Impor BBM dan Ketahanan Energi Nasional
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Media Indonesia Senin, 24 Desember 2012

Dalam beberapa tahun terakhir, masalah BBM seolah merupakan masalah klasik dan menjadi agenda rutin yang hampir selalu berulang setiap tahun. Permasalahan seringkali juga tidak jauh-jauh dari masalah harga distribusi (kelangkaan) dan volume (over kuota). Akar semua permasalahan tersebut pada dasarnya terletak pada kebijakan harga dan penyediaan BBM.

Kebijakan subsidi BBM yang diberikan melalui subsidi harga memberikan implikasi yang serius terhadap postur APBN, pola konsumsi BBM oleh masyarakat, dan kesehatan perekonomian nasional secara keseluruhan. Sementara itu, penyediaan BBM juga dihadapkan pada kinerja sektor hulu yang cenderung menurun dan masih terbatasnya kapasitas kilang yang kita miliki.

Sudah Tidak Seimbang

Berdasarkan data yang ada, dalam beberapa tahun terakhir permintaan dan penawaran minyak nasional sudah berada pada kondisi yang tidak seimbang. Itu disebabkan permintaan minyak nasional cenderung meningkat setiap tanhunnya. Sedangkan kemampuan produksi minyak nasional justru cenderung menurun.

Padahal, tidak seluruh dari produksi minyak nasional akan menjadi bagian pemerintah (negara). Hasil produksi minyak tersebut masih harus dikurangi dengan pengembalian biaya (cost recovery) dan hak bagi hasil untuk kontraktor.

Dengan asumsi bahwa pemerintah akan mendapatkan bagian produksi minyak nasional sekitar 60 % dari produksi kotor, kondisi permintaan dan penawaran minyak nasional telihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1: Perkembangan Permintaan dan Penawaran Minyak Nasional

Berdasarkan data seagai mana disapaikan pada tabe 1, diketahui bahwa sejak lama neraca minyak nasional sesungguhnya telah berada pada kondisi defisit. Kondisi tersebut juga diperberat lagi dengan perkembangan kapasitas kilang nasional yang relatif stagnan. Sumber: Kementerian ESDM & BP Statistical Review, diolah

Akibatnya, kebutuhan BBM nasional yang terus meningkat setiap tahunnya harus dipenuhi dengan melakukan impor produk BBM jadi. Hal itu karena jika impor dilakukan dalam bentuk minyak mentah, Kilang domestik sudah tidak dapat (mampu) lagi mengolahnya.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik perkembangan kapasitas kilang Indonesia relatif lambat. Karena itu, ketika kinerja neraca minyak negara-negara di kawasan Asia Pasifik terus meningkat, Indonesia justru cenderung menurun. Bahkan negara-negara seperti Jepang dan Singapura yang notabene relatif tidak memiliki minyak,meiliki kilang yang kapasitas jauh lebih besar daripada kapasitas kilang Indonesia.

Berikut perbandingan perkembangan kapasitas kilang nasional dan kapasitas kilang di Asia Pasifik (lihat pada tabel 2)

Tabel 2: Perbandingan Perkembangan Kapisitas Kilang

 

Berdasarkan data dalam tabel 2, penyumbang defisit kapasitas kilang terbesar di Asia Pacific pada periode 2006 dan 2007 adalah Indonesia. Bahkan pada periode selanjutnya, ketika kapasitas kilang di kawasan Asia Pasifik mengalami surplus, defisit kapasitas kilang Indonesia justru cenderung meningkat. Dalam hal ini, kapasitas kilang Indonesia pada dasarnya juga meningkat, namun tidak begitu signifikan. Peningkatan kapasitas kilang Indonesia yang hanya sekitar 2 % per tahun tersebut, tidak dapat memenuhi konsumsi BBM dalam negeri yang sejak lama kebutuhannya memang telah melebihi kapasitas kilang yang ada.Sumber: BP Statistical Review, diolah

Permasalahan penyediaan BBM yang cenderung bergantung pada imporpada dasarnya tidak hanya berpengaruh terhadap kinerja sektor energi Sektor moneter, utamanya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan nilai tukar Rupiah, juga berpotensi tertekan dengan semakin meningkatnya impor BBM. Itu dikarenakan kebutuhan devisa untuk impor BBM cenderung terus mengalami peningkatan. Akibatnya, jika ekspor non migas di sisi yang lain tidak mengalami peningkatan, maka NPI terancam defisit dan nilai tukar Rupiah juga berpotensi terdepresiasi.

