Analisis Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Nasional Tahun 2010-2025

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2950 K/21/MEM/2006, maka dianggap perlu untuk menetapkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Sebagai tindak lanjut ketentuan tersebut, telah diterbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0225K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2010 – 2025.

Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2010 – 2025 itu terdiri atas: (1) Peta Luas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi, Ruas Dedicated hulu, Ruas Dedicated Hilir, Ruas Kepentingan Sendiri dan Wilayah Distribusi Gas Kota; (2) Matriks Ruas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi, RuasDedicatedHulu, RuasDedicatedHilir, Ruas Kepentingan Sendiri dan Wilayah Distribusi Gas Kota. Dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0225K/11/MEM/2010, lebih lanjut dijelaskan (definisi) tentang Peta Ruas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi, RuasDedicatedHulu, RuasDedicatedHilir, Ruas Kepentingan Sendiri, dan Wilayah Distribusi Gas Kota di bagai menjadi beberapa kategori.

Sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0225K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2010 – 2025, pada periode sebelumnya telah diterbitkan Keputusan Mentei yang serupa. Keputusan Menteri yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 2950K/21/MEM/2006 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Jika dibandingkan, pada dasarnya secara substansi antara kedua Kepmen tersebut relatif tidak terdapat perbedaan yang berarti. Tepatnya, Kepmen No. 0225.K/11/MEM/2010 hanya merupakan pembaruan dokumen dari Kepmen No. 2950.K/21/MEM/2006.

Berdasarkan analisis substansi terhadap kedua Kepmen tersebut, ReforMiner tidak menemukan perbedaan yang mendasar. Sebagian besar pertimbangan dan dasar terhadap dikeluarkannya Kepmen No. 2950.K/21/MEM/2006 juga masih diakomodasi (digunakan) sebagai pertimbangan dan dasar terhadap dikeluarkannya Kepmen No. 0225.K/11/MEM/2010. Sementara itu substansi Ketetapan Kesatu sampai dengan Ketetapan Kesembilan dari kedua Kepmen tersebut juga relatif tidak terdapat perbedaan yang berati. Jika dianalisis lebih detail, perbedaan antara kedua Kepmen tersebut sebenarnya tidak terletak pada substansi (isi), melainkan hanya pada perbedaan sistematika.

Terkait dengan kepentingan investasi dan pemenuhan pasokan Gas Bumi domestik, pada prinsipnya para investor (pengusaha) dan masyarakat luas lebih konsen terhadap realisasi dari dokumen kebijakan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional dibandingkan dengan hanya sekedar perbaikan dan pembaruan dokumen. Sayangnya, terkait realisasi Kepmen No. 2950.K/21/MEM/2006, meski setelah 4 (empat) tahun diundangkan belum ada perkembangan yang berarti tekait Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Bahkan dalam periode satu tahun terakhir. Permasalahan defisit gas nasional yang masih terus terjadi hingga saat ini, salah satu penyebab utamanya jelas ada pada minimnya realisasi dan implementasi dari dokumen Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Nasional tersebut. Oleh karena itu, realisasi terhadap semua kebijakan yang ada pada hakekatnya lebih penting dan mendasar dibandingkan hanya secara reguler pemerintah memperbaiki dan memperbarui dokumen kebijakan.

A�

Analisis Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010 -2014

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 04 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2010 – 2014. Kebijakan energi nasional dan rencana pengembangan sektor pertambangan (migas, batubara, dan pertambangan umum) periode 2010 – 2014 (idealnya) akan mengacu pada poina – poin Permen ESDM tersebut. Rencana strategis yang tertuang dalam regulasi tersebut juga menjadi acuan bagi unita – unit kerja yang berada di lingkungan Kementerian ESDM.

Adapun beberapa program kerja yang mengacu pada regulasi tersebut adalah 1. Penyusunan Strategis Unit Badan Pengatur Hilir Minyak Gas Bumi dan Sekretariat Jenderal Energi Nasional; 2. Penyusunan rencana kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi dan Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional; 3. Penyusunan Rencana/Program Pembangunan Daerah Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral; 4. Koordinasi perencanaan kegiatan antar sektor, antar instansi yang menangani Energi dan Sumber Daya Mineral di Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota); dan 5. Pengendalian kegiatan pembangunan di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Berdasarkan analisis ReforMiner atas substansi Permen ESDM 04/2010, diketahui bahwa pada periode 5 (lima) tahun ke depan konsentrasi pemerintah yang dituangkan di dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM dititikberatkan pada pengembangan dan pembangunan infrastruktur migas, infrastruktur listrik (transmisi, distribusi, & EBT), dan pengembangan Pertambangan Umum. Rencana strategis pemerintah tersebut tercermin dari rencana investasi pengembangan sektor ESDM Tahun 2010 – 2014. Berdasarkan identifikasi ReforMiner, diketahui bahwa kebutuhan investasi sektor ESDM pada lima tahun ke depan (2010 – 2014) berkisar antara Rp 286,12 triliun Rp 356,49 triliun setiap tahunnya. Secara kumulatif, kebutuhan investasi untuk pengembangan sektor ESDM pada durasi lima tahun ke depan sedikitnya membutuhkan anggaran sekitar Rp 1.598,75 triliun. Dimana, dari besaran investasi tersebut sebagian besar (55,19 %) terdistribusi untuk pengembangan sektor migas.

Studi ReforMiner menemukan bahwa pelaksanaan rencana strategis pengembangan sektor ESDM 2010 – 2014 relatif tergantung terhadap sumber pendanaan dari Swasta dan BUMN. Berdasarkan rencana invetasi pengembangan sektor ESDM teridentifikasi bahwa rataa – rata porsi investasi Swasta dan BUMN setiap tahunnya mencapai sekitar 91,31 % terhadap total kebutuhan investasi. Sementara di sisi yang lain, porsi pendanaan/investasi yang bersumber dari APBN hanya sekitar 8,69 % dari total kebutuhan investasi. Keterbatasan kemampuan APBN dalam membiayai pengembangan sektor ESDM, secara tidak langsung membawa konsekuensi ketergantungan pengembangan sektor ESDM terhadap pihak Swasta dan BUMN.

Dengan kata lain, apa yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014 tersebut sesungguhnya belum dapat dikatakan merepresentasikan perencanaan yang sesungguhnya, karena memang tidak menunjukkan secara jelas rencana apa yang diimplementasikan dalam kurun waktu tersebut. Angkaa – angka yang tercantum di dalamnya bukanlah merupakan budget anggaran suatu kegiatan tetapi lebih hanya merupakan angka kebutuhan anggaran investasi yang diperlukan. Bagaimana merealisaikannya secara konkrit tidak dapat diketahui secara jelas dalam rencana tersebut.

