Kemauan Politik Pemerintah Lemah

Kompas,25 November 2013

Jakarta- Komitmen pemerintah dalam memperkuat ketahanan energi nasional dinilai lemah. Hal ini ditandai lambatnya pengambilan keputusan mengenai insentif bagi investor yang hendak membangun kilang.

Wakil Direktor Eksekutif lembaga Kajian Ekonomi dan Pertambangan (RefoMiner Institute) Komaidi Notonegoro mengemukakan hal itu, pekan lalu, di Jakarta.

Menurut Komaidi, pemerintah harus segera mengambil keputusan apakah akan membangun kilang dengan APBN atau melalui bekerja sama dengan pihak asing. Pembangunan kilang perlu segera dieksekusi. Ini jauh lebih baik dibandingkan dengan sekedar berwacana, ujarnya. Pemerintah juga perlu menetapkan syarat dan ketentuan yang paling baik dalam lelang mencari investor untuk membangun kilang bahan bakar minyak.

Sejauh ini, investor sudah jelas menyatakan permintaan sejumlah insentif. Akan tetapi, insentif apa saja yang akan diberikan tidak kunjung diputuskan pemerintah. Soal insentif itu, kan, wajar kalau ditanyakan investor. Kalau pemerintah tidak segera menjawab, maka akan pindah untuk berinvestasi ke pihak lain, ujarnya.

Alokasi di APBN

Jika permintaan mengenai insentif dari infestor terlalu memberatkan, pemerintah semestinya segera mengalokasikan anggaran pembangunan kilang dalam APBN. Kalau tidak mau kerja sama dengan pihak asing atau swasta nasional, maka harus dianggarkan dalam APBN, dan dituangkan dalam mata anggaran APBN. Ini perlu ada kemauan politik dari pemerintah dan parlemen, kata dia, menegaskan.

Jika pembangunan kilang terus tertunda, hal itu akan mempengaruhi pada ketahanan energi nasional. Kalaupun sekarang dibangun, kilang baru beroperasi 3-4 tahun ke depan, karena pengerjaan konstruksinya butuh waktu 2-3 tahun, lalu perlu persiapan dan pasokan minyak. Jadi kalau dibangun sekarang, baru dinikmati tahun 2018, ujarnya.

Padahal pembangunan kilang itu penting untuk mengurangi ketergantungan impor produk bahan bakar minyak. Dari pada impor BBM, kan, lebih baik mengimpor minyak mentah. Kalau ada selisih margin maka bisa meminimalkan defisit transaksi perdagangan, ujarnya.

Kapasitas kilang BBM Milik Pertamina Saat ini 1 juta barrel per hari (bph). Dengan kebutuhan BBM mencapai 1,5 juta bph. Maka perlu kapasitas kilang 2 juta bph, karena kapasitas produksi kilang yang ada saat ini hanya 75-80 persen karena sudah tua. Sebagai pebandingan, kapasitas produksi kilang di AS dan Eropa rata-rata 85 persen karena kilang mereka tergolong baru.

Dengan kondisi itu, maka perlu penambahan 3-4 kilang dengan kapasitas masing-masing 300.000 barel per hari.

Sebelumnya pemerintah kembali menegaskan akan mendanai pembangunan satu kilang dengan memakai dana dari APBN. Pembangunan kilang tersebut memakan biaya Rp 90 triliun dan ditargetkan rampung 2018. Untuk dua kilang lagi, akan dibangun dengan skema kerja sama pemerintah dan swasta (KPS).

Direktor Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral A Edi Hermatoro, dalam situs Derektoran Jenderal Migas Kementerian ESDM, menegaskan, studi kelayakan kilang dilakukan PT Pertamina, dan pemerintah yang akan mendanai. Studi kelayakan itu dilakukan Pertamina karena perusahaan itu yang akan mengoperasikan kilang.

Kebijakan Open Access Infrastruktur Gas Nasional
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur Eksekutif ReforMiner Instutute
Koran SINDO Selasa, 29 Oktober 2013

Open Access Pipa Gas Untungkan Konsumen

Metrotvnews.com 24 Oktober 2013

Jakarta: Regulasi dan penerapan open access untuk infrastruktur transmisi distribusi gas nasional diperlukan agar membuat pasar gas domestik lebih sehat. Dengan open access konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan akan suplai gas.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai itu. “Konsumen yang selama ini tidak mendapatkan gas berpeluang untuk bisa memenuhi kebutuhannya karen penyuplai gas akan bertambah,” ujar Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada Media Indonesia, Kamis (24/10).