Berikut adalah perkembangan Neraca Perdagangan Minyak dan Neraca Pembayaran Indonesia dalam beberapa tahun terakhir (lihat pada tabel 3).

Tebel 3: Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

Sumber: PT Pertamina & BP Migas, dalam NPI-Bank Indonesia, diolah

Perlu Terobosan dan Pemikiran Strategis Untuk saat ini, permasalahan penyediaan BBM dalam negeri semakin kronis dan dihadapkan pada masalah yang semakin kompleks. Itu semua bukan hanya akibat permasalahan di sektor hulu dan hilir migas. Kebijakan harga dan penyediaan BBM nasional yang cenderung politis Juga menyebabkan permasalahan yang ada kian sulit terurai. Karena itu, penyelesainnya tentu sudah tidak dapat dilakukan dengan cara yang biasa-biasa.

Penyelesaian masalah BBM tersebut membutuhkan kombinasi dari kepemimpinan yang kuat, pemikiran strategis, terobosan, kemauan, dan keberanian dalam mengeksekusi setiap kebijakan yang telah direncanakan.Jika itu semua tidak ada, maka kebutuhan BBM dalam negeri yang terus meningkat akan selalu dipenuhi dari impor. Dalam konteks ketahanan energi nasional tentunya hal itu sangat mengkhawatirkan, bahkan membahayakan. Itu mengingat sampai dengan saat ini porsi BBM terhadap konsumsi energi final nasional masih sekitar 60 %. Karena itu, jika penyedian BBM terganggu, akan mengganggu sekitar 60 % konsumsi energi nasional. Dimungkinkan pula aktivitas sosial ekonomi masyarakat akan terganggu, bahkan terhenti.

Berkaitan dengan itu semua, cara pandang kita semua, utamanya cara pandang pengambil kebijakan kiranya perlu dikonstruksikan ulang. Bahwa meskipun kebijakan dan pengaturan BBM tidak terpisahkan dengan aspek politik, akan tetapi permasalahan penyediaan BBM tidak akan dapat diselesaikan jika hal itu hanya dipolitisasi. Terkait kondisi cadangan dan produksi minyak nasional yang cenderung terus menurun, dalam kebijakan pengelolaan BBM pertimbangan teknis dan bisnis sudah seharusnya lebih dikedepankan. Hal lain yang juga tidak kalah penting, permasalahan BBM nasional yang sudah semakin kompleks tersebut tidak akan terselesaikan sekedar dengan banyak rencana kebijakan, tapi minim implementasi.

 

Kisruh (kuota) BBM Sampai Kapan ?
Pri Agung Rakhmanto
Pendiri ReforMiner Institute ; Dosen FTKE Universitas Trisakti
Bisnis Indonesia – Senin, 03 Desember 2012

Dalam beberapa tahun terakhir, volume kuota BBM subsidi selalu terlampaui. Sejalan dengan itu, antrean di banyak SPBU di sejumlah wilayah karena ketersediaan BBM subsidi yang langka juga terus terjadi.

Tahun ini kejadian itu kembali berulang dan dapat dikatakan semakin parah. Baru pada September lalu kuota BBM subsidi di APBN-P 2012 ditambah dari 40,04 juta kilo liter menjadi 44,04 juta kilo liter, saat ini jumlah itu sudah akan habis kembali.

Pemerintah berencana meminta tambahan kuota sebesar 1,2 juta kilo liter lagi ke DPR untuk mencukupi kebutuhan BBM subsidi hingga akhir tahun ini. Dalam hal nominal anggaran, nilainya kurang lebih setara Rp. 5,5 triliun.

Persoalan yang selalu berulang ini tidak hanya membosankan dan menghabiskan energi publik, dan terlebih, dunia usaha. Lebih jauh lagi, karena sudah mulai memicu ketegangan sosial di beberapa tempat, persoalan ini juga merugikan dan meresahkan masyarakat. Ada beberapa penyebab utama mengapa kisruh (kuota) BBM ini terus terjadi.

Pertama, pemerintah, khususnya dengan jajaran Kementerian ESDM dan BPH Migas di dalamnya, tak pernah tahu persis berapa sesungguhnya volume BBM subsidi yang benar-benar dikonsumsi masyarakat dan berapa banyak yang disalahgunakan.

Pemerintah hanya sering mengatakan bahwa banyak BBM subsidi yang disalahgunakan, namun tak pernah mampu mengkuantifikasikan berapa (kisaran) jumlahnya.