Analisis Kontribusi Ekonomi Dan Efek Multiplier Industri Hulu Migas Dalam Perekonomian Nasional

Studi ReforMiner menemukan bahwa keterkaitan sektor hulu migas dengan sektor penunjangnya relatif masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari porsi input sektor hulu migas yang berasal dari sektor penunjangnya hanya sekitar 5,32 %. Masih relatif kecilnya kontribusi sektor-sektor penunjang terhadap kebutuhan input hulu migas mengindikasikan bahwa dalam mekanisme penggunaan input sektor hulu migas masih berorientasi impor. Hal itu mengakibatkan realisasi penggunaan komponen produksi lokal dalam mendukung aktivitas sektor hulu migas masih relatif kecil. Kondisi tersebut juga menjawab pertanyaan mengapa sampai sejauh ini kontribusi sektor hulu migas terhadap PDB nasional masih relatif rendah. Dengan kontribusi sektor penunjang hulu migas terhadap PDB nasional mencapai 62,67 % menyebabkan daya tarik sektor hulu migas untuk menggerakkan sektor-sektor penunjang tersebut juga relatif lemah

Porsi output sektor penunjang yang dialokasikan ke sektor hulu migas hanya sekitar 0,079 % terhadap total output sektor-sektor penunjang tersebut. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa keterkaitan ke belakang sektor hulu migas dengan sektor-sektor penunjangnya sampai sejauh ini masih sangat lemah. Artinya dalam mekanisme penggunaan input produksi, sektor hulu migas belum berorientasi domestik.

Indeks keterkaitan ke belakang (keterkaitan dengan sektor penunjang) sektor hulu migas hanya sebesar 0,0639. Dengan indeks daya penyebaran sektor hulu migas dibawah 1 atau dibawah rata-rata, dapat dikatakan bahwa sektor hulu migas tidak berorientasi domestik dalam penggunaan input produksinya. Sedangkan berdasarkan urutan nilai indeks, diketahui bahwa penggunaan input produksi sektor hulu migas memiliki orientasi domestik yang paling rendah dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Hal itu menegaskan bahwa TKDN di sektor hulu migas masih rendah. Dengan kondisi keterkaitan ke belakang yang masih rendah, sementara porsi sektor-sektor penunjang terhadap PDB nasional besar (lebih dari 60 %) juga menjawab dan menegaskan kembali mengapa kontribusi sektor hulu migas terhadap PDB nasional relatif rendah.

Data yang ada menunjukkan bahwa keterkaitan sektor hulu migas dengan sektor pengunanya justru relatif besar (kuat). Hal itu dapat dilihat dari besarnya porsi output sektor hulu migas yang dialokasikan ke sektor pengguna mencapai 83,54 %, porsi input dari sektor hulu migas mencapai 12,04 % terhadap total input sektor pengguna, dan indeks keterkaitan ke depan (keterkaitan dengan sektor pengguna) sektor hulu migas mencapai 3,82253.

Berdasarkan simulasi ReforMiner, teridentifikasi bahwa besarnya angka pengganda ouput sektor hulu migas adalah sebesar 1,19098. Dengan kondisi tersebut,jika terjadi peningkatan permintaan hulu migas sebesar Rp 1 triliun, akan meningkatkan output perekonomain nasional sebesar Rp 1,19 triliun.Dalam hal ini teridentifikasi bahwa besarnya angka pengganda input sektor hulu migas adalah sebesar 3,72065. Dengan demikian jika terjadi peningkatan alokasi output sektor hulu migas kepada sektor pengguna sebesar Rp 1 triliun, akan meningkatkan output perekonomian nasional sebesar Rp 3,72 triliun.Jika besarnya angka pengganda tenaga kerja sektor hulu migas adalah sebesar 0,01367. Dengan demikian jika terjadi peningkatan permintaan output sektor hulu migas sebesar Rp 1 triliun, akan menambah penyerapan tenaga kerja sebanyak 13.670 tenaga kerja.

ReforMiner juga menemukan bahwa pengurangan impor (peningkatan TKDN) di sektor hulu migas masing-masing sebesar 5 %, 10 %, dan 20 % dari kondisi awal akan berdampak terhadap peningkatan ouput perekonomian nasional masing-masing sebesar Rp 7,67 triliun, Rp 15,34 triliun, dan Rp 30,69 triliun.Terdapat perbedaan data realisasi TKDN yang disampaikan dengan realisasi TKDN berdasarkan hasil kajian. Dalam kurun 2006-2010, rata-rata realisasi TKDN dilaporkan telah mencapai 50,48 %. Sedangkan TKDN (porsi input sektor hulu migas dari sektor-sektor penunjang) berdasarkan hasil kajian hanya sebesar 5,32 %.

Dari data yang ada ReforMiner menemukan bahwa kontribusi sektor penunjang dan sektor pengguna sektor hulu migas terhadap PDB Nasional masing-masing sebesar 62,67 % dan 25,45 %. Terkait dengan struktur perekonomian yang ada, daya dorong dan daya tarik sektor hulu migas terhadap perekonomian nasional masih kurang optimal.Dalam hal ini sektor migas memiliki kontribusi dan peran penting dalam pos penerimaan APBN. Dalam kurun waktu 2004-2010, rata-rata realisasi kontribusi penerimaan sektor hulu migas terhadap penerimaan negara berkisar antara 25 % hingga 30 %.

PP Cost Recovery dan Kemungkinannya Pasca Judicial Review

Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa terbitnya PP Cost Recovery salah satunya dipicu oleh tekanan publik kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan pengawasan dalam masalah cost recovery migas. Pasca kebijakan penaikan harga BBM pada tahun 2005, permasalahan cost recovery mulai bergulir dan mendapatkan perhatian yang besar dari publik. Kecenderungan meningkatnya cost recovery, sementara produksi migas utamanya minyak terus menurun, menjadi fokus perhatian dari publik dan hal itu merupakan salah satu pemicunya.

Perhatian atau kritik publik terhadap kecenderungan ketidaksesuaian antara besaran cost recovery migas dan produksi minyak, kemudian medapat respon dari DPR. Itu kemudian diawali dengan adanya pembahasan antara pemerintah dan DPR mengenai Koreksi Cost Recovery PT. Pertamina-EP 2003 – 2007 terhadap Depresiasi Aset PT. Pertamina (Persero),pada 10 Maret 2008. Pembahasan tersebut terkait dengan Keputusan PANJA Asumsi Dasar, Defisit dan Pembiayaan DPR-RI tanggal 19 September 2007 tentang Cost Recovery yang timbul atas kontrak BP Migas dan PT. Pertamina EP. Pada tahapan selanjutnya, pada 26 Juni 2008 dilaksanakan Rapat Kerja (Raker) antara Komisi VII DPR-RI dengan Menteri Keuangan dan Konsultasi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Itu dimaksudkan untuk membahas cost recovery dan sebagai masukan PANJA BP/BPH Migas.

