Oil and Gas Split Scheme Revised

DetikFinance, 28 Mei 2011

Jakarta – Meruginya elpiji 12 kg yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) merupakan permasalahan yang klasik. Pasalnya, dengan harga jual yang dibawah harga keekonomian membuat Pertamina merugi cukup tinggi.

Namun, jika harganya dinaikan, maka akan banyak masyarakat yang beralih ke elpiji 3 kg yang disubsidi karena jauh lebih murah. Kasusnya mirip disparitas harga BBM bersubsidi (premium) dan Pertamax.

“LPG 12 kg itu permasalahan lama, masalah pengaturan,” kata Pri Agung, selaku Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada detikFinance, Jakarta (Sabtu 28/5/2011).

Menurutnya, persoalan tabung elpiji 12 kg ini hampir sama analoginya seperti pertamax dan premium. Pemerintah tidak mau merubah disparitas harga yang tinggi.

“Pemerintah selalu bilang bahwa untuk tabung LPG 3 kg mekanisme distribusinya tertutup. Namun tetap saja terbuka, sehingga orang yang mampu tetap membeli tabung ukuran 3 kg tersebut,” katanya.

Seperti diketahui, pada Rapat Dengar Pendapat beberapa waktu lalu antara Pertamina dan Komisi VII DPR RI, dilaporkan bahwa Pertamina alami kerugian untuk tabung LPG 12 Kg senilai Rp 1 triliun pada triwulan pertama 2011.Dibandingkan dengan tahun lalu, selaa 2010 Pertamina alami kerugian hingga Rp 3,2 triliun. Sejauh ini, Pertamina masih menahan harga LPG 12 Kg tersebut. Pihak mereka ingin menaikkan harga demi mengurangi beban biaya produksi yang tidak diimbangi dengan harga jual akibat harga minyak tinggi yang mempengaruhi harga gas.

Di lain pihak, Kementerian BUMN yang membawahi Pertamina, belum memberi sinyal kepada perusahan migas tersebut demi merubah harga.

Indoensia Finance Today, May 19th 2011 JAKARTA (IFT) – The government will revise the profit-sharing scheme (split shceme) of the work contract for oil and gas contractors interested to invest in eastern Indonesia. According to Evita Herawti Legowo, Director General of Oil and Natural Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources, revising the split is the government s way of giving incentives to investors, so that oil and gas blocks in eastern Indonesia can grow.

The current profit-sharing scheme for oil is 85 percent for the government and 15 percent for the contractor. After the revision, the split will be 75:25, or even 70:30, depending on the condition of the blocks.

“As Indonesia’s eastern parts are mostly deepwater, we provide incentives in the form of a better split,” Evita said, Thursday. To determine the split, the government will cooperate with experts in geology, production, and infrastructure.

Pri Agung Rakhmanto, Director of ReforMiner Institute, believes that giving a 75:25 or 70:30 split, or even a 60: 40 ratio had long been implemented, yet it was never enough to attract investors to explore Indonesian eastern areas. There are several factors that are making investors less interested in investing in the region, among others are the unclear regulations, decision-making problems, red tape in the bureaucracy, and contractual uncertainties.

“All the uncertainties are making investors reluctant, even more so since an exploration is not necessarily profitable. If they are not resolved, the investment climate will stay bad,” Pri said.

Before giving incentives, Pri continued, the government should fix the problematic factors first. To make things easier for investors, the government also needs to take part in the exploration activity, such as conducting seismic and geological surveys to lessen the imposition of fees on investors.

Offering 20 Blocks

Evita said that the government will offer twenty blocks of oil and gas in Indonesia during the closing of the 35th Exhibition and Convention of the Indonesian Petroleum Association in Jakarta. Nine blocks are regular offers, while 11 will come from investor candidates as suggestions.The nine blocks from the regular offerings are: the Bulu Rembang, Offshore Timur Sea I, Offshore Timur Sea II, Halmahera I, Halmahera II, Halmahera III, West Aru I, West Aru II and Arafura Sea II blocks. The 11 direct-bargain blocks are located in Ranau, Northeast Madura, West Tanjung, Belayan, East Simenggaris, North Ganal, Babar Selaru, Obi, North Semai, West Berau and Semai IV.