Titik-titik dimana terjadi penyalahgunaan tersebut juga tak pernah terpetakan dengan jelas. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin bisa menghasilkan perkiraan jumlah kuota yang akurat? Aspek perencanaan dan pengawasan dalam hal penyaluran dan pendistribusian BBM subsidi seperti tak berjalan. Tak mengherankan jika kemudian ada sebagian publik yang menuntut pembubaran BPH Migas, karena keberadaannya dipandang tak efektif.

Kedua, dalam beberapa tahun terakhir, praktis memang relatif tak ada kebijakan konkret yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Kebijakan menaikkan harga terakhir diambil pada 2008, dan itu pun, untuk kepentingan politis kemudian diturunkan lagi menjelang Pemilu 2009 lalu. Pengendalian konsumsi hanya diupayakan melalui himbauan, spanduk, iklan, penempelan stiker dan (hampir saja) fatwa haram penggunaan BBM subsidi.

Penggunaan energi alternatif, biofuels dan gas untuk transportasi, bisa dikatakan tak berjalan karena memang tak diupayakan sungguh-sungguh. Upaya menaikkan harga pada tahun ini juga gagal dilakukan karena diwacanakan terlalu lama sehingga akhirnya dipolitisasi sedemikian rupa. Disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi, di kisaran Rp. 4.500 per liter, dengan sendirinya tetap tak tersentuh dan menjadi insentif bagi siapa saja untuk memanfaatkannya. Maka, sesungguhnya tak perlu heran jika kemudian realisasi konsumsi BBM subsidi terus naik secara signifikan dari tahun ke tahun.

Jika realisasi tahun ini benar-benar menembus angka 45,2 juta kilo liter, maka itu berarti terjadi penambahan 3,5 juta kilo liter (8 persen per tahun) dari realisasi tahun 2011 yang mencapai 41,7 juta kilo liter.

Ketiga, masih dengan akar masalah yang tidak tersentuh, upaya pengendalian yang dilakukan di penghujung tahun ini kemudian adalah dengan menginstruksikan Pertamina untuk melakukan pengkitiran. Pendistribusian BBM subsidi di sejumlah SPBU di berbagai wilayah dikurangi secara paksa demi menjaga supaya kuota tidak jebol. Tentu saja yang terjadi adalah kelangkaan dan keresahan sosial di masyarakat.

Harus Segera

Untuk permasalahan yang sudah sedemikian kronis, tentu tak ada satu obat mujarab yang dapat menyelesaikannya secara seketika dan tanpa dampak. Namun, jelas, sesuatu yang konkret harus segera dilakukan secara tegas, berani, terukur tetapi tanpa terlalu banyak diwacanakan.

Jika hanya diatasi dengan cara business as usual, atau out of the box tetapi tidak esensial seperti halnya rencana gerakan satu hari tanpa BBM subsidi -, itu tak akan memperbaiki keadaan, apalagi menyelesaikannya. Kisruh yang sama akan terus terjadi untuk jangka waktu yang tak berujung.

Dalam jangka pendek, pilihan kebijakan yang harus diambil memang relatif tak banyak. Kenaikan harga BBM subsidi katakanlah menjadi Rp. 6.000 per liter masih merupakan satu opsi yang relatif paling rasional. Opsi ini memang tak secara langsung berkorelasi terhadap pengendalian volume konsumsi BBM subsidi, namun tetap akan lebih banyak membawa perbaikan dan penyelesaian dari permasalahan yang ada.

Kenaikan harga akan mengurangi disparitas harga BBM subsidi dan non-subsidi sehingga mengurangi insentif untuk dilakukannya penyalahunaan. Semakin sempit disparitas harga, semakin besar juga insentif untuk mengkonsumsi BBM non-subsidi. Kenaikan harga akan membuat BBM menjadi relatif lebih mahal sehingga mengkondisikan orang untuk mengkonsumsinya secara lebih rasional (tidak berlebihan).

Kenaikan harga juga akan menghemat alokasi anggaran subsidi di APBN secara langsung dan signifikan sehingga tekanan fiskal akan berkurang. Jika tekanan dari sisi anggaran dapat dikurangi, maka pengendalian volume tak lagi harus dilakukan dengan cara-cara paksa yang memicu keresahan dan kerusuhan di masyarakat.

Sehingga, kebijakan mendorong penggunaan biofuels dan gas untuk transportasi dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan tak sekadar menjadi proyek membagi converter kit.

Daripada terlalu banyak mewacanakan berbagai alternatif kebijakankreatif yang juga tidak efektif, dalam jangka pendek akan lebih baik jika pemerintah fokus pada bagaimana bisa merealisasikan opsi kenaikan harga BBM dengan dampak ekonomi, politik dan sosial yang terkelola dengan baik.