Kelemahan Kontrak PSC dan pelaksanaannya juga menjadi pembahasan dalam konsultasi dengan BPK RI. Saat itu pembahasan yang dilakukan meliputi: (1) Kelemahan Klausul-klausul Kontrak; (2) Permasalahan Penguasaan Barrel Minyak untuk Security of Supply Dalam Negeri; dan (3) Pengawasan Biaya KKKS Tahap Eksplorasi. Berkaitan dengan itu, BPK mengusulkan agar pemerintah menerima Barel Minyak sebagai pemenuhan kewajiban perpajakan KKKS. Menurut pandangan BPK, hal itu tidak memberatkan mengingat di sisi lain hak KKKS telah dibayarkan dalam bentuk Barrel Minyak. Berdasarkan catatan ReforMiner, poin-poin yang disampaikan oleh BPK tersebut berkontribusi signifikan terhadap substansi Pasal 4 UU No.41/2008 yang mengamanatkan kepada pemerintah agar membentuk PP Cost Recovery. Kerena itu, sebagian dari masukan (catatan) BPK tersebut kemudian dituangkan dalam ketentuan PP No.79/2010.
Studi ReforMiner mengidentifikasi bahwa pemangku kepentingan, dalam hal ini legislatif berada pada satu sikap dan kesimpulan yang sama bahwa pemerintah perlu menerbitkan peraturan yang mengatur tentang cost recovery. Sedangkan dari unsur pemerintah (eksekutif) juga dapat dikatakan dari keseluruhan pihak/instansi yang berkontribusi dalam hal itu, juga relatif telah satu suara. Berdasarkan sikap dan posisi para pihak tersebut, terbitnya PP Cost Recovery sesungguhnya dapat dikatakan merupakan kesepakatan politik bersama. Seluruh Fraksi-Fraksi di DPR, baik yang tergabung dalam mitra koalisi maupun oposisi, terbukti berada pada sikap yang sama (kesepakatan) bahwa pemerintah perlu menerbitkan PP Cost Recovery. Sedangkan, baik untuk melaksanakan amanat dari DPR atau hanya untuk mengakomodasi kepentingan sektornya masing-masing, beberapa instansi pemerintah juga menyambut positif dan bahkan menjadi inisiator atas terbitnya PP Cost Recovery.

Berdasarkan review terhadap substansi ketentuan yang tertuang di dalam PP No.79/2010, ReforMiner berkesimpulan bahwa adalah terlalu dini dan menjadi kurang berdasar apabila dikatakan PP Cost Recovery ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih pasti dalam hal pengembalian biaya operasi dan masalah perpajakan. Selain itu, jika dikatakan dengan PP Cost Recovery ini iklim investasi hulu migas akan membaik dan lebih kondusif, hal ini tampaknya akan jauh dari harapan. Apalagi jika dikatakan bahwa PP Cost Recovery ini adalah jawaban atas segala permasalahan dan hiruk pikuk cost recovery selama ini, jawaban itu bukanlah jawaban yang tepat.

Pada tanggal 16 Juni 2011,Indonesian Petroleum Association (IPA) mengajukan judicial review atas PP 79/2010 atau PP Cost Recovery ke Mahkamah Agung. Pengajuan tersebut dikarenakan PP Cost Recovery dinilai meresahkan dan memiliki implikasi yang besar terhadap produksi migas. Berdasarkan ketentuan yang ada, pengajuan judicial review diberikan batas waktu selama 180 hari atau 6 (enam) bulan sejak regulasi diterbitkan. Tekait itu, IPA tetap mengajukan judicial review meskipun pada saat yang sama sedang dan terus membangun dialog yang positif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan. Dalam perkembangannya, pada tanggal 18 Oktober 2011 atau 3,5 bulan setelah IPA menyampaikan judicial review, Mahkamah Agung menyampaikan penolakan atas permohonan tersebut. Namun demikian, dasar penolakan atas itu belum dapat diketahui secara pasti oleh IPA, karena rincian dari hasil keputusan tersebut belum diterima oleh IPA. Berdasarkan review IPA, keputusan Mahkamah Agung yang keluar dalam waktu 3,5 bulan tersebut merupakan satu hal yang luar biasa. Pada umumnya, jika penolakan berisi substansi dari judicial review itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 (dua) tahun. Berdasarkan pantauan ReforMiner, sampai saat ini rincian hasil keputusan dan dasar penolakan atas judicial review IPA belum disampaikan, paling tidak belum disampaikan (diketahui) oleh media dan publik.

Berdasarkan konstelasi aktor-aktor pengambil kebijakan, konsideran dan subtansi PP No.79/2010, dan tahapan yang telah dilalui, menunggu hasil argumentasi penolakan atas judicial review yang dilakukan IPA tampaknya kurang produktif. Itu karena hampir dapat dipastikan pemerintah sebagai termohon, dalam hal ini yang akan menang atau dimenangkana. Beberapa argumentasi yang memperkuat itu diantaranya: (1) Pasal 9 PERMA No.1/2004 menyatakan bahwa putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali – artinya penolakan Mahkamah Agung atas judicial review tersebut bersifat mutlak; (2) berdasarkan ketentuan dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, posisi pemerintah dalam hal ini relatif kuat. PP No.79/2010 secara tegas disebutkan sebagai aturan pelaksana atas UU No.36/2008, sehingga jika tidak bertentangan dengan itu tidak dapat digugat; dan (3) berdasarkan konstelasi aktor (stakeholder) dapat dikatakan bahwa IPA relatif berdiri sendiri – Kementerian ESDM dan BP Migas yang semestinya relatif dapat diharapkan untuk mengakomodasi kepentingan tersebut justru telah menjadi bagian dari aktor yang ikut mempertahankan PP Cost Recovery

Masa Depan Penggunaan BBM Industri

Berdasarkan data yang ada, selama 12 (duabelas) tahun terakhir (2000 – 2011) porsi batubara, LPG, dan listrik dalam bauran energi nasional mengalami peningkatan masing-masing sebesar 12,34 %; 11,17 %; dan 2,52 % setiap tahunnya. Sedangkan porsi gas alam dan BBM masing-masing mengalami penurunan sebesar 0,37 % dan 2,52 % setiap tahunnya. Pengusahaan sektor batubara yang meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir, menyebabkan porsi penggunaan batubara juga meningkat signifikan. Sedangkan Adanya implementasi kebijakan konversi BBM (minyak tanah) ke LPG yang efektif sejak 2007, porsi LPG terhadap bauran energi nasional juga semakin meningkat. Meski peningkatannya tidak sebesar batubara dan LPG, porsi penggunaan tenaga listrik dalam bauran energi nasional juga terus meningkat setiap tahunnya.

Studi ReforMiner menemukan bahwa porsi BBM terhadap bauran energi nasional cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya. Porsi BBM yang pada tahun 2000 sebesar 63,60 % terhadap bauran konsumsi energi nasional, turun menjadi 47,60 % pada tahun 2011. Dari hasil review, penurunan porsi penggunaan BBM terjadi pada hampir semua sektor ekonomi, termasuk sektor industri. Akan tetapi, penurunan porsi konsumsi BBM tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan volume konsumsinya. Artinya, secara volume konsumsi BBM oleh suatu sektor tetap atau bahkan meningkat. Akan tetapi karena konsumsi sumber energi yang lain mengalami peningkatan yang jauh lebih besar, maka porsi konsumsi BBM secara relatif menurun.Secara umum, menurunnya porsi penggunaan BBM oleh sektor-sektor ekonomi dipengaruhi oleh faktor penawaran dan substitusi energi.

Berkembangnya pengusahaan komoditas energi yang menjadi substistusi BBM seperti batubara dan gas, secara teoritis juga menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya porsi konsumsi BBM. Harga gas dan batubara yang relatif lebih rendah dibandingkan BBM, dapat menyebabkan kedua komoditas energi tersebut lebih dipilih dibandingkan BBM. Dalam 12 (duabelas) tahun terakhir, permintaan batubara oleh sektor industri mengalami peningkatan yang signifikan. Porsi konsumsi batubara sektor industri rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10,37 % setiap tahunnya. Berdasarkan bauran energi sektor industri, porsi penggunaan batubara tercatat meningkat dari 15,46 % pada tahun 2000 menjadi 34,89 % pada tahun 2011. Sedangkan berdasarkan volumenya, konsumsi batubara sektor industri meningkat dari 8,58 juta ton pada tahun 2000 menjadi 34,42 juta ton pada 2011.

