Posisi Indonesia dalam Tren Operasional Hulu Migas Global

Studi ReforMiner menemukan bahwa dalam kurun sepuluh tahun terakhir (2001-2010), kebutuhan atau konsumsi minyak dan gas bumi dunia terus meningkat. Dalam kurun waktu tersebut konsumsi minyak dunia rata-rata meningkat sebesar 1,38 % per tahun. Sedangkan konsumsi gas bumi rata-rata meningkat sebesar 2,90 % per tahun. Sementara itu, pada kurun waktu yang sama konsumsi minyak Indonesia rata-rata meningkat sebesar 1,35 % per tahun. Sedangkan konsumsi gas bumi Indonesia rata-rata meningkat sebesar 3,14 % per tahun.

Berdasarkan data yang ada, peningkatan konsumsi minyak dunia tersebut didorong oleh meningkatnya konsumsi negara-negara yang berada di kawasan Amerika Selatan, Amerika Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Pasifik. Sedangkan peningkatan konsumsi gas bumi didorong oleh peningkatan konsumsi hampir semua negara di seluruh kawasan dunia. Namun demikian, seperti halnya dalam konsumsi minyak, pendorong utama konsumsi gas bumi adalah negara-negara yang berada di kawasan Amerika Selatan, Amerika Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Pasifik.

Sebagai upaya memenuhi permintaan yang terus meningkat tersebut, beberapa kawasan di dunia meningkatkan kemampuan cadangan dan produksi minyak dan gas bumi. Dalam sepuluh tahun terakhir, cadangan minyak bumi negara-negara di kawasan Amerika Selatan, Amerika Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Pasifik, rata-rata meningkat sebesar 3,67 % per tahun. Sedangkan produksi minyak di kawasan tersebut rata-rata meningkat sebesar 1,34 % per tahun. Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia, pada kurun waktu yang sama kemampuan cadangan dan produksi minyak Indonesia justru mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,80 % dan 3,65 % per tahun.

Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, cadangan dan produksi gas bumi seluruh kawasan di dunia terus meningkat. Dalam kurun waktu tersebut cadangan gas bumi dunia rata-rata meningkat sebesar 1,18 % per tahun. Peningkatan cadangan tersebut juga disertai dengan peningkatan produksi gas bumi dunia rata-rata sebesar 2,89 % per tahun. Kondisi yang relatif sama juga terjadi di Indonesia, pada kurun waktu yang sama cadangan dan produksi gas bumi Indonesia juga meningkat, bahkan rata-rata di atas peningkatan kemampuan cadangan dan produksi gas dunia. Pada kurun 2001 – 2010, peningkatan cadangan dan produksi gas bumi Indonesia masing-masing sebesar 2,09 % dan 3,08 % per tahun.

Peningkatan cadangan minyak dan gas bumi dunia tidak terlepas dari aktivitas investasi hulu migas yang juga terus meningkat. Berdasarkan data yang ada, investasi eksplorasi dan produksi hulu migas global dalam 5 (lima) tahun terakhir (2006-2010) rata-rata meningkat sebesar 14,47 % per tahun. Dalam kurun waktu yang sama investasi hulu migas oleh major oil companies juga meningkat. Investasi hulu migas oleh major oil companies (BP, ExxonMobil, Total, Royal Dutch/Shell, Chevron) dalam kurun waktu tesebut rata-rata meningkat sebesar 10,93 % per tahun.

Selama kurun waktu tersebut, porsi investasi hulu migas major oil companies rata-rata sekitar 78,27 % terhadap total investasi yang dilakukan. Pada periode yang sama, investasi hulu migas di Indonesia juga meningkat. Dari data yang ada, investasi hulu migas pada kurun waktu tersebut meningkat rata-rata sebesar 12,99 % per tahun. Investasi hulu migas tersebut terdiri atas investasi eksplorasi, pengembangan, dan produksi, yang masing-masing meningkat sebesar 8,24 %; 10,77 %; dan 14, 97 % per tahun. Dari data tersebut diketahui bahwa investasi hulu migas di Indonesia masih lebih berfokus pada kegiatan produksi. Itu jika melihat pertumbuhan investasi eksplorasi yang lebih rendah dan porsi investasi eksplorasi hulu migas yang rata-rata hanya sekitar 5,44 % terhadap total investasi hulu migas. Investasi hulu migas di Indonesia dalam kurun waktu tersebut rata-rata baru sekitar 2,56 % terhadap total investasi eksplorasi dan produksi migas global.