Of the twenty blocks, 13 are located in eastern Indonesia, in Papua and East Timor borderline. The rest are in southern Sumatra, eastern Kalimantan and the northern parts of Java Island. (*)

Eksplorasi Migas Terkendala Birokrasi

Media Indonesia, 19 Mei 2011

JAKARTA–MICOM: Eksplorasi migas baru diharapkan dapat meningkatkan pengangkutan produksi (lifting) nasional. Namun ekplorasi baru tersebut diperkirakan tidak akan menarik bagi investor selama terkendala ketidakpastian peraturan dan kontrak.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menyampaikan bahwa ketidakpastian peraturan, pengambilan keputusan, birokrasi, dan kontrak tidak akan membuat investor tertarik untuk mengeksplorasi blok migas baru di Indonesia. Apalagi kegiatan eksplorasi migas belum pasti menghasilkan produksi migas.

“Segala ketidakpastian itu membuat tidak ada yang mau investasi. Kalau peraturan tiba-tiba berubah atau tumpang tindih ya pasti enggak akan mau,” ungkap Pri di acara The 35th Indonesian Petroleum Association Annual Convention and Exhibition 2011, Jakarta, Kamis (19/5).

Pri meminta pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk berkoordinasi membereskan buruknya iklim investasi di Indonesia itu. Ia meminta pemerintah tidak mengeluarkan peraturan yang tumpang tindih dengan peraturan lain.

Selain itu pengambilan keputusan soal migas sebaiknya tidak diintervensi masalah-masalah politik. Setelah hal-hal tersebut dibereskan, pemerintah baru bisa memberikan insentif bagi investor yang ingin melakukan kegiatan eksplorasi baru. “Kalau itu sudah clear baru kita bicara insentif. Salah satu contoh misalnya dengan pemerintah itu melakukan sebagian aktivitas eksplorasi. Jadi disurvei seismic dan geologi sebagian dilakukan pemerintah sendiri, jadi mengurangi biaya dari investor. Itu salah satu insentifnya,” tutur Pri. (ML/OL-9)

MENDONGKRAK PRODUKSI MINYAK NASIONAL
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Investor Daily, 16 Mei 2011

Produksi minyak nasional (lebih sering disebut dengan istilah lifting) terus menurun sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dari mulai 1,5 juta barel per hari (bph) di tahun 1996, menurun di kisaran 1,3 juta bph di tahun 2000, dan terus menurun di bawah 1 juta bph di sejak tahun 2004 lalu. Berbagai upaya diklaim telah dilakukan oleh pemerintah. Dari mulai optimalisasi melalui pengeboran sumur pengembangan (development wells), penerapan teknologi produksi tahap kedua (secondary recovery), percepatan dan penyederhanan birokrasi, hingga membentuk Tim Pengawas Peningkatan Produksi Migas (TP3M), dan yang terkini, Tim Percepatan Produksi Migas. Namun produksi minyak tetap tak beranjak, dan bahkan realisasi hingga akhir April 2011 ini hanya ada di kisaran 912 ribu bph. Apa yang salah sebenarnya sehingga produksi minyak terus menerus turun dan tak kunjung meningkat Dimana letak dan akar masalah yang sesungguhnya dari permasalah ini Upaya apa yang (mestinya) dapat dilakukan untuk memperbaiki dan membereskan satu per satu permasalahan yang ada

Minim eksplorasi

Inti masalah dari terus menurunnya produksi minyak nasional sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah karena minimnya kegiatan (investasi) eksplorasi. Investasi eksplorasi, untuk mencari dan menemukan cadangan-cadangan minyak baru dari lapangan atau blok migas baru (termasuk di dalamnya untuk mengubah status sumber daya menjadi cadangan, atau mengubah status cadangan potensial menjadi cadangan terbukti), adalah kunci untuk menjaga tingkat produksi yang berkelanjutan. Tambahan produksi migas dalam besaran signifikan yang dapat mendongkrak produksi minyak nasionalhanya dapat dihasilkan dari produksi lapangan migas baru yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi. Yang terjadi dalam industri perminyakan nasional, khususnya dalam satu dekade terakhir ini adalah bahwa tingkat investasi eksplorasi yang ada ternyata (sangat) minim.

Proporsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu migas dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata hanya sekitar 8%. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase biaya yang dikeluarkan untuk urusan umum dan administrasi yang rata-rata mencapai kisaran 11-12%.

Proporsi investasi eksplorasi sebelum tahun 2000 masih mencapai 12%, atau tergolong moderat-rendah. Meskipun tidak ada angka dan ketentuan baku, namun untuk menjaga tingkat produksi yang lebih berkelanjutan setidaknya diperlukan proporsi investasi eksplorasi yang setidaknya ada di kisaran 15-20% (proporsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu migas yang mencapai 20 – 25% atau lebih tergolong agresif). Pemerintah boleh mengklaim bahwa nilai investasi secara keseluruhan dari tahun ke tahun terus meningkat. Tapi, investasi itu sebagian besar bukanlah ditujukan untuk menemukan cadangan-cadangan migas baru yang sangat diperlukan bagi peningkatan produksi yang signifikan. Investasi itu sebagian besar hanya ditujukan untuk pemeliharaan sumur-sumur produksi yang ada (sekitar 60%), untuk pengembangan lapangan-lapangan yang sudah ada (existing) (sekitar 20%), dan untuk biaya umum dan administrasi (sekitar 12%).

Investasi untuk pemeliharan dan pengembangan lapangan yang sudah ada, termasuk di dalamnya optimalisasi produksi dengan secondary recovery, sudah dapat diduga hasilnya, yaitu maksimum hanya akan mampu menutup penurunan produksi alamiah (natural decline) yang terjadi dari lapangan-lapangan lama yang ada. Dengan porsi investasi eksplorasi yang hanya sekitar 8%, maka sebenarnya menjadi amat sangat tidak mengherankan ketika produksi minyak nasional terus menurun. Sejak tahun 2000, selain Blok Cepu, praktis tidak ada lagi big fish , atau cadangan migas dari lapangan baru dalam besaran yang signifikan, yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi yang ada.

Iklim investasi tidak kondusif

Minimnya investasi eksplorasi tentu bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena iklim investasi yang tidak kondusif, kalaulah tak ingin disebut buruk. Investasi eksplorasi adalah investasi dalam kegiatan hulu migas yang tingkat resikonya paling tinggi dan dimana investor juga belum akan mendapatkan return. Jika iklim investasinya tidak kondusif banyak faktor yang menjadi penghambat, secara otomatis investasi eksplorasi itu akan urung dilakukan.

Akan halnya yang terjadi di Tanah Air, satu hal mendasar yang menjadi akar penyebab sangat tidak kondusifnya iklim investasi eksplorasi hulu migas sesungguhnya adalah karena tingginya ketidakpastian (uncertainty) yang ada. Ketidakpastian ini mencakup beberapa aspek mendasar, diantaranya yang utama adalah:

(1) Ketidakpastian menyangkut dihormatinya kontrak yang berlaku. Permasalahan seperti DMO (Domestic Market Obligation), capping cost recovery, yang seringkali tidak sinkron dengan isi kontrak yang ada menimbulkan tanda tanya besar bagi investor.

(2) Ketidakpastian menyangkut aturan main yang berlaku. Banyaknya undang-undang dan peraturan yang tumpang tindih akibat lemahnya koordinasi diantara Kementerian dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (seperti halnya UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Pelayaran, UU Otonomi Daerah dan PP Cost Recovery) merupakan penyebab utamanya.