Studi ReforMiner juga menemukan fakta bahwa kondisi yang relatif berbeda terjadi pada perkembangan porsi konsumsi gas oleh sektor industri. Meski gas menjadi pilihan utama pemerintah untuk menggantikan BBM, dalam beberapa tahun terakhir perkembangannya tidak begitu signifikan. Bahkan, porsi konsumsi gas oleh sektor industri mengalami penurunan rata-rata sebesar 1,35 % setiap tahunnya. Porsi konsumsi gas oleh sektor industri menurun dari 37,22 % pada tahun 2000 menjadi 28,88 % pada 2011. Berdasarkan volumenya, konsumsi gas oleh sektor industri sesungguhnya masih mengalami peningkatan setiap tahunnya. Konsumsi gas sektor industri meningkat dari 483.438 MMSCF pada tahun 2000 menjadi 666.195 MMSCF pada 2011. Akan tetapi, karena konsumsi jenis energi yang lain oleh sektor industri meningkat lebih besar, secara relatif porsi konsumsi gas oleh sektor industri mengalami penurunan.

BerdasarkanreviewReforMiner, menurunnya konsumsi BBM oleh sektor industri tersebut terdapat kemungkinan akibat sebagian disubstitusi dengan penggunaan BBM subsidi. Dalam hal ini, karena sifatnya lebih pada kebocoran distribusi BBM subsidi, maka sektor industri tidak akan mencatat dan menyampaikan berapa volume BBM subsidi yang mereka konsumsi. Disparitas harga yang cukup tinggi antara BBM subsidi dan non subsidi, sangat memungkinkan menjadi faktor pendorong sektor industri untuk menggunakan BBM bersubsidi. Pada saat realisasi konsumsi BBM bersubsidi terus meningkat, di sisi yang lain konsumsi BBM di sektor industri justru mengalami penurunan. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kondisi ketersediaan infrastruktur gas yang masih relatif terbatas dan fakta bahwa tidak seluruhnya kebutuhan BBM sektor industri dapat disubstitusi dengan batubara dan gas, dapat disimpulkan terdapat faktor lain yang menyebabkan menurunnnya konsumsi BBM oleh sektor industri. Sejauh ini, dengan berbagai faktor yang ada penggunaan BBM subsidi oleh sektor industri diduga sebagai salah satu faktor kuat yang menyebabkan konsumsi BBM sektor industri cenderung menurun.

Berdasarkan volumenya, selama kurun waktu tahun 2000 – 2011, konsumsi BBM untuk jenis Kerosene, IDO, dan Fuel Oil, oleh sektor industri mengalami penurunan setiap tahunnya. Selama periode tersebut, konsumsi Kerosene, IDO, dan Fuel Oil, oleh sektor industri mengalami penurunan masing-masing sebesar 13,85 %, 17,98 %, dan 7,50 % setiap tahunnya. Sedangkan untuk konsumsi ADO oleh sektor industri dalam kurun waktu tersebut cenderung fluktuatif (naik-turun). Akan tetapi, secara rata-rata konsumsi ADO oleh sektor industri dalam kurun waktu 2000 – 2011 masih mengalami peningkatan sebesar 0,28 % per tahun. Penurunan konsumsi BBM oleh sektor industri tersebut secara teoritis sejalan (berbanding lurus) dengan peningkatan konsumsi batubara dan gas oleh sektor industri.

Berbanding lurus dengan volume konsumsinya, porsi penggunaan BBM oleh sektor industri dalam beberapa tahun terakhir juga cenderung mengalami penurunan. Sejalan dengan meningkatnya konsumsi gas dan batubara, porsi konsumsi BBM oleh sektor industri mengalami penurunan dari 32,13 % pada tahun 2000 menjadi 11,09 % pada tahun 2011. Pada tahun-tahun yang akan datang, porsi konsumsi BBM oleh sektor industri diperkirakan akan terus menurun. Penurunan porsi konsumsi BBM oleh sektor industri, selain disebabkan oleh menurunya volume konsumsinya juga akibat semakin meningkatnya konsumsi jenis energi lain oleh sektor industri. Sehingga, secara relatif porsi konsumsi BBM oleh sektor industri akan semakin rendah. Ketersedian (penawaran) sumber energi lain dengan harga yang lebih murah, secara teoritis merupakan faktor penyebab utama turunnya permintaan BBM oleh sektor industri. Permintaan BBM oleh sektor industri yang saat ini masih relatif besar, diperkirakan akibat infrastruktur penunjang energi yang lain belum cukup memadai. Jika ketersediaan infrastruktur gas nasional sudah cukup memadai, konsumsi BBM oleh sektor industri kemungkinan akan mengalami penurunan.

Konsistensi Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN)

Studi ReforMiner menemukan bahwa pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mulai diwacanakan sejak tahun 2005,hingga saat ini dapat dikatakan belum menunjukkan hasil yang optimal. Penggunaan biodiesel dan bioetanol pada tahun 2011 yang berdasarkan roadmap pemanfaatan biofuel nasional masing-masing ditargetkan telah mencapai 15% dan 10% terhadap konsumsi solar dan premium, masih di bawah target. Konsumsi biodiesel dan bioetanol pada 2011 masih di bawah 2% terhadap konsumsi solar dan premium.

Data yang ada menunjukkan bahwa realisasi penyerapan biodiesel pada 2010 dan 2011 masing-masing sebesar baru 20,73 % dan 27 % dari target yang ditetapkan. Sedangkan penyerapan biopremium pada periode yang sama, masing-masing sebesar 0 % dan 0% dari target yang ditetapkan. Berdasarkan informasi Asosiasi Produsen Biofuel Indpnesia (APROBI), kebijakan harga merupakan penyebab utama atas belum optimalnya bisnis dan penyerapan BBN di Indonesia.

Berdasarkan identifikasi ReforMiner, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi yang terkait dengan bisnis dan pemanfaatan BBN. Beberapa regulasi telah diterbitkan sejak tahun 2006 pasca wacana pengembangan dan pemanfaatan BBN yang menguat sejak tahun 2005. Kenaikan harga minyak yang cukup tinggi pada 2005 yang memaksa pemerintah menaikkan harga BBM subsidi saat itu, menjadi faktor pendorong utama pengembangan dan pemanfaatan BBN untuk kepentingan dalam negeri.