Ia menganggap dengan pipa berstatus open access, penyuplai gas akan saling berkompetisi satu dengan yang lain sehingga mendorong harga di end user bisa lebih rendah. “Jadi, open access akan mendorong ke arah efisiensi dan bukan high cost economy,” tegasnya.

Pasar yang selama ini relatif dikuasai PGN akan bergeser jika open access diterapkan karena adanya kompetisi. Namun, kondisi ini akan memaksa PGN untuk melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur secara massif agar bisa tetap mendapatkan keuntungan yang besar.

“Jadi, dengan open access dan membuka pasar itulah yang harus dilakukan agar infrastruktur gas nasional berkembang. Pada akhirnya diversifikasi energi dengan meningkatkan penggunaan gas untuk menggantikan BBM juga akan berjalan lebih cepat,” tandasnya. (Ayomi Amindoni)

Darurat Minyak Nasional
Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS, 01 Februari 2013

Basa-basi Kebijakan Energi
Pri Agung Rakhmanto
Dosen FTKE Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
Kompas, Selasa, 24 September 2013

Analisis Tren Industri Migas Global

Studi ReforMiner menemukan bahwa cadangan dan produksi minyak Indonesia pada periode 1980 – 2012 terus menurun setiap tahunnya. Sedangkan di sisi yang lain konsumsi minyak Indonesia justru terus meningkat. Kondisi sektor gas relatif lebih baik, dimana pada kurun waktu tersebut cadangan dan produksi gas Indonesia terus meningkat. Akan tetapi pada periode yang sama konsumsi gas Indonesia juga meningkat dengan laju peningkatan yang lebih tinggi.

Berbeda dengan cadangan minyak Indonesia yang terus menurun, cadangan minyak dunia justru terus mengalami peningkatan. Sebagian besar (54,28 %) cadangan minyak dunia selama kurun waktu 1980-2012 dikuasai oleh wilayah Timur Tengah. Penguasaan cadangan minyak terbesar selanjutnya adalah oleh wilayah Amerika Utara, Amerika Selatan & Tengah, Eropa & Eurasia, Afrika, dan Asia Pasifik. Berdasarkan data yang ada, Kawasan Amerika Selatan & Tengah, Afrika, dan Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir tercatat mengalami penambahan cadangan minyak dalam jumlah signifikan. Sedangkan untuk jumlah cadangan minyak di wilayah Asia Pasifik tercatat relatif stagnan. Hampir sama dengan minyak, sebagian besar (40,84 %) cadangan gas dunia selama kurun waktu tersebut dikuasai oleh wilayah Timur Tengah. Penguasaan cadangan gas terbesar selanjutnya adalah oleh wilayah Eropa & Eurasia, Asia Pasifik, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan & Tengah. Kawasan Timur Tengah,Eropa & Eurasia, Afrika, Asia Pasifik, dan Amerika Selatan & Tengah dalam beberapa tahun terakhir tercatat mengalami penambahan cadangan gas dalam jumlah signifikan. Sedangkan untuk jumlah cadangan gas di wilayah Amerika Utara tercatat relatif stagnan bahkan cenderung menurun.

Dari studi yang dilakukan, ditemukan bahwa kondisi penguasaan cadangan di beberapa kawasan dunia sebagai mana tersebut di atas tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan porsi produksi di kawasan tersebut. Porsi produksi minyak kawasan Timur Tengah yang menguasai sekitar 54,28 % cadangan minyak dunia adalah sekitar 29,40 % dari total produksi dunia. Sedangkan porsi produksi minyak terbesar selanjutnya adalah kawasan Eropa dan Eurasia, Amerika Utara, Afrika, Asia Pasifik, dan Amerika Selatan dan Tengah. Sama halnya kondisi produksi minyak, produksi gas di beberapa kawasan dunia juga tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan penguasaan cadangan di kawasan tersebut. Porsi produksi gas kawasan Timur Tengah yang menguasai sekitar 40,84 % cadangan gas dunia rata-rata hanya sekitar 10,04 % terhadap total produksi gas dunia. Data yang ada menunjukkan porsi produksi gas di kawasan Amerika Utara, Eropa dan Eurasia, dan Asia Pasifik lebih tinggi dibandingkan dengan porsi penguasaan cadangan gas di kawasan tersebut. Sedangkan untuk porsi produksi gas kawasan Amerika Selatan dan Tengah, Afrika, dan Timur Tengah lebih rendah dibandingkan dengan porsi penguasaan cadangan gas di kawasan tersebut.

