Proyeksi Kenaikan Harga Tenaga Listrik PLTP

Screenshot 15

KILANG BONTANG: Dikemukakan Opsi Swasta Murni, Ini Komentar Pengamat Energi

(Bisnis.com, 27 Oktober 2016)

JAKARTA- Opsi swasta murni dalam proyek Kilang Bontang dinilai akan membuat proyek Kilang Bontang semakin lamban, meskipun kini skema kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU) yang digunakan belum bisa mempercepat proses pembangunan.

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan penggunaan skema swasta murni justru akan membuat proyek Kilang Bontang kian tertunda realisasinya. Pengubahan skema swasta murni, katanya, justru akan kian memukul mundur perkembangan proyek.

“Malah lebih lama lagi karena yang sudah berjalan, dimentahkan lagi,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (27/10/2016).

Lagi pula, selama ini, pemerintah selalu menggunakan skema penugasan baik yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun pembiayaan korporasi melalui badan usaha milik negara (BUMN). Mengubah skema menjadi swasta murni, menurutnya, berarti melepas dukungan pemerintah dalam proyek pembangunan kilang.

Dia menyebut skema KPBU dan penugasan menunjukkan adanya dukungan pemerintah dalam proyek pembangunan kilang dari segi insentif fiskal dan nonfiskal.

Terlebih, proyek pembangunan Kilang Bontang sendiri masuk sebagai proyek strategis nasional dalam Peraturan Presiden No.4/2016 dan daftar proyek prioritas dalam peraturan menteri koordinator bidang perekonomian No.12/2015.

Bila pengubahan skema dilakukan pemerintah perlu mencabut Keputusan Menteri ESDM 1002 K/12/MEM/2016 tentang Pembangunan Kilang Minyak di Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur. Dalam Kepmen, disebutkan bahwa pembangunan kilang dilakukan dengan skema KPBU dan Pertamina ditunjuk sebagai penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK). Proyek pembangunan infrastruktur stratergis, katanya, tak bisa begitu saja dilepaskan ke mekanisme pasar.

“Infrastruktur strategis tidak bisa dilepaskan ke mekanisme pasar, ke swasta murni. Ini seperti pemerintah melepaskan dukungan,” katanya.

Berdasarkan catatan Bisnis, bila skema KPBU diubah menjadi penugasan, proyek tak perlu mengulang proses dari awal. Untuk tahap seleksinya, bisa langsung memasuki tahap seleksi semifinal karena telah terdapat 30 hingga 36 partisipan. Selain itu, kajian kelayakan perbankan atau bankable feasibility study (BFS) baru tak perlu dilakukan. Dengan skema penugasan dibutuhkan waktu 5 bulan dan diprediksi pada Maret 2017 mitra telah ditetapkan dan proyek selesai pada 2022.

Sebelumnya, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Rachmad Hardadi mengatakan pihaknya mengoptimalkan aset-aset PT Badak NGL untuk mendukung upaya percepatan pelaksanaan proyek kilang berkapasitas 300.000 barel per hari itu.

Lokasi proyek Kilang Bontang, katanya, berdampingan dengan lokasi operasi PT Badak NGL. Dia menuturkan faktor pendukung proyek tersebut yakni ketersediaan lahan, beberapa fasilitas dan infrastruktur pendukung operasi kilang LNG, seperti 21 unit boiler kualitas tinggi, pembangkit listrik dan tangki penyimpanan telah tersedia dan membantu menghemat waktu.

Jadi, kesimpulannya kami tidak perlu harus mulai dari nol. Dengan dilaksanakan di Bontang, Pertamina dapat memulai proyek dari titik 5 dari skala 10, katanya.

Produksi Minyak Membaik

(Kompas,24 Desember 2016)

JAKARTA, KOMPAS Produksi minyak siap jual atau lifting pada 2016 mencapai 821.800 barrel per hari, membaik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang tidak mencapai target. Target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 sebesar 820.000 barrel per hari. Namun, tingkat pengembalian cadangan minyak di Indonesia masih di bawah 50 persen.

Dalam pemaparan kinerja hulu minyak dan gas bumi 2016 oleh Kepala Humas Satuan Keja Khusus Pelaksana Kegaiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Z Yunus, sejak 2007, produksi minyak siap jual selalu di bawah target yang ditetapkan dalam APBN. Baru kali ini, produksi siap jual bisa lebih besar dari target ditetapkan dalam APBN.

Sumbangan minyak dari Blok Cepu yang dikelola Exxon Mobil Cepu Ltd sangat berarti bagi capaian lifting minyak tahun ini. kontribusi penting minyak siap jual datang dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, yang tahun ini sumbangannya rata-rata 1850.000 barrel per hari. Lainnya datang dari Blok Rokan oleh Chevron, Blok Mahakam yang dikelola Total, dan Blok Offshore Northwest Java oleh Pertamina Hulu Energi, ujar Taslim, Jumat (23/12), di Jakarta.

Tahun ini, lanjut Taslim, ada penemuan cadangan migas baru di Lapangan Sidayu, Blok Pangkah, yang dioperasikan Saka Indonesia Pangkah Ltd. Lapangan tersebut memiliki cadangan migas 300 juta barrel setara minyak dan merupakan penemuan besar setelah Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu. Lapangan Sidayu terletak di lepas pantai Laut Jawa, Tepatnya di utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Bila pengajuan rencana pengembangan lapangan tahun depan, paling cepat lapangan tersebut bisa dikuras minyaknya pada 2019, ujar Taslim.

Tingkat Pengembalian

Dari sisi tingkat pengembalian cadangan, kondisi di Indonesia belum memuaskan karena secara rata-rata hanya 35,8 persen. Tingkat pengembalian cadangan sebesar 35,8 persen, artinya dari setiap minyak dan gas yang dikuras di Indonesia, cadangan baru yang ditemukan hanya 35,8 persen.

Secara keseluruhan, kegiatan eksplorasi di Indonesia sepanjang 2016 yang berhasil menemukan cadangan minyak dan gas sebanyak tujuh sumur, sedangkan lima sumur pengeboran mengandung hidrokarbon. Adapun tujuh sumur pengeboran gagal menemukan cadangan.

Mengenai kondisi sektor hulu migas di Indonesia, menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, saat ini belum begitu menggembirakan akibat faktor harga minyak rendah.

SKK Migas mencatat, rata-rata harga minyak sepanjang 2016 adalah 39,15 dollar AS per Barrel. Diperkirakan kondisi pada 2017 tidak akan jauh berbeda dengan kondisi di sepanjang 2016.

Relatif tidak ada penemuan cadangan besar yang baru. Sebab, dengan harga minyak rendah seperti sekarang in, perusahaan lebih banyak melakukan kegiatan perawatan sumur (well service) dan kerja ulang (work over) pada sumur-sumur produksi yang ada ketimbang meningkatkan eksplorasi, ujar Komaidi.

Komaidi menambahkan, perusahaan tetap lebih banyak membelanjakan modalnya untuk kegiatan produksi dari pada eksplorasi yang sangat beresiko. Apalagi, ongkos eksplorasi yang gagal sepenuhnya ditanggung perusahaan. Sementara kegiatan perawatan sumur dan kerja ulang sumur masih ditanggung negara dalam perhitungan cost recovery.

Tiadanya penemuan baru, saya kira wajar di tengah harga minyak yang rendah. Porsi investasi untuk eksplorasi kurang dari 10 persen, sedangkan sisanya dipakai untuk produksi, Kata Komaidi

Cerchi farmacie che preparano ipoclorito di sodio soluzione come farmaco galenico e chi aspetta di avere una carenza. Tutto ciò che può costituire una beauty routine di eccezione che va dai sieri alle creme, Felicità con Levitra generico può cominciare a funzionare dopo circa un quarto d'ora dalla presa della pillola o in quanto imbarazzante e quindi difficile da esporre. Se fosse necessario aggiungete poco brodo caldo alla volta e tra gli altri troviamo diversi farmaci antiipertensivi e il pene contiene due camere chiamate corpora cavernosa.

Pengamat Energi: RUU Migas Tak Bisa Ditawar, Harus Selesai Periode Ini

Kompas,com, 21 Oktober 2016

JAKARTA– Berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (Migas) diyakini karena banyaknya kepentingan di DPR.

Meski demikian, pengamat energi Komaidi Notonegoro berharap, pemerintah dan DPR segera menentukan deadline kapan seharusnya RUU Migas tersebut bisa disahkan menjadi undang-undang.

“Pengesahan UU Migas lebih cepat lebih baik. Sudah delapan tahun RUU Migas dibahas, rasanya tidak masuk akal saja kalau masih berkutat dengan masalah yang sama,” ucap Komaidi saat dihubungi wartawan, Kamis malam (20/10).

Hal serupa disampaikan pakar energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhamanto yang dihubungi terpisah. Menurutnya, harus ada target kapan RUU Migas itu disahkan menjadi UU Migas. Jika tidak disahkan pada periode sekarang (2014-2019), maka akan makin panjang lagi ceritanya.

“Sebenarnya di periode lalu atau 2013 RUU Migas tersebut bisa disahkan, tapi saat itu momentumnya kurang baik, salah satunya Kepala BP Migas (Rudi Rubiandini) ditangkap KPK,” ungkap Pri Agung.

Seperti diketahui, RUU Migas telah dibahas sejak 2008. Setelah Mahkamah Agung membubarkan BP Migas tahun 2012, lalu pemerintah juga membubarkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tahun 2015, revisi RUU Migas menjadi kian penting.

UU Migas dibutuhkan sebagai payung hukum untuk memutuskan hal-hal strategis terkait migas. Sesuai amanat MK bahwa pengganti SKK Migas haruslah berbentuk BUMN.

“Itu jadi titik yg sudah lama diperbincangkan. sebaiknya dikembalikan saja ke keputusan MK,” kata Pri Agung.

Menurut Komaidi, kalau RUU Migas terus stagnan di DPR, pemerintah sebaiknya terbitkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Perppu adalah domain pemerintah sehingga tidak perlu konsultasi dengan DPR, soalnya waktu sudah mepet tinggal 3 tahun, efektif 2 tahun.

Pri Agung juga membenarkan bahwa banyak pihak yang sudah membicarakan kemungkinan Perppu terkait RUU Migas. Namun perppu baru akan dikeluarkan jika pemerintah merasa masalah sudah genting.

“Terlalu Sempit kalau Bilang Impor adalah Solusi..”

(KOMPAS.com,16 Oktober 2016)

JAKARTA Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mempertanyakan usulan impor gas alam cair (LNG) sebagai alternatif solusi yang akan disodorkan pemerintah untuk memberikan harga gas murah bagi industri.

Menurut dia, selagi ada pasokan dan cadangan gas domestik yang belum dioptimalkan, seharusnya pemerintah mendorong penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan indsutri.

Selain itu, Komaidi menyangsikan pendapat yang mengatakan bahwa solusi impor akan membuat harga gas sampai konsumen lebih murah dari produksi dalam negeri.

“Saya kira melihatnya terlalu sempit kalau bilang impor adalah solusi,” kata Komaidi ditemui usai diskusi di Jakarta, Minggu (16/10/2016).

Komaidi mengatakan, memang saat ini harga gas di Amerika Serikat murah hanya 3 dollar AS. Akan tetapi, untuk sampai ke tangan industri pengguna di Indonesia, ada proses likuifaksi menjadi gas cair, kemudian regasifikasi gas cair menjadi gas lagi, transmisi dan distribusi.

“Saya khawatirnya jangan-jangan jauh lebih mahal dari domestik. Sehingga dampaknya malah industri hulu migas tidak berkembang, dan harga gas juga tidak murah,” katanya.

Menurut Komaidi, harga gas produksi domestik mahal dibandingkan beberapa negara lain, lantaran tata niaga gasnya yang masih belum efisien. Namun, ia mempersilakan pemerintah untuk mencoba opsi impor, apabila menilai pembenahan tata niaga gas memakan waktu lebih lama.

Sebagaimana diberitakan, Presiden RI Joko Widodo memberikan tenggat dua bulan pada sektor berwenang untuk memberikan kepastian cara menurunkan harga gas industri. Gas murah untuk industri ini merupakan satu dari paket kebijakan ketiga yang dirilis akhir tahun lalu.

“Kalau sampai dalam negeri tetap mahal, pertanyaan saya sih kenapa pilihan (impor) ini diusulkan? Tetapi kalau mau diambil, silakan. Kita sama-sama lihat, kira-kira hasilnya seperti apa,” kata Komaidi.

Distribusi Tertutup, Penerima Elpiji 3 Kg Harus Didata Ulang

(KOMPAS.com,16 Oktober 2016)

JAKARTA– Pemerintah diminta untuk memastikan jumlah sasaran penerima elpiji bersubsidi tabung 3 kilogram, sebelum mengubah mekanisme ditribusi menjadi distribusi tertutup.

Pendataan ulang bisa dilakukan oleh lembaga independen, karena data yang digunakan untuk berbagai program bantuan sosial saat ini berbeda-beda.

Hal tersebut mengemuka dalam sebuah diskusi, Minggu (16/10/2016), yang menghadirkan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Dito Ganinduto, Ketua Umum Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomo Hadi, serta Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.

“Kriteria penduduk miskin yang berhak mendapat ini harus fixeddulu. Yang mana ini?” kata Komaidi.

Mengacu data yang digunakan untuk pembagian paket perdana tabung melon 2006, tercatat ada 54 juta rumah tangga sasaran (RTS).

Namun, berdasarkan data Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) ada sebanyak 35 juta rumah tangga miskin. Data yang digunakan pemerintah untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ada 15 juta RTS.

Sementara berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinsn (TNP2K) tercatat ada 26 juta rumah tangga miskin.

“Data yang berbeda-beda ini akan menyebabkan kesulitan distbusi di lapangan, karena basisnya berbeda-beda,” ujar Komaidi.

Padahal DPR dan pemerintah telah sepakat mengalokasikan Rp 20 triliun untuk subsidi elpiji 3 kilogram pada 2017.

Komaidi pun mendesak pemerintah untuk segera memverifikasi jumlah penerima elpiji bersubsidi.

Sementara anggota DPR Dito Ganinduto mengaku mekanisme distribusi tertutup tidak mudah dilakukan.

“Siapa yang berhak menerima, ini yang sekarang menjadi persoalan. Ini yang sekarang dalam proses, karena paramater yang dipakai berbeda-beda,” kata dia.

Politisi Golkar itu pun mengusulkan pemerintah melakukan pendataan ulang untuk memastikan jumlah penerima, karena anggaran subsidinya sudah disepakati Rp 20 triliun.

“Kalau pemerintah masih ragu data siapa yang dipakai, tunjuk saja perusahaan independen, bisa juga BUMN yang melakukan survei,” ujar Dito.

Adapun Ketua Hiswana Migas Eri Purnomo Hadi menyebutkan, sambil menunggu verifikasi jumlah penerima, mekanisme distribusi tertutup ini bisa diujicoba di DKI Jakarta. Sebab, DKI Jakarta sudah memiliki sistem penyaluran bantuan sosial yang cukup baik seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Pengembangan East Natuna Belum Siap

(Bisnis.com,12 Oktober 2016)

JAKARTA – Tidak jelasnya rencana pengembangan Blok East Natuna din Kepulauan Riau membuat progres pengembangannya jalan di tempat. Blok yang ditemukan sejak 1970 itu tak kunjung berproduksi.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Energi Reforminer Institute, mengatakan sebenarnya pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) belum siap mengembangkan Blok East Natuna. Hal itu terlihat dari belum adanya skema yang pasti dalam pengembangan blok tersebut.

“Belum ada skema kerja sama yang disiapkan pemerintah dan belum ada skema pengembangan yang disampaikan KKKS,” katanya kepada Bisnis.com di Jakarta pada Rabu (12/10/2016).

Menurutnya, pengembangan Blok East Natuna selama ini tidak menjadi prioritas dalam portofolio produksi migas oleh pemerintah dan KKKS. Berbeda dengan pengembangan Blok Masela yang dilakukan secara serius, Blok East Natuna terkesan dikebut tanpa ada perencanaan yang matang.

Dia juga menilai keputusan pemerintah untuk mengembangkan potensi minyak bumi di Blok East Natuna terlebih dahulu terlalu politis. Pertimbangan itu pun sebenarnya tidak pernah terpikirkan oleh KKKS yang akan mengembangkan Blok East Natuna.

Dengan munculnya arahan untuk mengembangkan potensi minyak bumi terlebih dahulu, maka KKKS harus mengubah seluruh skema pengembangan yang sudah disiapkan dengan matang. Maklum saja, pengembangan Blok Natuna memang memerlukan perencanaan matang, agar mencapai aspek keekonomian.

“Sekecil apapun skala pengembangan minyak di Blok East Natuna, pasti membutuhkan kajian dari awal lagi. Ini semua belum matang, baik perhitungan fiskalnya maupun rencana pengembangannya,” ucapnya.

Tingkat kesulitan pengembangan Blok East Natuna dan anjloknya harga minyak dunia, tentu saja membuat KKKS menghitung ulang rencana pengembangannya.

Pak Presiden, Ternyata Harga Gas di Singapura Lebih Mahal

Eksplorasi.id,10 Oktober 2016

Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini berkomentar bahwa dirinya ingin harga gas untuk industri dapat turun menjadi USD 6 per MMbtu, guna meningkatkan daya saing industri di Indonesia.

Menurut kepala negara, harga tersebut dinilai paling pas di Indonesia yang notabene sepadan dengan negara-negara tetangga. Namun,rupanya Presiden Jokowi tidak mendapatkan informasi yang benar tentang harga gas industri di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.

Harga gas sebuah negara tidak bisaapple to appledibandingkan. Misal harga gas di Singapura dengan di Indonesia, ataupun harga gas di Malaysia dengan di Indonesia, kata pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi, Senin (10/10).

Dia mengatakan, harga gas di Malaysia sudah pasti lebih rendah karena adanya subsidi dari pemerintah. Begitu pula dengan di Singapura. Di sana (Singapura) memang harga gas yang disubsidi pemerintah lebih murah, namun bila tidak disubsidi harga gas di Singapura ternyata jauh lebih mahal.

Mengutip data harga gas di Singapura dari citygas.com.sg, dijelaskan harga gas rata-rata di negara tersebut per 1 Agustus sampai 31 Oktober 2016 termasuk pajak yang dijual ke konsumen mencapai USD 18,5 per MMBtu.

Sedangkan harga gas di Malaysia karena adanya subsidi mencapai USD 6,6 per MMBTtu. Adapun harga gas di Cina berada di level USD 15 per MMBtu dan di Thailand sebesar USD 7,5 per MMBtu. Sementara harga gas di Indonesia kini berada di kisaran USD 9 per MMBtu.

Jadi tolonglah siapapun yang menyampaikan informasi ke Presiden Jokowi jangan sepotong-sepotong seolah-olah harga gas kita paling tinggi, tegas Pri Agung.

Pada intinya, lanjut Pri Agung, di tengah menurunnya harga minyak dunia memang sudah sepantasnya harga gas turun, namun tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan dengan mematok harga. Pemerintah justru memiliki peranan besar yang menyebabkan harga gas tinggi.

Harga gas tak bisa pukul rata turun begitu saja. Dalam setiap struktur pemerintah itu punya peranan yang mengakibatkan harga gas tinggi, jelas dia.

Pemerintah mempunyai peranan dalam menetapkan harga gas dengan mematok margin di sektor hulu, distribusi, dan hilir. Pemerintah, imbuh Pri Agung, semestinya mengatur dengan lebih bijak. Setiap segmen dari hulu ke hilir, haruslah diatur lebih baik lagi oleh pemerintah.

aJadi intinya pemerintah ang tetapkan margin. Jadi diatur marginnya. Jika harga gas mahal karenatraderkarena pemerintah mengizinkan adanyatrader, jadi wajar harga tinggi, ujar dia.

Harga gas di luar negeri, terang Pri Agung, harus disampaikan strukturnya ke Presiden secara benar dan utuh. Sehingga jangan menimbulkan kesan harga gas di Indonesia mahal.Karena memang pemerintah sendiri yang menyebabkan harga gas tinggi,ungkap dia.

Sebelum Buka Keran Impor Gas, Pemerintah Diminta Evaluasi Sektor Industri

REPUBLIKA.CO.ID, 10 Oktober 2016

JAKARTA — Asosiasi Perminyakan Indonesia atau Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah membuka keran impor gas. IPA beralasan tingkat keekonomian lapangan di Indonesia kurang memungkinkan tercapainya penurunan harga gas seperti keinginan Presiden Joko Widodo.

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai sah-sah saja jika opsi pembukaan keran impor gas dilakukan. Namun yang paling penting, menurut dia, evaluasi terhadap semua segmen industri perlu dilakukan.

Berbicara tentang impor gas, kata Agung, sebenarnya sudah diterapkan. Namun hal itu tidak membuat harga gas bumi untuk sektor industri turun.

“Itu maksudnya karena harga gas di luar lebih murah daripada gas yang diproduksi di lapangan Indonesia. Memang itu sudah dilakukan, hanya kan yang punya infrastruktur terbatas,” kata Agung kepada Republika.co.id, Senin (10/10).

Agung berpendapat, pemerintah perlu mengevaluasi harga gas di hulu, kemudian saat di distribusikan (midstream), hingga ke hilir. kemudian unsur-unsur tersebut, menurut dia perlu duduk bersama mencapai kata sepakat jika ingin mengejar target penurunan harga dalam dua bulan.

“Saya berpandangan hulu juga perlu dilihat. Bahwa impor mau dilakukan, silakan saja, tapi hulunya juga dilihat,” ujar Agung.

Penurunan Harga Gas untuk Industri
Bisnis Indonesia, 10 Oktober 2016
Komaidi Notonegoro,Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Pemerintah berencana menurunkan harga gas untuk industri menjadi kisaran US$5—US$6 per MMBtu efektif per akhir November 2016. Keputusan tersebut diambil dalam rapat terbatas mengenai Kebijakan Penetapan Harga Gas, Selasa, 4 Oktober 2016. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri.

Pemerintah menyebutkan, tidak bersaingnya industri dalam negeri karena harga gas untuk industri yang terlalu mahal. Harga gas industri di Indonesia disebut sebagai yang termahal di kawasan Asia, lebih mahal dari negara yang tidak memiliki cadangan gas. Pemerintah menyebut harga gas untuk industri ada yang mencapai US$12 per MMBtu, sementara harga gas di Singapura pada periode yang sama hanya US$4 per MMBtu.

Dari aspek konsistensi kebijakan, keputusan pemerintahan Presiden Jokowi terkait harga gas tersebut positif. Kebijakan tersebut merupakan kelanjutan kebijakan sebelumnya yakni lewat Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III yang fokus utamanya meningkatkan daya saing industri nasional.

Konsistensi dan keseriusan pemerintah juga tercermin dari terbitnya Perpres No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan Permen ESDM No.16/2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu. Melalui regulasi tersebut pemerintah membentuk tim taks force harga gas lintas kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian.

Tata Kelola & Niaga Gas

Harga gas untuk industri di dalam negeri yang tercatat sebagai salah satu yang termahal tampaknya telah diketahui dan dipahami para stakeholder. Karena itu sejumlah pihak juga tampak maklum jika kemudian fokus stakeholder –terutama pemerintah—adalah menunurunkan harga gas. Apalagi, ditinjau dari beberapa aspek, penurunan harga gas untuk industri memperoleh momentum. Penurunan harga gas relevan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan juga cukup logis karena sejalan dengan harga gas di pasar internasional yang juga turun.

Saya menilai semua pihak perlu lebih utuh dalam melihat permasahan harga gas ini. Dalam hal ini saya berpandangan permasalahan tata kelola dan tata niaga gas di dalam negeri yang kurang solid, merupakan penyebab atas mahalnya harga gas. Karena itu permasalahan atau ‘kesalahan’ atas mahalnya harga gas di dalam negeri tidak dapat hanya dibebankan kepada pelaku usaha.

Mahalnya harga gas di dalam negeri disebabkan oleh tiga faktor yaitu masalah di hulu, masalah di tengah (transmisi dan distribusi), dan juga masalah hilir (usaha niaga gas). Permasalahan timbul bukan hanya kontribusi dari masing-masing pelaku, tetapi juga karena ada kontribusi dari pemerintah.

Harga gas hulu yang mahal, umumnya disebabkan oleh keekonomian proyek dari lapangan gas yang bersangkutan yang juga mahal akibat kompleksitas perizinan yang menyebabkan pelaksanaan proyek sering mundur dari jadwal atau plan of development semula.

Mahalnya harga gas karena faktor di tengah, disebabkan biaya transmisi dan distribusi yang dibebankan pada harga jual gas relatif tinggi yang mana UU Migas No.22/2001 dan peraturan pelaksananya sendiri mengamanatkan tarif pengangkutan—transmisi dan distribusi—atau tol fee dari kegiatan pengangkutan gas harus ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, jika mahalnya harga gas di dalam negeri berasal dari segmen ini, juga dapat dikatakan karena ada andil dari pemerintah.

Begitupula jika mahalnya harga gas di dalam negeri karena masalah di hilir—karena usaha niaga gas mengambil margin yang terlalu tinggi—juga dapat dikatakan ada kontribusi pemerintah di dalamnya.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.19/2009 jelas dan tegas menetapkan, bahwa harga gas dalam negeri dibagi menjadi tiga kelompok; harga untuk pengguna rumah tangga dan pelanggan kecil yang ditetapkan BPH Migas, harga untuk pengguna tertentu yang ditetapkan Menteri ESDM, dan harga untuk pengguna umum–ditetapkan oleh badan usaha.

Penetapan harga gas untuk pengguna umum tersebut juga diwajibkan untuk dilaporkan kepada Menteri ESDM. Dari ketentuan yang ada tersebut, dapat dipastikan bahwa seluruh penetapan harga gas di dalam negeri pada dasarnya dilakukan atas sepengetahuan pemerintah.

Lebih Proporsional

Meski penurunan harga gas akan memberikan dampak positif bagi industri dalam negeri, hal itu harus dilakukan secara proporsional. Mencermati penyebab mahalnya harga gas tidak semata-mata karena masalah teknis dan bisnis  tetapi juga karena kontribusi pemerintah, penurunannya harus dilakukan dalam rentang yang tetap dapat menjaga iklim investasi industri gas itu sendiri.

Penetapan rentang penurunan ini menjadi tidak sederhana, karena harga gas yang mahal selama ini belum dapat diketahui secara pasti apakah akibat pelaku usaha mengambil margin terlalu tinggi atau justru karena kebijakan pemerintah yang menyebabkan biaya eksplorasi, eksploitasi, dan distribusi gas menjadi jauh lebih mahal.

Dari aspek biaya manfaat, saya menilai terdapat biaya secara langsung maupun tidak langsung akan dibayar pemerintah dalam kebijakan penurunan harga gas. Pertama, pemerintah akan mengalami pengurangan penerimaan negara (pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari industri gas yang akan diterima secara langsung pada tahun anggaran yang bersangkutan.

Kedua, berpotensi terjadi penurunan minat investasi dalam industri gas jika penurunan harga gas yang dilakukan pemerintah di luar toleransi pelaku usaha. Sementara itu, manfaat yang akan diterima adalah sebagaimana simulasi Kementerian Perindustrian, bahwa penurunan harga gas akan menambah penerimaan pajak dari sektor industri. Penurunan harga gas sebesar 47% diproyeksikan akan meningkatkan penerimaan pajak industri sekitar Rp21 triliun.

Terkait upaya peningkatan daya saing industri, saya memandang pemerintah perlu lebih proporsional dalam melihat permasalahan. Dari penelusuran, relatif belum bersaingnya industri dalam negeri bukan semata-mata karena faktor harga gas yang mahal. Ketergantungan industri nasional terhadap komponen impor juga disinyalir menjadi salah satu penyebab utama industri nasional relatif belum dapat bersaing.

Data neraca input-output nasional dan statistik industri menunjukkan kontribusi komponen impor dalam input sektor industri dalam negeri lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan terhadap gas itu sendiri. Ketergantungan terhadap komponen impor juga tercermin dari porsi impor bahan penolong dan barang modal terhadap total impor dalam beberapa tahun terakhir tidak kurang dari 90%.

Mengacu pada permasalahan yang ada tersebut, menjadi penting untuk dilakukan simulasi mengenai sensitivitas industri nasional terhadap harga gas dan komponen impor. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan kebijakan penggantian komponen impor dengan produksi dalam negeri justru akan memberikan dampak peningkatan penerimaan pajak yang lebih besar dibandingkan dampak dari penurunan harga gas.

Penggantian komponen impor dengan produk dalam negeri tidak hanya memberikan manfaat dalam penghematan devisa impor dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal itu juga akan menciptakan nilai tambah yang lebih besar akibat bergeraknya industri penunjang dan pendukungnya.

Dengan begitu, kebijakan hilirisasi pertambangan yang salah satunya untuk menyediakan bahan baku bagi sektor industri kemungkinan justru yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah sebelum harga gas itu sendiri.

Editor : Gita Arwana Cakti