Peraturan yang berlaku mengamanatkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang ditetapkan dalam penggunaan Bioethanol pada 2010 harus telah di atas 3 % dari konsumsi BBM Nasional. Penggunaan Bioethanol untuk Transportasi (PSO), Transportasi (Non PSO), dan Industri, pada 2010 masing-masing diamanatkan telah mencapai 3 %, 7%, dan 7 % terhadap konsumsi BBM di sektor tersebut. Sedangkan, penggunaan Biodiesel untuk Transportasi (PSO), Transportasi (Non PSO), Industri dan Komersial, dan Pembangkit Listrik pada periode yang sama masing-masing diamanatkan telah mencapai 2,5 %, 3 %, 5 %, dan 1 % terhadap konsumsi BBM di sektor tersebut. Namun demikian, data yang ada menunjukkan realisasi konsumi Bahan Bakar Nabati (Biofuel) masih di bawah target sebagaimana ditetapkan. Porsi konsumsi BBN baik terhadap total konsumsi energi maupun konsumsi BBM nasional, masih jauh lebih rendah dari target yang telah ditetapkan dalam Blueprint Perencanaan Energi Nasional (PEN) 2006 – 2025.

Dari Studi yang dilakukan, sampai dengan 2011 porsi konsumsi BBN masih jauh lebih rendah dari target. Regulasi yang ada menetapkan konsumsi BBN pada 2025 mencapai lebih dari 5 % terhadap total konsumsi energi nasional. Dengan kondisi bahwa konsumsi energi terus meningkat pada kisaran 1 – 1,5 kali pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pengusahaan dan pemanfaatan BBN dituntut tinggi jika menghendaki target dapat tercapai.

Selain terhadap total konsumsi energi yang belum terpenuhi, rasio serapan BBN terhadap total konsumsi BBM juga masih di bawah target. Sebagaimana telah disampaikan, Peraturan Menteri mengamanatkan konsumsi Biodiesel untuk Transportasi (PSO), Transportasi (Non PSO), Industri dan Komersial, dan Pembangkit Listrik, pada 2010 masing-masing sebesar 2,5 %, 3 %, 5 %, dan 1 %. Berdasarkan porsi bahwa sebagian besar konsumsi BBM jenis solar banyak didominasi sektor transportasi dan industri, secara rata-rata porsi pemanfaatan BBN yang diamanatkan dapat mencapai sekitar 4 % terhadap konsumsi BBM semua sektor tersebut. Sedangkan, regulasi yang sama mengamanatkan konsumsi Bioetanol untuk Transportasi (PSO), Transportasi (Non PSO), dan Industri dan Komersial, pada 2010 masing-masing sebesar 3 %, 7 %, dan 7 %. Berdasarkan porsi konsumsi, secara rata-rata porsi pemanfaatan Bioetanol pada 2010 dapat mencapai 5 – 6 % terhadap konsumsi BBM di sektor-sektor tersebut. Dari data yang ada tersebut, Peraturan Menteri mengamanatkan porsi pemanfaatan BBN pada tahun 2010 berkisar 4 – 6 % terhadap total konsumsi BBM nasional. Sementara, berdasarkan data realisasi pemenafaatan BBN pada periode 2006 – 2011 masih di bawah 1 % terhadap total konsumsi BBM.

Dalam perkembangannya, pemanfaatan BBN sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri tidak dijalankan dengan konsisten. Berdasarkan data yang ada, sampai dengan saat ini seluruh atau hampir 100 % serapan BBN dilakukan oleh sektor transportasi. Padahal Permen tersebut juga mengamanatkan agar BBN juga diserap (dimanfaatkan) oleh sektor industri, komersial, dan pembangkit listrik. Akan tetapi, setelah 4 (empat) tahun pasca implementasi regulasi tersebut, masih belum ada serapan BBN oleh sektor non transportasi.

Proyeksi Kebutuhan BBM dan Peran Teknologi Informasi

Studi ReforMiner menemukan bahwa faktor pendorong utama bertambahnya kebutuhan BBM diantaranya adalah peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya jumlah kendaraan (mobil dan sepeda motor), dan pertumbuhan ekonomi (PDB). Secara kuantifikasi, peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan telah diakomodasi atau terefleksikan dalam besaran produk domestik bruto (PDB). Semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah kendaraan, potensi penambahan PDB juga akan semakin besar. Terkait hal tersebut, untuk memproyeksikan berapa kebutuhan BBM (termasuk BBM subsidi) diyakini bahwa besaran PDB telah cukup untuk dijadikan dasar perhitungan.

Mengacu pada formulasi tersebut, dalam menetapkan besaran kuota BBM bersubsidi di APBN, pertumbuhan ekonomi (PDB) seringkali (lazim) digunakan sebagai dasar perhitungan. Menurut pandangan ReforMiner, penggunaan PDB tersebut tidak keliru. Akan tetapi, jika hanya menggunakan pertumbuhan ekonomi (PDB) atau besaran total PDB sebagai dasar perhitungan, sesungguhnya tidak cukup. Terlebih asumsi PDB yang digunakan sebagai asumsi makro APBN adalah PDB harga berlaku. Dalam konteks anggaran, penggunaan PDB harga berlaku memang relevan mengingat hal tersebut sebagai basis perhitungan penerimaan perpajakan (tax ratio) yang mengacu pada harga belaku di tahun anggaran tertentu. Namun jika PDB berlaku digunakan sebagai basis menghitung atau memproyeksikan kebutuhan BBM, berpotensi terjadi deviasi. Hal itu dikarenakan peningkatan PDB berlaku tidak hanya disebabkan oleh peningkatan output (produksi barang dan jasa), namun juga dapat disebabkan oleh besarnya laju inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Untuk menghilangkan afek deviasi akibat inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah, PDB harga konstan lebih tepat untuk digunakan dalam memproyeksikan kebutuhan BBM. Penggunaan PDB harga konstan dengan tahun dasar tertentu, merupakan PDB yang dihitung pada tingkat harga yang sama. Karena itu, peningkatan nilai PDB yang terjadi semata-mata disebabkan karena meningkatnya produksi barang dan jasa. Dalam hal ini, peningkatan produksi barang dan jasa tentunya jauh lebih relevan terhadap meningkatnya kebutuhan BBM dibandingkan dengan peningkatan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Studi ReforMiner menemukan bahwa perkembangan PDB konstan dan konsumsi BBM menunjukkan pola yang relatif sama. Ketika nilai PDB harga konstan meningkat, konsumsi BBM juga meningkat. Secara teoritis hal tersebut relevan. Dalam hal ini, peningkatan produksi barang dan jasa memang membutuhkan daya dukung energi (termasuk BBM) dalam jumlah yang lebih besar lagi. Akan tetapi dari sejumlah observasi yang dilakukan belum menjawab (menunjukkan) dengan tegas bahwa pergeseran struktur ekonomi yang berbasis industri dan jasa membutuhkan daya dukung energi yang lebih besar. Belum konsistennya data sesuai logika dan teori, lebih dikarenakan data tersebut belum memperhitungkan porsi BBM dalam bauran energi final nasional. Produktivitas konsumsi BBM yang lebih besar menjadi tidak relevan jika porsi BBM dalam bauran energi final nasional adalah rendah.

Untuk mengetahui apakah kuota BBM subsidi telah sesuai dengan kebutuhan, dilakukan proyeksi kebutuhan BBM subsidi dengan beberapa skenario. Asumsi dan skenario yang digunakan dalam melakukan proyeksi kebutuhan BBM subsidi meliputi: PDB konstan 2013 sebesar Rp 2.796.172,66 milyar, porsi premium subsidi 100 % total konsumsi premium nasional, porsi solar subsidi 45 % total konsumsi solar nasional, dan porsi BBM terhadap bauran konsumsi energi final nasional masing-masing diskenariokan 49 %, 50 %, 51 %, dan 52 %.

