Hilangkan Batas Atas Harga Jual Gas Tangguh

Investor Daily, 4 mei 2011

JAKARTA- Pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto menilai, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jenis premium dan solar menyusul kecenderungan masih tingginya harga minyak dunia.

“Tidak ada pilihan lain, pemerintah mesti menaikkan harga BBM bersubsidi,” kata Direktur ReforMiner Institute itu di Jakarta, Rabu (4/5).

Menurut dia, pemerintah dan DPR mesti segera membahas opsi kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut.

Sesuai UU APBN 2011, pemerintah dibolehkan menaikkan harga BBM subsidi apabila harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) 10% lebih tinggi dari asumsi US$80 per barel.

Laporan Tim Harga Minyak Kementerian ESDM menyebutkan, realisasi harga ICP selama periode Januari-April 2011 rata-rata mencapai US$109,2 per barel atau 36,5% di atas asumsi APBN 2011 sebesar US$80 per barel.

Pada Januari 2011, ICP tercatat masih US$97,09 per barel, Februari naik US$103,31 dolar, Maret 113,07 dan April bertengger di US$123,36 per barel.

Tim Harga menyebutkan kenaikan harga minyak terutama akibat ketegangan politik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, khususnya Libya, sehingga menimbulkan kekhawatiran pasar atas stabilitas pasokan minyak.

Harga minyak dunia di pasar WTI (Nymex) pada April 2011 tercatat 110,04 dolar AS per barel, Brent (ICE) 123,09 dolar, Tapis (Platts) 130,29 dolar, dan Basket OPEC 117,90 dolar.Tingginya harga minyak, lanjut Pri, menyebabkan disparitas harga antara BBM subsidi dan nonsubsidi makin membesar, sehingga kenaikan harga merupakan opsi yang paling realistis.

Selain disparitas harga, faktor inflasi sekarang ini juga memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi.

Badan Pusat Statistik mencatat pada April 2011 terjadi deflasi sebesar 0,31 persen dan Maret deflasi 0,32 persen.

Dengan demikian laju inflasi tahun kalender Januari-April tercatat mencapai 0,39 persen. Dari sisi konsumsi BBM subsidi, menurut dia, juga cenderung naik, sehingga meningkatkan beban subsidi.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi mencatat, konsumsi BBM subsidi Januari-April 2011 mencapai 12,993 juta kiloliter atau naik 5,28 persen dibandingkan periode sama 2010 yang 12,339 juta kiloliter.

Konsumsi premium subsidi Januari-April 2011 tercatat 7,882 juta kiloliter atau naik 6,98 persen dibanding 2010 sebanyak 7,368 juta kiloliter.

Sementara, konsumsi solar bersubsidi naik 8,85 persen dari 4,116 juta menjadi 4,479 juta kiloliter dan minyak tanah turun 26,2 persen dari 855 ribu menjadi 631 ribu kiloliter.

Pri Agung menyarankan agar harga premium dinaikkan menjadi Rp5.500-Rp6.000 per liter atau naik Rp1.000-Rp1.500 per liter dibanding saat ini Rp4.500 per liter.

“Harga premium subsidi naik Rp1.000-Rp1.500 per liter akan menghemat anggaran subsidi Rp30 triliun setahun,” katanya.

Kenaikan harga premium tersebut juga akan memperkecil disparitas dengan pertamax.

PT Pertamina (Persero) menetapkan harga BBM nonsubsidi jenis pertamax per 1 Mei 2011 sebesar Rp9.050 per liter. Dengan demikian, selisih harga pertamax dan premium menjadi Rp4.550 atau naik lebih dari 100 persen dibanding harga premium Rp4.500 per liter.

“Kalau premium dinaikkan, maka diharapkan konsumsi pertamax tetap terjaga dan tidak ada peralihan ke premium,” kata Pri.(ant/hrb)

Kompas, 25 April 2011

Jakarta, Kompas – Upaya pemerintah untuk memperoleh manfaat maksimal dari negosiasi ulang atas kontrak penjualan gas Tangguh pada 2012 sebaiknya diarahkan pada penghapusan batas atas harga jualnya. Keberadaan batas atas harga jual gas Tangguh benar-benar merugikan Indonesia karena menghilangkan peluang untuk mendapatkan harga gas yang sedang tinggi saat ini.