Mengacu pada kondisi cadangan dan produksi migas tersebut, konsumsi minyak di beberapa kawasan dunia cenderung tidak ditentukan oleh penguasaan cadangan dan kemampuan produksi minyak di kawasan tersebut. Konsumsi minyak dan gas lebih lebih didominasi oleh kawasan Amerika Utara, Eropa dan Eurasia, dan Asia Pasifik masing masing sebesar 29,44 %, 27,85 % dan 26,27 % terhadap total konsumsi minyak dunia. Sedangkan untuk kawasan Timur Tengah, Amerika Selatan dan Tengah, dan Afrika masing-masing hanya 6,83 %, 6,30 %, dan 3,31 % terhadap total konsumsi minyak dunia. Berbeda dengan porsi konsumsi minyak, urutan porsi konsumsi gas diantaranya adalah Eropa dan Eurasia (40,59 %), Amerika Utara (31,45 %), Asia Pasifik (12,85 %), Timur Tengah (8,43 %), Amerika Selatan dan Tengah (3,98 %), dan Afrika (2,70 %).

Berdasarkan studi yang dilakukan, data yang ada menunjukkan investasi eksplorasi dan produksi hulu migas global terus meningkat setiap tahunnya. Investasi hulu migas global pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 masing-masing sebesar 418 miliar USD, 471 miliar USD, 566 miliar USD, dan 640 miliar USD. Berdasarkan data tersebut dalam 4 (empat) tahun terakhir realisasi investasi hulu migas global rata-rata meningkat sebesar 15,31 % setiap tahunnya. Peningkatan investasi hulu migas global juga tercatat merata hampir di seluruh kawasan dunia. Berdasarkan porsinya, terdapat tiga wilayah utama yang dominan dalam pengeluaran investasi hulu migas yaitu Amerika Serikat dan Kanada, Asia Pasifik, dan Amerika Latin.

Outlook Harga Minyak Dunia 2013 – 2014

Studi ReforMiner tentanga Outlook Harga Minyak Dunia 2013 – 2014 difokuskan pada faktor yang mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia. Studi menemukan bahwa harga minyak di pasar Internasional dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :(1) pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia khusunya di kawasan Asia mulai membaik, (2) adanya cuaca ekstrim yang dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap produksi dan penawaran komoditas minyak, dan (3) masih berlarutnya masalah geopolitik di timur tengah khususnya terjadinya perang saudara di Suriah dan Mesir.

Studi yang dilakukan juga menemukan bahwa perkembangan harga minyak di pasar Internasional tidak selalu berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi (PDB) maupun jumlah penawaran minyak. Sebagai contoh pada periode 1991 – 1994, ketika ekonomi (PDB) dunia meningkat, justru harga minyak pada periode tersebut mengalami penurunan. Sementara, pada periode 2003-2005, ketika produksi/penawaran minyak mengalami peningkatan, harga minyak di pasar Internasional tidak mengalami penurunan, namun justru meningkat. Temuan tersebut mempertegas bahwa harga minyak tidak hanya ditentukan oleh faktor fundamental, namun juga oleh faktor non fundamental.

ReforMiner memproyeksikan harga minyak di tahun 2014 akan meningkat sebesar 2,43 USD per barel dari tahun sebelumnya. Karena itu, jika rata-rata harga minyak dunia pada 2013 sebesar 94,22 USD per barel pergerakan harga minyak WTI pada tahun 2014 akan berada pada kisaran harga 96,65 USD per barel.

