Impor BBM dan Ketahanan Energi Nasional
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Media Indonesia Senin, 24 Desember 2012

Dalam beberapa tahun terakhir, masalah BBM seolah merupakan masalah klasik dan menjadi agenda rutin yang hampir selalu berulang setiap tahun. Permasalahan seringkali juga tidak jauh-jauh dari masalah harga distribusi (kelangkaan) dan volume (over kuota). Akar semua permasalahan tersebut pada dasarnya terletak pada kebijakan harga dan penyediaan BBM.

Kebijakan subsidi BBM yang diberikan melalui subsidi harga memberikan implikasi yang serius terhadap postur APBN, pola konsumsi BBM oleh masyarakat, dan kesehatan perekonomian nasional secara keseluruhan. Sementara itu, penyediaan BBM juga dihadapkan pada kinerja sektor hulu yang cenderung menurun dan masih terbatasnya kapasitas kilang yang kita miliki.

Sudah Tidak Seimbang

Berdasarkan data yang ada, dalam beberapa tahun terakhir permintaan dan penawaran minyak nasional sudah berada pada kondisi yang tidak seimbang. Itu disebabkan permintaan minyak nasional cenderung meningkat setiap tanhunnya. Sedangkan kemampuan produksi minyak nasional justru cenderung menurun.

Padahal, tidak seluruh dari produksi minyak nasional akan menjadi bagian pemerintah (negara). Hasil produksi minyak tersebut masih harus dikurangi dengan pengembalian biaya (cost recovery) dan hak bagi hasil untuk kontraktor.

Dengan asumsi bahwa pemerintah akan mendapatkan bagian produksi minyak nasional sekitar 60 % dari produksi kotor, kondisi permintaan dan penawaran minyak nasional telihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1: Perkembangan Permintaan dan Penawaran Minyak Nasional

Berdasarkan data seagai mana disapaikan pada tabe 1, diketahui bahwa sejak lama neraca minyak nasional sesungguhnya telah berada pada kondisi defisit. Kondisi tersebut juga diperberat lagi dengan perkembangan kapasitas kilang nasional yang relatif stagnan. Sumber: Kementerian ESDM & BP Statistical Review, diolah

Akibatnya, kebutuhan BBM nasional yang terus meningkat setiap tahunnya harus dipenuhi dengan melakukan impor produk BBM jadi. Hal itu karena jika impor dilakukan dalam bentuk minyak mentah, Kilang domestik sudah tidak dapat (mampu) lagi mengolahnya.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik perkembangan kapasitas kilang Indonesia relatif lambat. Karena itu, ketika kinerja neraca minyak negara-negara di kawasan Asia Pasifik terus meningkat, Indonesia justru cenderung menurun. Bahkan negara-negara seperti Jepang dan Singapura yang notabene relatif tidak memiliki minyak,meiliki kilang yang kapasitas jauh lebih besar daripada kapasitas kilang Indonesia.

Berikut perbandingan perkembangan kapasitas kilang nasional dan kapasitas kilang di Asia Pasifik (lihat pada tabel 2)

Tabel 2: Perbandingan Perkembangan Kapisitas Kilang

 

Berdasarkan data dalam tabel 2, penyumbang defisit kapasitas kilang terbesar di Asia Pacific pada periode 2006 dan 2007 adalah Indonesia. Bahkan pada periode selanjutnya, ketika kapasitas kilang di kawasan Asia Pasifik mengalami surplus, defisit kapasitas kilang Indonesia justru cenderung meningkat. Dalam hal ini, kapasitas kilang Indonesia pada dasarnya juga meningkat, namun tidak begitu signifikan. Peningkatan kapasitas kilang Indonesia yang hanya sekitar 2 % per tahun tersebut, tidak dapat memenuhi konsumsi BBM dalam negeri yang sejak lama kebutuhannya memang telah melebihi kapasitas kilang yang ada.Sumber: BP Statistical Review, diolah

Permasalahan penyediaan BBM yang cenderung bergantung pada imporpada dasarnya tidak hanya berpengaruh terhadap kinerja sektor energi Sektor moneter, utamanya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan nilai tukar Rupiah, juga berpotensi tertekan dengan semakin meningkatnya impor BBM. Itu dikarenakan kebutuhan devisa untuk impor BBM cenderung terus mengalami peningkatan. Akibatnya, jika ekspor non migas di sisi yang lain tidak mengalami peningkatan, maka NPI terancam defisit dan nilai tukar Rupiah juga berpotensi terdepresiasi.