Berdasarkan hasil proyeksi, jika pola konsumsi dan elastisitas kebutuhan BBM subsidi 2013 relatif sama dengan tahun 2012, kuota BBM yang ditetapkan oleh pemerintah berpotensi untuk terlampaui (over kuota). Pada tahun 2013 pemerintah menetapkan kuota premium sebesar 29,20 juta KL. Sedangkan dengan skenario porsi BBM dalam bauran energi primer masing-masing sebesar 49 %, 50 %, 51 %, dan 52 %, konsumsi premium yang dibutuhkan masing-masing sebesar 30,11 juta KL, 30,72 juta KL, 31,34 juta KL, dan 31,95 juta KL.Untuk solar, pemerintah menetapkan kuota solar subsidi 2013 sebesar 15,11 juta KL. Sedangkan dengan skenario porsi BBM dalam bauran energi primer masing-masing sebesar 49 %, 50 %, 51 %, dan 52 %, konsumsi solar yang dibutuhkan masing-masing sebesar 17,69 juta KL, 18,05 juta KL, 18,41 juta KL, dan 18,77 juta KL.

Jika pola konsumsi dan elastisitas kebutuhan BBM subsidi 2013 relatif sama dengan rata-rata 6 tahun (2007 – 2012) terakhir, kuota premium yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut masih relatif aman. Potensi konsumsi premium mendekati kuota jika porsi BBM dalam bauran energi nasional mencapai 52 %. Dengan skenario tersebut, konsumsi premium pada 2013 diproyeksikan sebesar 28,21 juta KL. Sedangkan untuk kuota solar, baik dengan sekenario porsi BBM terhadap bauran energi nasional 49 %, 50 %, 51 %, atau 52 %, berpotensi terlampaui (over kuota). Mengingat, dengan skenario porsi BBM terhadap bauran energi nasional sebesar 49 % saja, solar yang dibutuhkan telah mencapai 15,69 juta KL, di atas kuota solar 2013 yang ditetapkan sebesar 15,11 juta KL. Akan tetapi, mengingat BBM jenis solar terdiri atas solar non subsidi (industri) dan solar subsidi, dasar penetapan kuoatnya dapat dimungkinkan berbeda dengan premium. Perhitungan kuota tersebut mengacu pada porsi solar subsidi terhadap total konsumsi solar nasional yang dalam 5 (lima) tahun terakhir rata-rata sebesar 45,44 %.

Penerapan teknologi informasi (IT) dalam proses distribusi BBM bersubsidi pada dasarnya lebih sebagai instrumen pencatatan dan upaya transparansi. Dengan penerapan IT dapat lebih mudah untuk mengetahui atau memetakan siapa saja pengguna BBM bersubsidi. Pemetaan pengguna BBM subsidi untuk sektor transportasi kemudian memungkinkan untuk dapat mengetahui berapa porsi konsumsi BBM subsidi yang dilakukan oleh mobil dinas, kendaraan pribadi, dan transportasi umum. Selain itu, penerapan IT juga dapat membantu untuk mengetahui pola konsumsi BBM subsidi berdasarkan wilayah.

ReforMiner menilai, penerapan IT tersebut sesungguhnya belum dapat digunakan untuk menghitung berapa penghematan BBM subsidi yang akan didapat.Sampai sejauh ini, pemerintah belum dapat mengetahui dan memproyeksikan dengan tepat berapa sesungguhnya kebutuhan BBM bersubsidi. Hal tersebut tercermin dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi yang hampir selalu berbeda dengan target kuota yang telah ditetapkan di APBN. Jika kebutuhan BBM subsidi belum dapat dihitung (diproyeksikan) dengan pasti, tentunya potensi kebocoran juga belum/tidak dapat dihitung. Mengingat, kebocoran merupakan selisih antara kebutuhan yang sesungguhnya dengan realisasi distribusi/konsumsi BBM bersubsidi.

Dampak Undang-Undang Pengadaan Tanah Terhadap Operasional Hulu Migas

BP Migas (sekarang SKK Migas), pada saat itu mengidentifikasi Salah satu faktor eksternal yang dipandang menjadi faktor penghambat utama adalah masalah tumpang tindih lahan dan/atau pembebasan dan pengadaan tanah. Dimana porsi hambatan yang disebabkan karena masalah pembebasan/pengadaan tanah mencapai 16%. Aturan terkait masalah pengadaan tanah, khususnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebenarnya telah ada. Pada Sidang Paripurna pada 16 Desember 2011, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Terkait hal tersebut, pemerintah menargetkan implementasi UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum itu akan berlaku efektif pada pertengahan 2012. Menurut pemerintah, undang-undang tersebut sudah cukup jelas dan tegas mengatur proses pengadaan tanah.

Berdasarkan analisis terhadap substansi ketentuan yang tertuang di dalam UU Pengadaan Tanah dan kompleksitas permasalahan di lapangan, optimisme pemerintah tersebut tampaknya akan relatif sulit direalisasikan. Meski disampaikan sudah cukup jelas dan tegas, sejumlah ketentuan UU Pengadaan Tanah pada kenyataannya masih bersifat makro dan membutuhkan peraturan pelaksana yang lebih operasional dalam implementasinya. Karenanya, jika hanya diakomodasi melalui Peraturan Presiden, penyelesaian peraturan tersebut membutuhkan waktu yang relatif panjang. Hal itu dikarenakan banyak hal yang harus diatur di peraturan tersebut.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang berpotensi menghambat implementasi UU Pengadaan Tanah tersebut, diantaranya: (1) permasalahan tata guna lahan dan belum disesuaikanya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di tingkat daerah maupun nasional, (2) konflik agraria di beberapa daerah dan adanya tuntutan reformasi agraria yang semakin meluas, (3) adanya pro kontra sejumlah anggota DPR terkait substansi dan rencana revisi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, (4) adanya ketimpangan penguasaan lahan dan tuntutan reditribusi lahan, dan (5) pemahaman masyarakat terhadap kepemilikan tanah itu sendiri.

Masih lemahnya koordinasi lintas sektoral dan lintas regional, juga akan menjadi masalah utama dalam semua tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Tahapan perencanaan dan persiapan pengadaan tanah yang melibatkan banyak pemangku kepentingan berpotensi membutuhkan waktu yang panjang. Kondisi budaya kerja, sistem administrasi, dan sistem database antar instansi (pemangku kepentingan) yang tidak seragam dan hingga saat ini belum terintegrasi, berpotensi membuat proses (durasi) pengadaan tanah untuk kepentingan umum menjadi sulit diprediksi. Hal ini masih ditambah dengan ketiadaan pemetaan wilayah untuk tanah-tanah yang berpotensi menjadi tanah kepentingan umum, sehingga di dalam tahapan pelaksanaan dan penyerahan hasil masih akan sangat tidak pasti. Selain itu, pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di daerah-daerah yang masih menganut adanya budaya tanah adat dan tanah ulayat, juga berpotensi menjadi masalah tersendiri.

Berdasarkan substansi yang terkandung UU 02/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) memiliki sisi positif dan negatif terhadap kegiatan industri migas. Dimasukkannya kegiatan migas dalam kategori kepentingan umum (pasal 10, butir e) di satu sisi berpotensi memberikan dampak positif bagi industri migas. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum (termasuk kegiatan industri migas) akan dilaksanakan oleh pemerintah dan semua pemangku dan badan pengampu (pasal 6 dan pasal 7, poin 2 & 3). Sehingga KKKS selaku kontraktor dalam hal ini secara teoretis tidak perlu lagi melaksanakan pengadaan tanah sendiri. Ketentuan lain yang positif adalah adanya kepastian dalam pengadaan tanah (upaya paksa oleh pemerintah) yang dapat melepaskan hak pemilik tanah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 8. Dengan demikian keberlangsungan kegiatan usaha migas lebih dapat dipastikan.

Selain itu, adanya ketentuan yang mengatur tentang penilaian ganti kerugian dan tim penilai yang ditugaskan sebagaimana ketentuan Pasal 31-36 juga positif bagi industri migas. Ketentuan tersebut secara konseptual juga akan memudahkan industri migas dalam melakukan estimasi biaya pengadaan tanah.

Namun demikian, selain ketentuan yang berpotensi memberikan dampak positif, juga terdapat beberapa ketentuan UU Pengadaan Tanah yang berpotensi menghambat kegiatan usaha migas. Ketentuan Pasal 7 yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus mengacu kepada rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan nasional/daerah, rencana strategis, rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah, dan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan, berpotensi membutuhkan waktu yang panjang. Selain itu, ketentuan tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil (Pasal 13), juga berpotensi menjadi masalah tersendiri.

Sebagai pelaksanaan UU Pengadaan Tanah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Agustus telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Perpres tersebut mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil.Berdasarkan pokok-pokok ketentuan Perpres No. 71/2012 tersebut, sepintas akan memberikan kepastian terhadap proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk pengadaan tanah untuk usaha migas di dalamnya. Perpres tersebut mengatur seluruh tahapan pengadaan tanah mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Akan tetapi, berdasarkanreviewterhadap ketentuan yang tertuang di dalamnya,terdapat beberapa ketentuan pokok Perpres No.71/2012 yang perlu diantisipasi oleh industri migas, jika nantinya regulasi tersebut diimplementasikan secara konsisten.

Meski hal-hal terkait proses pengadaan tanah yang diatur di dalam UU No.2/2012 dan Pepres No.71/2012 cukup banyak dan kompleks, dapat dikatakan tidak akan memberikan banyak manfaat (insentif) bagi sektor hulu migas. Mengingat ketentuan yang tertuang di dalam regulasi tersebut mengatur proses pengadaan tanah secara umum, bukan secara spesifik mengatur pengadaan tanah untuk industri hulu migas. Berdasarkanobjectiveregulasi, dapat dimungkinkan ketentuan yang tertuang di dalam UU dan Perpres tersebut memang tidak keliru. Itu dikarenakan, memang regulasi tersebut tidak secara spesifik diperuntukkan bagi sektor migas. Akan tetapi diperuntukkan bagi sekitar 19 sub-sektor, yang salah satunya sektor minyak dan gas bumi.

A�

Insentif Pengembangan Panas Bumi Nasional

Studi ReforMiner menemukan bahwa potensi sumber daya panas bumi Indonesia mencapai 28.170 MW atau setara dengan 40 % potensi panas bumi dunia. Potensi panas bumi tersebut bahkan lebih besar dibandingkan dengan kapasitas pembangkit PT PLN (Persero) yang pada tahun 2010 sebesar 26.895 MW. Namun demikian, meski memiliki potensi yang besar, pengembangan panas bumi nasional masih relatif tertinggal dibandingkan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara lain. Sebagai perbandingan, pada tahun 2010, kapasitas terpasang panas bumi di negara-negara seperti New Zealand, Jepang, Amerika, dan Philipina, masing-masing telah mencapai 17,44 %, 27,80 %, 48,48 %, dan 73,23 %, terhadap total potensi panas bumi yang dimilikinya. Sedangkan pada periode yang sama, kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia baru sekitar 4,25 % terhadap potensinya.

Bisnis pengusahaan dan pengembangan panas bumi di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, potensial untuk dikembangkan.Kondisi itu didasarkan pada permintaan (konsumsi) listrik Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang ada, pada kurun waktu 2002 – 2010 produksi listrik nasional mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,78 % per tahun. Permintaan atau konsumsi listrik nasional sesungguhnya lebih besar dari pertumbuhan kemampuan produksi listrik tersebut. Akan tetapi, dengan kemampuan produksi yang masih terbatas, tidak semua permintaan tenaga listrik dapat dipenuhi.

Sementara itu, peningkatan permintaan (konsumsi) tenaga listrik nasional cenderung berbanding lurus dengan besarnya alokasi anggaran subsidi listrik di APBN. Itu dikarenakan harga jual tenaga listrik (TDL) yang ditetapkan oleh pemerintah masih lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok pengadaan tenaga listrik. Pada sisi produksi, ketergantungan yang cukup besar terhadap energi fosil, menyebabkan biaya pengadaan listrik sensitif terhadap perubahan harga energi fosil. Jika harga BBM, gas, dan batubara meningkat, biaya pengadaan listrik juga meningkat. Mengingat harga tenaga listrik ditetapkan oleh pemerintah dan tidak bergerak mengikuti pola biaya pengadaan, akibatnya peningkatan biaya produksi berbanding lurus dengan anggaran subsidi listrik yang dibutuhkan.

Pada kondisi tersebut, jika pengusahaan listrik dari gas dan batubara telah dimanfaatkan secara optimal, panas bumi dapat pilihan bagi pemerintah sebagai menurunkan biaya pokok pengadaan (BPP) tenaga listrik nasional. Dengan biaya produksi yang 2 – 3 kali lebih murah dibandingkan pengadaan listrik dengan BBM, pengusahaan listrik panas bumi dapat mengakomodasi upaya pemerintah untuk meningkatkan pasokan listrik nasional dan menurunkan beban subsidi listrik di APBN.

Akan tetapi, meski pengembangan dan pengusahaan panas bumi memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan, hingga saat ini pengembangannya masih dihadapkan pada beberapa kendala. Berdasarkan kajian yang dilakukan, khususnya dengan melihat perbandingan di negara-negara lain, ReforMiner mengidentifikasi kendala-kendala utama yang menghambat pengembangan panas bumi di tanah air adalah sebagai berikut: (1) kurang (tidak) adanya insentif pengusahaan yang diberikan oleh pemerintah; (2) belum adanya kesepakatan harga listrik panas bumi antara penjual dan pembeli (PLN);(3) izin penggunaan kawasan hutan masih bermasalah; (4) belum adanya kepastian kontrak penjualan listrik panas bumi ke PLN (Electricity Sales Contact – ESC). dan (5) masih banyak ijin yang dibutuhkan setelah IUP terbit (rekomendasi AMDAL dari Gubernur, Izin Penggunaan Air Tanah dan Air Permukaan, Izin Lokasi dari Gubernur/Bupati, Izin Pinjam Pakai Lahan dari Kementerian Kehutanan, Izin Masuk Kawasan Hutan untuk Kegiatan Eksplorasi & Eksploitasi, Izin Tebang Pohon dari Dinas Kehutanan).