 

Membenahi Pengelolaan Migas

Pri Agung Rakhmanto

Pendiri ReforMiner Institute ; Dosen FTKE Universitas Trisakti

KOMPAS,23 November 2012

Mahkamah Konstitusi Melalui Putusan Nomor 36/PUUX/2012 Membubarkan Badan Pelaksanan Badan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Pada 13 November 2012.

MK menilai keberadaan BP Migas inkonstitusional karena mengonstruksikan kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33.

Pertama, MK menilai bahwa keberadaan BP Migas sebagai organ pemerintah dengan status badan hukum milik negara (BHMN) mendegradasi makna penguasaan negara atas migas. Penguasaan negara menjadi tidak langsung sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk kemakmuran rakyat. BP Migas hanya boleh mengawasi dan mengendalikan, tetapi tidak (dapat) mengelola migas langsung karena BP Migas bukan badan usaha milik negara (BUMN).

Kedua, MK menilai keberadaan BP Migas mengakibatkan negara kehilangan kewenangan mengelola atau menunjuk langsung BUMN untuk mengelola migas. Padahal, fungsi pengelolaan secara langsung dengan melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsun menurut MK, adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai kemakmuran rakyat.

MK mengamanatkan agar pemerintah dapat segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada penguasaan oleh negara yang berorientasi penuh pada upaya manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.

Sebenarnya sudah sangat jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan putusan dan amanat MK setelah masa transisi sekarang. Pemerintah harus membentuk struktur kelembagaan hulu migas baru yang mengonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada tingkat pertama, yang tidak menghalangi kewenangan negara menunjuk BUMN mengelola dan menjalankan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.

Perusahaan Negara

Dapat dikatakan bahwa pilihan ke depan yang konstitusional  hanya dua. Pertama, pemerintah menunjuk BUMN di bidang (hulu) migas yang ada untuk melakukan itu. Kedua, pemerintah mendirikan perusahaan hulu migas negara (baru) untuk melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.

Dalam konteks ini, pola pikir kita harus berubah: bahwa sesungguhnya yang kita perlukan adalah sebuah perusahaan hulu migas untuk menjalankan kegiatan usaha migas secara langsung. Jika dalam melakukan kegiatan usaha itu perusahaan hulu migas negara yang ditunjuk tidak sepenuhnya mampu, maka dapat bekerja sama dengan pihak lain.

Dalam konteks kerja sama inilah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian yang selama ini dijalankan BP Migas dengan sistem kontrak kerja sama diperlukan. Jadi, tingkat pengawasan dan pengendalian sebenarnya hanya pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha, seperti perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (business to business/B to B). Maka, yang diperlukan badan usaha negara, bukan organ pemerintah.

Kita sebenarnya telah memiliki Pertamina sehingga tak harus mendirikan dari nol. Cikal bakal perusahaan hulu migas negara yang dimaksud juga telah ada, yaitu Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Pertamina Eksplorasi Produksi (PEP).

Keduanya saat ini merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero). Namun, kita tak ingin pengalaman pahit di mana pemusatan semua aktivitas migas, baik di hulu, tengah, dan hilir, ada pada Pertamina terulang kembali. Oleh karena itu, sebelum menetapkan keduanya sebagai representasi dari negara dalam pengelolaan migas, pemerintah perlu terlebih dahulu merestrukturisasi PT Pertamina (Persero).

PHE dan PEP sebaiknya dikeluarkan tidak lagi menjadi anak usaha dari PT Pertamina (Persero) dan menjadi dua perusahaan hulu migas negara yang secara langsung dan khusus (lex specialis) berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keduanya dapat menjadi manifestasi amanat putusan MK tentang penguasaan dan pengelolaan migas yang konstitusional. PEP dapat berfungsi sebagai perusahaan hulu migas negara yang mengelola blok-blok migas secara mandiri.

Sementara PHE menjadi perusahaan hulu migas negara yang khusus mengelola blok-blok migas yang dikerjasamakan dengan pihak lain melalui kontrak kerja sama, semacam BP Migas baru tetapi berbentuk badan usaha.

Sumber daya (manusia) yang sangat berharga pada institusi eks BP Migas dapat menjadi tulang punggung kedua perusahaan hulu migas negara tersebut.