(3). Ketidakpastian menyangkut adanya intervensi kewenangan dari sektor atau badan pemerintah lain di luar migas, seperti halnya dari otoritas perpajakan, auditor, ataupun pengawasan persaingan usaha.

(4). Ketidakpastian yang diakibatkan oleh adanya intervensi politik-kekuasaaan, sebagaimana yang sering terlihat dalam kasus perpanjangan/pengakhiran kontrak ataupun pengalihan saham partisipasi (Participating Interest).Selain ketidakpastian, hal lain yang menjadi faktor penghambat adalah masalah birokrasi yang memakan waktu dan cenderung terlalu mencampuri hal-hal teknis dan bisnis yang bersifat mikro. Hal ini terkait dengan pola pengusahaan kegiatan hulu migas di Tanah Air yang saat ini dijalankan dengan pola Government (G) to Business (B), yaitu antara BP Migas dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan bukan B to B. Pola G to B ini tanpa disadari telah menempatkan KKKS sebagai obyek yang harus diawasi hingga ke hal-hal detil sehingga mengurangi fleksibilitas dan mendistorsi esensi pola bagi hasil produksi dan kerja sama (partnership) pengusahaan migas yang semestinya.

Satu hal lain yang juga menjadi penyebab adalah hal teknis, yaitu minimnya kualitas data dan informasi dari blok-blok migas baru yang ditawarkan. Kombinasi dan keterkaitan dari hal-hal itulah yang menyebabkan iklim investasi eksplorasi hulu migas di Tanah Air menjadi sangat tidak kondusif. Begitu tidak kondusifnya, sehingga menutup potensi dan prospektifitas geologi sumber daya yang ada. Padahal, para ahli geologi mengatakan bahwa potensi sumber daya minyak yang ada di perut bumi kita mencapai 80 milyar barel minyak lebih, sehingga seharusnya secara geologis masih sangat menarik bagi investasi ekplorasi-produksi.

Maka, jika ingin mendongkrak produksi minyak secara signifikan, tak ada jalan lain bagi kita untuk menghilangkan satu per satu faktor-faktor penghambat di atas sesegera mungkin. Selain koordinasi antar Kementerian dan dengan pemerintah daerah yang harus segera dibereskan, satu hal yang mendesak diperlukan sebagai langkah awal untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat di atas sesungguhnya adalah hadirnya Undang-Undang Migas baru yang lebih baik.

Ketidakpastian-ketidakpastian yang ada dan menjadi penyebab dari tidak kondusifnya iklim investasi bagi kegiatan eksplorasi sesungguhnya adalah buah dari lubang-lubang yang ada pada UU Migas 22/2001 yang berlaku. Maka, melakukan revisi UU Migas tersebut sesegera mungkin adalah suatu keharusan. UU Migas yang baru adalah pintu masuk, bukan saja untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat investasi di atas, tetapi juga untuk meletakkan pondasi pengelolaan industri migas nasional yang lebih baik. Dari sana, barulah kita bisa berharap dalam 3-5 tahun dan sesudahnya dapat ditemukan sejumlah big fish yang akan menjadi pendongkrak produksi minyak nasional kita. Semoga.

 

Beli Premium Lebih Rasional Ketimbang Pertamax Yang Mencapai Rp 9.250

DetikFinance, 15 Mei 2011

Jakarta – Tingginya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax membuat pemilik kendaraan pribadi jenis mobil berbondong-bondong memakai Premium. Disparitas harga yang cukup jauh antara kedua jenis BBM tersebut membuat orang lebih berfikir rasional tidak peduli kaya atau miskin.

Pengamat Perminyakan sekaligus Direktur Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan anjuran pemerintah yang membujuk konsumen memakai pertamax sama sekali tidak berguna.

“Anjuran atau ajakan pakai Pertamax itu memang tidak manjur. Orang kan lebih rasional sekarang bukan merasa miskin dan tidak mampu atau merasa kaya tapi ketika ada yang lebih murah ya itu perlu karena menghemat,” ujarnya ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Minggu (15/5/2011).