Secara akumulasi sepanjang tahun 2013-2014 akan terjadi penurunan pasokan minyak dunia 1,17 juta barel per hari atau 1,3 % terhadap kebutuhan minyak dunia. Hal itu disebabkan oleh tertahannya produksi OPEC di kisaran 30 juta barel per hari dari yang seharusnya 31,1 juta barel per hari. Selain itu, penurunan pasokan minyak dunia juga disebabkan oleh menurunnya pasokan minyak Amerika sebesar 2,8 juta barel. ReforMiner memperkirakan hal tersebut akan meningkatkan harga minyak dunia sepanjang 2013-2014 hingga mencapai level keseimbangan harga 102,62 USD per barel.

ReforMiner memproyeksikan bahwa asumsi harga minyak (ICP) yang ditetapkan dalam APBN-P 2013 dan RAPBN 2014 pada dasarnya relatif moderat. Dalam hal ini, APBN-P 2013 telah menetapkan asusmi ICP sebesar 108 USD per barel. Sedangkan RAPBN 2014 menetapkan asumsi ICP pada kisaran 100  – 115 USD per barel. Berdasarkan studi ReforMiner, postur APBN saat ini akan lebih baik jika realisasi ICP lebih rendah dibandingkan asumsi yang ditetapkan. Hal tersebut dikarenakan jika realisasi ICP lebih tinggi dari asumsi yang ditetapkan, tambahan anggaran subsidi energi yang dibutuhkan jauh lebih besar dibandingkan tambahan penerimaan negara dari sektor migas. Dalam hal ini, jika ReforMiner memproyeksikan harga minyak pada kisaran 96,65 USD – 102,62 USD per barel, cukup moderat jika kemudian asumsi ICP yang ditetapkan di APBN adalah 108USD – 115 USD per barel.

Analisis RPJMN 2010-2014 Untuk Sektor Energi dan Pertambangan

Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014, pemerintah menetapkan pembangunan sektor energi sebagai prioritas pembangunan ke- 8. Anggaran yang ditetapkan untuk pembangunan sektor energi selama 2010 – 2014 adalah sebesar Rp 59,77 triliun. Dengan demikian rataa – rata alokasi anggaran pembangunan sektor energi selama 2010 – 2014 adalah Rp 11,95 triliun per tahun. Proporsi besaran anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan sektor energi tersebut sebesar 4,72 % terhadap total anggaran untuk 11 prioritas pembangunan pada RPJMN 2010 – 2014 yang nilainya mencapai Rp 1.266,53 triliun.

Sub program prioritas pembangunan sektor energi yang ditetapkan di dalam RPJMN 2010 – 2014 diantaranya adalah pembuatan dokumen kebijakan, program restrukturisasi BUMN energi, peningkatan kapasitas energi, pengembangan energi alternatif, pengolahan/pengembangan hasil turunan minyak bumi/gas, dan konversi menuju penggunaan gas. Sementara itu, berdasarkan skala prioritas, sebagian besar anggaran dialokasikan untuk program peningkatan kapasitas energi nasiona yang meliputi peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar rata – rata 3.000 MW per tahun, rasio elektifikasi 60 % pada 2010 dan 80 % pada 2014, dan produksi minyak bumi sebesar lebih dari 1,2 juta barel per hari mulai pada tahun 2014.

Sedangkan pengembangan energi alternatif dan program konversi menuju pada penggunaan gas menjadi prioritas pembangunan sektor energi setelah program peningkatan kapasitas energi nasional. Dalam hal ini, pengembangan energi alternatif yang akan dilaksanakan pada 2010 – 2014 meliputi: (1) peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014; (2) dimulai produksi CBM untuk membangkitkan listrik pada 2011; dan (3) pemanfaatan potensi tenaga surya microhydro, bio energi, dan nuklir secara bertahap.

Sesuai dengan prioritas pembangunan 8 yang ditetapkan di dalam RPJMN 2010 – 2014, program aksi bidang energi pada 2010 – 2014 meliputi: (1) kebijakan integrasi rencana induk energi nasional, (2) restrukturisasi BUMN energi, (3) peningkatan kapasitas energi nasional, (4) peningkatan pemanfaatan energi alternatif, (5) revitalisasi industri hasil ikutan dan turunan minyak bumi/gas, dan (6) perluasan konversi BBM menuju penggunaan gas. Dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan, selama periode 2010-2014 dokumen kebijakan dan laporan terkait sektor energi yang dihasilkan ditargetkan sekitar 143 dokumen. Sementara itu, dokumen kebijakan yang diatergetkan selesai pada rentang waktu tersebut diantaranya: kebijakan ketenagalistrikan, kebijakan penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif, kebijakan pengembangan bahan bakar nabati, dan kebijakan pengembangan desa mandiri energi.

Selain itu, program restrukturisasi BUMN energi pada RPJMN 2010 – 2014 lebih diprioritaskan pada program transformasi dan konsolidasi BUMN bidang energi. Transformasi dan konsulidasi BUMN energi akan dimulai dari PLN dan Pertamina yang ditargetkan selesai selambata – lambatnya pada 2010 dan dikuti oleh BUMN lainnya. Restrukturisasi BUMN energi akan dilakukan pada seluruh BUMN yang dianggap besar, penting, dan memiliki nilai strategis. Sementara, tahapan dalam program restrukturisasi BUMN energi tersebut mencakup kajian terhadap restrukturisasi, pelaksanaan restrukturisasi, dan monitoring dan evaluasi.

Studi ReforMiner mengidentifikasikan bahwa idealnya program pembangunan jangka pendek (APBN) merupakan penjabaran dari program pembangunan jangka menengah (RPJMN). Namun, berdasarkan review yang dilakukan, program dan anggaran yang ditetapkan di dalam APBN terdapat kecenderungan berbeda dengan program dan anggaran yang ditetapkan di dalam RPJMN. Hal itu tercermin dalam APBN 2010 dan APBN 2011, dimana program dan anggaran yang ditetapkan di dalamnya cenderung tidak sejalan dengan program dan anggaran yang telah ditetapkan di dalam RPJMN 2010 – 2014.

Berdasarkan review terhadap ketentuan undanga – undang (UU) No. 2 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, belum ditemukan program dan anggaran yang mengakomodasi ketentuan di dalam RPJMN 2010 – 2014. Bahkan secara yuridis, Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 yang mengatur tentang RPJMN 2010 – 2014, tidak dijadikan dasar dan pertimbangan di dalam UU No.2 Tahun 2010 dan UU No.47 Tahun 2009. Sementara itu, dalam ketentuan di dalam UU APBN 2011, secara yuridis Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 yang mengatur tentang RPJMN 2010-2014 juga belum/tidak dijadaikan dasar dan pertimbangan di dalam penyusunan UU APBN 2011. Selain belum cukup untuk mengakomodasi ketentuan, program, dan anggaran yang ditetapkan di dalam RPJMN 2010-2014, pada ketentuan UU APBN 2011 juga terdapat celah yang besar untuk menjadikan UU APBN 2011 semakin jauh dari ketentuan di dalam RPJMN 2010-2014.

Analisis Perkembangan Harga Minyak Dunia

Studi ReforMiner menemukan bahwa selama periode Maret sampai dengan April 2010 perkembangan harga minyak dunia dan ICP cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan harga minyak tersebut pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh kinerja beberapa indikator/variabel ekonomi dunia (internasional) yang juga cenderung membaik pula. Membaiknya kondisi perekonomian dunia pada kuartal pertama 2010, terlihat dari peningkatan kinerja beberapa indikator ekonomi dunia, salah satunya tercermin dari cenderung meningkatnya indeks harga saham di beberapa bursa saham dunia. Sebagai contoh, selama periode yang dimaksud, rata-rata Frankfurt Dax Indeks meningkat dari 5.956,48 pada Maret 2010 menjadi 6.214,23 pada April 2010; rata-rata Hang Seng Indeks meningkat dari 21.137,67 pada Maret menjadi 21.628,62 pada April 2010. Pada periode yang sama, indikator lain yang mempengaruhi peningkatan harga minyak dunia adalah penurunan stok minyak AS yang mencapai rata-rata sebesar 0,23 juta barel per hari dan keputusan OPEC terkait tidak adanya penambahan kuota produksi yakni masih tetap sebesar 24,84 juta barel per hari.

Secara konseptual faktor fundamental yang menggerakkan harga minyak dunia adalah meningkatnya PDB dunia dan penawaran (suplai) minyak di pasar internasional. Berdasarkan simulasi ReforMiner, dengan asumsi besaran PDB dunia telah mencapai 54.672,53 miliar USD dan penawaran minyak yang mencapai 84,45 juta barel per hari maka setiap penurunan penawaran minyak sebesar 10 % atau sebesar 8,44 juta barel per hari akan menaikkan harga minyak dunia rata-rata sebesar 2,12 USD per barel atau meningkat sebesar 4 % dari harga semula. Sehingga, penurunan kuota produksi sebesar 10 % atau setara dengan 2,484 juta barel per hari akan meningkatkan harga minyak sebesar 0,63 USD per barel atau meningkat sebesar 1 % dari harga semula. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi atau peningkatan PDB sebesar 10 % dari periode sebelumnya akan meningkatkan harga minyak rata-rata sebesar 4,16 USD per barel atau meningkat sebesar 6,95 % dari harga sebelumnya.

Mengacu pada simulasi tersebut, diketahui bahwa elastisitas peningkatan harga minyak terhadap penurunan penawaran minyak lebih rendah jika dibandingkan dengan elastisitas harga minyak terhadap permintaan minyak (pertumbuhan ekonomi). Peningkatan/penurunan penawaran minyak sebesar 10% akan menurunkan/menaikan harga minyak sebesar 4%. Sementara itu, peningkatan/penurunan permintaan minyak (pertumbuhan ekonomi) sebesar 10% akan meningkatkan/menurunkan harga minyak sebesar 6,95 %.

Dengan demikian, jika mengacu pada faktor fundamental penggerak harga minyak serta mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2010 (oleh IMF sebesar 4,25 %), maka harga minyak pada tahun 2010 secara teoritis akan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,95 USD per barel atau meningkat sekitar 3,04% dibandingkan periode 2009. Jika pada prakteknya peningkatan harga minyak jauh melebihi angka-angka tersebut, kondisi tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor lainnya yang bersifat tidak langsung (non-fundamental) seperti spekulasi dan/atau sentimen-sentimen psikologis lain yang terkait dengan pergerakan pasar saham, inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar, imbal hasil surat utang, dan imbal hasil dari portofolio investasi.

Analisis Krisis Gas dan Rencana Kenaikan TDL

Berdasarkan studi ReforMiner terhadap Neraca Gas Indonesia 2009-2020 dan Neraca Gas Indonesia 2010-2025 ditemukan bahwa selama 2009 dan 2010 sebanyak 8 wilayah dari 12 wilayah/region mengalami defisit gas. Dimana pada periode 2009 defisit gas nasional tercatat sudah mencapai 2.153 MMSCFD yang terdistribusi dalam 8 wilayah, yang masing-masing wilayah mengalami defisit antara 18 – 916 MMSCFD. Sedangkan pada 2010 defisit gas nasional masih sebesar 1.289,70 MMSCFD, yang terdistribusi dalam 8 wilayah/region, dimana masing-masing wilayah mengalami defisit antara 27 – 367 MMSCFD. Data yang ada menunjukkan 8 wilayah yang mengalami defisit gas mencakup wilayah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Bagian Utara, Sumatera Bagian Selatan dan Tengah, Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur, Kalimantan Bagian Timur, Papua, dan Kepulauan Riau.

Sementara defisit gas masih terus terjadi, PGN justru berencana mengambil kebijakan menaikan harga jual gas domestik. PGN berencana menaikkan harga gas domestik rata-rata sebesar 15 %. Meski harus melalui pro dan kontra terlebih dahulu, dan setelah melalui rapat koordinasi antara Kementerian Perindustrian, Asosiasi-asosiasi Industri dan PGN, rencana kenaikan harga gas domestik oleh PGN akhirnya direalisasikan dan efektif per 1 April 2010.

Di satu sisi kebijakan pemerintah menaikkan harga gas domestik dimaksudkan untuk memberikan insentif agar pengusahaan sektor hulu gas dapat ditingkatkan. Namun di sisi lain, kebijakan kenaikan gas sebagaimana dilakukan oleh PGN tersebut sesungguhnya tidak tepat/tidak sejalan jika dikaitkan dengan peningkatan produksi (ketersediaan pasokan) di sisi hulunya. kenaikan harga gas tersebut hanya terjadi di sektor hilir atau hanya kenaikan harga jual gas oleh PGN yang dikenakan terhadap konsumen, sementara harga beli gas PGN dari KKKS tetap tidak ada evaluasi. Sebagai perbandingan, dengan harga Japan Crude Cocktail (JCC) sebesar 80 US$/barel, harga jual gas Donggi Sonoro di kepala sumur sekitar 7,36 US$/mmbtu. Sementara, dengan asumsi harga minyak (ICP) di APBN-P 2010 yang ditetapkan sebesar 80 US$/barel, harga beli gas PGN dari KKKS masih tertahan pada kisaran 1 – 3 US$/mmbtu.