 

Putusan MK Tidak Otomatis Mengembalikan Fungsi BP Migas ke Pertamina

KOMPAS.com, 22 November 2012

JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi dan mengalihkan fungsinya kepada pemerintah tidak secara otomatis mengembalikan fungsi badan pelaksana itu kepada PT Pertamina (Persero). Jika kemudian dikembalikan ke perseroan itu,

Revisi UU Migas Harus Beri Solusi

Investor Daily  20 November 2012

Jakarta, Revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang sedang diproses DPR harus sesuai konstitusi, serta memberi solusi komprehensif dan bisa mengantisipasi persoalan migas dimasa mendatang. Pasal-pasal yang baru tidak boleh tercemar transaksi kepentingan pihak tertentu atau politik dagang sapia

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) harus mengikuti konstitusi, yakni migas dikuasai langsung oleh negara untuk memakmurkan rakyat. RUU Migas yang sedang dibahas di DPR jangan berbasis kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga nantinya kembali melanggar konstitusi. Kalau tidak sesuai UUD 1945, akan ada lagi yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK bisa membatalkan pasal-pasal UU Migas yang baru, kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, senin (19/11)

Pasal-pasal dalam UU Migas Tersebut banyak yang tidak sesuai konstitusi, sehingga dibatalkan MK. Dia pernah mengaku mengingatkan DPR tentang pasal-pasal UU Migas yang rawan digugat.

Lihat sejak UU No. 22 Tahun 2001 itu diberlakukan, tidak ada cadangan migas baru yang besar yang ditemukan di Tanah Air, imbuh dia.

Ia Menambahkan, selain tidak mudah digugat, UU Migas yang baru harus bisa bertahan lama. Sikap hati-hati diperlukan dalam pembahasan RUU Migas, namun Revisi UU tetap harus bisa cepat diselesaikan. Hal ini dimungkinkan jika DPR bebas dari kepentingan kelompok.

DPR dan Pemerintah jangan mempertaruhkan masa depan negara dan bangsa, dengan mengedepankan kelompok dalam pembahasan RUU Migas. Putusan MK itu sudah jelas, pandangannya sudah final tentang pasal-pasal yang dibatalkan. Jadi, kalau tidak ada tarik menarik kepentingan di antara anggota DPR, mestinya pembahasan RUU Migas cepat selesaia, ucap dia.

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Mohamad Sohibul Iman Mengatakan, sebelum membatalkan pasal mengenai Badan Pelaksana yang mendasari pembentukan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), MK telah membatalkan pasal-pasal lain dalam UU Migas.

Pasal-pasal yang telah dianulir sebelumnya adalah ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) serta penentuan harga eceran BBM melalui mekanisme pasar, papar dia.

Menurut Sohibul Iman, menyusul pembubaran BP Migas, fungsi pengelola kegiatan hulu migas harus segera diserahkan secara permanen kepada badan hukum sekaligus badan usaha. Lembaga tersebut harus berbeda dari BP Migas yang dibubarkan MK, yang hanya merupakan badan hukum.

Jika merupakan badan usaha, lembaga tersebut mampu menjalankan delegasi dari Negara sebagai entitas bisnis migas, termasuk melakukan kerja sama bisnis dengan menerapkan mekanisme business to business. Lembaga pengganti juga harus memiliki fungsi lebih luas seperti Petronas di Malaysia, yakni menjalankan fungsi entitas bisnis dan menjaga ketahanan migas nasional. Indonesia memiliki lembaga serupa, yakni Pertamina, ucap dia.

Perusahaan migas pelat merah tersebut dinilai memiliki kelebihan dibanding BP Migas, yakni berstatus badan hukum sekaligus badan usaha. Namun, corporate culture Pertamina perlu diubah menjadi baik.

Fungsi-fungsi seperti BP Migas bisa diserahkan ke Pertamina, tapi perlu overhaul (turun mesin) lebih dulu. Pertamina sebagai BUMN juga harus imun dari penyimpangan dan intervensi dari pemerintah maupun politikusa tandas Sohibul.

Ia menegaskan, satuan kerja sementara (SKS) pengelola kegiatan hulu migas yang dibentuk pemerintah harus benar-benar ditempatkan sebagai lembaga sementara. Artinya , Pemerintah harus segera membentuk lembaga baru yang permanen.

Kita harus belajar dari kasus BP Migas yang dibubarkan, yang hanya berbentuk badan hukum sehingga tidak memiliki alat-alat produksi, kilang, dan lain-lain. jika suatu hari pemegang kontrak migas menghentikan produksi, apakah badan hukum semacam ini bisa menjaga ketahanan energi nasional? Jelas tidak bisa, karena dia bukan badan usaha yang bisa berproduksi, tutur Sohibul.

Status BP Migas selama ini, lanjut dia, bertolak belakang dengan kewenangannya sebagai pengelola industri migas nasional. BP Migas sulit menjalankan fungsi sebagai penjamin ketahanan energi nasional.