Demikian ditegaskan pengamat energi dari ReforMiner Institute (Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi), Pri Agung Rakhmanto dan Kurtubi, yang dihubungi terpisah hari Sabtu (23/4).

Menurut Pri Agung, Indonesia perlu menegosiasikan ulang secara sungguh-sungguh agar batas atas harga gas yang saat ini masih didasarkan pada harga minyak maksimal 38 dollar AS per barrel dihilangkan. Batas atas itu perlu dihilangkan agar harga jual gas itu mengikuti pergerakan harga minyak di pasar internasional.

Tanpa batas atas itu, harga jual gas LNG (gas alam cair) saat ini sebenarnya bisa mencapai 15 dollar AS per juta british thermal unit (mmbtu). Akan tetapi, karena dibatasi pada harga minyak maksimal 38 dollar AS per barrel, harga jual gas Tangguh saat ini hanya 3,35 dollar AS per mmbtu, ujarnya.

Saat ini harga jual minyak terus naik. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, per 15 April 2011, harga jual minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) saat ini yang rata-rata tiga bulan terakhir ada di posisi 113 dollar AS per barrel. Kementerian Keuangan memperhitungkan rata-rata ICP hingga akhir tahun 2011 ada di level 105 dollar AS per barrel.Yakinkan China

Sementara Kurtubi menegaskan, tim renegosiasi yang akan dibentuk pemerintah sebaiknya mengonsentrasikan diri untuk meyakinkan pihak China agar formula harga jual direvisi. Harga minyak yang menjadi acuan tidak dibatasi seperti formula yang diberlakukan atas LNG Badak.

Alasan revisi harga adalah, pertama, gerak harga gas di pasar internasional selalu mengikuti pergerakan harga minyak. Kedua, risiko dan biaya yang harus ditanggung oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sama besarnya antara eksplorasi minyak dan gas.

Ketiga, di sisi pemakaian, minyak dan gas bisa saling menyubstitusi. Keempat, produk yang dihasilkan dengan bahan baku gas (seperti petrokimia) selalu mengikuti harga di pasar dunia. Kelima, mematok gas pada harga konstan sangat menyalahi teori dan fakta, ujar Kurtubi. (OIN)

Optimalkan Pengelolaan Sumur Tua

Kompas, 21 April 2011

Jakarta, Kompas – Kontribusi pengelolaan sumur-sumur tua terhadap pencapaian produksi minyak nasional masih rendah. Hal tersebut disebabkan rendahnya potensi produksi dan tingginya biaya operasional sumur-sumur tua.

Demikian benang merah diskusi yang diprakarsai Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) bertema Memacu Produksi Sumur Tua , Rabu (20/4) di Jakarta.

Sekretaris Pimpinan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas Rudi Rubiandini mengaku pesimistis terhadap pencapaian target produksi minyak nasional tahun ini sebesar 970.000 barrel per hari sebagaimana ditetapkan pemerintah.

Hampir tidak mungkin mencapai target itu. Target yang realistis adalah 945.000 barrel per hari, ujarnya.

Hal ini disebabkan cadangan minyak nasional terus turun, intensifikasi produksi minyak butuh waktu lama, dan banyak kendala di lapangan seperti tumpang-tindih lahan serta perizinan kegiatan migas.

Sejauh ini, kontribusi sumur-sumur tua terhadap peningkatan produksi minyak di Tanah Air sangat kecil. Selain butuh biaya tinggi, optimalisasi produksi sumur-sumur tua itu terkendala keterbatasan teknologi migas. Industri peralatan migas di Indonesia belum berkembang sehingga bergantung impor.

PT Pertamina akan mengaktifkan kembali 150 sumur tua tahun ini dengan target produksi 10-50 barrel per hari atau total produksi 3.000 barrel. Kalau sumur tua itu dekat infrastruktur, produksinya jadi ekonomis, kata Senior Vice President Upstream Strategic Planning and Subsidiary Management Pertamina Salis S Aprilian.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyatakan, mengacu pada aturan yang ada, pengelolaan sumur tua bukan dimaksudkan sebagai bagian dari upaya inti untuk pencapaian target produksi minyak mentah siap jual Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini juga bisa dilihat dari rata-rata potensi atau kapasitas produksi per sumur 5-10 barrel per hari.Jadi, pencapaian target minyak mentah siap jual tetap akan sangat bergantung pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi para kontraktor kontrak kerja sama utama. Apalagi, pengelolaan sumur tua bukan merupakan bagian dari bisnis inti eksplorasi dan eksploitasi para kontraktor minyak dan gas.