Perkembangan dan pola investasi hulu migas global yang dilakukan oleh major oil companies maupun oleh perusahaan minyak dan gas bumi yang lain, terepresentasikan dalam jumlah sumur migas aktif atau sumur migas yang berproduksi. Seperti halnya pola investasi hulu migas, jumlah sumur migas yang berproduksi pada kurun waktu 2006 – 2008 juga terus meningkat. Mengikuti pola realisasi investasi hulu migas, jumlah sumur migas yang berproduksi pada tahun 2009 juga mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode 2008. Selanjutnya, pada periode 2010, jumlah sumur migas yang berproduksi meningkat kembali jika dibandingkan dengan periode 2009. Itu juga linier dengan pola realisasi investasi hulu migas yang pada periode tersebut juga meningkat.

Data yang ada menunjukkan bahwa cadangan minyak dunia hingga akhir 2010, lebih banyak didominasi oleh negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah, Amerika Selatan dan Amerika Tengah, Eropa dan Eurasia, dan Afrika. Porsi cadangan minyak bumi di kawasan tersebut masing-masing sebesar 54,40 %; 17,31 %; 10,10 %; dan 9,55 %, terhadap total cadangan minyak dunia. Sedangkan untuk produksi minyak, sebagian besar didominasi oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah, Eropa dan Eurasia, Amerika Utara, Afrika, dan Asia Pasifik. Porsi produksi minyak yang dilakukan oleh kawasan tersebut masing-masing sebesar 30,27 %; 21,80 %; 16,56 %; 12,22 %; dan 10,21 %, terhadap total produksi minyak dunia.

Berbeda dengan cadangan dan produksi minyak yang sebagian besar didominasi oleh negara-negara di kawasan yang relatif sama, konsumsi minyak dunia justru didominasi oleh negara-negara yang memiliki tingkat cadangan dan produksi minyak yang relatif tidak begitu besar. Berdasarkan data yang ada, konsumsi minyak bumi sebagian besar dilakukan oleh negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, Amerika Utara, dan Eropa dan Eurasia. Porsi konsumsi minyak yang dilakukan oleh negara-negara yang berada di kawasan tersebut masing-masing sekitar 31,47 %; 25,81 %; dan 22,91 %, terhadap total konsumsi minyak dunia pada kurun waktu 2001-2010.

Sementara itu, berdasarkan kemampuan produksi dan tingkat konsumsi yang dilakukan, beberapa kawasan di dunia mengalami defisit konsumsi minyak. Beberapa kawasan dunia seperti Asia Pasifik (termasuk Indonesia), Amerika Utara, dan Eropa dan Eurasia, mengalami defisit konsumsi minyak masing-masing sebesar 21,26 %; 9,25 %; dan 1,11 %. Itu dikarenakan porsi konsumsi minyak di kawasan tersebut telah melampaui kemampuan produksinya. Sementara untuk kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Selatan dan Amerika Tengah, mengalami surplus minyak masing-masing sebesar 21,32 %; 8,36 %; dan 1,94 %. Itu dikarenakan kemampuan produksi minyak di kawasan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi atau kebutuhannya.

Mengacu pada kondisi peta cadangan, produksi, dan konsumsi migas dunia, Indonesia perlu merumuskan perencanaan yang strategis mengenai bagaimana pemenuhan pasokan energi (khususnya) migas untuk kini dan mendatang. Berdasarkan pertimbangan keberlanjutan (cadangan) dan biaya pengadaan (jarak lokasi), negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika, berpotensi menjadi pilihan utama jika Indonesia akan melakukan ekspansi usaha pengusahaan dan pengembangan migas. Mengingat telah semakin berkuranganya kemampuan cadangan dan produksi migas nasional, upaya pengembangan dan pengusahaan migas ke wilayah atau negara lain harus segera dirumuskan dan diimplementasikan.