Enam Bulan

Sohibul Iman mengatakan, pembatalan banyak pasal dalam UU Migas oleh MK menyebabkan kekosongan norma hukum. Kekosongan tersebut harus segera diisi dengan norma hukum baru, lewat Revisi UU.

Ia menjelaskan, Revisi UU Migas merupakan inisiatif DPR yang sudah digagas sejak tahun 2009. Namun, hingga kini pembahasan di DPR masih maju mundur, karena nilai politisnya tinggi sekali.

Revisi UU Migas juga sudah masuk Prolegnas dan prioritas 2012-2013. sekarang posisinya masih di DPR, belum diserahkan ke Pemerintah, karena kami belum satu suara. setelah draf diterima pemerintah, tindakan selanjutnya adalah penentuan Daftar Isian Masalah (DIM), ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta kemarin.

Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi demokrat Sutan Batoegana mengatakan, pembahasan RUU Migas tetap menjadi prioritas DPR dan hingga kini masih berjalan. DPR akan membahas bersama-sama stakeholder yang lain mengenai lembaga yang menggantikan peran BP Migas.

Mengenai pandangan fraksi-fraksi di DPR terkait Revisi UU Migas, sutan mengaku saat ini belum bisa mengatakannya. semua pihak tentunya harus menghormati putusan MK yang membubarkan BP Migas. Soal RUU, semoga dalam enam bulan kedepan pembahasannya sudah selesai. Yang penting, dalam pembahasan nanti kami tidak melanggar UUD 1945 Pasal 33. Sementara MK untuk membenahi yang ada harus kami hormati, ujar dia.

Ia menilai langkah Pemerintah mengambil alih tugas BP Migas sudah tepat, sehingga tidak ada kekosongan hukum. Fungsi BP Migas tersebut kini dialihkan ke unit kerja di bawah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Namun, Kami juga akan melihat dulu kinerja unit kerja di bawah Kementerian ESDM ini, tandasnya.

Ia menuturkan, dulu dibentuk BP Migas karena di Pertamina ada kongkolingkong. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.

Dulu ketika tugas-tugas yang dilakukan BP Migas di serahkan ke Pertamina, BUMN itu hampir bangkrut, ujar dia.

Sementara itu, merespons pembubaran BP Migas oleh MK, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 95 Tahun 2012 dan dua keputusan Menteri, yakni Kepmen ESDM No 3135 dan No 3136 Tahun 2012. sesuai aturan tersebut, Pemerintah membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (SKSPMigas), sebagai pengganti BP Migas.

Beda Format

Mengenai pengelolan kekayaan migas nasional, Pri Agung menyarankan sebaiknya ditugaskan kepada BUMN, namun dengan format yang berbeda dengan saat Pertamina mendapat penugasan sebelum lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2001. Kalau dulu, penugasan langsung dari presiden.

Sebaiknya, BUMN migas itu berada di bawah menteri. Fungsi legalitasnya berada di Kementerian dan pengendali juga ada di Kementerian, kata dia.

Dia menjelaskan, hirarkinya adalah kuasa pertambangan diserahkan ke BUMN, selanjutnya BUMN tersebut bisa bekerja sama dengan pihak asing maupun swasta nasional BUMN itu bisa melakukan kontrak dengan asing maupun swasta lokal lewat mekanisme business to business.

Saya tidak menginginkan kondisi seperti Pertamina dimasa lalu terulang, ujar dia.

Jika wewenang itu diserahkan ke Pertamina, Pri Agung mengusulkan, dua anak usahanya yakni Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Pertamina EP (PEP) dikeluarkan dulu dari perseroan. Keduanya jadi perusahaan hulu migas yang berada di bawah kementerian.

PEP diberi tugas mengelola sendiri lapangan milik mereka. Sedangkan PHE bisa melakukan kontrak bagi hasil (PSC) dengan pihak asing, atau melaksanakan tugas dan fungsi eks BP Migas. Sedangkan Pertamina diberi tugas menangani bisnis yang menjadi cost center, seperti distribusi bahan bakar minyak (BBM), papar dia.

Petronas, lanjut dia, sebenarnya seperti Pertamina dijaman dulu, tapi aturannya dibuat lebih baik. Sedangkan yang saya usulkan itu merupakan model yang diadopsi di Norwegia, kata dia.

Pertamina Diminta Fokus

Sementara itu, menurut menteri BUMN Dahlan Iskan. PT Pertamina sebaiknya tidaK mengambil alih tugas BP Migas. Pertamina diminta lebih fokus untuk menjadi perusahaan minyak kelas regional pada 2014.