Untuk itu, ke depan pola pengusahaan sumur tua perlu mengedepankan kerja sama kontraktor migas dengan badan usaha milik daerah (BUMD) dengan beberapa penyempurnaan, misalnya, diperbolehkan kerja ulang atau pindah lapisan.

Tentu kompetensi dan standar teknis serta operasi BUMD atau koperasi perlu ditingkatkan, kata Pri Agung. (EVY)

Pengalihan Saham di Blok West Madura Diduga Bermuatan Politik

TEMPO Interaktif, 19 April 2011

Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pengalihan saham di Blok West Madura Offshore merupakan hal yang tidak wajar dipandang dari sudut keekonomiannya. Ia menilai, sebenarnya ada kontradiksi antara kepentingan perpanjangan kontrak dengan pelepasan sebagian saham kepemilikan.

“Perlu ditelusuri lebih jauh, apakah pelepasan saham itu murni atas pertimbangan bisnis ataukah karena hal-hal lain. Tekanan politis misalnya. Itu sesuatu yang mungkin terjadi. Bisa saja ada yang memanfaatkan momen berakhirnya kontrak untuk mendapatkan hak-hak pengelolaan tertentu,” kata Pri Agung kepada Tempo, Selasa (19/4).

Pri Agung menjelaskan, kerugian akibat pengalihan saham yang tak wajar di Blok West Madura tidak selalu dapat dinominalkan dengan uang. “Bahwa West Madura tidak diserahkan pengelolaannya 100 persen kepada Pertamina itu sudah kerugian besar bagi bangsa ini,” ujar dia.

Pemerintah, Pria Agung mengatakan, mestinya tidak begitu saja menyetujui pengalihan pengalihan saham yang dilakukan dua investor asing kepada dua perusahaan lokal. Sebab, pemerintah membutuhkan investor hulu migas (aktivitas pertambangan yang berhubungan dan eksploitasi dan eksplorasi) yang benar-benar kredibel.

Artinya investor yang benar-benar sebagai pelaku di sektor hulu migas, yang mau dan mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi untuk menemukan cadangan-cadangan minyak dan gas baru sekaligus meningkatkan produksi. “Bukan hanya punya share kepemilikan saham tapi tidak melakukan apa-apa,” tutur Pri Agung.

Pengelolaan Blok West Madura di Jawa Timur saat ini menjadi silang sengketa antara Pertamina dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Blok West Madura terdiri atas lapangan minyak dan gas bumi di lepas pantai Jawa Timur.

Hingga kini belum ada kepastian tentang pengelolaan blok itu. Akibatnya produksi minyak Blok West Madura terus menurun dari sebelumnya 19 ribu barel menjadi 14 ribu barel per hari. Sementara produksi gasnya mencapai 92 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Kontrak Blok West Madura diteken pada 7 Mei 1981 dengan porsi kepemilikan saham PT Pertamina Persero 50 persen, Kodeco Energy Co Ltd 25 persen, dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) Madura Ltd 25 persen. Kontrak berakhir pada 6 Mei 2011.

Namun, sebelum kontrak habis, Kodeco mengalihkan separuh sahamnya ke PT Sinergindo Citra Harapan. Begitu pun CNOOC, yang menyerahkan setengah saham Pure Link Investment Ltd. Akhirnya komposisi kepemilikan berubah menjadi Pertamina 50 persen, Kodeco 12,5 persen, CNOOC 12,5 persen, Sinergindo 12,5 persen, dan Pure Link 12,5 persen.Pengalihan saham itu patut disesalkan. Padahal Direktur Utama Pertamina Galaila Karen Agustiawan sedikitnya sudah lima kali mengirimkan surat surat kepada Kementerian Energi agar kantornya mendapat kepemilikan saham 100 persen di Blok West Madura. Namun, permintaan tak kunjung mendapat jawaban.

Kami masih menunggu jawaban atas surat surat kami sebelumnya, yang merupakan dasar bagi kami menandatangani PSC (Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract) West Madura Offshore pasca terminasi 2011, tulis Karen dalam surat yang salinannya diterima Tempo.