Menurutnya, ketika tidak ada larangan menggunakan Premium bagi kendaraan pribadi maka tidak ada tekanan khusus maupun kewajiban orang beralih ke Pertamax.

Dikatakan Pri Agung, kalangan masyarakat yang menggunakan Pertamax saat ini merupakan orang-orang yang tidak sensitif terhadap kenaikan harga.

“Nah itu jumlahnya sedikit sekali apalagi mereka bisa saja memilih ke SPBU lain seperti Shell, Total dan Petronas,” jelasnya.

“Selama tidak ada larangan ya orang bebas saja menggunakan bensin apapun. Lagi pula disparitas harga yang cukup jauh membuat orang berpikir dua kali ketika menggunakan Pertamax,” imbuh Pri Agung. Baca Selengkapnya

CNOOC Merasa Tak Nyaman di West Madura

TEMPO Interaktif, 6 Mei 2011

Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai mundurnya China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) di Blok West Madura lantaran merasa tak nyaman dengan proses di belakang layar yang kemungkinan terjadi dalam kasus perpanjangan kontrak di blok tersebut. “Itu bisa saja karena sebelum ini ada semacam tekanan untuk melepaskan sebagian PI (Participating Interest)-nya,” kata Pri Agung kepada Tempo, Jumat 6 Mei 2011.

Tapi, kata Pria Agung, bisa juga mundurnya CNOOC akibat “dikhianati” Pertamina, seperti yang disebut Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono. Sebelumnya, Priyono mengatakan CNOOC kecewa terhadap Pertamina, yang tak memenuhi komitmen melanjutkan kerja sama. Menurut dia, tampaknya CNOOC patah arang. Selain itu, Pertamina selalu berubah-ubah keputusan, terakhir meminta 100 persen pengelolaan di West Madura. “Atau mungkin pula kekecewaan karena faktor kedua-duanya,” ujar Pri Agung.

Pria Agung menambahkan, tidak tertutup kemungkinan di atas dan di belakang kisruh Blok West Madura menyangkut masalah geopolitik dan perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Cina. “Dengan mempertimbangkan banyak aspek seperti menjaga iklim investasi dan menjaga hubungan baik dengan negara lain, secara proporsional memang seharusnya Pertamina tidak perlu menguasai kepemilikan 100 persen, cukup 60 persen tapi menjadi operator,” tutur Pri Agung.

Kemudian sisa 40 persen saham, menurut Pri Agung, masing-masing lebih baik dimiliki Kodeco Energy Limited dan CNOOC. Yang penting tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang tidak jelas rekam jejaknya di sektor hulu minyak dan gas itu. “Saya khawatir, meski sekarang Pertamina menguasai 80 persen, tapi sebenarnya kita hanya menari dalam gendang pihak lain, dalam hal ini Amerika. Sehingga hubungan kita dengan Cina menjadi terganggu. Kita yang merugi,” katanya.

Pri Agung balik mempertanyakan alasan Pertamina yang begitu ngotot dengan kepemilikan hak partisipasi yang begitu tinggi dan tidak berfokus mendapatkan status operatorship. Padahal semestinya Pertamina cukup mendapatkan hak partisipasi antara 51-60 persen sehingga investasi yang ditanggung bisa di-share ke pihak lain. “Pertamina pun dapat mengalihkan sisa dananya ke tempat lain,” ujar dia.Pemerintah, Kamis 5 Mei 2011, akhirnya menunjuk PT Pertamina sebagai operator di Blok West Madura Offshore dalam kontrak perpanjangan untuk masa konsesi selama 20 tahun. Sebagai operator, perusahaan minyak dan gas nasional itu kini menguasai 80 persen hak kepemilikan di ladang minyak lepas pantai Jawa Timur ini. Sisanya, sebanyak 20 persen dimiliki kontraktor lama, Kodeco Energy Co. Ltd.