Insentif Pengembangan Kilang Domestik

ReforMiner mengidentifikasi bahwa pemerintah memproyeksikan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional pada tahun 2030 diperkirakan mencapai sekitar 800,24 juta barel atau setara dengan 127,23 juta KL per tahun. Proyeksi tersebut didasarkan atas beberapa asumsi yang diantaranya: pertumbuhan penduduk rata-rata 1,05 % per tahun, pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5 % per tahun, discount rate 12 %, program konversi minyak tanah ke LPG berjalan lancar, program 10.000 MW selesai tepat waktu, dan kebutuhan BBM (tidak termasuk biofuel) meningkat rata-rata 3,18 % per tahun. Jika realisasi dari masing-masing variabel melebihi asumsi yang ditetapkan, kebutuhan BBM nasional akan lebih tinggi dari proyeksi pemerintah tersebut.

Dalam memproyeksikan kebutuhan BBM nasional, pemerintah menggunakan 4 (empat) asumsi kebutuhan pembangunan kilang. Diantaranya: (1) skenario dasar (hanya mempertimbangkan kapasitas kilang saat ini (existing) tanpa melakukan tambahan kapasitas; (2) skenario proyek (mempertimbangkan kilang existing dan kilang proyek (proyek Kilang Banten dan Kilang Tuban dengan kapasitas masing-masing 300 MBSD); (3) skenario upgrading (mempertimbangkan kilang existing, kilang proyek (Kilang Banten dan Kilang Tuban), dan beberapa proyek upgrading (Kilang Balikpapan sebesar 50 MBSD dan Kilang Cilacap sebesar 62 MBSD); dan (4) skenario gabungan (mempertimbangkan kapasitas kilang existing, proyek Kilang Banten dan Tuban, proyek upgrading (Kilang Balikpapan dan Kilang Cilacap), dan tambahan kilang minyak baru. Mengacu pada skenario dasar, skenario proyek, sekenario upgrading, dan sekenario gabungan, disebutkan bahwa kebutuhan impor BBM pada tahun 2030 masing-masing mencapai 71,8 %, 54 %, 51 %, dan 3 % dari total kebutuhan BBM nasional.

Berdasarkan kajian tersebut, jika tanpa adanya pembangunan kilang baru, pemenuhan kebutuhan BBM nasional akan tergantung dari impor. Dari sejumlah skenario, jika tanpa adanya pembangunan kilang baru, minimal 51 % kebutuhan BBM nasional harus dipenuhi dari impor. Hal ini berpotensi memberikan tekanan terhadap stabilitas fiskal (APBN) dan stabilitas moneter akibat kebutuhan devisa impor yang besar. Dalam konteks ini membangun kilang domestik yang baru menjadi penting, bahkan menjadi suatu keharusan. Terlebih jika mengacu pada kebutuhan BBM nasional saat ini telah mencapai sekitar 1,2 – 1,4 juta barel per hari, sementara kapasitas kilang Pertamina baru sekitar 1,058 juta barel per hari.

Dari Identifikasi yang dilakukan, pembangunan dan pengembangan kilang nasional mendesak untuk segera dilakukan. Beberapa pertimbangan yang menuntut untuk itu diantaranya: (1) kebutuhan BBM nasional yang terus meningkat; (2) kapasitas kilang yang ada masih di bawah kebutuhan BBM nasional; (3) usia sebagian kilang yang ada sudah relatif tua (kurang efisien); (4) tidak semua produk minyak domestik dapat diolah di kilang yang ada saat ini; (5) upaya mengintegrasikan sektor hulu dan hilir migas; dan (6) keinginan pemerintah (otoritas moneter) untuk menghemat devisa impor, termasuk devisa impor BBM.

Bertolak pada masih terbatasnya kemampuan APBN dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), perkembangan investasi nasional (termasuk untuk membangun kilang) cukup tergantung dengan penamaman modal asing (PMA/FDI). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari 24 sektor (tidak termasuk investasi sektor migas, perbankan, dan lembaga keuangan non bank) di tahun 2011 yang nilainya sebesar Rp 246,97 triliun, sebesar Rp 170,97 triliun atau sekitar 69,23 % merupakan PMA dan Rp 76 triliun atau 30,77 % merupakan PMDN. Dari data yang ada tersebut, sangat jelas bahwa kondisi investasi nasional saat ini tergantung terhadap investasi asing. Karena itu, diperlukan langkah-langkah dan desain kebijakan yang menarik agar PMA mau berinvestasi dalam pembangunan dan pengembangan kilang nasional. Tanpa kebijakan dan insentif yang menarik, tentunya investor akan lebih memilih untuk berinvestasi di negara-negara yang memberikan insentif dan kemudahan investasi.