Ketika dikonfirmasi soal permintaan Pertamina, Menteri Darwin Zahedy Saleh tak menampik. Malah ia menantang Pertamina. “Kalau Pertamina ingin 100 persen dan sanggup dengan segala konsekuensinya, pemerintah akan mendukung,” katanya di kantornya, Jumat (15/4).

Darwin ingin mengetahui kemampuan Pertamina, bukan berapa keinginannya. “Asal sanggup dan berkomitmen mencapai produksinya kenapa tidak kami dukung,” katanya. Darwin mengembalikan permintaan Pertamina kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Komisaris dan Dirut Pertamina, jumlah saham yang dikehendaki dan berapa yang disanggupi Pertamina. “Saya ingin mendapatkan dulu komitmen dari Pertamina,” ujarnya. Alasannya, proses perpanjangan kontraknya hampir final. Ia tak ingin disalahkan kenapa Pertamina tak diberikan saham 100 persen atas pengelolaan Blok West Madura.

Pertamina menyesalkan pernyataan Darwin yang terkesan meragukan kemampuan kantornya. Melalui juru bicaranya, Mochamad Harun, mengatakan sebagai pemegang saham mayoritas Pertamina ingin menjadi operator agresif. Bahkan, Pertamina menawarkan target produksi di Blok West Madura hingga 30 ribu barel per hari. Jika tak mendapat dukungan, tak perlu ada pernyataan yang mendiskreditkan reputasi Pertamina, kata Harun.

Tapi bukannya meluluskan permintaan, justru pada 31 Maret lalu, Menteri Darwin membalas lewat surat perintah Nomor 0176/BP00000/2011/S0 dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang meminta Pertamina meneken perpanjangan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) dengan Kodeco, CNOOC, Sinergindo, dan Pure Link.

Pemerintah Harus Tegas dan Terbuka Soal Blok Madura

detikFinance, 18 April 2011

Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus tegas dan terbuka soal pengelolaan blok West Madura Offshore (WMO). Pasalnya blok migas yang selama ini dikelola oleh Kodeco (perusahaan migas Korea) ini kontrak pengelolaannya akan habis pada tanggal 7 Mei 2011.

PT Pertamina (Persero) yang juga memiliki hak partisipasi di blok tersebut sudah siap mengambil alih pengelolaannya. Namun sejauh ini pemerintah masih belum menanggapi keinginan Pertamina mengambil alih kelola West Madura itu

Menurut saya sebaiknya pemerintah mengatakan secara terbuka secara apa adanya. Artinya gini, kalau memang tidak diberikan ke Pertamina tapi ingin diperpanjang (pengelolaannya oleh Kodeco) ya katakan saja, alasannya apa Argumentasinya apa Misalnya tidak diberikan ke Pertamina itu kenapa Diperpanjang kenapa kata Pri Agung selaku Direktur Eksekutif Reforminer Institute kepada detikFinance melalui pembicaraan via telepon, Jakarta (18/4/2011).

Dikatakan olehnya, sejauh ini pemerintah seolah menjanjikan sesuatu ke Pertamina dengan menagih kesanggupan, padahal sudah lama Pertamina menyatakan komitmen dan minatnya.

Kalau masalah kesanggupan, Pertamina sudah bisa mengelola blok ONWJ (Offshore North West Java) yang lebih besar dari pada WMO. Jadi kalau dari sisi kesanggupan Pertamina jelas bisa. Untuk minat dan komitmen, mereka kan sudah ada. Jadi tidak relevan kalau sekarang mereka masih harus minta lagi, terang Pri Agung.

Kalau minta kejelasan, Pertamina itu kan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Menteri ESDM bisa saja langsung menanyakan ke mereka sanggup atau tidak. Jadi sesuatu yang misalnya sudah jelas keputusannya seperti apa, sebaiknya jangan digantung seperti ini. Karena ini merupakan sinyal jelek bagi investasi migas yang sudah terpuruk sekarang, tegasnya.

Menurutnya, Pertamina hanya bisa mengikuti prosedur saja, dalam arti blok yang akan habis bisa diajukan oleh Pertamina untuk diambil alih pengelolaannya.

Pertamina sudah ajukan ini dari 2 tahun lalu, seharusnya sudah tidak ada lagi pemerintah meminta komitmen dan lain-lain, sudah jelas Pertamina sanggup kok, katanya.Seperti diketahui, kontrak kerjasama Blok West Madura ditandatangani Pertamina dan Kodeco (Perusahaa Migas Korea) pada 7 Mei 1981. Pada 7 Mei 2011 atau setelah 30 tahun kontraknya akan berakhir.

