu, pemerintah hendaknya tidak menjadikan berbagai negara, termasuk Uni Emirat Arab, yang sebagian besar medannya adalah gurun pasir sebagai contoh. Karena, tentu saja tingkat kesulitan pembangunan infrastruktur lebih rendah dibandingkan gunung.