Banyak ide dari masyarakat agar fungsi BP Migas kembali ke Pertamina. Saya minta teman-teman Pertamina untuk tidak pernah punya pikiran untuk mengambil alih tugas itu. Lain halnya jika Pemerintah memberikan wewenang itu ke Pertamina, itu terserah,tandas Dahlan di Jakarta, kemarin

Dahlan menuturkan, awalnya fungsi yang dijalankan oleh BP Migas selama ini berada di tangan Pertamina. Namun, Ketika itu, Pertamina Justru lengah dan tidak memperhatikan produksi yang seharusnya menjadi tugas utama BUMN ini.

Pertamina dulu manja, sehingga begitu dicabut fungsinya dan dialihkan ke BP Migas, BUMN ini jadi perusahaan lemah untuk sementara waktu, kata dia.

 

Kontrak Tambang
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Kontan Edisi 13 – 19 Februari 2012

PR Pascapembubaran BP Migas
Komaidi Noto Negoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Analisis : Investor Daily Senin , 19 November 2012

Pada 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan putusan atas judicial review terhadap UU Migas No22 Tahun 2001 Tentang Minyak danGas Bumi yang diajukan oleh sekitar 42 pemohon. Keputusan Tersebut tertuang Dalam Keputusan MK No 36/PUU-X/2012.

Berdasarkan putusannyaTersebut, Seluruh Hal yang Terkait dengan Badan Pelaksana Baik Dalam Pasal Maupun dalam Penjelasan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas,Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan Hukum meningkat.Karena itu,MK Mengamanatkan Agar fungsi dan tugas Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)dilaksanakan Oleh Pemerintah cq Kementerian Terkaitsampai diundangka UU baru yang mengatur hal tersebut.

Berdasarkan Pertimbangan hokum dalam putusanya,MK menilai keberadaan BP Migas tidak sejalan dengan aspek penguasaan negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Keberadaan BP Migas sebagai organ pemerintah dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dinilai mereduksi makna penguasaan negara atas migas. Itu karena BP Migas mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara yang tidak langsung atas migas sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan bentuk BHMN, BP Migas hanya sebatas melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas, namun tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung karena BP Migas bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Keberadaan BP Migas juga dinilai oleh MK telah mengakibatkan negara kehilangan kewenangannya untuk mengelola atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola migas. Sementara, menurut MK, pengelolaan migas secara langsung  dengan melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung, adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. MK juga secara tegas dan jelas menilai bahwa pengelolaan secara langsung oleh negara atau BUMN adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945.

Formulasi Kelembagaan

Berdasarkan Putusan MK tersebut, sangat jelas bahwa MK mengamanatkan agar pemerintah segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada penguasaan oleh negara yang berorientasi penuh pada upaya manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Oleh sebab itu, penguasaan tersebut perlu dilakukan dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah. Dengan demikian sudah sangat jelas apa yang kemudian harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan secara utuh putusan dan amanat MK, baik dalam masa transisi maupun untuk ke depannya.

Pemerintahharus membentuk struktur kelembagaan yang baru yang mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada tingkat pertama. Dengan demikian,Tak ada halangan bagi Negaramenunjuk secara langsung BUMN guna mengelola dan menjalankan kegiatan hulu migas secara langsung. Negara memiliki kewenangan untuk itu.

Sebelum adanya Putusan MK atas judicial review UU Migas, ReforMiner Institute telah menyampaikan kepada para pemangku kepentingan (stake-holders) sektor migas bahwa pengelolaan hulu migas akanjauh lebih optimal jika dilakukan oleh BUMN. Analisis dan argumentasi atas itu telah dituangkan dalam ReforMiner Policy Analysis edisi September 2010, November 2010, Juni 2011, dan November 2011, yang juga telah disampaikan kepada stakeholderssektor migas, Partai Politik, Media, Universitas, Organisasi Kemasyarakatan, dan Masyarakat Umum.