Sejauh ini Pertamina sudah menyatakan keinginannya untuk melanjutkan pengelolaan blok tersebut. Namun, menjelang berakhirnya kontrak tersebut, pemerintah menyetujui perubahan kepemilikan hak partisipasi West Madura dengan dikeluarkannya surat Dirjen Migas KESDM dengan No. 6989/13/DJM.E/2010 tertanggal 17 Maret 2011.

Berdasarkan surat tersebut, hak partisipasi West Madura yang dimiliki Kodeco dialihkan menjadi 12,5% ke PT Sinergindo Citra Harapan dan CNOOC Madura Ltd ke Pure Link Investment Ltd juga 12,5 %.

Sehingga hak partisipasi Blok migas tersebut yang sebelumnya dimiliki Pertamina 50%, Kodeco 25%, dan CNOOC 25% berubah menjadi Pertamina 50%, Kodeco 12,5%, CNOOC 12,5%, Sinergindo 12,5%, dan Pure Link 12,5%.

Di lain pihak, Pertamina yang berniat dan menyatakan komitmen serta kesanggupan untuk mengambil alih pengelolaan blok migas West Madura tersebut berani menawarkan bahwa pihaknya bisa menaikkan produksi migas sampai 30.000 barel per hari dan produksi gas menjadi 200 juta kaki kubik (MMSCFD) gas pada saat ini yang sebelumnya ketika dikelola oleh Kodeco hanya mencapai 14.000 barel per hari (penurunan produksi dari 19.000 barel per hari).

Infrastruktur Sulit, Pengendalian BBM Subsidi belum Tahun ini

Media Indonesia, 18 April 2011

JAKARTA–MICOM: Berbagai opsi pengendalian bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang dikemukakan pemerintah dianggap membuat bingung masyarakat. Namun Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto melihat pengendalian BBM subsidi tidak mungkin diterapkan tahun ini.

Alasannya, pemerintah belum menyiapkan infrastruktur untuk pengendalian BBM subsidi tersebut. Menurut Pri, penyediaan infrastruktur untuk pengendalian BBM tidak bisa dilakukan dalam hitungan bulan.

“Ya memang sangat membingungkan masyarakat. Tapi bagi saya sudah jelas, itu (pengendalian BBM subsidi) gak tahun ini. Memilih opsi yang mana saja masih bingung, belum lagi penyediaan infrastrukturnya, ungkap Pri, Minggu (17/4).

Sebelumnya Kementerian Koordinator Perekonomian kembali mengungkapkan berbagai opsi pengendalian BBM subsidi yang salah satunya menggunakan alat radio frequency indentification (RFID). Menurut Pri, opsi tersebut tidak masuk akal dilakukan karena memakan biaya dan waktu, serta memerlukan kesiapan teknis yang matang.

“Penjatahan dengan alat itu gak akan jalan karena teknisnya susah dan tidak akan efektif. Sebaiknya itu gak usah disebut sebagai opsi lagi, dihilangkan saja,” ujarnya.

Kemudian, Pri juga mengecam opsi pemerintah yang ingin kembali mematok harga atau memberikan batasan (capping) harga pertamax. Menurutnya, capping harga Pertamax menjadi suatu langkah mundur pemerintah yang telah lama mencabut subsidi pada pertamax.

Selain itu langkah tersebut dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemerintah mengurangi beban subsidi BBM. “Kalau caranya begini kelihatan supaya pertamax biar laku. Padahal kan bukan itu tujuannya,” cetus Pri.

Lebih lanjut Pri, menyebutkan bahwa opsi yang masuk akal dilakukan pemerintah adalah menaikkan harga BBM subsidi (premium). Dalam hitungannya, harga premium bisa saja dinaikkan sampai dengan Rp6.500 per liter jika harga minyak mentah dunia bergerak pada kisaran US$120 per barel.Dalam kondisi sekarang dengan harga minyak mentah dunia pada sekitar US$ 110 per barel, pemerintah cukup menaikkan harga premium menjadi Rp5.500 per liter. Namun kenaikan harga premium jangan langsung dilakukan dengan jumlah yang tinggi.

Pri mengatakan, kenaikan harga premium yang langsung tinggi akan mengagetkan masyarakat dan bisa membuat inflasi langsung membumbung tinggi.