Membenahi Struktur Pasar Gas Domestik

Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa defisit gas nasional di beberapa wilayah tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, tapi juga oleh menurunnya kemampuan produksi dari lapangan gas yang ada (existing). Di sisi lain, ketersediaan cadangan terbukti (proven reserves) ,dan proven reserves yang ada dan on stream sudah dialokasikan untuk ekspor. Sementara proven reserves yang tidak/belum dialokasikan untuk ekspor belum jelas kepastian rencana pengembangannya.

Selain itu ditemukan masih terdapat beberapa kebijakan mendasar yang kontradiktif dan bersifat parsial, misalnya di satu pihak menghimbau para produsen gas untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestik, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan struktur harga gas domestik yang tidak sehat. Adanya semacam pembiarana atas kondisi dimana salah satu pelaku kunci dalam pasar gas domestik mendapatkan manfaat ekonomi terbesar dari spread harga yang terlalu besar dan merugikan kepentingan industri konsumen gas, adalah salah satu bentuk inkonsistensi kebijakan yang ada. Kebijakan yang tidak konsisten ini menyebabkan kredibilitas dan posisi tawarnya pemerintah dalam mengarahkan pengelolaan gas nasional menjadi lemah. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama UU 22/2001 tentang Migas memiliki beberapa kelemahan (loophole) mendasar dalam hal pengaturan pengelolaan gas di sisi hilir. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat upaya pembenahan struktur pasar gas domestik ke arah yang lebih sehat.

Dari sejumlah identifikasi permasalahan tersebut, Perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan bidang gas, khususnya UU No. 22/2001 dan peraturan pelaksana di bawahnya. Pengaturan pengelolaan dan pengembangan gas di sektor hilir perlu dijabarkan secara lebih spesifik.

Selain itu, diperlukan intervensi lebih nyata dari pemerintah, khususnya Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis yang terkait langsung dengan pengelolaan sektor migas, dalam penentuan dan pengaturan pengembangan gas domestik. Termasuk di dalamnya adalah intervensi dalam penentuan dan penetapan harga. Harga gas domestik, khususnya harga gas di kepala sumur, hendaknya setara/mengacu pada harga gas di pasar internasional

Sinergi dan koordinasi Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, BP Migas, BPH Migas, BUMN Migas juga diperlukan dalam merombak struktur pasar dan harga gas domestik yang lebih sehat. Peran dan kewenangan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi yang membawahi sektor ESDM perlu lebih dipertegas dan dituangkan dalam payung hukum yang jelas dan mengikat.

Pemerintah juga harus dapat mengarahkan dan mensinergikan BUMN Migas agar tidak berjalan sendiri-sendiri. BUMN harus rela menjadi bagian dari solusi dan pemerintah harus lebih kreatif untuk merealisaikan itu dengan menjembataninya (tidak kaku dalam hal deviden, memberikan insentif fiskal, profit bukan ukuran utama, dsb).

Sebagai langkah konkrtit, pemerintah perlu harus rencana pengembangan lapangan-lapangan gas (proven reserves) yang ada dan pengembangan infrastrukturnya yang lebih konkrit dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan gas domestik, tidak hanya sekadar kompilasi dari rencana KKKS dan BUMN yang cenderung masih berjalan sendiri-sendiri. Perencanaan tersebut hendaknya dituangkan ke dalam suatu payung hukum yang bersifat mengikat untuk dilaksanakan, dan sekaligus menjadi ukuran kinerja bagi institusi pemerintah terkait.

Sektor Migas dan Korupsi
Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, 28 Agustus 2013

Pemerintah Didorong Bangun Kilang BBM

Koran Sindo, 28 Agustus 2013

Jakarta, Pemerintah di minta bersinergi dengan PT Pertamina (Persero) demi mempercepat pembangunan kilang dalam rangka mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM)

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pembangunan kilang dinilai lebih efektif dibanding menggenjot bahan bakar nabati (BBN). Namun, lanjutnya, diversifikasi BBM ke gas dan BBN secara masif juga dapat mengurangi impor BBM.

Hanya jumlahnya impor BBM yang dikurangi dari program itu tidak sebanyak pengurangan impor BBM dari pembangunan kilang baru, ujarnya di jakarta kemarin.

Menurut dia, langkah mempercepat pembangunan kilang sangat diperlukan untuk menekan impor BBM. Pemerintah harus segera menyediakan insentif sedangkan Pertamina yang melaksanakan.

Jika secepatnya dilakukan, maka ada manfaat yang lebih nyata bagi negara dan masyarakat. Apalagi didukung dengan masuknya Pertamina ke dalam 500 perusahaan terbaik versi Fortune, kata dia.

Menurut Pri Agung, perlu langkah konkret untuk membangun infrastruktur, seperti kilang BBM ataupun infrastruktur penerima, tranmisi, dan distribusi gas dalam rangka mendorong diversifikasi energi. Pasalnya, permasalahan impor BBM tidak dapat diselesaikan secara parsial dengan pembatasan konsumsi. Saat ini energi fosil kan masih memiliki porsi 50 % lebih dalam bauran energi primer yang digunakan, katanya.

Sementara, sekretaris Badan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto mengatakan, rencana mengoptimalkan BBN untuk mengurangi impor solar tidak akan mengganggu pasokan dalam negeri. Karena jumlah,impor solar yang dikurangi akan disesuaikan dengan jumlah BBN yang akan dicampur dengan solar. Dengan asumsi, kebutuhan solar 16 juta kiloliter dan mandatori penggunaan BBN 10%, setidaknya dapat mengurangi impor 1,6 juta kiloliter, katanya.

Angota Komisi VII DPR RI Satya W Yudha menyarankan pemerintah untuk menambah infrastruktur kilang dalam negeri demi menekan impor BBM, khususnya bagi transportasi. Dengan adanya penambahan armada kilang baru, setidaknya pemerintah hanya melakukan impor minyak mentah sehingga produk jadi BBM dapat diolah di dalam negeri. Ini salah satu cara mengatasi ketergantungan impor yang sifatnya jangka panjang, tutup dia

 

Harus Tekan Impor BBM Pengendalian Konsumsi BBM agar Diterapkan

Kompas,23 Agustus 2013

Jakarta, Kompas Ketergantungan impor bahan bakar minyak terus meningkat, Pemerintah harus segera menambah kapasitas atau membangun kilang minyak yang baru dan melakukan diversifikasi bahan bakar minyak ke gas dan pengembangan bahan bakar nabati secara masif.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan hal itu saat dihubungi kamis (22/8), di Jakarta.

Impor BBM (bahan bakar minyak) hanya bisa dikurangi dengan tiga cara, ujarnya. Pertama, menambah kapasitas atau membangun kilang BBM baru. Kedua, diversifikasi BBM ke gas dan bahan bakar nabati secara masif. Ketiga, menaikan harga BBM ketingkat keekonomian sehingga mengurangi konsumsi BBM oleh masyarakat dan mengurangi praktik-praktik penyalahgunaan dan penyeludupan BBM.

Sebelumnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo menyatakan, volume impor BBM terus meningkat seiring pertumbuhan konsumsi energi yang mencapai 8 persen per tahun. saat ini total kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barrel per hari, sedangkan produksi minyak nasional hanya 840.000 barrel per hari.

Adapun hasil produksi minyak mentah yang bisa diolah di kilang di dalam negeri hanya 650.000 barrel per hari. total kapasitas kilang Pertamina 1 juta barrel per hari. Untuk memenuhi kebutuhan BBM, Pemerintah melalui Pertamina mengimpor minyak mentah 350.000 barrel per hari dan produk BBM 400.000 barrel per hari. Untuk mengurangi impor BBM, sumber energi baru terbarukan dikembangkan, ujarnya.

Pembatasan BBM

Pri Agung menilai, pembatasan BBM tidak akan dapat mengurangi impor BBM. Kabijakan itu hanya akan mengalihkan konsumsi dari BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Namun, langkah ini bisa mengurangi anggaran atau beban subsidi BBM, tapi relatif tidak berdampak terhadap pengurangan impor BBM, ujarnya.

Pengurangan impor BBM juga diserukan juga oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Franky Sibarani. Dia mendesak Pemerintah menekan konsumsi BBM impor dengan mendorong penggunaan gas. Langkah ini diyakini akan cepat memberi dampak menekan defisit migas.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat berpendapat, Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal dalam pengelolaan energi. Energi harus diutamakan untuk kepentingan nasional.

Sekitar 20 persen saja yang diekspor, selebihnya harus untuk kepentingan dalam negeri. Stasiun pengisian bahan bakar jangan lagi BBM, tetapi gas. Malaysia dan Thailand melakukan hal tersebut 20 tahun lalu, kata Ade.

Sebelumnya Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina (Persero) Hanung Budya Menyatakan, pemasangan alat kendali BBM dengan memakai teknologi di 276 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di wilayah DKI Jakarta ditargetkan tuntas pada Agustus 2013. Hal ini sebagai bagian dari program pengendalian BBM bersubsidi untuk menekan angka penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Alat identifikasi dengan gelombang radio (radio frequency identification/RFID) ditargetkan terpasang di 150 SPBU di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) pada akhir juli nanti. Setelah lebaran, pemasangan RFID di semua SPBU di jabodetabek ditargetkan tuntas dan berfungsi pada Agustus nanti, kata Hanung.

Sejauh ini pemasangan tanda RFID baru sebatas pada mobil dinas Pertamina serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dua pekan setelah lebaran, pemasangan tanda RFID dimaksimalkan. tahap awal, implementasi dilakukan di wilayah jawa bagian barat, Kalimantan, dan Sumatera bagian selatan.

Kami memprioritaskan penerapannya di Kalimantan karena rawan penyelewengan solar bersubsidi ke industri pertambangan. jadi, ada potensi penghematan riil, katanya. Penerapan sistem pengendalian BBM di Jawa bagian barat dinilai belum efektif karena masih ada kendaraan antar provinsi yang masuk ke Jakarta.

Reforminer Institute Usulkan Skenario Jalan Tengah Untuk Blok Mahakam

Dunia-energi.com, 2 Agustus 2013

JAKARTA Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto PhD menilai, kisruh yang mengemuka menjelang berakhirnya kontrak pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) Blok Mahakam pada 2017, akibat tidak idealnya kondisi pengelolaan migas di Tanah Air. Untuk itu ia mengusulkan skenario guna mengatasi polemik tersebut.

Pri Agung mengakui, polemik yang mengemuka seputar kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam saat ini, sudah masuk ke ranah yang kurang sehat. Isu yang lebih mengemuka hanya seputar dikotomi nasional versus asing, dan label nasionalis versus tidak nasionalis. Padahal yang harus dipikirkan, bagaimana wilayah kerja migas itu ke depan masih dapat menjadi penyokong penerimaan negara.

Pri Agung tidak memungkiri, adanya desakan yang cukup kuat, agar Blok Mahakam yang saat ini dikelola Total E&P Indonesie asal Perancis, diserahkan untuk dikelola Pertamina pasca 2017. Pihak lain menilai, kontrak Total di Blok Mahakam selayaknya diperpanjang, guna memberikan kepastian dan jaminan atas investasi jangka panjang yang telah ditanamkan Total di blok itu.

Satu yang harus disadari, kata Pri Agung, peralihan pengelolaan pada suatu wilayah kerja migas, harus melalui suatu tahap transisi. Masa transisi dari pengelola lama ke pengelola yang baru ini penting, guna menghindari anjloknya produksi, yang merupakan ancaman bagi penerimaan negara ujarnya dalam diskusi Membedah Potensi Blok Mahakam di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2013.

Berangkat dari itu, ia pun mengusulkan suatu skenario yang bisa dianggap sebagai jalan tengah atas polemik pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017. Inti usulan ini, ungkapnya, tetap harus ada Kontrak Baru di Blok Mahakam pada 2017, yang berisi sejumlah poin penting sebagai berikut;

  1. Total E&P tetap sebagai operator di Blok Mahakam sampai 2022.
  2. Pertamina ditunjuk pemerintah sebagai operator di Blok Mahakam mulai 2022. Dengan begitu, ada rentang masa transisi lima tahun antara 2017 – 2022.
  3. Porsi bagian keuntungan (split) untuk pemerintah diperbesar secara signifikan. Misalnya untuk minyak pemerintah dan Total berbagi 95:5, lalu untuk gas 85:15.
  4. Insentif fiskal lain untuk Total E&P dikurangi. Misalnya dengan menerapkan Domestic Market Obligation(DMO) selama masa produksi, depresiasi dipercepat ditiadakan, investment credit ditiadakan, cost recoverydibatasi, dan sebagainya.
  5. Pertamina tidak harus membeli/membayar untuk mendapatkan porsi Participating Interest tertentu di Blok Mahakam selama masa transisi lima tahun 2017 – 2022.