Berbeda dengan pengembangan panas bumi di negara-negara lain, meskipun dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang relatif sama dengan permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia, namun sebagai upaya menyelesaikan permasalahan yang ada, pemerintah di negara-negara lain menerapkan kebijakan dan memberikan insentif agar pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negaranya dapat dilaksanakan dengan optimal.

Dari studi yang dilakukan, ditemukan bahwa Kebijakan pengembangan dan pengusahaan panas bumi yang diterapkan di negara-negara lain pada dasarnya tidak hanya mengikat bagi produsen (investor) namun juga bersifat mandatory bagi konsumen. Selain menerapkan kebijakan yang bersifat wajib dan mengikat,pemerintah di negara-negara lain juga memberikan berbagai insentif baik bagi konsumen maupun produsen yang ikut terlibat aktif dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi. Beberapa insentif pengembangan dan pengusahaan panas bumi yang umumnya diberikan oleh pemerintah di negara-negara lain adalah: (1) keringanan pajak; (2) pembebasan bea impor barang-jasa terkait pengusahaan panas bumi; (3) pemberian subsidi; (4) pemberian pinjaman lunak; (5) penyediaan dana riset dan pengembangan yang ditanggung oleh pemerintah; dan (6) memberikan kemudahan perizinan usaha bagi investor.

Terkait dengan adanya beberapa permasalahan tersebut, agar pengembangan dan pengusahaan panas bumi nasional dapat dijalankan dengan optimal, diperlukan kebijakan terobosan dan intervensi pemerintah diantaranya dalam hal kemudahan/penyederhanaan perizinan; dan dalam hal kesepakatan harga listrik panas bumi. Sebagai konsekuensi dari keputusan dan penetapan harga panas bumi tersebut mengharuskan pemerintah mampu menjadi fasilitator dan menjembatani kepentingan investor dan pembeli (PLN).

Sehingga dengan kebijakan harga listrik panas bumi tersebut, pilihan rumusan kebijakan fiskal dalam bentuk pemberian subsidi (melalui dana APBN) terhadap selisih harga yang mampu dibeli oleh PLN dengan harga yang ditawarkan oleh pengembang panas bumi, dan/atau memberikan insentif dalam bentuk pembebasan kewajiban pajak dan pungutan-pungutan lain kepada investor terkait pengembangan dan pengusahaan panas bumi selama durasi waktu tertentu adalah pilihan kebijakan yang tampaknya harus segera direalisasikan oleh pemerintah. Kesegeraan pemerintah dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan fiskal tersebut adalah faktor penting dan sekaligus merupakan kunciuntuk mendorong dan mempercepat optimalisasi pengembangan dan pengusahaan panas bumi di tanah air.

Perbandingan Insentif Pengembangan Kilang

Studi ReforMiner menemukan bahwa kesadaran terhadap pentingnya ketahanan energi dalam upaya mendukung ketahanan perekonomian domestik, beberapa negara berusaha membangun dan mengembangkan kapasitas kilangnya. Hal itu dilakukan terkait adanya beberapa manfaat bagi perekonomian nasional masing-masing negara. Diantaranya: (1) menurunkan kebutuhan impor BBM, (2) kepastian dan keberlangsungan pasokan BBM lebih terjamin, (3) penghematan cadangan devisa, (4) responsif terhadap kebijakan lingkungan di negara masing-masing, (5) kualitas dan kuantitas BBM dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan, dan (6) memberikan insentif terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi domestik.

Beberapa negara yang telah fokus mengembangkan kilang, sesungguhnya juga menyadari bahwa margin atau IRR yang didapatkan dari pembangunan kilang tidak sebesar (lebih kecil) jika dibandingkan margin sektor hulu migas. Bahkan, jika hanya mempertimbangkan keuntungan bisnis (pertimbangan korporasi) jangka pendek, akan lebih menguntungkan melakukan impor BBM dari negara-negara yang telah efisien dalam membangun dan mengembangkan kilangnya, dibandingkan dengan membangun kilang domestik. Akan tetapi, mengingat aspek kedaulatan dan keberlanjutan pasokan energi memiliki nilai yang jauh lebih strategis bagi negara-negara tersebut, pembangunan kilang domestik tetap menjadi prioritas meskipun dalam jangka pendek hal itu tidak menguntungkan secara bisnis.

Untuk mengakomodasi tujuan pembangunan kilang domestik, beberapa negara membuka peluang bagi investasi asing melaluiforeign direct investment(FDI) untuk terlibat dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas kilang domestik. Untuk kepentingan tersebut, beberapa negara memberikan insentif fiskal maupun non fiskal agar dapat menarik FDI ke negaranya masing-masing.

Dari studi yang dilakukan, teridentifikasi bahwa praktek pengusahaan dan pengembangan kilang di beberapa negara, dilakukan oleh pemerintah di negara-negara tersebut baik dikerjakan sendiri atau dengan melibatkan investor asing. Bagi negara yang telah mampu secara finansial, pengembangan kilang domestik dilakukan dengan anggaran pemerintah atau melibatkan peran serta sektor swasta nasional. Sedangkan bagi negara yang belum mampu secara finansial, pengusahaan dan pengembangan kilang domestik dilakukan dengan membuka kesempatan PMA dengan cara memberikan berbagai insentif baik fiskal maupun non fiskal.

Sementara itu di Indonesia, sampai dengan tahun 2008, dapat dikatakan relatif tidak terdapatroadmappengembangan kilang yang jelas. Pada satu sisi, pemerintah secara mandiri tidak melakukan pembangunan/pengembangan kilang dengan anggaran dari APBN. Sedangkan, di sisi lain pemerintah juga belum menyediakan/memberikan paket insentif agar BUMN (PT Pertamina), swasta nasional, dan PMA untuk ikut terlibat aktif dalam pembangunan dan pengembangan kapasitas kilang domestik. Arah pembangunan dan pengembangan kilang domestik mulai terlihat dengan diundangkannya PP No.62/2008 dan PMK No.130/PMK.011/2011.

Mengacu pada substansi yang tertuang di dalam kedua regulasi tersebut, arah pembangunan dan pengembangan kapasitas kilang pada periode mendatang lebih banyak diserahkan kepada BUMN, swasta nasional, dan PMA. Akan tetapi, terbitnya dua regulasi yang mengatur tentang pengusahaan kilang tersebut dapat dikatakan belum menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan kemampuan (kapasitas) kilang nasional. Baik PP No.62/2008 maupun PMK No.130/PMK.011/2011, tidak mengatur secara spesifik mengenai penugasan kepada pihak tertentu untuk meningkatkan kapasitas kilang nasional. Hal itu berbeda dengan kesungguhan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas pembangkit tenaga listrik dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang secara khusus, dalam bentuk penugasan kepada PT PLN untuk melakukan pembangunan pembangkit proyek 10.000 MW tahap 1 (Perpres No.71/2006) dan proyek 10.000 MW tahap 2 (Perpres No.04/2010). Dalam konteks pembangunan dan pengembangan kapasitas kilang, prosedur yang sama seharusnya juga dapat dilakukan dengan menugaskan PT Pertamina untuk melakukan pembangunan dan peningkatan kapasitas kilang nasional.