Staf Ahli Menteri Energi Kardaya Warnika mengatakan, penunjukan Pertamina sebagai operator lantaran perusahaan nasional ini sudah berkecimpung lama di perminyakan. Tapi, kewenangan Pertamina sebagai operator bisa dicabut pemerintah, jika kinerja memburuk. Misalnya, kata Kardaya, target produksi tidak tercapai serta tidak ada komitmen investasi yang baik. “Kalau jelek sehari saja, bisa kami cabut (operatornya).

Soal mundurnya perusahaan minyak Cina, China National Offshore Oil Corporation (CNOOC), dari kerja sama di West Madura, Kardaya tak berkomentar. CNOOC bersama Kodeco adalah mitra kerja sama Pertamina di West Madura pada kontrak selama 30 tahun yang akan berakhir besok. Sebelumnya, kedua perusahaan masing-masing menguasai 25 persen. Sisanya yang 50 persen dikuasai Pertamina.

Menjelang kontrak berakhir, CNOOC dan Kodeco mengalihkan 12,5 persen kepemilikan West Madura kepada Pure Link Investment dan PT Sinergindo Titra Harapan. Banyak kalangan yang mempertanyakan masuknya dua perusahaan ini. Reputasi dan track record keduanya tak banyak dikenal. Bahkan, kantor Sinergindo hanya kios kecil di Mal Ambasador, Kuningan, Jakarta.

Pada 13 April, sebetulnya sudah disepakati perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan West Madura oleh lima perusahaan. Komposisinya, Pertamina 50 persen, Kodeco 10 persen, CNOOC 10 persen, PT Sinergindo Citra Harapan 10 persen dan Pure Link Investment Ltd 10 persen. Kontraktor pasca 2011 adalah Kodeco dengan masa transisi sampai 2013. Setelah itu operator diserahkan kepada Pertamina.

Belakangan Pertamina meminta kepada pemerintah agar bisa menguasai 100 persen blok West Madura. Keinginan Pertamina ini membuat kesepakatan pada April berubah dan menyebabkan CNOOC mundur. Setelah penunjukan sebagai operator, kata Kardaya, Pertamina dan Kodeco dibolehkan mengalihkan sahamnya. Alasannya, pengalihan saham dalam bisnis adalah hal yang lumrah dalam perjanjian business to business.

Pri Agung: Saatnya Naikkan Harga BBM

Investor Daily, 4 mei 2011

JAKARTA- Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto menilai, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis premium dan solar menyusul kecenderungan masih tingginya harga minyak dunia.

“Tidak ada pilihan lain, pemerintah mesti menaikkan harga BBM bersubsidi,” kata Direktur ReforMiner Institute itu di Jakarta, Rabu (4/5).

Menurut dia, pemerintah dan DPR mesti segera membahas opsi kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut.

Sesuai UU APBN 2011, pemerintah dibolehkan menaikkan harga BBM subsidi apabila harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) 10% lebih tinggi dari asumsi US$80 per barel.

Laporan Tim Harga Minyak Kementerian ESDM menyebutkan, realisasi harga ICP selama periode Januari-April 2011 rata-rata mencapai US$109,2 per barel atau 36,5% di atas asumsi APBN 2011 sebesar US$80 per barel.

Pada Januari 2011, ICP tercatat masih US$97,09 per barel, Februari naik US$103,31 dolar, Maret 113,07 dan April bertengger di US$123,36 per barel.

Tim Harga menyebutkan kenaikan harga minyak terutama akibat ketegangan politik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, khususnya Libya, sehingga menimbulkan kekhawatiran pasar atas stabilitas pasokan minyak.

Harga minyak dunia di pasar WTI (Nymex) pada April 2011 tercatat 110,04 dolar AS per barel, Brent (ICE) 123,09 dolar, Tapis (Platts) 130,29 dolar, dan Basket OPEC 117,90 dolar. Baca Selengkapnya