Berikut adalah perkembangan Neraca Perdagangan Minyak dan Neraca Pembayaran Indonesia dalam beberapa tahun terakhir (lihat pada tabel 3).

Tebel 3: Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

Sumber: PT Pertamina & BP Migas, dalam NPI-Bank Indonesia, diolah

Perlu Terobosan dan Pemikiran Strategis Untuk saat ini, permasalahan penyediaan BBM dalam negeri semakin kronis dan dihadapkan pada masalah yang semakin kompleks. Itu semua bukan hanya akibat permasalahan di sektor hulu dan hilir migas. Kebijakan harga dan penyediaan BBM nasional yang cenderung politis Juga menyebabkan permasalahan yang ada kian sulit terurai. Karena itu, penyelesainnya tentu sudah tidak dapat dilakukan dengan cara yang biasa-biasa.

Penyelesaian masalah BBM tersebut membutuhkan kombinasi dari kepemimpinan yang kuat, pemikiran strategis, terobosan, kemauan, dan keberanian dalam mengeksekusi setiap kebijakan yang telah direncanakan.Jika itu semua tidak ada, maka kebutuhan BBM dalam negeri yang terus meningkat akan selalu dipenuhi dari impor. Dalam konteks ketahanan energi nasional tentunya hal itu sangat mengkhawatirkan, bahkan membahayakan. Itu mengingat sampai dengan saat ini porsi BBM terhadap konsumsi energi final nasional masih sekitar 60 %. Karena itu, jika penyedian BBM terganggu, akan mengganggu sekitar 60 % konsumsi energi nasional. Dimungkinkan pula aktivitas sosial ekonomi masyarakat akan terganggu, bahkan terhenti.

Berkaitan dengan itu semua, cara pandang kita semua, utamanya cara pandang pengambil kebijakan kiranya perlu dikonstruksikan ulang. Bahwa meskipun kebijakan dan pengaturan BBM tidak terpisahkan dengan aspek politik, akan tetapi permasalahan penyediaan BBM tidak akan dapat diselesaikan jika hal itu hanya dipolitisasi. Terkait kondisi cadangan dan produksi minyak nasional yang cenderung terus menurun, dalam kebijakan pengelolaan BBM pertimbangan teknis dan bisnis sudah seharusnya lebih dikedepankan. Hal lain yang juga tidak kalah penting, permasalahan BBM nasional yang sudah semakin kompleks tersebut tidak akan terselesaikan sekedar dengan banyak rencana kebijakan, tapi minim implementasi.

 

Kisruh (kuota) BBM Sampai Kapan ?
Pri Agung Rakhmanto
Pendiri ReforMiner Institute ; Dosen FTKE Universitas Trisakti
Bisnis Indonesia – Senin, 03 Desember 2012

Dalam beberapa tahun terakhir, volume kuota BBM subsidi selalu terlampaui. Sejalan dengan itu, antrean di banyak SPBU di sejumlah wilayah karena ketersediaan BBM subsidi yang langka juga terus terjadi.

Tahun ini kejadian itu kembali berulang dan dapat dikatakan semakin parah. Baru pada September lalu kuota BBM subsidi di APBN-P 2012 ditambah dari 40,04 juta kilo liter menjadi 44,04 juta kilo liter, saat ini jumlah itu sudah akan habis kembali.

Pemerintah berencana meminta tambahan kuota sebesar 1,2 juta kilo liter lagi ke DPR untuk mencukupi kebutuhan BBM subsidi hingga akhir tahun ini. Dalam hal nominal anggaran, nilainya kurang lebih setara Rp. 5,5 triliun.

Persoalan yang selalu berulang ini tidak hanya membosankan dan menghabiskan energi publik, dan terlebih, dunia usaha. Lebih jauh lagi, karena sudah mulai memicu ketegangan sosial di beberapa tempat, persoalan ini juga merugikan dan meresahkan masyarakat. Ada beberapa penyebab utama mengapa kisruh (kuota) BBM ini terus terjadi.

Pertama, pemerintah, khususnya dengan jajaran Kementerian ESDM dan BPH Migas di dalamnya, tak pernah tahu persis berapa sesungguhnya volume BBM subsidi yang benar-benar dikonsumsi masyarakat dan berapa banyak yang disalahgunakan.

Pemerintah hanya sering mengatakan bahwa banyak BBM subsidi yang disalahgunakan, namun tak pernah mampu mengkuantifikasikan berapa (kisaran) jumlahnya.