“Bisa dilakukan kenaikan sedikit-sedikit, dulu kan kita pernah melakukannya, katanya.

Untuk ke depan, Pri mengusulkan pemerintah bisa menerapkan harga BBM subsidi mengambang (floating) atau mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia tetapi dengan jumlah besaran subsidi yang tetap. Misalnya, subsidi pemerintah pada harga premium tetap Rp3.000 per liter walaupun nantinya harga premium bisa naik atau turun mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia.

“Kita memang belum terbiasa dengan cara seperti ini. Namun harga BBM subsidi memang perlu penyesuaian. Saya yakin dengan cara seperti ini, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) aman,” pungkasnya. (OL-12)

Pembatasan Konsumsi BBM Subsidi tidak Relevan

Media Indonesia, 14 April 2011

JAKARTA–MICOM: Pada triwulan I ini konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah mencapai 6,66%. Pada bulan Maret, konsumsi solar naik hingga 4,3%, sedangkan premium naik 2,68% dibandingkan bulan sebelumnya.

Untuk mengantisipasi naiknya konsumsi BBM ini, Direktur Reforminer Pri Agung Rakhmanto menegaskan yang harus dilakukan pemerintah bukanlah membatasi konsumsi BBM subsidi, akan tetapi menaikkan harganya.

“Pembatasan konsumsi BBM sudah tidak relevan, yang diperlukan pemerintah sekarang adalah menaikan harga dari BBM tersebut,” ujar Pri Agung Rakhmanto kepada mediaindonesia.com, Rabu (13/4).

Ia menjelaskaan, pembatasan konsumsi BBM subsidi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Selain itu ia menilai pemerintah belum siap dengan kebijakan tersebut. “Dengan kenaikan harga itu, dampaknya menurunkan anggaran subsidi secara langsung, mendorong konsumer untuk lebih hemat dan mengurangi potensi penyelewengan BBM subsidi untuk industri,” terangnya.

Terkait dengan naiknya konsumsi BBM pada bulan ini dibandingkan sebelumnya, Pri Agung menilai kenaikan tersebut bukan serta merta karena masyarakat panik akan adanya rencana pembatasan BBM subsidi. “Tidak bisa dalam jangka waktu sedekat itu pemakaian hanya murni digunakan untuk transportasi saja. Ada hal-hal lain yang patut diperhatikan terkait dengan penyelundupan, penimbunan dan penyelewengan untuk industri,” imbuh Pri. Baca Selengkapnya

Subsidized Fuel Price Fluctuating

Pri Agung Rakhmanto
Founder and Executive Director ReforMiner Institute
Indonesia Finance Today, March 30th 2011

A classic problem of subsidized fuel needs policies and breakthroughs which not only are rational, implementable and effective in current situations, and sustainable in the long-run.

The discourse of subsidized fuel limitation is quite rational, but will potentially be distorted with misuse and black market sales, thus it becomes non-implementable and ineffective.

Raising the price which is usually taken as the last resort when the State Budget (APBN) is on the brink of going bust is quite rational, implementable and effective in the short-term, but not for long, as it is only an ad hoc policy.

Evidently, every time there is a hike on the world oil price like today, the State Budget is suppressed once more by the additional deficit, due to the swelling subsidy for fossil fuels and electricity. The implementation of a floating price policy for subsidized fuel might be the right answer.

Basically, the policy is locking the percentage of subsidized fuel on a certain economic price and letting it float in accord with the current movement of oil price.

The price adjustment can be performed once or twice a month. Hence, whether they go up or down, fuel prices would still be subsidized on a constant percentage.

The percentage would be kept at a constant level throughout the ongoing budget year, as it would represent the political commitment of the state in providing subsidy for the people within the allocated budget.

Main Purposes

There are three main purposes for the fluctuating subsidized fuels. First, the country specifically the State Budget can be liberated from the classic problem of fuel subsidy coming from the hike of oil price.

Second, we, as an oil-producing country can also reap the benefits of windfall when the oil price rising. The higher the price, the larger the windfall that we have; unlike nowadays, where the oil price hike only means suppressing the State Budget.

Third, the economy as a whole the government, businesses, and people can be accustomed to fluctuating fuel prices, because that is the way the economy is supposed to be, hence, it can be more adaptive to the dynamics through times.

The allocated fuel subsidy in a budget year under basic conditions based on the macro assumptions of the State Budget would always provide a certain percentage of subsidized fuel prices over their economic price.

For the 2011 State Budget, based on the review of ReforMiner Institute, the percentage would be 65.59 percent for Premium [RON 88 gasoline], 64.31 percent for diesel fuel, and 36.41 percent for kerosene; which then be translated into 4,500 rupiah per liter for Premium and diesel fuel, and 2,500 rupiah for kerosene. Currently, the state subsidizes 34.41 percent, 35.69 percent, and 63.59 percent, respectively.

Economic Price

The percentage of subsidized fuel prices and their economic prices 65.59 percent for Premium, 64.31 percent for diesel fuel and 36.41 percent for kerosene are the ones that should be kept constant, at least throughout 2011, should the policy of fluctuating fuel price subsidy be implemented.

As the macro assumptions in the 2011 State Budget, particularly on the Indonesian Crude Price (ICP), are not viable with current conditions (basic conditions not conforming to the macro assumptions), and the subsidized fuel price which is yet be adjusted, the initial point of reference would need to be in agreement first.

Assuming the ICP is at US$ 100 per barrel, while the State Budget s other macro assumptions like currency and lifting are met; the review of ReforMiner Institute calculates that the percentage of subsidized fuel prices are only 53.57 percent for Premium, 52.50 percent for diesel fuel and 29.70 percent for kerosene.

The circumstances should they be maintained will disadvantage the State Budget, as its deficit keeps piling up following the oil price hike. And it can be avoided with the implementation of fluctuating subsidized fuel prices, which can be initiated with the price adjustment. The adjustment is needed to make the State Budget remain at the positive-neutral side without adding deficit over the oil price movement.

For the ICP set at US$ 100 per barrel, the fuel prices need to be adjusted to 5,510 rupiah per liter for Premium, 5,512 rupiah for diesel fuel and 3,065 rupiah for kerosene.

The Rupiah appreciation and the changes on the State Budget s macro assumptions, which should be stated on the Revised State Budget, the price adjustment which would be decided as the starting point can be set lower, at 5,000 rupiah per liter for Premium and diesel fuel, and 2,750 rupiah for kerosene, making it less burdensome to the consumers.

The complete calculation on the ICP movement and its impact on the economic prices of fossil fuels, the existing subsidized fuel prices and the magnitude of the State Budget revision on oil and gas revenue in 2011 should the fluctuating price policy be implemented excluding the revised macro assumptions, can be seen on the table.

The table shows that within the ICP span of US$ 80 to US$ 120 per barrel, the Premium price would move anywhere between 4,500 to 6,520 rupiah per liter, or at 65.59 percent over its economic price; diesel fuel, 4,500 to 6,525 rupiah per liter, or 64.31 percent; and kerosene, 2,500 to 3,630 rupiah per liter, or 36.41 percent. In the price span, the net windfall which can be generated is ranging from none to 33.3 trillion rupiah.Should the ICP be set below US$ 80 per barrel, the prices of Premium and diesel fuel would be lower than the current price of 4,500 rupiah per liter, with the extent of price drop directly correlating with the decreased ICP. At the ICP below US$ 80 per barrel, the policy is basically implemented to keep the impact of crude price movement to stay neutral to the State Budget. The revision of oil and gas revenue is equal to the alteration on the energy subsidy plus the revenue from the oil and gas production sharing contracts.

By making the impact neutral, the policy could mean that the state would not reap any benefit from the decreased oil price, but it would consistently be providing subsidy for the people by lowering the fuel prices. With an exception on kerosene, as its economic price is still too high, it needs a steady pricing at 2,500 rupiah per liter as its lower limit.

Sustainable Policy

A similar policy pattern could be sustained in the upcoming budget years by locking the percentage of allocated subsidy for fossil fuels on the total state spending first.

With the parameter of subsidized fuels in volume continuing to rise annually, the locked percentage of subsidy allocation, then the percentage of subsidized fuel prices over their economic prices could be adjusted accordingly.

In other words, aside from the aforementioned three benefits, the economic price of fossil fuels in the future can be obtained gradually without the inherent public shock.

The economic prices of fuels need to be implemented to encourage the development of alternative energy sources like gas and bio-fuels. By implementing the fluctuating price of subsidized fuels, the State Budget and national economy as a whole can be liberated from the risk of an oil price hike, and they will be healthier in the future