Analisis Reforminer Institute menemukan sektor hulu migas akan jauh lebih optimal dilakukan oleh BUMN dibandingkan dengan jika dikelola oleh BHMN. Itu karena, usaha hulu migas memang akan lebih tepat dan optimal jika dilakukan dengan pendekatan administrasi usaha, bukan administrasi negara. Berikut

Kita pun bisa berkaca pada perusahaan-perusahaan migas keles dunia berdasarkan jumplah cadangan,yang dimiliki,peringkat sepuluh besar dikelola/dimiliki BUMN., Energy Intelligence Research, The Energy Intelligence Top 100: Ranking the Worlds Oil Companies, 2009, menyebutkan 4 (empat) diantara 5 (lima) besar perusahaan minyak dunia berdasarkan ranking komparatif dikelola dan dimiliki adalah BUMN.masing-masing Negara.Berdasarkan perbandingan atas beberapa aspek tersebut, semestinya pelaku usaha-Kontraktor kontrah\k kerjasama(KKKS)- akan lebih sesuai dan nyaman jika pengelolaan sektor hulu migas di bawah koordinasi BUMN. Terbukti, industri hulu migas, khsusnya industri minyak nasional mencapai 2 (dua) kali puncak produksi ketika pengelolaannya di bawah koordinasi BUMN. Jika kemudian saat itu BUMN yang ditugaskan kinerjanya (produksinya sendiri) dinilai belum optimal, paling tidak telah berhasil menjadi fasilitator yang baik.

Mengubah Mind Set

Dengan adanya amanat MK dan beberapa contoh tersebut, maka mind set kita yang harus berubah. Dari yang sebelumnya bahwa yang diperlukan adalah sebuah badan pengawas, pengendali dan/atau pengatur, menjadi bahwa yang kita perlukan sesungguhnya adalah perusahaan hulu migas yang menjalankan kegiatan usaha migas itu sendiri secara langsung. Jika di dalam melakukan kegiatan usaha itu BUMN yang ditunjuk tidak sepenuhnya mampu, maka dapat bekerjasama dengan pihak lain. Dalam konteks inilah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian- yang selama ini dijalankan BP Migas dalam sistem Kontrak Kerja Sama diperlukan.

Pengawasan dan pengendalian tersebut sebenarnya hanyalah pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha, hanya seperti sebuah perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (B to B) dan model tersebut pada dasarnya berlaku umum di semua sektor usaha. Karena itu, argumentasi bahwa jika BUMN menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian tersebut dinilai merangkap fungsi sebagai regulator,ini adalah mind set yang keliru dan relatif tidak berdasar. Mengingat, kendali dan peran regulator dalam hal ini tetap melekat dan berada peda Kementerian Teknis (Kementerian ESDM).

 

BP MIGAS DIBUBARKAN: Pemerintah harus segera merespon putusan MK

Bisnis.com –13 November 2012

JAKARTA, Pemerintah harus segera merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi kini dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat keputusan MK sudah benar, tidak hanya secara filosofis tetapi juga secara konseptual.

Pemerintah harus segera bergerak cepat merespon keputusan MK ini. Jika tidak, akan ada ketidakpastian yang sangat membahayakan kondisi migas nasional, ujarnya ketika dihubungi Bisnis, hari ini (13/11).

Pri Agung mengatakan UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas menyatakan kegiatan usaha hulu migas, sehingga kewenangan itu memang seharusnya dijalankan oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara, BP Migas dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) adalah lembaga pemerintah dan bukan badan usaha.

Dengan putusan MK ini maka Kuasa Pertambangan (KP) harus dipegang oleh Kementerian ESDM, dan sebenarnya menurut Pri Agung hal ini tidak berubah.

Tetapi, kewenangan pengendalian dan pengawasan kontrak kerja sama migas harusnya dijalankan oleh Badan Usaha, dalam hal ini adalah Pertamina. Dan secara lebih khusus lagi dalam hal ini yang cocok adalah Pertamina Hulu Energi [PHE], jelasnya.

Menurut Pri Agung, Ditjen Migas juga tidak tepat jika harus mengambilalih fungsi dan kewenangan BP Migas karena fungsi yang dijalankan adalah manajemen operasi dari suatu kegiatan usaha.

Sebagai solusi transisi dari dibubarkannya BP Migas ini, Pri Agung mengusulkan agar seluruh sumberdaya yang ada di BP Migas, baik personil, data, adminstrasi, dan lain-lain, dapat digabungkan terlebih dahulu dengan PHE.

Nantinya dengan UU yang baru, perlu dilakukan juga redefinisi peran, posisi, dan juga restrukturisasi Pertamina, tambahnya.

 

Tender Distribusi BBM Bersubsidi
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
KORAN SINDO – 24 Oktober 2012

Investasi Migas Tidak Kondusif

Kompas, 26 Mei 2012

JAKARTA,Sembilan wilayah kerja minyak dan gas bumi yang ditawarkan pemerintah dalam lelang reguler tahap kedua tahun 2011 sepi peminat. Hal itu menandai minimnya data dan iklim investasi minyak dan gas bumi saat ini yang tidak kondusif.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung