Setelah Revisi UU Migas
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, Senin 08 Maret 2014

Indonesia Krisis Sektor Migas
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, Kamis 06 Maret 2014

Skema Investasi Kilang Penting


KOMPAS, 
3 Maret 2014

JAKARTA, Pemerintah dinilai tidak konsisten terkait dengan rencana pembangunan kilang minyak di negeri ini. Tidak konsisten itu yang membuat rencana pembangunan yang telah lama diwacanakan itu belum jelas implementasinya, terutama dalam masalah skema pendanaan. “Perkembangan mengindikasikan, kita seperti kembali ke titik awai lagi dalam masalah pembangunan kilang. Kita harus mulai mencari, mengundang, dan mendekati calon investor lagi yang belum tentu akan berminat. Jika pun berminat, pembicaraan mengenai insentif akan lama mencapai kesepakatan, kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi Priagung Rakhmanto, Minggu (2/3), di Jakarta. Keputusan pemerintah membatalkan pembangunan kilang dengan dana APBN juga telah diprediksi mengingat pemerintah hanya mengalokasikan dana studi kelayakan dalam APBN. Pemerintah seharusnya menempatkan pembangunan kilang sebagai prioritas kebijakan energi nasional. Fakta menunjukkan, impor BBM makin naik akibat tak memadainya kapasitas kilang telah menyebabkan defisit neraca perdagangan nasional dan pelemahan rupiah, ujarnya.

Jangan bergantung asing

Secara terpisah, pengamat energi Kurtubi menyatakan, rencana mengundang investor asing untuk membangun kilang bertentangan dengan konstitusi karena bahan bakar minyak merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang. Karena itu, yang wajib membangun kilang adalah negara melalui Pertamina. Pemerintah jangan memaksakan diri menyerahkan pembangunan kilang kepada investor asing, ujarnya. Sumber masalah mengapa dalam belasan tahun terakhir ini kita tidak ada tambahan kapasitas kilang, lebih karena sistem tata kelola migas yang salah didasarkan pada Undang-Undang Minyak Bumi dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 kata dia. Sebelumnya, berdasarkan UU No 8/1971, Pertamina diwajibkan memenuhi kebutuhan BBM nasional sehingga wajib membangun kilang BBM.

Sejak UU Migas No 22/2001, status Pertamina diubah menjadi perseroan terbatas yang sama dan sejajar dengan perusahaan asing. Jadi, Pertamina tidak lagi diwajibkan memenuhi kebutuhan BBM nasional. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan BBM diambil alih pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Migas. Ini jelas terlihat bahwa konsep pemenuhan kebutuhan BBM akan 100 persen diserahkan kepada pasar. Sebab, mustahil pemerintah ataupun BPH Migas bisa membangun kilang BBM. Pasti pembangunan kilang BBM akan diserahkan kepada asing karena nilai investasi yang sangat besar, selain karena Pertamina pasca-UU Migas tidak lagi berkewajiban memenuhi kebutuhan BBM rakyat, kata Kurtubi. Pertamina diarahkan hanya sebagai salah satu operator yang ditunjuk pemerintah. Dengan mudah, pemerintah mengarahkan Pertamina untuk tidak bersedia membangun kilang BBM meski secara finansial mampu, dengan alasan margin yang kecil. Padahal, meski margin kecil dibandingkan usaha hulu, kilang BBM mustahil rugi dan kedaulatan BBM sepenuhnya di tangan negara,” ujarnya.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menyatakan, pemerintah masih membahas desain dasar investasi kilang, termasuk bagaimana investor menyampaikan proposal pembangunan kilang. Melalui skema kemitraan pemerintah dan swasta, pemerintah menyediakan lahan dan infrastruktur pendukung serta pendanaan pembangunan kilang akan bersumber dari investor. Pemerintah sebelumnya membatalkan pembangunan kilang dengan dana dari APBN dengan alasan harus tahun jamak. Nantinya, alokasi dana untuk studi kelayakan dalam APBN akan digunakan untuk penyusunan desain dasar kilang. Dalam Rapat Koordinasi Bidang Perekonomian pekan lalu disepakati, harus ada kepastian proposal pembangunan kilang yang disetujui pemerintah sebelum masa kabinet pemerintahan sekarang berakhir. (EVY)