Saya pikir kalau usulan ini dilaksanakan oleh pemerintah, maka akan tercipta situasi yang win-win solution(sama-sama diuntungkan, red) dalam pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017 nanti, tukasnya.

Situasi yang win-win itu diantaranya, risiko penurunan, ketidakstabilan, maupun ketidakberlanjutan produksi (cadangan)di Blok Mahakam lebih kecil. Selain itu, proses transfer teknologi, manajerial, dan expertise (keahlian, red) dalam pengelolaan Blok Mahakam bakal berlangsung lebih smooth.

Terkait adanya potensi opportunity lossa penerimaan negara jika, kata Pri Agung, dapat dikompensasikan melalui porsisplit untuk pemerintah yang diperbesar, dan pengurangan insentif fiskal lainnya terhadap Total E&P.

 

Bagi Pertamina juga untung, karena tidak perlu membeli untuk mendapatkan Participating Interest. Sementara Total E&P dan partner lain yang ada di Blok Mahakam saat ini, tetap dapat melanjutkan investasinya dalam mengoperasikan dan mengelola blok itu sesuai komitmennya, kata Pri Agung lagi.

Segera Putuskan

Lebih lanjut Pri Agung mendesak, agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera memutuskan nasib pengelolaan Blok Mahakam, dalam tahun ini. Karena jika menyeberang ke 2014, mendekati Pemilu, maka situasi politis akan semakin mendominasi polemik seputar pengelolaan Blok Mahakam.

Segera putuskan dan beri kejelasan status kontrak Blok Mahakam, yakni dengan usulan skenario Kontrak Baru tersebut. Segera setelah ada keputusan, Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, Total E&P dan pihak lain yang mungkin terlibat, duduk bersama untuk memformulasikan isi dan ketentuan Kontrak Baru, tandasnya.

Setelah hal itu diputuskan, sambung Pri Agung, maka rencana dan komitmen investasi Total E&P hingga 2017 di Blok Mahakam sebesar USD 7,3 miliar, harus benar-benar direalisasikan.

Ke depan, pemerintah perlu menerbitkan aturan tentang masa transisi (lima tahun sebelum kontrak berakhir) untuk diterapkan pada Kontraktor Kerjasama (KKS) migas yang baru maupun KKS lama yang bersedia mengakomodasinya, tegas Pri Agung.

 

Nasib Blok Mahakam Harus Diputuskan Tahun Ini

Neraca.co.id, 01 Agustus 2013

Jakarta Pengamat minyak dan gas bumi (migas) Pri Agung Rakhmanto menegaskan, keputusan pemerintah terkait kelanjutan pengelolaan Blok Mahakam pasca berakhir kontraknya dengan Total E&P Indonesie, harus dikeluarkan tahun ini juga. Hal ini untuk mencegah semakin banyaknya muatan politik, jika finalisasi nasib blok itu

Blok Mahakam : Bagian Negara Harus Lebih Besar

Bisnis.com, 31 Juli 2013

JAKARTA-Kontrak baru Blok Mahakam harus memuat porsi bagi hasil (split) produksi minyak dan gas bumi (migas) yang lebih besar untuk negara dibandingkan dengan yang berlaku saat ini.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari ReforMiner Institute mengatakan porsi bagi hasil untuk negara harus diperbaiki dalam kontrak kerja sama

Penjarahan Minyak Ganggu Keamanan Energi Nasional

Metronews.com28 Juli 2013

Jakarta: Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai penjarahan minyak (illegal tapping) yang merajalela di Jambi tidak hanya gangguan terhadap Pertamina.

Pencurian yang menyebabkan berhenti beroperasinya ruas pipa Tempino – Plaju dan Bentayan – Plaju milik Pertamina sudah menjadi gangguan keamanan pasokan energi nasional dan juga lifting minyak nasional.