Dalam perkembangannya, sebagai salah satu cara mengurangi beban subsidi listrik dan menangani permasalahan krisis listrik yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mewacanakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang akan dilakukan pada bulan Juli 2010. Kurangnya pasokan (krisis) listrik sebenarnya sudah dirasakan sejak tahun 2000. Sejak saat itu, laju rata-rata pertumbuhan pemasangan baru dan penambahan daya sudah di bawah laju pertumbuhan kapasitas terpasang. Data dari tahun 2000 hingga tahun 2008 menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan pemasangan baru sebesar 5,81 %, sementara rata-rata laju pertumbuhan kapasitas terpasang hanya sebesar 2,46 %. Kondisi tersebut merefleksikan besaran demand listrik lebih besar dibandingkan dengan supply listrik yang mampu disediakan oleh PLN.

Atas kondisi tersebut, pemerintah/PLN mengklaim bahwa krisis listrik yang berdampak terhadap rendahnya rasio elektrifikasi nasional (sampai tahun 2009 masih sekitar 60 %) disebabkan oleh rendahnya harga jual listrik. Kondisi tersebut diklaim mempersempit ruang gerak PLN dalam melakukan ekspansi usaha dan meningkatkan rasio elektrifikasi. Data pemerintah menunjukkan bahwa sejak tahun 2004-2008, rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok produksi listrik. Bahkan dari tahun ke tahun selisih antara harga jual listrik dan BPP listrik semakin besar. Kondisi tersebut mengharuskan pemerintah menganggarkan subsidi listrik untuk menutup biaya operasi PLN setiap tahunnya.

Buruknya manajemen kelistrikan nasional di dalam penggunaan bahan bakar pembangkit kiranya juga menjadi satu hal yang harus dicermati. Berdasarkan data yang ada, bauran energi untuk bahan bakar pembangkit PLN masih didominasi oleh BBM. Dominasi BBM dalam bauran energi pembangkit listrik PLN perlu dicermati, mengingat porsi kapasitas pembangkit yang menggunakan bahan bakar BBM (PLTD) sebenarnya relatif kecil. Buruknya manajemen penggunaan bahan bakar pembangkit PLN berdampak pada peningkatan biaya produksi listrik dari yang semestinya. Tidak jarang karena tidak mendapatkan pasokan gas, untuk mengoperasikan pembangkit (PLTG dan PLTGU), PLN menggantinya dengan penggunaan BBM.

Studi ReforMiner menemukan fakta bahwa pasokan gas untuk PLTG dan PLTGU periode 2010 tidak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan. Dari 26 PLTG dan PLTGU, tercatat hanya 11 pembangkit yang mendapatkan pasokan gas. Sementara, dari 11 pembangkit yang mendapatkan pasokan gas, hanya 3 pembangkit yang mendapat pasokan penuh (sesuai dengan perkiraan kebutuhan). Dengan kondisi tersebut, untuk menjaga stabilitas produksi listrik, praktis 12 pembangkit (PLTG dan PLTGU) harus beroperasi dengan menggunakan BBM. Sementara, 8 pembangkit sisanya harus beroperasi dengan menggunakan bahan bakar campuran antara gas dan BBM. Kondisi tersebut menyebabkan biaya produksi listrik menjadi lebih mahal (tidak efisien) dan proporsi biaya penggunaan BBM menjadi dominan.

Berdasarkan studi ReforMiner, sebenarnya bukan selalu hanya kenaikan TDL sajalah yang semestinya dipilih sebagai cara untuk menyelesaikan masalah kelistrikan nasional karena hal itu pun sebenarnya juga tak akan menyelesaikan ataupun memperbaiki permasalahan mendasar yang ada tetapi hanya sekedar mengurangi beban anggaran subsidi saja -, tetapi upaya pemenuhan gas bagi PLTG-PLTGU-lah yang semestinya dijalankan dengan segera, sungguh-sungguh dan konsisten.