Titik-titik dimana terjadi penyalahgunaan tersebut juga tak pernah terpetakan dengan jelas. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin bisa menghasilkan perkiraan jumlah kuota yang akurat? Aspek perencanaan dan pengawasan dalam hal penyaluran dan pendistribusian BBM subsidi seperti tak berjalan. Tak mengherankan jika kemudian ada sebagian publik yang menuntut pembubaran BPH Migas, karena keberadaannya dipandang tak efektif.

Kedua, dalam beberapa tahun terakhir, praktis memang relatif tak ada kebijakan konkret yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Kebijakan menaikkan harga terakhir diambil pada 2008, dan itu pun, untuk kepentingan politis kemudian diturunkan lagi menjelang Pemilu 2009 lalu. Pengendalian konsumsi hanya diupayakan melalui himbauan, spanduk, iklan, penempelan stiker dan (hampir saja) fatwa haram penggunaan BBM subsidi.

Penggunaan energi alternatif, biofuels dan gas untuk transportasi, bisa dikatakan tak berjalan karena memang tak diupayakan sungguh-sungguh. Upaya menaikkan harga pada tahun ini juga gagal dilakukan karena diwacanakan terlalu lama sehingga akhirnya dipolitisasi sedemikian rupa. Disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi, di kisaran Rp. 4.500 per liter, dengan sendirinya tetap tak tersentuh dan menjadi insentif bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Maka, sesungguhnya tak perlu heran jika kemudian realisasi konsumsi BBM subsidi terus naik secara signifikan dari tahun ke tahun.

Jika realisasi tahun ini benar-benar menembus angka 45,2 juta kilo liter, maka itu berarti terjadi penambahan 3,5 juta kilo liter (8 persen per tahun) dari realisasi tahun 2011 yang mencapai 41,7 juta kilo liter.

Ketiga, masih dengan akar masalah yang tidak tersentuh, upaya pengendalian yang dilakukan di penghujung tahun ini kemudian adalah dengan menginstruksikan Pertamina untuk melakukan pengkitiran. Pendistribusian BBM subsidi di sejumlah SPBU di berbagai wilayah dikurangi secara paksa demi menjaga supaya kuota tidak jebol. Tentu saja yang terjadi adalah kelangkaan dan keresahan sosial di masyarakat.

Harus Segera

Untuk permasalahan yang sudah sedemikian kronis, tentu tak ada satu obat mujarab yang dapat menyelesaikannya secara seketika dan tanpa dampak. Namun, jelas, sesuatu yang konkret harus segera dilakukan secara tegas, berani, terukur tetapi tanpa terlalu banyak diwacanakan.

Jika hanya diatasi dengan cara business as usual, atau out of the box tetapi tidak esensial seperti halnya rencana gerakan satu hari tanpa BBM subsidi -, itu tak akan memperbaiki keadaan, apalagi menyelesaikannya. Kisruh yang sama akan terus terjadi untuk jangka waktu yang tak berujung.

Dalam jangka pendek, pilihan kebijakan yang harus diambil memang relatif tak banyak. Kenaikan harga BBM subsidi katakanlah menjadi Rp. 6.000 per liter masih merupakan satu opsi yang relatif paling rasional. Opsi ini memang tak secara langsung berkorelasi terhadap pengendalian volume konsumsi BBM subsidi, namun tetap akan lebih banyak membawa perbaikan dan penyelesaian dari permasalahan yang ada.

Kenaikan harga akan mengurangi disparitas harga BBM subsidi dan non-subsidi sehingga mengurangi insentif untuk dilakukannya penyalahunaan. Semakin sempit disparitas harga, semakin besar juga insentif untuk mengkonsumsi BBM non-subsidi. Kenaikan harga akan membuat BBM menjadi relatif lebih mahal sehingga mengkondisikan orang untuk mengkonsumsinya secara lebih rasional (tidak berlebihan).

Kenaikan harga juga akan menghemat alokasi anggaran subsidi di APBN secara langsung dan signifikan sehingga tekanan fiskal akan berkurang. Jika tekanan dari sisi anggaran dapat dikurangi, maka pengendalian volume tak lagi harus dilakukan dengan cara-cara paksa yang memicu keresahan dan kerusuhan di masyarakat.

Sehingga, kebijakan mendorong penggunaan biofuels dan gas untuk transportasi dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan tak sekadar menjadi proyek membagi converter kit.

Daripada terlalu banyak mewacanakan berbagai alternatif kebijakankreatif yang juga tidak efektif, dalam jangka pendek akan lebih baik jika pemerintah fokus pada bagaimana bisa merealisasikan opsi kenaikan harga BBM dengan dampak ekonomi, politik dan sosial yang terkelola dengan baik.